03.MENCEGAH PENYIMPANGAN SEKS
Mencegah Penyimpangan Seks
A. Beberapa Bentuk Penyimpangan Seks
Banyak bentuk penyimpangan seksual atau penyalah-gunaan seks yang terjadi di masyarakat. Dalam bab ini tidak akan diungkap secara keseluruhan, melainkan hanya sebagiannya yang dianggap prinsipil.
Adapun bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan seks antara lain sebagai berikut:
1. Perzinaan
Zina ialah melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis secara tidak halal, karena tidak melalui pernikahan. Hukumnya menurut Islam, bukan hanya haram tapi juga harus menerima hadd yang cukup berat.
Zina merupakan suatu perbuatan sangat keji, kotor, jorok dan tidak bermoral. Di Indonesia wanita yang suka zina dinamakan WTS (Wanita Tuna Susila) artinya wanita tidak bersusila tidak bermoral.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa zina itu fahisyah atau keji, kotor dan sa’a sabilan yang berarti jalan buruk. Firman Allah SWT:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. Qs.17:32
Zina bukan hanya termasuk perbuatan dosa besar, tapi juga merupakan kejahatan yang melepaskan perbedaan manusia dengan binatang. Salah satu perbedaan antara binatang dengan manusia di bidang seks adalah adanya pernikahan bagi manusia. Jika manusia berhubungan seks tanpa melalui aqad nikah, maka derajatnya sama dengan binatang. Mungkin yang demikian itu, fisiknya manusia, tapi prangainya binatang.
Allah SWT. menurunkan ketentuan hukuman bagi pezina secara bertahap, mulai dari yang ringan hingga akhirnya sangat berat.
Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa:15 Allah SWT berfirman:
“Dan terhadap wanita yang melakukan zina, hendaklah dicari empat orang saksi diantaramu. Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya” (Qs.4:15).
As-Syaukani,[1] menerangkan bahwa ayat ini turun pada awal Islam sebelum diturunkan ayat yang berkaitan dengan hukuman dera bagi pezina. Hukuman zina menurut ayat ini adalah penjara kurungan seumur hidup.
Pada ayat di atas dikemukakan :
أَوْ يَجْعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلاً(15)
Atau sampai Allah memberikan jalan.
Kalimat ini menunjukkan bakal diturunkannya ketentuan lain mengenai hukuman zina.
Pernyataan tersebut ternyata menjadi kenyataan, sebab Allah SWT. menurunkan ayat berikut:
“Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah mereka masing-masing sebanyak seratus kali. Janganlah kamu menaruh belas kasihan kepada mereka dalam menegakkan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah dalam pelaksanaan hukuman tersebut disaksikan oleh kumpulan orang-orang mu’min“. (Qs.24:2)
Setelah surat An-Nur ini turun maka Rasulullah saw. bersabda:
خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ.
“Ambilah dariku ambilah dariku sungguh Allah telah menjadikan jalan, maka gadis dan jejaka yang berzina, hendaklah didera sebanyak seratus kali dan dipenjara satu tahun, sedangkan tsaib (pria wanita yang pernah nikah) yang berzina hendaklah didera seratus kali dan dirajam (sampai mati). Hadits Riwayat Muslim.[2]
Menurut Imam Nawawi, yang dimaksud:
قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً “dengan Allah telah menjadikan jalan” merupakan isyarat pada ayat yang telah diturunkan yaitu surat An-Nisa ayat 15. Dengan demikian hukum zina yang harus berlaku sekarang, ialah dera seratus kali dan penjara satu tahun atas jejaka dan gadis yang berzina.
Sedangkan yang pernah nikah baik laki-laki maupun wanita yang berzina adalah dihukum mati dengan dera dan rajam.
عن عُمَر بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : قَالَ إِنَّ اللهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا فَرَجَمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللهُ وَإِنَّ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ الإِعْتِرَافُ
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab r.a katanya: Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw. dengan kebenaran dan telah menurunkan kepadanya al-Quran. Di antara yang diturunkan kepada beliau ialah ayat hukuman rajam. Kami selalu membaca, menjaga dan memahami ayat tersebut. Rasulullah saw. telah melaksanakan hukuman rajam tersebut dan sepeninggal beliau, kami pun melaksanakan hukuman itu. Pada akhir zaman aku merasa khawatir, akan ada orang yang mengatakan: Kami tidak menemukan hukuman rajam dalam kitab Allah al-Quran sehingga mereka akan menjadi sesat karena mereka meninggalkan salah satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Sesungguhnya hukuman rajam yang terdapat dalam kitab Allah itu mesti dilaksanakan atas pezina yang pernah menikah baik lelaki ataupun perempuan apabila terdapatnya bukti yang nyata, seperti hamil ataupun dengan pengakuan darinya sendiri * Muttafaq alaih no. 997.
Berdasar hadits ini kedudukan hukum rajam bagi pezina mukhshan (yang pernah menikah) adalah sama dengan hukum dera bagi pezina ghair mukhshan (yang belum nikah). Umar Bin Khathab merasa khawatir jika pada suatu saat banyak manusia yang menolak hukuman rajam tersebut, padahal telah ditetapkan Allah SWT. dalam kitabnya. Apa yang dikhawatirkan tersebut ternyata saat ini telah terjadi, banyak orang yang mencari alasan untuk memperingan hukuman bagi pezina. Akibatnya perzinaan merajalela, kejahatan lain pun bertambah menjadi-jadi.
Orang yang berhak menjalankan hukuman tersebut tentu saja pihak pengadilan.
عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَتَى رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ رَسُولَ اللهِِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَتَنَحَّى تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَقَالَ لَهُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى ثَنَى ذَلِكَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ دَعَاهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبِكَ جُنُونٌ قَالَ لاَ قَالَ فَهَلْ أَحْصَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ*
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a katanya: Seorang lelaki dari kalangan orang Islam datang kepada Rasulullah saw. ketika sedang berada di masjid. Lelaki itu memanggil: wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku telah melakukan zina, Rasulullah saw. berpaling darinya dan menghadapkan wajahnya ke arah lain. Lelaki itu berkata lagi: wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku telah melakukan zina, sekali lagi Rasulullah saw. berpaling darinya. Perkara itu berlaku sebanyak empat kali. Tatkala dia mengakui dirinya sampai empat kali, akhirnya Rasulullah saw. memanggilnya dan bersabda: Apakah kamu gila? Lelaki itu menjawab: Tidak. Rasulullah saw. bertanya lagi: Apakah kamu sudah menikah? Lelaki itu menjawab: Ya. Maka Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya: Bawalah dia pergi dan laksanakanlah hukuman rajam atas dirinya * H.R. Muttafaq alaih no. 998
Hadits ini mengandung implikasi antara lain: (1) hukum rajam bagi pezina muhshan dijalankan di zaman Rasulullah saw., (2) diperlukan bukti yang jelas untuk memvonis hukuman, (3) bukti perbuatan dosa bisa berdasar pengakuan dirinya sendiri, (4) betapa kesadaran hukum di zaman Rasulullah saw. telah meningkat sehingga yang berbuat dosa ingin dihukum, (5) yang berhak menetapkan hukuman adalah hakim berdasar peradilan.
