01.TIADA HANTU DAN TABU
KAJIAN HADITS RIWAYAT
AL-BUKHARI tentang
TIADA TABU, HANTU DAN SIAL
A. Teks Hadits
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَكَمِ حَدَّثَنَا النَّضْرُ أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ أَخْبَرَنَا أَبُو حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
B. Sanad Hadits
1. حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَكَمِ
Muhammad bin Hakam telah menyampaikan hadits kepada kami (kata al-Bukhari).[1] Muhammad bin al-Hakam, Abu Abd Allah al-Ahwal, keturunan al-Marwazi, tingkatan الوسْطى من تَبع الأتبَاع (bertemu dengan murid tabi’in di usia pertengahan), wafat di Himsh tahun 223H.
2. حَدَّثَنَا النَّضْرُ
Al-Nadlr telah menyampaikan hadits pada kami (kata Muhammad bin al-Hakam). Nama lengkapnya al-Nadlr bin Syamil, Abu al-Hasan al-Mazani al-Nahwy, kategori الصُّغْرى من الأتبَاع (saat kecil bertemu dengan tabi’in), wafat di Himsh, tahun 203H.
3. أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ
Isra`il telah mengabari kami (kata al-Nadlar). Ia bernama Isra`il bin Yunus bin Ishaq, Abu Yusuf al-Hamdani, كبار الأتبَاع (bertemu dengan Tabi’in hingga dewasa) wafat di Kufah tahun 160H.
4. أَخْبَرَنَا أَبُو حَصِينٍ
Abu Hashin telah mengabari kami (kata Isra`il). Nama lengkapnya Utsman bin ‘Ashim bin Hashin, Abu Hashin al-Asadi, دون وُسطَى مِن التَّابِعِين hampir tabi’in pertengahan, wafat di Kufah tahun 127H.
5. عَنْ أَبِي صَالِحٍ
Dari Abi Shalih. Dia bernama Dakwan al-Yamani al-Ziyat, setingkat الوُسْطَى من التَّابعِين (tabi’in pertengahan/ sampai dewasa bertemu dengan shahabat), wafat di Madinah tahun 101H.
6. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Abu Hurairah aslinya bernama Abd al-Rahman bin Shahr (21sH-57H), pada penaklukan Khaibar (Muharram 7H/ 628M) beliau masuk Islam, kemudian menjadi sekretaris pribadi dan pelayan Rasul SAW. Beliau banyak kesempatan untuk mengikuti ucapan, sikap dan perbuatan Rasul SAW dan menjadi ahl al-Shuffah (yang bertempat tinggal di Paviliun Masjid Nabawi), memusatkan perhatiannya pada tafaqquh fi al-Din, malam hari mengkaji syari’ah dari Rasul SAW, siang hari berda’wah ke berbagai tempat. Meriwayatkan 5364 hadits, ada yang juga yang mengatakan 5774 hadits. Menurut al-Bukhari, tidak kurang dari 800 shahabat yang meriwayatkan hadits dari Abi Hurairah. Sepeninggal Rasul SAW, beliau pernah menjabat Gubernur Bahrain tahun 21-23 H. Ada sebagian kaum orientalis berpandangan negatif terhadap Abi Hurairah, tapi ulama muhaddits telah memperlihatkan bukti-bukti keshalihan beliau. Beliau wafat di Madinah tahun 57H , ada yang mengatakan 59 H (679M).
C. Perbandingan Matan
Di samping Imam al-Bukhari (194-256H), ulama hadits yang lain pun meriwayatkan hadits ini seperti Malik bin Anas (94-179) dalam al-Muwatha, II h.946, Ahmad bin Hanbal (164-241H), dalam Musnad, III h.449, Muslim (206-261H), dalam al-Jami al-Shahih, IV h.1744, Abu Dawud (202-275H), dalam Sunan no.3412, Ibn Majah (207-275H), Sunan, II h.1171, al-Turmudzi (209-279H), dalam Sunan, IV h.161, dan al-Nasa`iy (215-303H), dalam sunan, IV h.376. Ulama hadits tersebut ada yang meriwayatkannya dengan redaksi yang sama ada pula yang berbeda, tapi essensinya mempunyai kesamaan. Lebih jelasnya perhatikan tabel perbandingan matan berikut.
