02.TANDA-TANDA KEHANCURAN
HADITS RIWAYAT AL-BUKHARI
tentang
TANDA-TANDA SAAT KEHANCURAN
A. Teks Hadits dan Terjemah
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ لَأُحَدِّثَنَّكُمْ حَدِيثًا لَا يُحَدِّثُكُمْ أَحَدٌ بَعْدِي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا وَتُشْرَب الخَمْرُ وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ
Musaddad telah menyampaikan hadits kepada kami, katanya menerima hadits dari Yahya dari Syu’bah, dari Qatadah dari Anas bin Malik yang menyatakan: Saya akan sampaikan hadits yang mungkin tidak ada yang menyampaikannya seorang pun sepeninggalku. Saya mendengar Rasul SAW bersabda: di antara tanda akhir jaman; sedikitnya ilmu, munculnya kebodohan, merajalela perzinahan, merebaknya khamr, banyaknya kaum wanita sedikitnya pria, sehingga satu pria berbanding lima puluh wanita. Hr. al-Bukhari.[1]
B. Syarah Hadits menurut Muhadits
Mansur Ali Nashif,[2] mengomentari hadits ini dengan menyatakan bahwa di antara tanda akhir zaman adalah: (1) hilangnya ilmu disebabkan kaum ulama banyak yang wafat, dan tidak ada yang menggantikannya hingga kebodohan semakin merajalela yang berakibat manusia banyak yang sesat, (2) khamr atau minuman keras, narkotik, dan sebangsanya serta perzinahan merajalela. Saat ini telah nampak sehingga kedua perbuatan jahat ini mendapat legitimasi dan legalitas.(3) semakin sedikitnya kaum pria, karena banyak terjadi peperangan, dan kaum wanita semakin banyak jumlahnya hingga satu pria berbanding lima puluh wanita.
Imam Nawawi,[3] berpendapat bahwa yang dimaksud khamr diminum sebagai tanda akhir zaman ialah merajalelanya para peminum sehingga berani secara terang-terangan, demikian pula perzinahan merajalela dan dilakukan secara terbuka. Abdurrahman Al-Banna,[4] pendapatnya sama dengan an-Nawawi, hanya ada tambahan komentar tentang merajalelanya kebodohan di kalangan umat.
Ibnu Hajar Al-Ashqalani,[5] memberikan komentar tentang hadits ini sebagai berikut: Yang dimaksud dengan Yahya pada hadits ini ialah putra Sa’id al-Qathan, dan Anas ialah Anas Bin Malik. Perkataan لاحدثنكم berfungsi sebagai jawab sumpah yang tidak disebutkan. Aslinya ialah kata
والله لاحدّثنكم yang berarti “Demi Allah aku akan kabarkan kepadamu“.
Ada yang meriwayatkan bahwa Anas pada saat itu bertanya kepada para shahabatnya: Apakah tidak perlu aku sampaikan hadits yang sangat penting? Shahabatnya menjawab: Ya. Kemudian Anas menandaskan لاحدّثنكم. Kalimat لايحدثكم احد بعدي dalam riwayat Mulim tidak dicantumkan maf’ulnya. Sedangkan dalam riwayat Ibnu Majah berbunyi لايحدثكم به احد بعدي dan berdasar jalur Hisyam, kalimatnya berbunyi لايحدثكم به غيري yang berati tidak ada yang menyampaikan hadits ini selain aku.
Menurut riwayat Abu Awanah, Anas itu mengatakan لايحدثكم احد سمعه من رسول الله صلى الله عليه وسلم بعدي artinya: Tidak seorang pun yang mengabarkan hadits ini orang yang langsung mendengar dari Rasulullah setelah aku. Diketahui bahwa setelah Anas memang benar-benar tidak ada shahabat Rasul SAW yang menyampaikan hadits ini di daerahnya, al-Bashrah. Pada saat itu shahabat Rasulullah yang tinggal di Bashrah tinggal Anas Bin Malik. Dengan demikian perkataan لايحدثكم به بعدي ini dapat berfungsi khusus kepada orang Bashrah khususnya, karena beliaulah shahabat yang terakhir menyampaikan hadits. Dapat pula berfungsi umum, karena hadits ini disampaikan oleh Anas di kala usianya hampir berakhir.
