02. Shaum Meraih Taqwa
Bagian kedua
Ibadah Shaum untuk meraih taqwa
(kajian tafsir al-baqarah:183)
- Teks Ayat dan Terjemah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atasmu ibadah shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kalian bertaqwa”. (Q.S : 2: 183)
- Tafsir kalimat ayat : 183
- Makna kalimat
Perkataan كُتِبَ (kutiba) adalah bentuk majhul dari كَتَبَ (kataba). كَتَبَ (kataba) berarti menulis dan كُتِبَ (kutiba) berarti ditulis . Kemudian jika disambungkan dengan perkataan (‘alaa) berarti fardlu. Oleh karena itu كُتِبَ عَلَيْكُم (kutiba ‘alaikum) berarti difardlukan atas kamu sekalian.[1] Yang dimaksud dengan كُمْ (kum); kamu sekalian disini adalah terkait dengan yang diseru yaitu orang mu’min. Artinya shaum itu hanya difardlukan atas orang mu’min. Oleh karena itu syarat sah shaum adalah mu’min. Orang kafir tidak akan diterima shaumnya. [2]
Perkataan الصِّيَامُ (Al-Shiam) adalah bentuk isim Masdar dari صَامَ – يَصُومُ , menurut bahasa berarti الإمساك (menahan) atau الترك (meninggalkan). Menurut Al-Raghib, perkataan صِيام shiam dan صَوم shaum menurut bahasa artinya mencakup pada menahan diri dari perkataan, perbuatan, gerakan, perjalanan dan makanan, sehingga kuda yang ditambat pun bisa disebut الصائم yang shaum.[3] Al-Shabuni memberikan definisi bahwa shaum itu ialah:
الإِمْسَاكُ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالجِمَاعِ مَعَ النِّيَّةِ مِنْ طُلًوعِ الفَجْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ وَكَمَالُهُ بِاْجْتِنَابِ المَحْظُورَاتِ وَعَدَمِ الوَقُوعِ فِى المُحَرَّمَاتِ.
“Menahan diri dari makan, minum dan jima’ dengan niat ibadah shaum, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Kesempurnaan shaum adalah dengan menjauhi segala yang dilarang dan mengindari perbuatan yang diharamkan“.[4]
Menurut pengertian ini, yang dimaksud shaum itu ialah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya seperti makan, minum dan jima’ dengan dilandasi niat ibadah yang dimanifestasikan pula pada pencegahan diri dari perbuatan yang tidak diridhai Allah SWT. Dengan demikian, menahan lapar dan dahaga pun, kalau tidak dilandasi ibadah tidak termasuk shaum.
Dalam definisi di atas juga ditekankan bahwa shaum itu waktunya adalah sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Oleh karena itu jika menahan lapar dan dahaga yang dilaksanakan di luar waktu tersebut, maka tidak termasuk shaum. Ibnu Katsir,[5] memberikan definisi shaum adalah sebagai berikut :
الإِمْسَاكُ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالوِقَاعِ بِنِيَّةٍ خاَلِصَةٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِمَا فِيْهِ مِنْ زَكَاةِ النُّفُوسِ وَطَهَارَتِهَا وَتَنْفِيَتِهَا مِنَ الإِخْتِلاَطِ الرَّدِيْعَةِ وَالأَخْلاَقِ الرَّذِيْلَةِ.
“Shaum adalah menahan diri dari makan, minum dan senggama, dengan niat ikhlas karena Allah Azza Wajalla, yang mengandung hikmah mensucikan jiwa dan membersihkannya dari perbuatan yang tercela dan akhlak yang buruk“.
Ibadah shaum telah difardlukan pula kepada umat terdahulu, sebagaimana ditandaskan firman-Nya:
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ….
“Sebagaimana telah difardlukan atas orang sebelum kamu……”.