MUKHRIJ & KITAB |
REDAKSI HADITS |
Malik bin Anas (94H-179H), al-Muwatha, II h.946 |
وحدثني عن مالك أنه بلغه عن بكير بن عبد الله بن الأشج عن بن عطية أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا عدوى ولا هام ولا صفر |
Ahmad bin Hanbal (164-241H), Musnad Ahmad, III h.449 |
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا طِيَرَةَ وَلَا عَدْوَى وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ |
Al-Bukhari (194-256H), Shahih al-Bukhari, V h.2171 |
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَكَمِ حَدَّثَنَا النَّضْرُ أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ أَخْبَرَنَا أَبُو حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ |
Muslim bin Hajaj (206-261H), Shahih Muslim, IV, h.1744, |
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا هَامَةَ وَلَا نَوْءَ وَلَا صَفَرَ |
Abu Dawud (202-275H), Sunan Abi Dawud, IV h.17 |
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا هَامَةَ وَلَا نَوْءَ وَلَا صَفَرَ |
Ibn Majah (207-275H), Sunan Ibn Majah, II h.1171 |
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ |
Al-Turmudzi (209-279H), Sunan al-Turmudzi, IV h.161 |
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ هِشَامٍ الدَّسْتُوَائِيِّ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ |
Al-Nasa`iy (215-303H), Sunan al-Nasa`iy, IV h.376 |
أخبرنا محمد بن عبد الأعلى قال أنا المعتمر قال سمعت معمرا عن الزهري عن بن سلمة عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا عدوى ولا هامة ولا صفر |
Memerhatikan perbandingan redaksi hadits sebagaimana tertera pada table di atas, nampaklah bahwa mata rantai hadits ini cukup populer. Shahabat yang meriwayatkannya pun mencapai empat orang (1) Abu Hurairah, (2) Ibn Abbas, (3) Anas bin Malik, (4) Ibn Athiyah. Demikian pula tabi’innya cukup banyak seperti (1) Ibn Salamah, (2) Qatadah, (3) Abu al-ala, (4) Abu shalih, (5) Ikrimah, (6) Ibn al-Syj. Adapun redaksinya ada yang sama susunan ada pula yang berbeda.
D. Syarah Hadits
1. لاَ عَدْوَى
Abd al-Rahman al-Banna berpendapat:
العَدوى هِي هُنَا مُجَاوَزة العِلَّة مِنْ صَاحِبِهَا إلَى غَيْرِه
Al-Adwa di sini bermakna pemindahan penyakit dari yang sakit kepada yang lain.[2] Ali bin Ahmad al-Azizi (w.1070H) menerangkan bahwa لاَعَدْوى berarti tidak ada penularan suatu penyakit. Seseorang yang sakit tidak bisa memindahkan penyakitnya kepada yang lain. Bila penyakit itu berupa virus yang menyebar, hanyalah diakibatkan oleh keadaan seseorang yang tidak memiliki kekebalan tubuhnya. [3]
2.وَلاَ طِيَرَةَ
Orang jahiliyah beranggapan bila ada burung hantu berkicau dan hinggap di rumah seseorang, maka salah satu penghuninya ada yang tertimpa sial. Rasul SAW mengoreksi pandangan jahiliyah itu, karena tidak ada kesialan seseorang diinformasikan atau dibawa burung.[4]
3. لاَهَامة
Perkataan هَامَةَ merupakan istilah bagi burung malam (burung hantu) yang dianggap pembawa sial oleh orang jahiliyah. Namun ada juga yang berpendapat bahwa هَامَةَ itu bermakna ruh orang mati yang suka gentayangan seperti burung hantu. Ali bin Ahmad al-Azizi menandaskan bahwa perkataan هَامَةَ mempunyai dua makna. Anggapan jahiliyah itu, baik dalam arti burung pembawa sial atau pun ruh gentayangan dibatalkan oleh hadits ini. Muhammad Ibn Rasyid menerangkan bahwa:
كَانَتْ الْجَاهِلِيَّةُ تَقُولُ لَيْسَ أَحَدٌ يَمُوتُ فَيُدْفَنُ إِلَّا خَرَجَ مِنْ قَبْرِهِ هَامَةٌ
Orang jahiliyah beranggapan bahwa orang yang mati setelah dikubur ada yang ke luar ruhnya gentayangan. Maka Rasul SAW menandaskan لاَهَامَة (tidak ada ruh yang gentayangan).[5]
4.لا صفر
Muhammad bin Rasyid menerangkan:
أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ يَسْتَشْئِمُونَ بِصَفَرٍ