Perkataan سمعت merupakan penjelas dari perkataan serbelumnya, yang menunjukkan bahwa beliau itu langsung mendengar dari Rasulullah SAW. Sabda Rasul: ان يقِل العلم dalam riwayat Muslim berbunyi: ان يرفع العلم sebagaimana riwayat Sa’id bin Abi Syaibah dan Hammam sebagaimana dikutip dalam kitabul-Hudud, kitabul-Asyribah dan kitabun-Nikah riwayat Bukhari.
Perkataan ان يقل yang berarti menjadi sedikit, ada kemungkinan menunjukkan di permulaan akhir zaman, yang kemudian lama kelamaan menjadi hilang ilmu itu sebagaimana ditandaskan ان يرفع. Namun sebenarnya perkataan ان يقل العلم juga bisa saja mempunyai makna hilang ilmu.
Sabda Rasul SAW: وتكثر النساء ada kemungkinan disebabkan terjadinya banyak kekacauan yang menimbulkan peperangan hingga kaum pria banyak yang terbunuh, karena mereka ahli perang beda lagi dengan wanita. Namun pendapat ini perlu dipertimbangkan keabsahannya. Hadits Abi Musa dalam bab Zakat diterangkan bahwa jumlah kaum wanita itu akan lebih banyak. Tidak diterangkan apa sebabnya, melainkan hanya kepastian di akhir zaman. Mungkin saja pada satu saat Allah SWT menakdirkan seperti itu, sehingga yang lahir ke dunia ini lebih banyak wanita dibanding pria. Banyak kaum wanita juga ada kaitannya dengan semakin merajalelanya kebodoan dan menurunnya ilmu pengetahuan.
Sedangkan yang dimaksud dengan sabda Rasul لخمسين bisa bermakna hakiki jumlahnya secara kuantitas demikian, bisa juga bermakna majazi. Dalam hadits Abi Musa diterangkan bahwa nanti akan kau lihat seorang pria diikuti oleh empat puluh wanita. Sabda Rasul SAW : القيم berarti orang yang bertanggung jawab urusan wanita. Kita ketahui bahwa kaum pria itu merupakan pemimpin bagi kaum wanita.
C. Beberapa Ibrah
Sebagaimana telah diungkapan di atas bahwa menurut para ahli, hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas ini memberikan penjelasan tentang tanda-tanda akhir zaman:
1. Ilmu semakin sedikit kebodohan muncul
Tanda yang pertama kehadiran akhir zaman ialah diangkatnya ilmu dan semakin nampaknya kebodohan, sebagaimana dalam sabdanya: أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ atau dalam redaksi lain berbunyi: يرفع العلم يظهر الجهل Perkatan يرفع العلم ilmu diangkat bisa berarti hakiki bisa juga berarti majazi. Makna secara hakiki ialah Allah SWT mencabut ilmu dari dunia ini, hingga yang ada hanyalah orang bodoh.
عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا *
“Sesungguhnya Allah SWT tidak mencabut ilmu langsung dari manusia yang berilmu (menjadi bodoh). Namun Ia mencabut ilmu dari dunia dengan meninggalnya ulama. Andaikata ulama sudah tidak tersisa, maka kaum juhala (orang bodoh) diangkat masyarakat jadi pemimpinnya. Jika masyarakat minta fatwa, maka juhala itu memberikan jawaban tanpa ilmu, yang akhirnya mereka tersesat dan menyesatkan”. H.R. Mutafaq Alaih.[6]
Menurut hadits ini, pada suatu saat Allah SWT mencabut ilmu dengan mewafatkan kaum ulama. Ulama merupakan lambang kemajuan ilmu. Tanpa ulama ilmu akan pudar. Jika ulama telah tiada maka orang bodohlah yang menjadi pemimpin yang memfatwakan dengan kebodohan. Akhirnya, manusia banyak yang sesat. Yang benar disingkirkan dan salah dipelihara. Yang benar dianggap salah, yang salah dianggap benar. Mungkin saja, pada waktu itu banyak orang pintar, orang cerdas di bidang pengatahun, seni dan teknologi, tapi bodoh di bidang aqidah dan keimanan. Mungkin pula ada orang yang memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah, tapi tidak memiliki keberanian untuk menerangkannya, karena merasa takut kehilangan pengaruh atau jabatan. Orang yang demikian tidak tergolong ulama, walau pun berilmu. Ulama adalah orang yang berilmu dan pandai mengamalkannya serta tidak merasa takut oleh siapa pun selain oleh Allah SWT. Firman-Nya:
إِنَّمَا يَخْشَى الله مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا إِنَّ الله عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. Qs.35:28
Berdasar ayat ini, yang takut kepada Allah itu adalah ulama. Oleh karena itu ulama hanya takut oleh Allah dan tidak takut oleh yang lainnya. Jika ada orang yang takut oleh selain Allah, maka tidak termasuk golongan ulama, walau pun berilmu. Tidak semua orang berilmu itu masuk kategori ulama, tapi setiap ulama pasti berilmu. Orang yang berilmu dan hanya takut oleh Allah, itulah ulama. Tampaknya bisa dibedakan antara ilmuwan dengan ulama. Siapa pun yang berilmu bisa disebut ilmuwan, tapi belum tentu masuk ke kategori ulama yang diridlai Allah SWT.
Imam al-Ghazali,[7] membagi ilmuwan kepada dua bagian; ilmuwan buruk dan ilmuwan baik. Ilmuwan buruk adalah orang yang berilmu tapi hanya mementingkan kehidupan duniawi belaka. Beliau memberikan contoh ilmuwan buruk itu dengan bani Israil yang menyembunyikan ayat Allah demi ke-pentingan duniawi sebagaimana disifatkan al-Qur’an (Qs.3:187). Sedangkan ilmuwan baik adalah orang yang berilmu dan dengan ilmunya itu mencari kehidupan akhirat. Mereka tidak memutarbalikan kebenaran demi kepentingan duniawi, karena mereka khusyu’ mencari ridla Allah sebagaimana disifati al-Qur’an (qs.3:199).
Dengan demikian diangkatnya ilmu dan munculnya kebodohan sebagai tanda akhir zaman itu, mungkin saja dalam kenyataannya masih banyak ilmuwan. Namun ilmuwan itu tidak bertindak sebagai ulama, sehingga yang nampak dipermukaan adalah kebodohan. Tampaknya jika hal ini terjadi, ulama dianggap sudah wafat, walau ilmuwan banyak yang hidup. Kalau sudah demikian, maka kebenaran semakin tersembunyi kebathilan semakin nampak. Orang yang berbuat salah bisa bebas dari hukuman, orang yang benar bisa dihukum, karena hakim yang berkuasa tidak menjalankan dan tidak menegakkan kebenaran.
اَلْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ: إِثْنَانِ فِي النَّارِ وَوَاحِدٌ فِي الجَنَّةِ رَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِى الجَنَّةِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَلَمْ يَقْضِ بِهِ وَجَارَ فِى الْحُكْمِ فَهُوَ فِيْ النَّارِ وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ الْحَقَّ فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ
Hakim itu terbagi kepada tiga golongan, dua golongan masuk neraka dan hanya satu yang masuk surga; seseorang mengetahui kebenaran kemudian menegakkan kebenaran tersebut, maka dia masuk surga. Seseorang tahu akan kebenaran tapi tidak mau menghukum dengan kebenaran itu bahkan dia berbuat jahat dalam menghukum, maka ia masuk neraka. Seorang lagi tidak mengetahui kebenaran, kemudian menghukum manusia atas dasar kebodohan, maka ia juga masuk neraka. Hr. Empat ahli hadits[8] dan dianggap shahih oleh al-Hakim.[9]
Hadits ini menandaskan bahwa dari tiga hakim hanya satu yang akan masuk surga yaitu yang tahu betul tentang kebenaran dan menghukum dengan kebenaran tersebut. Sementara yang lainnya menjadi ahli neraka, karena tidak menjalankan hukumnya berdasar kebenaran. Sungguh sedikit jumlah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya itu. Orang yang tidak menegakkan kebenaran, walau dia berilmu adalah termasuk bodoh. Dengan demikian يظهر الجهل atau munculnya kebodohan yang menjadi tanda akhir zaman itu bisa jadi kebodohan orang pintar. Maksudnya banyak orang pintar, tapi bodoh dalam beramal.