Hukuman bagi pezina tidak bisa diganti dengan denda atau perdamaian dalam bentuk apa pun. Hukuman zina adalah hukuman fisik sebagai bukti taubat kepada Allah SWT. atas dosa yang diperbuat. Perhatikan hadits riwayat Bukhari dan Muslim berikut:
عن أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدِ الْجُهَنِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَجُلاً مِنَ الأَعْرَابِ أَتَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلاَّ قَضَيْتَ لِي بِكِتَابِ اللهِ فَقَالَ الْخَصْمُ الآخَرُ وَهُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ نَعَمْ فَاقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ وَأْذَنْ لِي فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ قَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ وَإِنِّي أُخْبِرْتُ أَنَّ عَلَى ابْنِي الرَّجْمَ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَوَلِيدَةٍ فَسَأَلْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّمَا عَلَى ابْنِي جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَأَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا الرَّجْمَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ َلأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ الْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا قَالَ فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَأَمَرَ بِهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرُجِمَتْ *
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a dan Zaid bin Khalid al-Juhani r.a kedua-duanya berkata: Sesungguhnya seorang lelaki dari kabilah al-A’rab datang kepada Rasulullah saw. dan berkata: Wahai Rasulullah! Aku datang kepadamu supaya engkau memutuskan hukuman ke padaku berdasar kitab Allah. Kemudian berkata pula seorang yang lain (yang menjadi lawannya) dia itu lebih banyak ilmu darinya. Baiklah, hukumlah antara kami berdasarkan Kitab Allah, wahai Rasulullah! Sekarang izinkanlah aku untuk menjelaskannya kepadamu. Rasulullah saw. bersabda: Katakanlah. Dia pun bercerita: Sesungguhnya anakku telah menjadi pelayan orang ini, Suatu hari anakku telah melakukan zina dengan isterinya. Aku mendapat khabar bahwa anakku itu mesti dihukum rajam. Aku akan menebusnya dengan seratus ekor kambing dan seorang hamba perempuan. Ketika hal itu aku pertanyakan kepada salah seorang yang alim, aku diberitahu bahwa anakku itu hanya dikenakan hukuman sebanyak seratus kali dera dan diasingkan selama setahun dan isteri orang inilah yang mesti dihukum rajam. Mendengar penjelasan itu, Rasulullah s.a.w lalu bersabda: Demi Zat yang jiwaku berada dalam kekuasaanNya, sesungguhnya aku akan memutuskan hukuman ke atas kamu berdasar kitab Allah (al-Quran). Seratus ekor kambing dan hamba perempuan tadi harus dikembalikan, dan anakmu mesti dihukum dera seratus kali serta diasingkan selama setahun. Sekarang pergilah kepada isteri orang ini, wahai Unais! Jika dia mengaku, maka jatuhkanlah hukuman rajam atasnya. Maka Unais pun datang menemui wanita tersebut dan ternyata dia mengakui atas perbuatannya itu. Maka sesuai dengan perintah dari Rasulullah saw. wanita itupun dijatuhi hukuman rajam. H.R. Muttafaq aliah no.1000
Dengan demikian, perzinaan, menurut pandangan Islam, bukan hanya sebagai perbuatan keji dan kotor, tapi juga harus menerima hukuman yang sangat berat, yaitu dera dan penjara satu tahun bagi ghair muhshan, dan rajam hingga mati atas pezina muhshan.
Di Indonesia, secara yuridis, sebenarnya perbuatan zina itu dianggap pelanggaran yang sangat berat.
Dengan telah dikeluarkannya Undang-undang RI tentang perkawinan no. 1 tahun 1974 dan Undang-Undang no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, secara langsung maupun tidak langsung mengandung makna bahwa perzinaan itu harus diberantas di Indonesia. Zina merupakan pelanggaran hukum pernikahan.
Jika dalam Undang-undang RI no. 7/1989 tentang peradilan agama dinyatakan bahwa perkawinan, perwarisan, hibah, dan wasiat itu harus dilaksanakan berdasar Syari’ah Islam, maka pelanggarnya pun harus dihukum berdasar syari’ah Islam.
2. Ityanul-Baha’im
إتيان البهائم atau Bestiality ialah bersetubuh dengan binatang. Perbuatan semacam ini sangat tercela sebab telah bertentangan dengan fitrah manusia.
Ulama fiqih seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali bersepakat bahwa orang yang melakukan bestiality harus dihukum ta’zir. Ringan atau beratnya ta’zir tersebut tergantung bobot perbuatannya menurut ijtihad hakim yang muslim. Namun ulama lain ada yang berpendapat harus dihukum berat berdasar pada hadits yang berbunyi:
مَن أتَى بَهِيْمَةً فَاقْتُلُوْهُ وَاقْتُلُوْا الْبَهِيْمَةَ.
“Barangsiapa yang menyetubuhi binatang maka bunuhlah dan bunuh pula binatangnya“. Hadits ini diriwayatkan oleh empat ahli hadits, tapi dianggap dlaif oleh Abu Daud.
Terlepas dari itu, yang jelas hukum bestiality haram menurut Islam, sebab siapa pun tidak dihalalkan menyalurkan seksualnya kecuali melalui hubungan suami isteri (lihat kembali Qs.23: 5 dan 6).
Dengan demikian menggauli binatang, dipandang Islam sebagai perbuatan yang keji, kotor dan dosa.
3. Homoseksual dan Lesbi
Homoseksual ialah melakukan aktifitas seksual dengan sejenis. Jika wanita sesama wanita dinamakan Lesbian. Hukuman bagi yang melakukan ini adalah sama dengan zina. Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فَهُمَا زَانِيَانِ وَإِذَا أَتَتِ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَهُمَا زَانِيَتَان.ِ
“Jika seorang laki-laki bersetubuh dengan laki-laki maka hukumnya sama dengan zina. Jika seorang wanita bersetubuh dengan sesama wanita maka sama dengan zina”. Hr. Al-Baiyhaqi. dari Abu Musa Al- Asy’ari.[3]
Menurut Imam Syafi’iy, Maliki dan Hanbali, berdasar hadits ini, hukuman bagi homoseksual adalah sama dengan hukuman bagi yang zina. Namun menurut Abu Hanifah, hukuman bagi homoseks adalah ta’zir, dan tidak sama dengan zina. Yang dimaksud homoseks sama dengan zina, menurut beliau, sebagaimana dikemukakan dalam hadits itu adalah hukumnya sama haram, sedangkan sanksinya tidak sama. Larangan homoseks tidak diragukan lagi, sebab bukan hanya tertera dalam Hadits, tapi juga dalam al-Qur’an. Al-Qur’an mengecam keras kaum Luth yang melakukan homoseksual sebagai perbuatan keji dan keterlaluan.
Mengapa kamu menggauli sejenis jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas dan keterlaluan“.Qs.26:165-166
Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa kaum Luth yang melakukan homoseks sudah melanggar batas kemanusiaan.
Rasulullah saw. juga melarang wanita tidur dengan wanita lain dan laki-laki tiduran bersama laki-laki, dalam satu selimut apalagi tanpa busana. Dari Abi Sa’id al-Khudriy diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
لاَيُفْضِي الرَّجُلُ بِالرّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تقْضِي المَرْأَةُ إِلِى المَرْأَةِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ.