Yang dimaksud dengan “orang sebelum kamu“, adalah para Nabi dan umatnya, sejak Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad saw.[6] Ayat ini menunjukkan bahwa shaum itu merupakan ibadah yang sangat tua,[7] bukan hanya difardlukan kepada Nabi Muhammad saw saja, melainkan umat terdahulu pun telah menerima perintah shaum. Penegasan ini juga mengandung arti dorongan agar kaum muslimin bisa melaksanakan ibadah shaum dengan sebaik-baiknya.[8]
Ibadah shaum pada awalnya difardlukan atas umat terdahulu, seperti Nabi Nuh, yaitu tiga hari setiap bulan[9], Nabi Dawud shaum selang sehari. Setelah turun ayat ini, tahun kedua Hijrah, maka yang diwajibkan itu adalah shaum Ramadhan, dan shaum tiga hari tiap bulan itu menjadi tathawwu yang hukumnya sunnat.[10] Dengan demikian ungkapan sebagaimana difardlukan kepada umat terdahulu itu hukumnya, bukan waktunya. Adapun sasaran yang dituju oleh shaum adalah Taqwa, sebagaimana ditegaskan-Nya; لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Agar kalian bertawqa”
Kalimat ini merupakan penegasan tentang sasaran dan fungsi shaum difardlukan. Artinya ibadah itu harus mempunyai hikmah membentuk manusia taqwa. Taqwa dalam arti sempit adalah menahan diri dari perbuatan yang melanggar aturan Allah SWT, karena shaum itu pada dasarnya pengendalian.[11] Dengan demikian, tinggi rendahnya nilai ibadah shaum terletak pada kemampuan mengendalikan diri dari perbuatan yang melanggar aturan Allah SWT dan Rasul-Nya. Selama ibadah shaum itu belum membekas pada pengendalian diri, selama itu pula nilainya masih rendah. Rasul Saw bersabda:
مَنْ لَمْ يَدْعِ قَولَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ فلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan kotor, maka tidak ada hajat bagi Allah dalam meninggalkan makan dan minumnya“. HR. Bukhari (w.256H), dan Abu Dawud (w.275H). [12]
Penyarah hadits berpendapat bahwa yang dimaksud dengan فَلَيْسَ لِلّهِ حَاجَةٌ tidak ada hajat bagi Allah pada hadits tersebut berarti tidak ada hak menerima pahala dari Allah SWT. Dengan kata lain, orang yang shaumnya tidak membekas pada pengendalian diri dari perbuatan dosa tidak akan mendapat pahala dari Allah SWT.[13]
Al-Ghazali membagi derajat shaum kepada tiga macam yaitu: Shaum Umum, Shaum Khushush, dan Shaum Khushushul-khushush.[14]
Shaum Umum (shaum orang-orang awam) ialah shaum yang dilakukan dengan hanya lapar dan dahaga dan tidak membekas pembinaan diri. Shaum Khushush (shaum utama) ialah yang dilakukan bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga disertai dengan menahan pandangan, lisan, tangan, kaki dan anggota badan lainnya dari perbuatan dosa. Shaum Khushushul-khushush (shaum paling utama) ialah shaum yang dilakukan bukan hanya mengendalikan perut, farji, dan anggota badan lainnya dari perbuatan dosa, tapi juga mengendalikan pikiran dan perasaan dari hal-hal duniawi, sehingga pikiran dan perasaan tersebut hanya semata-semata terpusat kepada Allah SWT.
Selanjutnya Al-Ghazali memberikan penjelasan tentang langkah-langkah yang harus ditempuh agar ibadah shaum itu bernilai baik, yaitu: (1).Menahan pandangan dari sesuatu yang tercela dan dari hal-hal yang melengahkan diri dari dzikir. (2). Menahan lidah dari omongan yang tidak baik seperti dusta, mengumpat dan mengadu-domba. (3). Menahan pendengaran dari hal-hal yang dibenci Allah SWT. (4). Menjaga anggota badan dari berbagai perbuatan dosa dan mengendalikan perut dari makan yang subhat. (5) Menyedikitkan makan waktu buka walaupun makanan yang halal. (6). Hati, pikiran dan perasaan hendaknya senantiasa terkait dengan khauf dan roja’ kepada Allah SWT.
Jika penjelasan di atas diperhatikan, maka derajat shaum itu harus diraih dengan meningkatkan diri dari perbuatan yang tidak diridhai Allah SWT. Perbuatan tersebut, mencakup ucapan pendengaran, penglihatan, maupun perasaan. Ma’na yang tersirat pada Qs.2:183 secara ringkas dapat digambarkan seperti berikut:
- beberapa isyarat ayat Qs.2:183
Ada beberapa isyarat kandungan ayat ini yang patut digarisbawahi anatara lain:
- Ramadlan dalam perspektif Qs.2:183 ini adalah bulan (a) meningkatkan iman, (b) melaksanakan shaum secara baik, dan penuh tanggung jawab, (c) mengkaji sejarah, (d) meningkatkan taqwa.