Saat ini diakui bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi itu semakin berkembang, tapi ternyata masih banyak kemaksiatan dan kemunkaran yang merajalela. Ahli hukum, sarjana hukum, juga semakin bertambah jumlahnya, tapi banyak orang yang melanggar hukum, tidak mendapat hukuman.
Bentuk kebodohan memang banyak sekali macamnya, antara lain:
(1) Tidak memiliki ilmu, karena kekurangan informasi. Yang demikian adalah bodoh, karena tidak berilmu. Inilah pangkal kebodohan. Orang yang seperti ini, mungkin di era globalisasi informasi sedikit jumlahnya.
(2) Memiliki ilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya. Orang yang demikian masih bodoh, sebab tidak pandai beramal. Golongan ini tampaknya saat ini masih banyak. Betapa banyak manusia sekarang yang tahu bahaya, tapi tetap melakukan perbuatan yang membahayakan.
Masyarakat sekarang banyak yang tahu bahwa narkotik itu berbahaya, tapi masih banyak yang meng-gunakannya. Masayarakat sekarang tahu betul bahwa rokok itu membahayakan kesehatan, tapi masih banyak yang tidak bisa meninggalkan.
(3) Pandangannya bertentangan dengan kebenaran mutlak. Orang yang demikian tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang halal dengan yang haram. Orang yang demikian, mungkin saja senang beramal, tanpa ilmu yang benar.
Memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan di atas, manusia yang bodoh itu terdiri dari: (1) orang yang tidak punya ilmu, (2) pintar teori, tapi bodoh dalam beramal, (3) pintar beramal tapi tidak tahu teori, (4) amal dan teorinya pintar tapi tidak sesuai dengan hidayah Allah SWT. Keempat golongan ini, di akhir zaman semakin banyak jumlahnya. Kata al-Alusi (w.1270H) orang yang pandai bicara tapi tidak pandai beramal, adalah bodoh menurut syari’ah.[10]
2. Peminum Khamr Merajalela
Tanda yang kedua telah tibanya akhir zaman ialah apabila khamr telah menjadi minuman masyarakat, sebagaimana ditegaskan dalam sabdanya. يشرب الخمر Dalam riwayat Bukhari dan Muslim diterangkan bahwa Umar bin al-Khathab pernah berkhuthbah dan menegaskan:
والخَمْر مَاخَامَرَ العَقْل
Khamr ialah segala sesuatu yang mengakibatkan tertutupnya fungsi akal pikiran.[11]
Dengan demikian istilah khamr itu mencakup segala minuman, obat-obatan baik yang dimakan atau disuntikkan, atau dalam bentuk apapun yang bila digunakan mengakibatkan tidak berfungsinya akal, alias memabukkan. Istilah yang digunakan sekarang adalah NAPZA (Narkotik,Psikotropika, Alkohol dan Zat Adiktif lainnya). Istilah khamr merupakan kata jadian dari sifat bukan dari nama benda. Oleh karena itu al-Qur’an maupun hadits tidak menyebutkan nama benda atau zatnya, melainkan sifatnya.
Dinamakan khamr, yang dalam bahasa aslinya berarti menutup, karena zat tersebut dapat menutupi fungsi akal atau mempengaruhinya sehingga mengurangi kemampuan berfikir.[12] Dengan demikian, ectasy, heroin, narkotik, minuman keras, obat bius, dan zat adikitif lainnya termasuk khamr. Abd Allah bin Baz dan Ulama Saudi lainnya di abad XX berpendapat bahwa rokok termasuk khamr.