Seorang laki-laki tidak dibenarkan tiduran bersama laki-laki dalam satu pakaian. Seorang perempuan tidak dibenarkan tiduran bersama perempuan dalam satu pakaian. H.R. Empat Ahli Hadits/[4]
4. Jima’ waktu haidl
Melakukan hubungan seksual dengan isteri yang sedang haidl termasuk pelanggaran yang hukumnya haram menurut Islam. Darah haidl yang keluar dari vagina perempuan adalah kotor dan najis. Sedangkan Islam selalu mengajarkan kebersihan.
Anas Bin Malik menerangkan bahwa orang-orang yahudi tidak mau tidur bersama, makan bersama dengan isterinya yang sedang haidl.[5] Para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hukum menggauli isterinya yang sedang haidl.
Allah SWT menurunkan wahyu:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidl. Jawablah bahwa darah haidl itu tidak suci. Maka hindarilah dari menggauli wanita yang sedang haidl. Janganlah kamu mendekati untuk jima’’ dengan mereka sehingga mereka bersih. Jika mereka telah bersuci maka gaulilah mereka sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan pada kamu. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang suka taubat dan orang yang bersuci. (Qs.2:222).
Ayat ini dengan tegas melarang menggauli isteri yang sedang haidl. Larangan tersebut, bahkan sempat menimbulkan tanda tanya bagi para sahabat Nabi, apakah kaum muslimin pun sama seperti orang yahudi?
Tatkala dikonsultasikan kepada Rasulullah saw., ternyata yang dilarang itu hanyalah farji atau vagina. Rasulullah saw. menandaskan:
إِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إلاَّ الجِمَاع.
“Lakukanlah apa saja dengan isteri yang sedang haidl itu selain jima’’ / senggama” (H.R. Muslim).[6]
Siti Aisyah menerangkan bahwa Rasulullah saw., jika isterinya sedang haidl suka bergaul dengan menutupi apa yang ada di antara pusat dan lutut (Shahih Muslim,I:137).
Pada ayat di atas ditegaskan bahwa bolehnya bergaul setelah isterinya suci. Hal ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Syafi’i berpendirian bahwa isteri habis haidl hanya boleh digauli setelah suci dan mandi jinabat.
Sedangkan Imam Hanafi berpendirian bahwa jika telah berhenti haidl boleh saja digauli walau belum mandi asalkan farjinya dibersihkan terlebih dahulu.[7]
Perbedaan pendapat tersebut muncul sebagai akibat dari perbedaan memahami perkataan يطهرن yang tercantum pada ayat 222 surat al-Baqarah di atas. Jika akan mengambil yang lebih hati-hati adalah mandi terlebih dahulu, bukan hanya bersih tapi juga lebih mesra dan mawaddah.
Manusia terkadang lupa atau terlanjur berbuat salah. Demikian pula dalam menggauli isteri yang sedang haidl. Kesalahan itu bisa terjadi apakah diakibatkan tidak mengetahui apakah dalam vagina itu sedang keluar darah haidl ataukah tidak. Mungkin juga diperkirakan telah berhenti haidl, tapi ternyata darah haidl itu keluar sedang berjima’’. Jika kejadian demikian maka kesalahannya bisa diampuni dengan syarat membayar kifarat.
Ibnu Abbas menerangkan bahwa Rasulullah saw. tatkala ditanya tentang orang yang terlanjur menggauli isteri yang haidl, menandaskan:
يَتَصَدَّقُ بِدِيْنَارٍ اَوْبِنِصْفِ دِيْنَارٍ.
“Hendaklah ia bersedekah sebanyak satu dinar atau setengah dinar”. Hadits Riwayat Para penyusun kitab As-Sunan, yang menurut Abu Daud adalah Shahih.[8]
Menurut Ibnu Abbas hadits tersebut bisa ditarik kesmpulan:
Jika terlanjur menggaulinya tatkala awal darah keluar, maka kifaratnya satu dinar, dan jika pada waktu perkiraan berhenti haidl, kifaratnya setengah dinar (Sunan Abi Daud, hadits nomor 265).
Yang dimaksud dengan awal darah ialah tatkala perkiraan suami isteri belum waktunya haidl, tapi ternyata ditemukan darah haidl waktu jima’’ atau selesainya. Sedangkan akhir haidl berarti tatkala perkiraan suami isteri sudah suci, tapi ternyata masih haidl. Kifarat sedekah ialah memberikan santunan kepada faqir dan miskin. Sedangkan jumlah satu atau setengah dinar dapat dihitung kursnya dengan valas. Yang jelas dinar di zaman Rasulullah saw. adalah uang emas. Menurut Yusuf Qardlawi (Fiqhuz-Zakat), satu dinar emas itu bila ditimbang adalah seberat 4.25 (empat koma dua puluh lima) gram. Dengan demikian untuk menetapkan kifarat, tinggal melihat harga emas yang berlaku ketika pelanggaran.
5. Perkosaan
Perkosaan ialah menggauli wanita secara paksa. Jika yang diperkosa itu bukan isteri, tentu saja hukumannya bukan hanya hadduz- zina (dera bagi ghair muhshan atau rajam bagi pezina muhshan) tapi juga hukuman pemaksaan. Pemerkosa wanita yang bukan isterinya bisa dihukum mati, karena gabungan dari rajam sebagai had zina, dan qishas sebagai hukuman menyiksa.
Bagaimana hukumnya memperkosa isteri sendiri?
Telah dijelaskan di atas, Islam mengajarkan bahwa jima’’ itu bukan hanya untuk kepentingan dan kesenangan sepihak tapi untuk kepentingan dan kesenangan bersama suami isteri. Rasulullah saw. mengajarkan agar jima’’ itu dilakukan dengan cara lemah lembut, penuh kasih sayang dan kemesraan. Supaya tidak terjadi perkosaan terhadap isteri, maka mereka harus selalu menyiapkan diri untuk saling melayani.
6. Necrophilia
Necrophilia ialah bersenggama dengan mayit. Hukum melakukan yang demikian adalah haram, walau pada mayit isteri sendiri, sebab Islam mengajarkan bahwa mayit itu harus dihormati. Jangankan menggauli mayit, memandikannya pun harus secara lemah lembut. Melihat aurat mayat pun sama dengan melihat aurat orang hidup (lihat kembali hadits yang melarang menyingkapkan paha).
Merusak mayat, hukumnya sama dengan merusak orang hidup.
Hukuman bagi yang menggauli mayit, menurut Malikiyah adalah sama dengan hadd bagi yang zina (Wahbah Al-Zuhali, Al-Fiqhul-Islamy, VII: 67).
Ulama lain berpendapat bahwa hukum meninggal adalah sama dengan bercerai, hanya masih boleh memandikannya. Oleh karena itu menggauli mayit, tetap diharamkan.
7. Pornography
Pornography ialah memenuhi kebutuhan seks dengan melihat gambar porno, cabul, atau membaca cerita-cerita porno. Jika tidak dilanjutkan dengan jima’’ bersama isterinya, tentu saja perbuatan semacam ini termasuk pada Zinatun Nafs, zina khayalan dalam hati. Rasul bersabda:
وَزِنَا اللِّسَانِ النُّطْقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي.
Zina lisan adalah ngobrol syahwat dan zina hati ialah melamun dan menghayal. Muttafaq alih
Pornography, bila dilakukan oleh orang yang tidak bersuami-isteri akan menimbulkan khayalan yang tidak tersalurkan dan lamunan yang tidak karuan.
