05. Ramadlan sebagai bulan berdo’a dan syarat ijabah (kajian tafsir al-baqarah:186)
Bagian Kelima
Ramadlan sebagai bulan berdo’a dan syarat ijabah
(kajian tafsir al-baqarah:186)
- Teks Ayat dan Terjemah
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. Qs.2: 186
- Tinjauan Historis
Ibnu Abi Hatim menerangkan bahwa seorang dusun Arab menghadap Rasul saw dan bertanya:
يَا رَسُولَ اللهِ أَقَرِيْبٌ رَبُّنَا فَنُنَاجِيْهِ أَمْ بَعِيْدٌ فَنُنَادِيْهِ.
“Wahai Rasulullah! Apakah Tuhan kita itu dekat, maka kami akan berbisik kepada-Nya, ataukah Tuhan itu jauh, maka kami akan memanggil-Nya?
Kemudian Rasul saw terdiam, dan turunlah ayat ini sebagai jawabannya.[1] Menurut Abu al-Fadll, dalam sanadnya terdapat, al-Shult, rawi yang lemah.[2]
Namun menurut al-Suyuthi, terdapat beberapa jalur yang lain yang meriwayatkannya.[3] Dalam riwayat lain, dari Ibn Abbas diterangkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kedatangan Yahudi kepada Rasul SAW., mereka bertanya kepada Rasul: Hai Muhammad bagaimana Tuhan bisa mendengar do’a kita, bukankah dikatakan bahwa jarak antara langit dan bumi itu lima ratus tahun? Sebagai jawabannya turun ayat 186 ini.[4]
Ibn al-Jawzi (508-597H) menerangkan bahwa terdapat lima riwayat yang dianggap sebagai asbab al-Nuzul Qs.2:186, yaitu:
- Dusun Arab yang bertanya tentang cara do’a apakah mesti keras ataukah tidak, sebagaimana dikemukakan al-Shult yang merujuk pada حاكم – حكيم Hakim,
- Yahudi yang mengatakan bagaimana mungkin Tuhan bisa mendengar do’a karena jarak langit dan bumi hingga 500 tahun, sebagaimana dikemukakan Abu Shalih yang merujuk Ibn Abbas,
- Adanya yang bertanya tentang waktu ijabah do’a, sebagaimana dikemukan oleh Atha,
- Ada shahabat yang bertanya tentang dimana Allah SWT berada, sebagaimana dikemukakan oleh al-Hasan,
- Ada shahabat yang berpendapat bahwa di malam hari shaum dilarang jima dan makan setelah tidur, kemudian terlanjur melakukannya dan merasa dosa, dan bertanya kepada Rasul SAW tentang bagaimana taubatnya, sebagaimana dikemukakan oleh Muqatil.[5]
- Abu al-Fadl, menerangkan bahwa penyebab yang ke (6) berkaitan dengan perintah do’a, kemudian shahabat bertanya pada Rasul tentang caranya mesti bagaimana, sebagaimana dikemukakan oleh Qatadah.[6]
- Tafsir Kalimat Ayat 186
- وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.
Kalimat وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي (bila hamba-Ku bertanya padamu), mengandung unsur metoda dialog yang diajarkan ayat ini kepada Rasul dan umatnya, serta setiap muslim dituntut untuk memeliki kemampuan menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. Perkataan عَنِّي (tentang AKU) menggunakan kata ganti diri yang satu mengisyaratkan Dzat Ilahi tentang ketauhidan yang hanya DIA Allah yang berhak dipertuhankan. Adapun فَإِنِّي قَرِيبٌ (sesungguhnya Aku Dekat) maknya dikemukakan oleh al-Qurthubi antara lain بالاجابة. (dekat untuk memenuhi permohonan hamba-Nya), بالعلم (amat dekat pengetahuannya) karena mengetahui segala rahasia hamba-Nya; بالافضال والانعام (dekat hingga cepat memberi karunia dan keni’matan) bagi hamba-Nya.[7]
Seberapa kedekatan Allah SWT dengan hambanya? Amat dekat dan lebih dekat dari yang palig dekat sebagaimana ditandaskan dalam ayat lain:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, Qs.50:16
Kalau ditandaskan lebih dekat dibanding urat leher, maka tidak yang lebih dekat lagi selain-Nya. Oleh karena itu setiap mu`min mesti merasa tetap dekat dengan Allah SWT, maka tidak akan lengah dalam berucap, bersikap dan bertindak, karena merasa diawasi oleh-Nya. Kalau berdo’at dan beribadah lainnya, maka akan merasa langsung berbisik dengan Allah SWT, karena amat dekat dengan-Nya.
- أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku,
Menurut sebagian ulama yang dimaksud دَعْوَةَ pada ayat ini berarti ibadah, karena do’a adalah ibadah. Tegasnya ayat ini merupkan jaminan bahwa ibadah hamba bakal diterima Allah SWT asal langsung diperuntukan pada-Nya sebagai mana ditegaskan إِذَا دَعَانِ (bila ibadah langsung pada-Ku). Namun menurut Ibn Abi Hatim makna دَعْوَةَ الدَّاعِ pada ayat ini adalah do’a hamba-Nya. Tegasnya Allah SWT menjamin bahwa do’a hamba-Nya bakal dikabul, tapi dengan beberapa cara antara lain sebagai mana diriwayatkan dari al-Suddi (1) Allah SWT langsung mengabulkan apa yang diminta hamba-Nya secara tunai, bila yang dimintanya itu sesuai dengan ketentuan hukum-Nya. (2) menangguhkan apa yang dimintainya sampai hari akhir nanti, (3) menghindarkan hamba-Nya dari apa yang tidak mereka inginkan.[8] Dengan demikian tiada do’a yang sia-sia, dikabulkan langsung ataukah tidak akan tetap mendapat pahala. Dalam berdo’a tidak putus asa, tapi jangan pula memaksa, kalau belum pasti baiknya apa yang diminta. Jika yang diminta sudah pasti mendatangkan kebaikan, mintalah pada Ilahi dengan penuh harapan. Namun bila apa yang diminta belum pasti kebaikan, do’alah untuk minta dipilihkan.
- فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala seruan) Ku . Al-Alusi menafsirkan kalimat ini dengan
فليطلبوا إجابتي لهم إذا دعوني أو فليجيبوا لي إذا دعوتهم للإيمان والطاعة كما أني أجيبهم إذا دعوني لحوائجهم
Hendaklah hamba-Ku menari jalan untuk dikabulkan do’a bila berdo’a; atau hendaklah mereka memenuhi-Ku bila Aku menyeru mereka untuk iman dan taat seperti Aku memenuhi apa yang mereka minta untuk memenuhi apa yang dibutuhkan.[9]
Dengan demikian bila do’a kita ingin dikabulkan, maka segera mengabulkan apa yang diperintahkan dengan menaati segala aturan. Jangan meminta sesuatu yang diinginkan sementara syarat-syaratnya tidak dipenuhi sesuai aturan.
- وَلْيُؤْمِنُوا بِي dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku,
Kalimat ini merupakan satu kesatuan dengan yang sebelumnya. Dengan demikian kalau do’a ingin dikabulkan, maka mesti memenuhi seruan Ilahi yang didasari iman dan terus meneru meningkatkan kualitasnya hingga mencapai kesempurnaan.
- لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ agar mereka selalu berada dalam kebenaran
Pengunci ayat ini memberikan dorongan agar setiap hamba Allah memiliki kecerdasan dalam berbagai hal, baik spiritual, material maupun sosial. Makna يَرْشُدُونَ menurut Abu Hayyan adalah الاهتداء لمصالح دينهم ودنياهم َ faham betul tentang petunjuk kehidupan baik dalam urusan kemaslahatan ukhrawi mayupun duniawi.[10]
Qs.2:186 ini tercantum dalam rangkaian ibadah shaum Ramadlan. Oleh karena itu tidak bisa dipisahkan, bahwa Ramadlan juga merupakan bulan berdo’a. Namun dikemukakan dalam satu riwayat bahwa pada peristiwa Perang Haibar (Muharam, 7 H), ada kaum muslimin yang berdo’a dengan keras, sehingga turun ayat ini dan Rasul berseru, wahai manusia rendahkanlah suaramu, kamu berdo’a kepada yang Maha Mendengar, Maha dekat dan yang selalu bersamamu.[11] Dalam uraian terdahulu telah diungkapkan bahwa betapa pentingnya berdo’a di kala shaum. Ayat ini sebagai jaminan bagi orang mukmin yang berdo’a, bahwa mereka akan dikabulkan Allah SWT. Rasul SAW bersabda:
إنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَة مَا تُرَدُّ
Sesungguhnya bagi yang shaum, ketika bukanya ada hak do’a yang tidak tertolak. Hr. Ibn Majah (207-275H).[12]
Ibn Umar menerangkan bahwa menerima sabda Rasul SAW:
إنَّ لِكُلِّ مُؤمِنٍ دَعْوَةُ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ إفْطَارِهِ إمَّا ان يُعْجَل لَهُ فِي دُنْيَاهُ اوْ يُدَّخَر لَهُ فِي آخِرَته
Sesungguhnya bagi mukmin ada hak dikabulkan do’a tatkala berbuka shaum, apakah langsung di dunia ataukah ditngguhkan di akhirat. Riwayat al-Bayhaqi (384-458H).[13]
Ditegaskan pula bahwa Allah SWT itu dekat, jika orang mukmin itu selalu memenuhi seruan-Nya dan meningkatkan iman, maka akan berada pada jalan yang benar. Ditinjau dari Asbab al-Nuzul ayat ini merupakan jawaban bagi orang yang beranggapan bahwa Allah itu jauh, sehingga berteriak dalam berdo’a atau memakai perantara. Menurut ayat ini, Allah itu dekat, tidak perlu berteriak-teriak dalam berdo’a dan tidak perlu memakai perantara. Menurut al-Maraghi, orang yang sengaja mengeraskan suara dalam berdo’a adalah bertentangan dengan aturan Allah SWT.[14] Qs.2:186 ini tercantum dalam rangkaian ibadah shaum Ramadlan. Oleh karena itu tidak bisa dipisahkan, bahwa Ramadlan juga merupakan bulan berdo’a. Namun dikemukakan dalam satu riwayat bahwa pada peristiwa Perang Haibar (Muharam, 7 H), ada kaum muslimin yang berdo’a dengan keras, sehingga turun ayat ini dan Rasul berseru, wahai manusia rendahkanlah suaramu, kamu berdo’a kepada yang Maha Mendengar, Maha dekat dan yang selalu bersamamu.[15]Dalam uraian terdahulu telah diungkapkan bahwa betapa pentingnya berdo’a di kala shaum. Ayat ini sebagai jaminan bagi orang mukmin yang berdo’a, bahwa mereka akan dikabulkan Allah SWT. Rasul SAW bersabda:
إنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَة مَا تُرَدُّ
Sesungguhnya bagi yang shaum, ketika bukanya ada hak do’a yang tidak tertolak. Hr. Ibn Majah (207-275H).[16]
Ibn Umar menerangkan bahwa menerima sabda Rasul SAW:
إنَّ لِكُلِّ مُؤمِنٍ دَعْوَةُ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ إفْطَارِهِ إمَّا ان يُعْجَل لَهُ فِي دُنْيَاهُ اوْ يُدَّخَر لَهُ فِي آخِرَته
Sesungguhnya bagi mukmin ada hak dikabulkan do’a tatkala berbuka shaum, apakah langsung di dunia ataukah ditngguhkan di akhirat. Riwayat al-Bayhaqi (384-458H).[17]
Ditegaskan pula bahwa Allah SWT itu dekat, jika orang mukmin itu selalu memenuhi seruan-Nya dan meningkatkan iman, maka akan berada pada jalan yang benar. Ditinjau dari Asbab al-Nuzul ayat ini merupakan jawaban bagi orang yang beranggapan bahwa Allah itu jauh, sehingga berteriak dalam berdo’a atau memakai perantara. Menurut ayat ini, Allah itu dekat, tidak perlu berteriak-teriak dalam berdo’a dan tidak perlu memakai perantara. Menurut al-Maraghi, orang yang sengaja mengeraskan suara dalam berdo’a adalah bertentangan dengan aturan Allah SWT.[18]
- Syarat Berdo’a berdasar isyarat ayat 186
Secara tersirat, ayat ini pun memberikan bimbingan tentang syarat berdo’a yang akan dikabulkan Allah SWT, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Meyakini bahwa Allah itu dekat.