Hukum khamr telah ditegaskan dalam al-Qur’an dalam surat An-Nisa:43, Al-Baqarah:219, al-Maidah:91. Peminum khamr, di zaman Rasulullah SAW dan para shahabatnya dihukum cambuk, sebagaimana diterangkan dalam beberapa hadits berikut:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَلَدَ فِى الخَمْرِ بِالجَرِيْدِ وَالنِّعَالِ ثُمَّ جَلَدَ أَبُوبَكْرٍ أَرْبَعِيْنَ فَلَمَّا كَانَ عَمَرُ وَدَنَا النَّاسُ مِنَ الرِّيْفِ وَالقُرَى قَالَ: مَا تَرَونَ فِىجَلْدِ الخَمْرِ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحِمنِ بْنِ عَوفٍ: أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا كَأَخَفِّ الحُدُودِ فَجَلَدَ عُمَرُ ثَمَانِيْنَ.
Hadits dari Anas menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintah menghukum peminum khamr dengan pelepah dan sandal. Kemudian Abu Bakar mencambuknya sebanyak empat puluh kali. Tatkala zaman Umar dan manusia semakin banyak berdatangan dari berbagai tempat, ia berkata: Bagaimana pandanganmu tentang hukuman bagi peminum khamr? Abdurrahman Bin Auf menjawab: Saya memandang bahwa hukuman bagi peminum khamr itu setimpal dengan hudud paling ringan. Oleh karena itu Umar mencambuk peminum khamr sebanyak delapan puluh kali. Hr. Muslim dan Ibn Hibban serta ahli hadits lainnya.[13] Dalam riwayat lain diterangkan:
أَتِيَ النَبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ الخَمْرَ فَجَلَدَهُ بِجَرِيْدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِيْنَ
Dalam suatu riwayat diterangkan: Dihadapkan kepada Nabi SAW seorang yang meminum khamr, kemudian beliau mencambuknya dengan dua pelepah sebanyak empat puluh kali. Hr. Muslim dan al-Turmudzi.[14]
وَلَفْظُ التِرْمِيْذِى: ضَرَبَ النَبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الحَدَّ بِنَعْلَيْنِ أَرْبَعِيْنَ.
Dalam redaksi riwayat Tirmidzi diterangkan bahwa Rasulullah SAW mencambuk peminum khamr dengan trompah sebanyak empat puluh kali.[15]
Masnur Ali Nashif menjelaskan bahwa Nabi SAW, dan Abu Bakr menghukum peminum khamr itu dengan cambuk sebanyak empat puluh kali atas punggungnya. Namun tatkala Umar Bin Khathab jadi khalifah dan banyak yang minum khamr, kemudian bermusyawarah dengan para shahabatnya, ditetapkanlah bahwa hukumannya menjadi delapan puluh kali. Hukuman ini disarankan oleh Abdurrahman Bin Auf dan Ali Bin Abi Thalib, sebagai pelaksanaan hukuman had yang paling ringan yang tercantum dalam al-Qur’an.[16]
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukuman delapan puluh kali itu tidak menyalahi Sunnah, Rasul SAW, maupun Abu Bakr, mencambuknya dengan dua pelaepah kurma atau dua trompah, sebagaimana diriwayatkan Tirmidzi di atas. Dalam riwayat Muslim diterangkan bahwa Abu Sasan menyaksikan perkembangan pelaksanaan hukuman bagi bagi peminum khamr. Beliau menandaskan: “Nabi SAW menghukum dengan empat puluh cambukan, Abu Bakr juga menghukumnya dengan empat puluh cambukan, dan Umar menghukumnya dengan delapan puluh cambukan, semuanya itu termasuk sunnah Rasul dan itulah hukuman yang saya senangi”.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa hukuman bagi peminum khamr itu bisa dilakukan cambukan dengan menggunakan apa saja yang dapat dipukulkan. Sedangkan jumlahnya minimal empat puluh kali dan maksimal delapan puluh kali. Adapun hukuman mati bagi yang kecanduan minum khamr telah dimansukh.[17]
3. Perzinahan Semakin Nampak