Melihat gambar, memang tidak sama hukumnya dengan melihat langsung. Namun jika menimbulkan yang negatif, maka harus benar-benar dijauhi; terutama oleh yang tidak bersuami isteri.
Saat ini telah terlihat bukti-bukti betapa banyak dampak negatif dari pornografi ini, baik bagi kaum remaja atau pun kaum tua. Pemberantasan pornografi harus dilakukan secara simultan, mulai dari produser, konsumen, sampai pada pengedar. Melihat gambar porno, juga secara tidak langsung menyetujui orang lain yang memperlihatkan auratnya. Menyetujui orang yang berbuat salah, termasuk kesalahan juga.
8. Analseks
Analseks atau seksualanalism ialah memuaskan dan memenuhi kebutuhan seksual melalui lubang dubur, apakah dengan isteri, ataupun dengan sejenis.
Jika dilakukan dengan sejenis tidak hanya termasuk pada analseks tapi juga termasuk pada homoseksual. Hukum analseks adalah haram, meskipun dilakukan oleh suami isteri. Rasul saw. bersabda:
مَلْعُوْنٌ مَنْ أَتَى إمْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.
“Terkutuklah orang yang menggauli dubur isterinya. H.R.Para Penyusun Kitab Sunan (At-Taj,II:309).
9. Scoptophilia
Scoptophilia ialah memuaskan nafsu seks melalui cara melihat orang lain yang sedang bersenggama, atau dengan cara melihat alat kelamin orang lain. Scoptophilia juga bisa berbentuk menonton film cabul atau ngintip lawan jenis sedang mandi.
Perbuatan semacam ini termasuk tercela. Firman Allah SWT. surat An-Nur ayat 30-31 tidak hanya melarang memperlihatkan aurat, tapi juga melarang melihat aurat.
Melihat orang yang berjima’’ juga termasuk zina mata. Rasulullah saw. bersabda:
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُُ عَنْهُ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ النُّطْقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ *متفق عليه
Dari Abi Hurairah, Sesungguhnya Nabi saw. bersabda: ”Sesungguhnya Allah telah mencatat atas anak cucu Adam kecenderungan berzina yang sulit terelakan. Zina mata adalah memandang. Zina lisan adalah ngobrol. Sedangkan zina hati adalah melamun dan mencita-citakan. Kelamin bisa membenarkan hal itu, bisa juga mendustakannya. Muttafaq alaih.
Orang yang sedang senggama jelas termasuk aurat jika dilihat. Rasul saw. juga memerintah agar setiap jima’’ selalu tertutup dan bersembunyi jangan sampai ada orang yang melihatnya. Melihat aurat sama dosanya dengan memperlihatkan aurat. Orang yang boleh melihat aurat berupa kelamin hanyalah suami isteri.
10. Voyeurisme
Voyeurisme ialah memenuhi kebutuhan seksual dengan melihat atau mengintip lawan jenis yang sedang telanjang, atau mencari-cari kesempatan untuk melihat wanita yang tersingkap auratnya. Perbuatan semacam ini jika dilakukan pada bukan isteri atau suami, adalah termasuk zina mata (perhatikan kembali hadits di atas). Surat An-Nur 30-31pun berisi perintah untuk menahan pandangan.
Jangankan melihat auratnya, melihat wajah lawan jenis pun andaikata disertai dengan syahwat adalah dilarang. Perhatikan nasihat Rasulullah saw. kepada Ali Bin Abi Thalib:
يَا عَلي لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَة النظْرَة فَإنَّ لَكَ اْلاُولىَ وَلَيْسَتْ لَكَ اْلآخِرَة.
“Wahai Ali, Janganlah pandangan pertama pada lawan jenismu diikuti dengan pandangan berikutnya. Hakmu hanyalah pandangan yang pertama, sedangkan yang kedua bukanlah hakmu” (H.R. Abu Daud dan Turmudzi)
Hadits ini melarang untuk memperhatikan aurat orang lain. Namun kalau yang dilihat itu isteri sendiri, tidaklah termasuk pada larangan ini.
11. Pamer Aurat (كَشْفُ العورة)
Kasyful-‘Aurah atau Exhibitionisme ialah memenuhi kebutuhan seksual dengan memperlihatkan auratnya. Penyimpangan semacam ini ada yang sampai ke tarap kronis, yaitu senang memperlihatkan kelamin diri sendiri. Dia merasa puas jika kelaminnya dilihat lawan jenis. Namun ada pula yang baru sampai tarap rendah, yaitu yang senang memperlihatkan kemolekan tubuhnya yang menawan, merasa puas apabila lawan jenis memujinya. Pakaiannya pun dirancang sedemikian rupa supaya dipandang seksi oleh lawan jenisnya. Aliran exhibitionisme, saat ini telah merajalela terutama di kalangan kaum wanita yang merasa senang memperlihatkan dada dan pusarnya. Kedua anggota tubuh tersebut termasuk alat seks wanita.
Menurut Islam perbuatan semacam ini termasuk memperlihatkan aurat. Al-Qur’an surat An-Nur ayat 31 memerintah kaum wanita untuk menutup aurat. Oleh karena itu memperlihatkan aurat adalah sama dengan menentang aturan Allah SWT yang hukumnya dosa besar. Rasulullah saw. bersabda:
لاَتَنْكَشِفْ فَحْدَكَ وَلاَتَنْظُرْ إِلَى فَحْدِ حَيٍّ وَلاَمَيِّتٍ.
“Janganlah kau singkapkan pahamu, dan jangan pula kau lihat paha orang lain baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati”. H.R. Abu Daud dan Hakim (At-Taj,II:157) dari Ali Bin Abi Thalib.
Hadits ini melarang untuk meperlihatkan aurat atau melihat aurat. Memperlihatkan aurat, merupakan penyimpangan seks yang cukup berat akibatnya di akhirat. Rasulullah saw. bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَ هُمَا بَعْد : قوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ البَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ وَ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ البُحْتِ المَائِلَةِ لاَيَدْخُلْنَ الجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا
Dua golongan manusia dari ahli neraka yang tidak pernah aku lihat setelahnya (karena berat siksaannya bagi mereka); golongan pembawa cemeti seperti ekor sapi dan memukulkannya kepada manusia dan kaum wanita yang berpakaian tapi telanjang, menyeleweng dan suka menggoda, menggerakan kepala mereka seperti unta yang condong. Mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak bisa mencium harumnya, padahal harum surga sangat semerbak terhirup dari kejahuan dari jarak sana-sini. H.R. Ahmad dan Muslim.
Betapa malangnya nasib kaum wanita yang suka mempamerkan auratnya di depan umum. Mereka jangankan masuk surga, menghirup anginya pun tak kesampaian.
12. Sadisme
Sadisme ialah membangkitkan nafsu syahwat dengan menyiksa atau mencaci maki isterinya. Penyimpangan semacam ini harus dijauhi dan bila sudah jadi penyakit, harus segera disembuhkan, sebab membahayakan pasangannya. Rasulullah saw. melarang melakukan kekerasan terhadap isteri lemudian menggaulinya. Beliau bersabda:
لاَيَجْلدُ أَحَدُكُمْ جَلْدَ العَبْد ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِيْ آخِرِ اليَوْم
Janganlah sekali-kali seseorang memukul isterinya seperti pada hamba sahaya, kemudian menggaulinya di akhir hari. H.R. Bukhari Muslim.