Orang jahiliyah beranggapan bahwa bulan shafar itu bulan sial. Maka Rasul menandaskan لاَصَفَر tidak ada bulan sial pada bulan shafar.[6] Asyhab (w.204) pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas (94-179H), tentang historis sabda Rasul SAW لاَ صَفَر dia menjawab:
قَالَ إِنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يُحِلُّونَ صَفَرَ يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا
Bahwa pada jaman jahiliyah menjadikan bulan Shafar setahun dianggap sebagai bulan haram, dan yang lainnya ditetapkan sebagai bulan halal.
Terkadang mereka juga mengubah dalam tahun tertentu, satu bulan menjadi tiga belas bulan. al-Islam mengoreksi kebiasaan Jahiliyah tersebut. Firman Allah SWT:[7]
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah [8] di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan-bulan itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa. Qs.9:36
Essensi ayat ini antara lain (1) perhitungan bulan dalam satu tahun sudah terjadi sejak diciptakan langit dan bumi, (2) terdapat empat bulan yang dikhususkan sebagai bulan haram, (3) dilarang berbuat aniaya sepanjang tahun, (4) jika orang musyrik memerangi muslim, maka kaum muslim mesti melawannya kapan pun terjadi. Sejak zaman Nabi Ibrahim, ada ketetapan bahwa dalam satu tahun itu terdapat empat bulan yang dihususkan sebagai bulan haram, yaitu Dzu al-Qa’dah, Dzu al-Hijjah, Muharram dan Rajab, tidak termasuk bulan shafar.
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mensesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.Qs.9:39
Pada Haji Wada, Rasul SAW bersabda:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو القَعْدَةِ وَ ذُو الحِجَّةِ وَالمُحَرَّمُ وَ رَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادِي وَشَعْبَانَ
Sesungguhnya zaman itu berputar sesuai dengan keadaannya sejak penciptaan langit dan bumi. Satu tahun itu terdiri dari dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram; tiga bulan berturut-turut yaitu Dzul-qa’dah, Dzul-hijah, dan Muharram, dan yang satu berpisah ialah Rajab orang Mudlar, yaitu antara Jumadil-Akhir dan Sya’ban. Hr. Ahmad (164-241H), al-Bukhari (194-256H), Muslim (206-261H), Abu Dawud (202-275H).[9]
Rasul SAW mengoreksi pandangan yang salah itu, karena tidak ada pantangan pada bulan Shafar.[10] Kalimat لاَصَفَر (tidak ada shafar), merupakan bantahan terhadap anggapan jahiliyah bahwa ada pantangan tertentu dalam bulan shafar. Namun ada pula ulama yang menafsirkannya bahwa صفر itu bermakna hewan yang berada dalam perut, tatkala lapar menjerit-jerit. Jika orangnya mati berpindah pada yang lain. Rasul membatalkan pandangan jahiliyah tersebut. [11]
Abd al-Salam Hadlar menerangkan bahwa ternyata kebiasaan jahiliyah yang telah dibatalkan oleh al-Islam, masih banyak dilakukan kaum muslimin. Salah satu buktinya adalah mengadakan upacara tertentu pada rabu terakhir di bulan Shafar yang merupakan warisan jahiliah.[12]
5. وَلاَ غُول ولاَ نَوْءَ
Dalam riwayat Muslim[13] ada tambahan matan hadits itu وَلاَ غُول ولاَ نَوْءَ matan ini merupakan sambungan dari hadits yang terdapat di atas. Dalam kitab lain pun, redaksi ini banyak dikutip dengan susunan yang terkadang berbeda. Perkataan غول menurut Abu al-Thayib,[14]
غول بضم الغين وسكون الواو قال في النهاية الغول أحد الغيلان وهي جنس من الجن والشياطين كانت العرب تزعم أن الغول في الفلاء تترأى للناس فتتغول تغولا أي تتلون تلونا في صور شتى وتغولهم أي تضلهم عن الطريق وتهلكهم فنفاه النبي وأبطله
Ghul berasal dari الغيلان merupakan suatu jenis Jin atau setan. Orang Arab jahiliyah berangapan bahwa ada mahkluq halus yang suka menganggu manusia dengan penampakan yang tidak jelas, sering berubah warna, yang akibatnya orang lewat di jalan pun bisa tersesat. Dalam bahasa sunda bisanyanya disebut ririwa. Rasul SAW dengan hadits ini membatalkan anggapan jahiliyah yang meyakini ada makhluq halus tersebut.