Tanda akhir zaman berikutnya ialah apabila perzinahan telah nampak dan merajalela, sebagaimana diungkapkan dalam hadits: ويظهر الزنا Merajalelanya perzinahan disebabkan berbagai faktor. Faktor yang paling dominan, tentu saja karena kurangnya kesadaran masyarakat atas bahaya perzinahan, baik dari kesehatan maupun dari segi keimanan. Orang yang beriman dan tetap dalam keimanannya tidak akan berzina. Rasul SAW bersabda:
لاَيَزْنِي العَبْد حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَسْرِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَشْرَبُ حِيْنَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَقْتُلُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Seorang hamba Allah tidak akan berzina ketika zina padahal dia mukmin, tidak akan mencuri ketika hendak mencuri padahal ia mukmin, tidak akan minum khamr ketika hendak minum padahal ia mukmin, tidak akan membunuh, selama ia mukmin. Hr. al-Bukhari dan Muslim dari ibnu Abbas[18]
Dengan demikian, siapa pun orangnya kalau dia berpegang teguh kepada keimanan tidak akan berzina, tidak akan mencuri, tidak akan minum khamr dan tidak akan membunuh. Kalau ada orang yang sudah mengaku mukmin, tapi ternyata berbuat yang diharamkan, berarti pada saat ia berzina, minum khamr, mencuri atau membunuh itu melepaskan keimanannya. Orang yang berusaha menjaga keimanan hingga menjauhi segala larangannya, akan mendapat perlindungan Allah SWT. Hadits menyatakan:
عَنْ سَهْلٍ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنِ النَبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ تَوَكَّلَ لِى مَابَيْنَ رِجْلَيْهِ وَمَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ تَوَكَّلْتُ لَهُ بِالجَنَّةِ. رواه البخارى.
Sahl r.a. meriwayatkan hadits dari Rasul SAW yang bersabda: Barangsiapa yang bertawakkal kepadaku dengan menjaga apa yang ada di antara dua kakinya dan dia antara dua bibirnya, maka aku bertawakaal baginya untuk mendapatkan surga. Hr.Bukhari.[19]
Maksudnya orang yang mampu menjaga farji dari perzinahan dan mampu menjaga lisan dari perkataan yang dilarang, akan mendapat perlindungan Allah SWT untuk meraih syurga. Adapun hukuman zina telah jelas dalam al-Qur`an (Qs.24:2) dan al-Sunnah: Abu Hurairah dan Zaid Bin Khalid al-Juhanni menerangkan:
أَنَّ رَجُلاً أَعْرَبِيًّا أَتَى رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَارَسُولَ الله أَنْشُدُكَ اللهَ إِلاَّ قَضَيْتَ لِى بِكِتَابِاللهُ فَقَالَ الخَصْمُ وَهُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ: نَعَمْ فَأْقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ الله وَأْذَنْ لِى فَأَذِنَ لَهُ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ ابْنِى كَانَ عَسِيْفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَتِهِ وَإِنِّى أُخْبِرْتُ أَنَّ عَلَى ابْنِى الرَّجْمَ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائِةِ شَاةٍ وَوَلِيْدَةٍ وَسَأَلْتُ أَهْلَ العِلْمِ فَأَخْبَرُونِى أَنَّمَا عَلَى ابْنِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ وَأَنَّ عَلَىامْرَأَةِ هَذَا الرَّجْمَ فَقَالَ رَسُولُ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: َلأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ الله الوَلِيْدَةُ وَالغَنَمُ رَدٌّ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ وَاغْدُ يَاأُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةٍ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا.