- Langkah yang mesti ditempuh agar shaum yang dilakukan itu bernilai baik dapat digambarkan sebegai berikut: (a) ibadah shaum difardlukan atas orang yang beriman, maka mesti dilaksanakan atas dasar iman dan berusaha meningkatkan keimanan. (b) peroses ibadah shaum mesti dilakukan dengan sebaik mungkin dengan penuh rasa tangungjmawab, karena merupakan ibadah fardlu. (c) ibadah shaum telah diwajibkan atas umat terdahulu, maka memiliki nilai sejarah yang patut dikaji dan dipelajari agar menjadi cermin kehidupan. (d) ibadah shaum tidak hanya bersifat ritual, tapi juga ada target yang mesti dicapai, utamanya adalah meraih taqwa.
- Nilai ibadah shaum tidak hanya dari sudut keimanan dan keikhlasan, tapi juga ada atau tidak adanya dampak positif atas peningkatan taqwa. Semakin semangat meningkatkan kualitas ketaqwaan, semakin tinggi nilai ibadah shaum yang dilaksanakan. Ibdah shaum merupakan ibadah pengendalian diri dari hal-hal yang membatalkan dan mengurangi kualitas ibadah. Oleh karena itu yang dituntut bukan lapar bukan pula dahaga, tapi pengendalian dalam memenuhi keinginan. Yang dinilai bukan laparnya bukan pula dahaga yang dirasakan. Shaum tidak perlu lapar, tidak perlu dahaga, tidak perlu lemas apalagi loyo, melainkan tetap segar dan semangat bekerja yang produktif. Ibnu Katsir,[15] memberikan definisi shaum adalah sebagai berikut :الإِمْسَاكُ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالوِقَاعِ بِنِيَّةٍ خاَلِصَةٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِمَا فِيْهِ مِنْ زَكَاةِ النُّفُوسِ وَطَهَارَتِهَا وَتَنْفِيَتِهَا مِنَ الإِخْتِلاَطِ الرَّدِيْعَةِ وَالأَخْلاَقِ الرَّذِيْلَةِ. “Shaum adalah menahan diri dari makan, minum dan senggama, dengan niat ikhlas karena Allah Azza Wajalla, yang mengandung hikmah mensucikan jiwa dan membersihkannya dari perbuatan yang tercela dan akhlak yang buruk“.
- Ayat-ayat yang bersifat khabariyah atau berita, mengandung isyarat perintah. Kandungan perintah ayat ini antara lain (a) ءَامَنُوا meningkatkan iman, (b) كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ mewajibkan diri keluarga dan fihak lain, (c) كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ mengambil pelajaran dari sejarah masa silam untuk menata masa kini dalam meraih masa depan yang lebih baik, (d) لَعَلَّكُمْ ada upaya yang mesti ditempuh, (e) تَتَّقُون berpacu meraih target dan sasaran yang mesti dicapai, yaitu taqwa dalam arti yang seluas-luasnya.
[1] (An-Nasafi, I h.93; Jalalain,I h. 26).
[2] Taqiy al-Din, Kifayatul-Akhyar, I h.204
[3] al-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur`an, h.298
[4] (Ash-shabuni, Rawa’I al Bayan, I h. 188).
[5] (Tafsir Ibn katsir, I h. 213)
[6] (Sa’id Hawa, Al-Asas fi al-Tafsir: 411).
[7] (Tafsir Al-Nasafi, I h.92)
[8] ( Tafsir Al-Baidlawi, h. 38)
[9] (Tafsir Ibn Katsir, I h. 213)
[10] (As-Son’ani, Subulus Salam, Iih. 150),
[11] (Sa’id Hawa, Al-Asas, h 411).
[12] (Shahih Bukhari, II h.228, Sunan Abi Dawud, II h.307) dari Abi Hurairah.
[13] (Ashan’ani, Subul al-salam, II h. 157)
[14] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, I h. 235
[15] (Tafsir Ibn katsir, I h. 213)