Dalam satu riwayat redaksinya فِي آخِر الليل di akhir malam.
Hadits ini melarang keras melakukan kekerasan terhadap isteri, yang kemudian berhubungan seks. Dengan demikian sadisme dalam kehidupan seks tidak dibenarkan Islam. Rasulullah saw. mengajarkan agar dalam hubungan seks suami isteri itu dilakukan dengan penuh kasih sayang dan kemesraan.
وَلْيُقَدِّم التّلطُّف بِالكَلاَم والتَّقْبِيْل
“Hendaklah jima’’ itu diawali dengan penuh kelembutan dalam bicara dan berkecupan“. (Ibn Majah).
13. Onani dan masturbasi
Onani atau masturbasi ialah memuaskan kebutuhan seks dengan usaha diri sendiri tanpa orang lain. Laki-laki biasanya mulai dengan mempermainkan penisnya hingga berdiri tegang dan berakhir dengan mengeluarkan air mani.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum melakukan onani. Sebagian ulama membolehkannya jika dilakukan sebelum menikah, sebagian lagi mengharamkannya.
Alasan yang melarang ialah firman Allah SWT:
“Orang mu’min itu selalu menjaga kesucian farjinya kecuali kepada isteri dan hamba sahayanya. Yang demikian itu tidak tercela“. Qs.23: 5-6.
Ayat ini menunjukkan bahwa orang mu’min itu tidak pernah memenuhi kebutuhan seksnya, kecuali dalam kehidupan suami isteri. Suami tidak menyalurkan seks selain kepada isterinya. Isteri pun tidak menyalurkan seksnya selain kepada suami. Walau dalam ayat itu tersurat adanya hamba sahaya, pada dasarnya isteri juga, sebab dengan menggaulinya sama dengan menikahinya.
Ayat ini secara tersirat melarang untuk memenuhi kebutuhan seks selain suami dengan isteri.
Ulama memandang bahwa onani itu membahayakan ruhani, sebab menimbulkan kebiasaan yang buruk. Orang yang onani mempunyai kecenderungan ingin agar air mani itu cepat keluar. Hal ini akan menimbulkan kebiasaan. Kebiasaan adalah salah satu manifestsi belajar. Jika ia senang melakukan onani, maka akan tertanam kebiasaan memuaskan dirinya sendiri. Nantinya pun akan sulit mengendalikan emosi dalam hubungan seks dengan isterinya. Akibatnya dia akan selalu orgasmus mendahului isterinya yang membuat kekecewaan. Itulah sebabnya banyak pria yang suka onani, tak mampu membahagiakan isterinya di bidang seksual.
Dari segi lain onani atau masturbasi yang dilakukan wanita, mengakibatkan egois dalam memenuhi kebutuhan seks yang kurang menghiraukan orang lain. Sedangkan Islam mengajarkan agar hubungan suami isteri itu mencapai klimaks bersama suami isteri.
Onani, juga bisa menimbulkan perasaan puas atas diri sendiri. Akibatnya gairah pada isteri/suami bisa hilang. Itulah sebabnya Rasulullah saw. melarang melakukan onani atau masturbasi, sabdanya:
لَعَنَ اللهُ نَاكِحَ يَدَهُ
“Allah memurkai orang yang menikah dengan tangannya” (At-Taj,II: 277).
Hadits ini melarang orang yang nikah dengan tangan. Yang dimaksud dengan “menikah” pada hadis ini ialah memenuhi kebutuhan seksual.
Adapun ulama yang membolehkannya ialah hanya di kala terpaksa, daripada berbuat zina.
Yang dimaksud terpaksa ialah seperti suami jauh dari isteri, atau isteri jauh dari suami. Tidak ada jalan lain kecuali melakukan hal itu daripada zina, maka dilakukan masturbasi atau onani.
Adapun memenuhi kebutuhan seks tanpa jima’, tapi dilakukan bersama suami isteri, tidaklah termasuk pada onani atau masturbasi yang dilarang. Seperti telah dikemukan di atas, Rasulullah saw. bila ingin bergaul dengan isterinya yang sedang haidl, cukup menutupi apa yang ada di antara pusar dan lutut. Dengan demikian, tidak ada larangan bagi isteri yang sedang haidl, memenuhi kebutuhan seks suaminya dengan tangan atau anggota badan lain, selain farjinya.
14. Oralseks
Oralseks ialah memuaskan kebutuhan seks dengan cara merangsang kelamin partnernya melalui oral atau mulut. Jika dilakukan bukan sesama suami isteri tentu saja sangat dilarang, sebab bukan hanya memperlihatkan aurat tapi juga tergolong kepada homoseks atau lesbian. Apalagi kalau dilakukan dengan lawan jenis bukan isteri, tentu saja termasuk zina.
Adapun hukum melakukan oralseks bersama suami isteri, di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Pendapat pertama melarangnya, dan pendapat lain membolehkannya. Hal yang menimbulkan perbedaan pendapat tersebut adalah terletak pada pemahaman mereka atas firman Allah SWT. sebagai berikut:
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ
“Jika isterimu telah suci dari haidl, maka gaulilah mereka itu sebagaimana Allah telah perintahkan padamu”. Qs.2:222.
Ayat ini menunjukkan perintah sesuai dengan apa yang diajarkan Allah SWT. Inilah yang dijadikan alasan oleh ulama yang melarang oralseks. Menurutnya, yang diperbolehkan itu hanya yang diajarkan Allah SWT., yaitu melalui farji.
Sedangkan yang membolehkannya, mengambil alasan firman Allah SWT:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Isterimu adalah ladangmu, garaplah ladangmu itu sesuai dengan keinginanmu“. Qs. 2: 223.
Ayat ini menunjukkan adanya kebolehan untuk bergaul suami isteri sesuai dengan keinginan atau kesenangannya. Tidak perkecualian pada ayat itu memakai oral. Tidak tampak larangan yang mantuq, atau tersurat atas oralseks. Menurut mereka, tidak ada ayat atau pun hadits yang melarang langsung untuk melakukan oralseks antara suami isteri. Yang ada larangannya adalah analseks, sebagaimana diungkap di atas. Dalam kitab Al-Jami li-Ahkamil-Qur’an (XII: 232) karya Imam al-Qurthubi, berkaitan dengan hukum suami oralseks dengan isterinya, ditandaskan :
وَيَجُوز لَهُ أَنْ يلْحِسهُ بِلسَانِه tak mengapa suami menjilati farji isterinya. Demikian, menurut ulama yang membolehkannya
15. Transvestisme
Transvestisme ialah memuaskan seks dengan cara memakai pakaian lawan jenisnya. Laki-laki yang senang mamakai busana dan berdandan gaya perempuan atau perempuan senang memakai pakaian atau berdandan gaya laki-laki, itulah transvestisme. Penyimpangan semacam ini tidak dibenarkan Islam. Rasulullah saw. menandaskan:
لَعَنَ اللهُ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لَبسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لَبْسَةَ الرَّجُلِ.
“Allah mengutuk laki-laki yang berpakaian dengan pakaian wanita dan mengutuk wanita yang berpakaian laki-laki” H.R. Abu Daud dan Hakim dari Abu Hurairah (Al-Jami- Ushshaghir:262).
Hadits ini melarang laki-laki berpakaian wanita dan wanita berpakaian laki-laki. Dalam Hadits lain dikatakan bahwa Allah mengutuk pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.