Seorang laki-laki dari dusun Arab datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: Ya Rasulallah saya mengadu kepadamu semoga engkau menghukumi kami hanya dengan hukum Allah SWT. Yang lain, yang lebih tahu persoalan, berkata: Ya, hukumi perselisihan di antara kami dengan hukum Allah, dan izinkanlah aku untuk menjelaskannya. Rasul bersabda: Kemukakanlah!. Ia menerangkan: Sesungguhnya anakku menjadi buruh bagi orang ini, kemudian berzina dengan istri orang ini. Saya diberi kabar bahwa anak saya harus dirajam. Kemudian saya tebus padanya dengan seratus ekor kambing dan seorang walidah. Saya bertanya kepada orang yang berilmu, ternyata menerangkan bahwa anak saya harus didera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun, dan wanitanya harus dirajam. Rasul SAW bersabda: Demi zat yang ditangannya diriku, aku akan hukum kalian dengan hukum Allah SWT. Walidah (amat) dan kambing kembali kepadamu, dan anakmu harus didera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Pergilah wahai Unais kepada perempuan tersebut, jika ia mengakui maka rajamlah. Hr. Bukhari dan Muslim.[20]
Hadits ini menerangkan bahwa bagi pezina tidak ada pilihan lain, kecuali harus didera atau dicambuk. Bila yang zina itu gadis atau bujangan maka hukumannya adalah cambuk seratus kali dan diasingkan atau dipenjarakan satu tahun. Sedangkan jika yang zina itu seorang yang bersuami atau beristri, hukumannya adalah rajam hingga mati. Dengan ketetapan Rasul tersebut, tegas pula bahwa tidak ada perdamaian atau tebusan dalam hukuman zina, walau dilakukan dengan suka sama suka. Dalam riwayat lain ditegaskan:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خُذُوْا عَنِّىخُذُوْاعَنِّى قَدْ جَعَلَ الله لُهُنَّ سَبِيْلاً،البِكْرُ بِابِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
Ubadah Bin Shamit meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Ambilah hukum dariku, pegang teguhlah hukum dariku. Allah SWT telah menetapkan jalan hukuman bagi pezina; bujangan atau gadis yang zina dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun. Sedangkan orang yang sudah beristri atau bersuami yang berzina, hukumannya adalah dera dan rajam. Hr. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi.[21]
Hadits ini berkaitan erat dengan al-Qur’an surat an-Nisa ayat 15, yang menyatakan bahwa pezina itu harus diukurung hingga mati atau menunggu ketentuan Allah SWT. Pada awal Islam, memang hukuman zina itu hanya berupa kurungan. Kemudian turun surat An-Nur yang menjelaskan tentang hukuman zina dengan dera. Akhirnya oleh Rasulullah SAW ditegaskan bahwa bagi pezina yang masih bujangan atau gadis, hukumannya berlaku sesuai dengan kedua ayat tersebut. Q.s An-Nisa:15 yang memerintahkan hukuman kurungan tetap diberlakukan selama satu tahun. Demikian pula surat an-Nur yang memerintah hukuman dera seratus kali, tetap diberlakukan.
إن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ وَإِنَّ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنْ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتْ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوْ الِاعْتِرَافُ
Ibnu Abas menerangkan bahwa Umar Bin Khathtab di atas mimbar Rasulullah SAW menandaskan: Sesungguh nya Allah SWT telah mengutus Muhammad SAW de-ngan kebenaran yang mutlak. Dan Ia telah menurunkan kepada kitabullah. Adalah di antara hukum Allah itu ketentuan rajam. Kita telah membacanya, kita telah memeliharanya dan telah mengerti. Rasulullah SAW telah memberlakukan hukum rajam, kita pun telah memberlakukannya setelah beliau. Saya khawatir dengan perkembangan zaman, manusia tidak mengakui hukuman tersebut, karena ada yang menda’wahkan bahwa hu-kum rajam itu tidak terdapat pada kitabullah, sehingga mereka menjadi sesat disebabkan meninggalkan ketentu-an yang telah Allah SWT turunkan. Sesungguhnya hukuman rajam itu termasuk kitabullah yang benar yang harus diberlakukan kepada laki-laki berzina, padahal telah beristri dan wanita yang berzina padahal telah bersuami, apabila ada bukti yang jelas, atau hamil atau atas dasar pengakuannya. Hr. al-Bukhari, Muslim.[22]
4. Menurunnya Jumlah pria, meningkatnya Jumlah Wanita
Tanda akhir zaman berikutnya adalah apabila jumlah wanita semakin banyak dan kaum pria semakin sedikit, sebagimana diungkap dalam hadits:
وَتَكْثُرَالنِّسَاءُ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ حَتَّىيَكُونَ لِلخَمْسِيْنَ امْرَأَةً القَيِّمُ الوَحِدُ
(Semakin banyak kaum wanita dan semakin sedikit kaum pria, sehingga bagi lima puluh wanita hanya satu yang menaji pemimpin).