Perkataan نَوْءَ menurut bahasa berarti jatuh. Oleh sebagian ulama dipahami dua macam (1) kepercayaan adanya turun hujan disebabkan muncul bintang tertentu berkaitan dengan kegaiban. (2) kepercayaan pada astrologi perbintangan yang menunjukkan pada turun hujan. Namun bila anggapan itu berkaitan dengan cuaca tertentu, tidaklah dianggap batal. Yang dianggap batal adalah keyakinan jahiliyah yang beranggapan bahwa bintang tertentu bisa berpengaruh pada turunnya hujan. Nampaknya kepercayaan jahiliyiah semacam ini sudah menyebar ke Indonesia, seperti adanya kepercayaan bahwa jika ingin turun hujan, caranya dengan upacara tertentu. Di daerah lainnya ada juga upacara tertentu untuk menangkal turun hujan dengan melalui hewan, atau pemujaan bintang tertentu atau memanggil pawang hujan agar hujan tidak turun ketika pernikahan atau hajatan berlangsung. Hal ini merupakan adat jahiliyah.
6. لاَ عَقْر في الإسْلام
Abd al-Razaq[15] menerangkan bahwa orang jahilyah biasa menyembelih hewan seperti sapi, unta atau kambing tatkala ada kematian. Menurut dia, Rasul SAW sebagaimana diriwayatkan dari Ma’mar[16] dari Tsabit[17] dan Anas Bin Malik[18], menghapus kebiasaan jahliyah tersebut dengan sabdanya:
لاَ عَقْرَ فِي الْإِسْلاَمِ
Tidak ada penyembelihan karena kematian dalam Islam.Hr. Abu Dawud, al-Bayhaqi dan al-Daylami.[19]
Al-Aqr secara historis bermakna penyembelihan hewan yang berkaitan dengan kematian. Ibn Taymiyah berkomentar bahwa ajaran yang dibatalkan Rasul SAW yang mencakup العَقر bukan hanya menyembelih hewan, tapi juga mengadakan upacara kematian dengan menghidangkan berbagai makanan, baik daging atau pun yang lainnya.[20] Al-Syawkani (w.1255H) menandaskan yang layak menyediakan makanan adalah tetangga atau kerabat untuk ahli mayit, bukan sebaliknya. Beliau juga menandaskan:
وَأكْلُ الطَّعَام عِنْدَهُم نَوْعًا مِنَ النِّيَاحَة
Tamu yang ikut makan di tempat kematian, termasuk niyahah,[21] karena yang ditinggal wafat itu sedang terkena mushibat yang seharusnya digembirakan tidak disibukan oleh menjamu tamu yang datang.