Saat ini penyimpangan seks berupa Transvestisme telah merajalela, terutama pengaruh media masa televisi yang sering menayangkan waria. Sinetron atau acara lawak yang selalu menampilkan pria berpakaian wanita atau sebaliknya harus segera dihentikan.
B. Cara Mencegah Penyimpangan Seks
Memperhatikan uraian di atas, penyimpangan seks itu ada yang dilarang keras, ada pula yang masih ditolelir. Penyimpangan seks yang dilarang Islam, tentu saja harus dicegah dan dijauhi. Banyak langkah yang harus ditempuh dalam mencegah penyimpangan seks antara lain sebagai berikut:
1. Menanamkan iman
Telah dijelaskan pada pembahasan terdahulu bahwa Iman satu-satunya pengendali diri yang ampuh dalam mencegah perbuatan ma’shiat. Jika iman telah kokoh dan kuat, insya Allah akan mampu memfilter mana yang mesti dijauhi dan mana yang bisa dilakukan. Perhatikan kembali peristiwa Yusuf di atas.
Orang yang kuat imannya tidak akan melakukan pelanggaran dalam bentuk apa pun. Rasulullah saw. bersabda:
عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ . متفق عليه
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a katanya: Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda: Seseorang tidak akan berzina jika ia seorang mu’min. Seseorang tidak akan mencuri jika ia mu’min. Begitu juga seseorang tidak akan meminum khamr jika dia seorang mu’min. H.R. Muttafaq aliah hadits no. 36
Hadits ini menjadi jaminan jika seseorang tetap dalam keimanan yang sempurna, tidak akan melakukan pelanggaran atau penyimpangan baik dalam memenuhi kebutuhan seks seperti zina, dalam kebutuhan perut seperti khamr, maupun dalam mencari harta seperti mencuri.
Jika orang mengaku iman, tapi melakukan penyimpangan, berarti imannya belum kuat dan belum sempurna.
Oleh karena itu meningkatkan iman, merupakan solusi menjauhi penyimpangan.
2. Menahan pandangan
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Qs. An-Nur: 30
Mata cukup besar peranannya dalam menimbulkan godaan dari lawan jenis. Melalui pandangan, hati bisa terpikat. Semakin banyak melihat lawan jenis semakin banyak godaan. Ayat di atas memerintahkan orang mu’min agar pandai menahan pandangan dan menjaga kesucian farji. Asy-Syaukani menandaskan bahwa menjaga kesuci-an farji harus dimulai dengan memelihara penglihatan. Itulah maknanya mengapa al-Qur’an surat An-Nur 30-31 memerintah memelihara farji diawali dengan memerintah menahan pandangan (Fat-hul-Qadir, VI:23). Jarir Bin Abdillah mengisahkan bahwa dia pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang melihat kecantikan wanita secara sepintas, beliau bersabda:
إِصرِفْ بَصَرَكَ
Palingkanlah penglihatanmu pada yang lain. H.R. Lima Ahli Hadits selain Bukhari.
Ali Bin Abi Thalib pernah menerima nasihat Rasulullah saw. sebagai berikut:
يَا عَلِيُّ لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الاُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الآخِرَةُ.
Wahai Ali! Janganlah pandangan pertama itu diikuti oleh pandangan berikutnya. Sesungguhnya bagimu hanya pandangan yang pertama, tidak halal bagimu pandangan yang berikutnya. H.R. Abu Daud.[9]
3. Menghindari hulwat dengan ghair muhrim
Hulwat ialah konsentrasi berdua antara pria dengan wanita yang bukan suami-isteri. Istilah lain untuk hulwat yang berkembang di masyarakat adalah pacaran.
Rasulullah saw. bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ.
“Tidak ada seorang pria yang berhulwat dengan seorang wanita, kecuali yang ketiganya adalah syetan“. H.R. Tirmidzi .[10]
Hadits ini menunjukkan bahwa setiap ghair mahram lawan jenis berdua-duaan, akan ada yang ketiga yaitu syetan. Syetan ialah penggoda dan pendorong penyimpangan dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu untuk mencegah penyimpangan seks, dilarang berduaan atau konsentrasi berdua dengan lawan jenis tanpa ada orang yang ketiga.
عن ابن عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ.
Ibnu Abbas berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda ketika berkhuthbah: “janganlah seorang laki-laki berkhulwat dengan dengan perempuan tanpa beserta mahramnya. Jangan pula seorang perempuan bepergian tanpa disertai mahramnya. H.R. Muttafaq Alaih
Kaum wanita oleh hadits ini dianjurkan agar selalu memiliki pengawalan. Tak sembarangan laki-laki bisa berduaan dengan wanita muslimah. Dengan adanya pengawalan, kaum wanita akan semakin meningkat derajatnya. Sebaliknya jika kaum wanita terlalu berani berpisah dengan mahramnya, akan semakin banyak menghadapi tantangan. Al-Islam menganjurkan adanya pengawalan bagi kaum wanita, bukan untuk membatasi ruang geraknya, tapi justru untuk menjaga kemuliaan dan derajatnya, agar terbebas dari penyimpangan seks.
4. Menutup aurat
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. Qs. al-Ahzab: 59
Ayat ini dengan tegas memerintah agar kaum wanita menutupi auratnya. Aurat wanita ialah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Fungsi menutup aurat menurut ayat tersebut antara lain (1) untuk membedakan antara muslimah dengan non muslim, (2) menangkal gangguan lawan jenis.
Dengan demikian salah satu usaha mencegah penyimpangan seks adalah menutup aurat. Orang yang harus menutupi aurat, bukan hanya kaum wanita, tapi juga kaum pria. Namun aurat pria berbeda dengan aurat wanita.
Aurat pria adalah antara pusat dan lutut, sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.
5. Menertibkan kamar tidur
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga `aurat bagi kamu. Qs. An-Nur: 58
Berdasar ayat ini, anak, hamba sahaya atau pun pembantu yang belum baligh, tidak boleh memasuki kamar suami isteri terutama pada waktu zhuhur, dan malam hingga terbit fajar. Sedangkan yang sudah baligh selama-lamanya tidak boleh memasuki kamar suami isteri. Dengan demikian di sebuah rumah itu harus terdapat kamar khusus suami isteri yang tidak boleh dimasuki oleh siapa pun selain mereka berdua. Hal ini untuk mencegah penyimpangan seks yang diakibatkan oleh interaksinya seorang suami atau isteri dengan yang lain.
Ayat tersebut juga mengandung bimbingan antara lain:
1) Anak harus dilatih disiplin sejak dini dalam mentaati etika berumah tangga.
2) Etika rumah tangga ditetapkan: (a) terpisahnya antara kamar orang tua dengan anak, (b) anak kecil dibolehkan masuk kamar orang tua di luar waktu malam dan tengah hari, (c) setiap anggota keluarga harus berusaha saling membantu dan saling melayani keperluan anggotanya sesuai hak dan tanggung jawab masing-masing, tapi tetap mentaati tata kesopanan dan etika rumah tangga.
6. Membedakan penampilan
لَعَنَ الله المُتَشَابِهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرَّجُلِ وَالمُتَشَابِهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ.
Allah SWT mengutuk kaum wanita yang sengaja menyerupai pria dan kaum pria yang sengaja berusaha menyerupai kaum wanita. H.R. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas.