Apakah yang dimaksud dengan banyaknya wanita sebagaimana diungkap dalam hadits itu bermakna hakiki ataukah majazi, tentu diperlukan analisis khusus. Namun baik secara hakiki, maupun majazi, saat ini telah terjadi. Menurut perhitungan statistik, telah jelas. Allah SWT mungkin berkehendak demikian, kaum ibu sekarang ini lebih banyak melahirkan bayi wanita dibanding pria. Apalagi di negeri yang berkecamuk peperangan; akan semakin mencolok perbedaan jumlah pria dengan wanita itu.
Ada kemungkinan pula, makna وَتَكْثُرَالنِّسَاءُ banyak wanita itu secara majazi yang menunjukkan kualitasnya, bila eksistensi kaum wanita lebih tampak dibanding kaum pria. لِلخَمْسِيْنَ امْرَأَةً القَيِّمُ الوَحِدُ juga bisa berarti dari lima puluh manusia hanya satu yang memiliki kejantanan? Hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui ta’wilnya.
Namun yang jelas, saat ini banyak sekali kaum pria yang tidak jantan. Banyak sekali pemimpin yang hanya berusaha untuk disenangi atasannya. Banyak sekali orang yang tidak berani mengemukakan pendiriannya di hadapan atasan. Orang yang demikian, tampaknya lebih tepat dinamakan laki-laki tidak jantan, walau jenis kelaminnya pria. Dengan kata lain di akhir zaman, banyak manusia yang kelaminnya jantan, tapi sikapnya betina. Kalau ketidakjantanan semacam ini dimiliki oleh kaum cendikiawan, lebih berbahaya lagi, sebab mereka akan memberi fatwa yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi, walau bertentangan dengan akidahnya.
[1] Shahih al-Bukhari, V h.2120
[2] (At-Taj, III h.23)
[3] (Syarah Muslim,IV:2056)
[4] (Al-Fathurrabani,I:182),
[5] (Fat-hul-Bary,I:179)
[6] Shahih al-Bukhari, I h.50, Shahih Muslim, IV h.2058
[7] (Ihya ulum al-Din,I h.61
[8] Sunan Abi Dawud, I h.52, Sunan al-Turmudzi, III h.613, Sunan al-Nasa`iy, III h.461, Sunan Ibn Majah, II h.776
[9] al-Hakim, al-Mustadrak ala al-Shahihain, IV h.101
[10] Abu al-fadlal Mahmud, al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, I h.248
[11] Shahih al-Bukhari, IV h.1688, Shahih Muslim, IV h.2322
[12] (Sayid Sabiq, Fiqhus-Sunnah,II:319).
[13] Shahih Muslim, III h.1331, Shahih Ibn Hibban, X h.299
[14] Shahih Muslim, III h.1330, Sunan al-Turmudzi, IV h.48
[15] Sunan al-Turmudzi, IV h.47
[16] al-Taj al-Jami li Uzhul Ahadits al-rasul, (At-Taj),III h.31
[17] Sunan al-Turmudzi, IV h.47
[18] Shahih al-Bukhari, II h.875, Shahih Muslim, I h.76-77
[19] Shahih al-Bukhari, V h.2376
[20] Shahih al-Bukhrai, II h.959, Shahih Muslim, III h.1325
[21] Shahih Muslim, III h.1316, Sunan Abi Dawud,IV h.144, Sunan al-Turmudzi, IV h.41
[22] Sahih al-Bukhari, VI h.2504, Shahih Muslim, III h.1317