Ibn Qudamah menjelaskan bahwa Jarir datang kepada Umar membawa berita tentang kematian temannya. Umar bertanya:
هَلْ يُنَاحُ عَلىَ مَيِّتِكُمْ
Apakah mayit kaummu suka diratapi? Jarir menjawab لاَ tidak! Umar bertanya lagi:
وَهَلْ يَجْتَمِعُوْنَ عِنْدَ أهْلِ الْمَيِّت وَيَجْعَلُوْنَ الطَّعَام
Apakah mereka berkumpul sambil dihidangkan makanan di keluarga mayit? Jawabnya نَعم ya! Kata Umar: ذاك النوح yang demikian itulah yang termasuk meratap.[22]
Sedangkan النوح – النياحة (meratap) termasuk kebiasaan jahiliyah yang dilarang al-Islam. Rasul SAW bersabda:
النِّيَاحَةُ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ وَإِنَّ النَّائِحَةَ إِذَا مَاتَتْ وَلَمْ تَتُبْ قَطَعَ اللَّهُ لَهَا ثِيَابًا مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعًا مِنْ لَهَبِ النَّارِ
Meratap itu termasuk ajaran jahiliyah. Orang yang meratap jika mati dan belum bertaubat, akan dipakaikan aspal panas, dan baju bara besi neraka menyala). Hr. Ibn Majah [23]
Salah satu fungsi Rasul SAW diutus adalah untuk meluruskan yang salah, baik dalam ucapan, keyakinan maupun perbuatan. Dalam Khutbah Wuquf di Arafah, Rasul SAW bersabda:
ألاَ كُلُّ شَيْء مِنْ أمْرِ الجَاهِلِيَّة تَحْتَ قَدَمي مَوْضُوع
Ingatlah segala sesuatu yang berbau jahiliyah diletakkan di bawah telapak kakiku. Hr. Muslim.[24]
Hadits ini merupakan salah satu contoh yang berisi membatalkan keyakinan jahiliyah.
[1] Abu Abd Allah Muhammad bin Isma`il, al-Bukhari (194-256H), Shahih al-Bukhari, V h.2171
[2] al-Fath al-Rabbani, XVII h.192
[3] Ali bin Ahmad bin Muhammad al-Azizi al-Syafi’iy (w.1070H), al-Siraj al-Munir, III, h.472
[4] Muhammad bin Salim al-Hifni (w.1081H), Hasyiyah al-Jami al-Shaghir, III h.472
[5] Sunan Abi Dawud, IV h.18
[6] Sunan Abi Dawud, IV h.18
[7] kaitkan dengan Qs.9:37
[8] Menurut al-Baydlawi (tafsir al-Baydlawi, III h.144), kitab Allah di sini ialah al-Lauh al-Mahfuzh
[9] Musnad Ahmad, V h.37, Shahih al-Bukhari, III h. 1168, Shahih Muslim, III h.1305, Sunan Abi Dawud, II h.195
[10] Ibn Abd al-Bar(368-463H), al-Tamhid, XXIV h.199
[11] Ali bin Ahmad bin Muhammad al-Azizi al-Syafi’iy (w.1070H), al-Siraj al-Munir, III, h.472
[12] Al-Sunan wa al-Mubtada’at, h.137
[13] Shahih Muslim, IV h.1742
[14] Awn al-Ma’bud, X h.292
[15] Abd al-Razaq bin Hamam bin Nafi’, Abu Bakr al-Shan’ani, wafat di Yaman tahun 112H,
[16] Ma’mar bin Rasyid (kibar al-Atibba), Abu Urwah al-Bashri, wafat 154H
[17] Tsabit bin aslam, Abu Muhammad al-Banani (tabi’in), wafat di Bashrah 127 H
[18] Anas bin Malik bin al-Nazhar, Abu Hamzah, Shahabat, wafat di Bashrah tahun 91.
[19] Sunan Abi Dawud, III h.216 (no.2805), Sunan al-Bayhaqi, IV h.57, al-Firdaus, V h.183
[20] Abd al-Ra`uf al-Munawi, Faidl al-Qadir, VI h.434
[21] Nail al-Awthar, IV h.148
[22] Ibn Qudamah (541-620H), al-Mughni, II h.215
[23] Sunan Ibn Majah, no.1570
[24] Shahih Muslim, II h.889