Hadits ini mendidik pria agar benar-benar berpenampilan laki-laki, dan wanita pun benar-benar
berpenampilan perempuan.
Tampak sekali bagaimana batasan aurat wanita sangat berbeda dengan batasan aurat pria. Hal ini akan mencegah dari perbuatan homoseksual dan lesbian.
Jadi membedakan penampilan bukan hanya berfungsi untuk keindahan, tapi juga mencegah penyakit penyimpangan seksual.
7. Jangan berpakaian lawan jenis
Abu Hurairah meriwayatkan:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ *
Rasulullah saw. mengutuk laki-laki yang berpakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria. H.R. Abu Daud.[11]
Hadits ini dengan tegas bahwa pakaian wanita harus beda dengan pakaian pria. Pria tidak boleh berpakaian wanita, wanita tidak boleh berpakian pria.
Di antara bentuk peyimpangan seks ialah Transvestisme yaitu senang memakai pakaian lawan jenisnya guna memenuhi syahwatnya. Penyimpangan semacam ini kalau dibiarkan akan berbahaya, sebab menjurus kepada lesbi atau homoseks. Oleh karena itu harus dicegah sejak dini mulai dari cara berpakaian dan berpenampilan. Rasulullah mangajarkan bahwa pria harus berpenampilan pria, wanita pun harus benar-benar berpenampilan wanita sehingga tampak perbedaan di antara mereka. Ibnu Abbas menerangkan:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ*
“Rasulullah saw. mengutuk kaum pria yang meniru kaum wanita dan mengutuk kaum wanita yang meniru kaum pria” H.R. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah
Dalam Hadits lain dikatakan bahwa Allah mengutuk wanita pura-pura jadi pria, dan pria yang pura-pura jadi wanita (H.R. Bukhari dan Tirmidzi dari Ibnu Abbas)
Jika dalam penyimpangan seks ada yang dinamakan Transeksualist yaitu orang yang merasa dirinya sebagai lawan jenisnya, maka hadits terakhir ini, secara tidak langsung menyuruh agar segera berusaha pencegahan dan penyembuhannya.
8. Kaum Wanita jangan bepergian jauh sendirian
Rasulullah saw. bersabda:
وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً وَإِنِّي اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا قَالَ انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ
Seorang wanita tidak layak bepergian kecuali disertai mahramnya. Seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah isteriku pergi untuk ibadah haji sedangkan aku berkewajiban untuk berperang itu dan ini. Rasul bersabda pergilah kamu untuk beribadah haji bersama isterimu!. H.R. Muttafaq alaih
Berdasar hadits ini, kaum wanita walau untuk menunaikan ibadah haji harus disertai mahramnya, apalagi untuk kepentingan lain yang tidak berkaitan langsung dengan ibadah. Perhatikanlah saat ini betapa berat tantangan yang dihadapi tenaga kerja wanita. Bukankah telah nampak kejadian yang mengerikan yang dialami tenaga kerja wanita? Betapa banyak penyimpangan seks yang diakibatkan oleh terlalu bebasnya kaum wanita bepergian. Al-Islam mengajarkan agar mencegah penyimpangan seks dengan melarang kaum wanita bepergian tanpa mahramnya.
9. Iffah bagi yang tidak memiliki baah
Iffah atau Ta’affuf ialah menahan diri dari hal-hal yang menimbulkan semangat dan gairah seksual. Hal ini sangat diperlukan bagi yang belum mampu menikah. Jika mereka tidak menahan diri, maka akan mengakibatkan konflik batin. Allah berfirman:
Hendaklah orang-orang yang belum mampu untuk menikah itu menahan diri sehingga Allah memberikan kecukupan bagi mereka dari sebagian karunia-Nya”. Qs. 24: 33
Ayat ini mengajarkan agar orang yang belum mempunyai kemampuan untuk menikah, bisa menahan diri dari berbagai hal yang mendesak kebutuhan seks.
Yang dimaksud dengan kemampuan pada ayat tersebut mencakup atas berbagai hal, baik yang bersifat materi ataupun yang immateri, termasuk pula di dalamnya masalah pasangan atau jodoh.
Adapun cara ta’affuf atau menahan diri itu antara lain dengan melaksanakan shaum. Rasul saw. bersabda:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّومِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَآءٌ.
“Dan barang siapa yang belum mampu untuk menikah, maka hendaklah shaum. Sesungguhnya shaum itu merupakan prisai“. H.R. Jama’ah .[12]
Shaum adalah salah satu senjata yang ampuh untuk menahan diri dari gejolak nafsu. Yang dimaksud shaum di sini sudah barang tentu yang dimanipestasikan dalam kehidupan.
Shaum menurut bahasa adalah Imsak yang berarti menahan. Artinya seorang yang belum mampu untuk menikah harus berusaha menahan diri dari berbagai perbuatan yang mengundang syahwat, seperti pornografi, khulwat, Voyeurisme.
10. Segera menikah jika telah mencapai ba-ah
Satu-satunya jalan untuk menyalurkan dan memenuhi kebutuhan seks adalah menikah.
Oleh karena itu bagi yang sudah mempunyai kemampuan atau Al-Ba’ah ( الباءة ) hendaklah segera menikah. Al-Islam mengecam keras Tabattul atau membujang dan memerintah untuk menikah. Rasulullah saw. bersabda:
يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَآءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ.
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara mu telah mempunyai kemampuan, hendaklah segera menikah. Sesungguhnya nikah itu bisa menjaga kesucian farji dan menahan pandangan“. H.R. Lima Ahli Hadits.[13] (Shahih Muslim Bi Syarh Nawawi, IX : 175).
Redaksi hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang mempunyai al-Ba’ah adalah hukumnya wajib menikah, sebab seruannya berbentuk amar atau perintah. Apalagi kalau dikaitkan dengan firman Allah SWT sebagai berikut:
“Dan nikahkanlah olehmu orang yang masih sendirian, di antaramu dan orang yang layak untuk nikah dari kalangan hamba sahayamu baik pria atau pun wanita. Jika mereka miskin Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka dari sebagain karunia-Nya. Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui” Qs. 24: 32.
Ayat ini mengandung makna antara lain:
1) Menugaskan kepada para wali untuk segera menikahkan orang yang dibawah tanggung jawabnya, jika mereka telah cukup dan layak.
2) Melarang untuk menghalangi keinginan nikah. Pada ayat itu ditegaskan jika mereka miskin Allah akan memberikan rejeki. Hal ini mengandung perintah untuk mendorong dan membantu orang yang belum mampu, sehingga memiliki kemampuan untuk menikah. Dengan demikian siapa pun tidak dibenarkan untuk menghalangi kehendak orang yang sudah siap menikah. Harta dan kekayaan dalam ayat di atas jangan dijadikan penghalang. Satu hal yang sering ditemukan di masyarakat adalah orang tua yang suka menghalangi anaknya untuk menikah disebabkan belum siap untuk pesta pernikahan. Akibatnya, jika putra putrinya itu telah matang biologisnya dan kurang kuat iman, maka muncul hal-hal yang tidak diharapkan. Oleh karena itu ayat ini patut dijadikan pegangan oleh para orang tua. Hal lain yang perlu diperbaiki adalah adanya anggapan masyarakat bahwa seorang adik tidak dibenarkan mendahului kakaknya dalam menikah. Islam tidak mengajarkan demikian.
Menurut Islam, siapa pun yang sudah mencapai baah diperintah untuk segera menikah, walau pun kakaknya atau yang lainnya belum menikah.
Demi mencegah terjadinya penyimpangan seksual, maka mereka patut segera melaksanakan aturan Islam ini.
Problem terbesar di era globalisasi ialah semakin terbukanya informasi tentang seks. Tentu saja dampak negatif semakin memudahkan syetan menggoda manusia. Kemajuan teknologi pangan juga semakin meningkatkan gizi kaum remaja, yang semakin meningkatkan energi. Sedangkan dari sudut lain saat ini ada usaha untuk memperlambat menikah. Kegairahan di kalangan remaja dan pemuda semakin ditingkatkan, sementara pernikahan semakin dipersulit. Dampaknya ialah dorongan pada penyimpangan seksual. Oleh karena itu Al-Islam yang senantiasa mempermudah proses pernikahan harus segera dilaksanakan.
11. Menyalurkan seksual Hanya pada Isteri/suami
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh jamaah sebagaimana dikutip diatas, mengandung makna bahwa salah satu fungsi nikah adalah menjaga kesucian farji. Ini membuktikan bahwa nikah di samping berlatar belakang ibadah, juga berfungsi memenuhi kebutuhan seksual. Oleh karena itu apa pun yang tersirat dalam hati yang berkaitan dengan kebutuhan seks, penuhilah bersama suami isteri. Cara inilah yang suci, benar dan terpuji. Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
“Sesungguhnya perempuan itu baik waktu berhadapan maupun waktu membelakang tetap menggoda, maka barang siapa yang melihat wanita yang menggiurkan, segera menemui isterinya dan salurkan kepada isteri. Hal yang demikian itu bisa mengatasi apa yang ada dalam hatinya”. H.R. Bukhari 2491 dan Muslim.
Hadits tersebut megandung makna antara lain:
1) Godaan dan desakan seksual akan selalu ada, baik dihadapan lawan jenis ataupun di belakangnya.
2) Jika seseorang terdorong syahwatnya, maka segera menemui isterinya dan penuhi keinginan tersebut bersama isteri jangan terjerumus pada penyimpangan. Namun satu hal yang harus disadari, bahwa pelaksanaan hadits tersebut tidak akan bisa dicapai tanpa adanya kerjasama suami isteri. Bagaimana mungkin sang suami bisa memenuhi kebutuhan seks hanya kepada isteri, jika isterinya tidak siap melayaninya. Oleh karena itu hadits tersebut mengandung makna perintah untuk selalu kerjasama suami isteri.
Emansipasi wanita hendaknya jangan sampai menghambat keharmonisan suami isteri. Emansipasi wanita justru harus lebih meningkatkan kebahagian bersama. Kepentingan suami isteri dan kebahagiaannya harus lebih diutamakan, dibanding kepentingan lainnya. Apalah artinya kaum perempuan berhasil berkarier di berbagai bidang, sementara rumah tangganya berantakan. Usaha mencegah penyimpangan seks harus melalui mempererat hubungan antara suami dan isteri. Dengan demikian kebutuhan seks bisa terpenuhi secara puas dan memadai hanya melalui suami isteri.
12. Menghukum pelaku penyimpangan seks
Merajalelanya penyimpangan seks, tidak terlepas dari akibat lemahnya penerapan hukuman. Manusia memiliki kecenderungan melakukan penyimpangan. Jika para pelanggar ketentuan hukum tidak ditindak, maka yang tidak melanggar akan tergoda untuk mengikutinya. Hak asasi manusia jangan dijadikan alasan untuk memberikan kebebasan manusia berbuat pelanggaran. Allah SWT menurunkan pedoman hidup adalah untuk ditaati dan menghukum orang yang melanggar aturan. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat, Qs. 4: 105
Ayat ini menegaskan bahwa manusia bertanggung jawab untuk menegakkan hukum berdasar kebenaran dan keadilan. Orang yang melanggar kebenaran dan keadilan harus ditindak. Umat manusia juga diseru agar jangan sampai membiarkan pengkhianatan.
Penegakkan keadilan harus lebih diutamakan dibanding dengan perasaan kasih sayang. Salah satu bukti kasih sayang serhadap sesama manusia adalah memberikan dukungan kepada yang benar dan menindak yang salah. Itulah sebabnya, hakim tidak boleh merasa iba atau kasihan terhadap yang salah. Khusus dalam penegakan hukum zina, Allah SWT berfirman:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. Qs. 24: 2
Pada ayat ini ditandaskan bahwa orang mu’min jangan sekali-kali merasa iba dalam menghukum orang yang berzina. Hukuman zina merupakan langkah taubat bagi pelakunya. Pelaksanaan hukumannya pun harus disaksikan orang banyak supaya jadi pelajaran.
13. Memberantas fasilitas prostitusi
Salah satu faktor tersebarnya penyimpangan seks adalah adanya fasilitas. Fasilitas yang bermunculan di berbagai tempat disebabkan alasan ekonomi atau devisa negara. Pemerintah harus segera memperbaiki diri, jangan sampai mencari keuntungan dari perbuatan ma’shiat. Mencari dana lewat perzinaan adalah perbuatan tercela dan sangat membahayakan. Krisis ekonomi jangan diatasi dengan tindakan yang menimbulkan krisis moral. Krisis moral lebih berbahaya dibanding krisis ekonomi.
Oleh karena itu germo prostitusi harus segera dihancurkan.
أَنَّ رَسوْل الله صَلَّي اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ البَغِي وَحُلْوَانِ الكَاهِنِ.
Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang keras mencari keuntungan dengan jual beli anjing, fasilitas pelacuran (germo) dan upah perdukunan. Hadits dari Abi Mas’ud al-Anshari
Hadits ini melarang mencari dana melalui budidaya anjing, prostitusi dan pedukunan. Dengan demikian ketiga sumber ekonomi ini mempunyai dampak negatif bila dibiarkan berjalan.
Sulit kiranya memberantas penyimpangan seks, bila fasilitas prostitusi masih dibiarkan ada.
Kita juga cukup prihatin saat ini tempat hiburan bermunculan di berbagai kota. Dari tempat hiburan inilah muncul berbagai perbuatan ma’shiat. Memberantas penyimpangan seks, juga harus dimulai dari pembatasan tempat hiburan dan pengawasan ketat terhadap tempat tersebut. Tempat wisata juga jangan sampai menyediakan fasilitas kema’siatan.
[1] (Fat-hul-Qadir I: 438)
[2] (Shahih Muslim no 3199 bi syarhin-Nawawi,XI:189) dari Ubadah Bin Shamit.
[3] Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, VIII h.233, ,Wahbah Az-Zuhaili,VII:66
[4] At-Taj,II:330/Juhaili, XVIII:223).
[5] (Shahih Muslim, I:138)
[6] shahih Muslim, , I:138
[7] (Al-Iklil halaman: 36)
[8] (Sunan Abi Daud, I: 69)
[9] Sunan Abi Dawud, 1837
[10] suna al-Tirmidzi, (II : 319 no.1091).
[11] Sunan Abi Dawud, (II : 319 no.1091).
[12] (An- Nasa’iy, VI: 58).
[13] Shahih Muslim Bi Syarh Nawawi, IX : 175