Ayat tersebut menekankan فَإنِّى قَرِيْبٌ Aku dekat. hal ini mengajarkan agar yang berdo’a merasa yakin bahwa Allah itu Maha dekat . Dengan merasa dekat kepada Allah, maka akan berbisik kepada-Nya dengan penuh kekhusyuan dan penuh harapan. Dalam ayat lain ditegaskan :
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia, dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan dalam hatinya. Kami lebih dekat kepadanya dibanding urat lehernya”. (Qs. 50:16).
Jika dikatakan bahwa Allah itu lebih dekat dari urat leher, maka tidak ada yang lebih dekat kepada orang mu’min selain Allah SWT. Oleh karena itu tak sepantasnya berteriak-teriak dalam berdo’a, karena Allah mengetahui apa yang dibisikkan manusia.
- Optimis Dikabulkan
Dalam ayat di atas ditegaskan, أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ ini mendorong hamba-Nya agar bersangka baik kepada Allah dan optimis do’a nya akan dikabulkan. Rasul bersabda:
لاَ يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَو قَطِيْعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يُسْتَعْجَلْ.
“Tidak henti-hentinya do’a hamba Allah akan dikabulkan sepanjang tidak berdoa untuk keburukan dan memutuskan silaturrahim, selama do’anya tidak Isti’jal atau tergesa-gesa. (HR Muslim [19], dari Abu Hurairah,)
Para sahabat bertanya, apa yang dimaksud Isti’jal dalam do’a . Rasul menjawab:
يَقُولُ: قَدْ دَعَوتُ قَدْ دَعَوتُ فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِى
“Dia mengatakan: Aku selalu berdo’a. aku selalu berdo’a, tapi aku tidak melihat celah-celah untuk dikabulkan“.[20]
Oleh karena itu janganlah berburuk sangka kepada Allah dalam berdo’a. Yakini bahwa Allah SWT selalu mengabulkan do’a hamba-Nya, apakah dikabulkan dengan segera atau ditangguhkan, tentu saja tergantung pada kebijaksanaan yang Maha Bijaksana.
Dalam Hadits juga ditekankan bahwa yang dikabulkan itu adalah do’a yang baik tidakاثم Itsm dan tidak memutuskan tali silaturahim. Oleh karena itu jika belum dirasakan pengabulan doa, seyogyanya introspeksi, jangan-jangan yang diminta itu membawa bahaya.
- Istijabah
Dalam ayat tersebut ditegaskan فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِى ini mengandung arti bahwa kaum muslimin harus istijabah dalam berd0’a. Istijabah disini berarti memenuhi seruan Allah SWT. Jika manusia mengharapkan do’anya terkabulkan Allah, maka seruan Allah pun harus dikabulkan terlebih dahulu. Memenuhi seruan Allah berarti memenuhi segala tuntunan-Nya baik yang berupa perintah ataupun yang berupa larangan.
- Meningkatkan Iman
Dengan seruan وَلْيُؤْمِنُوْا بِى memberikan gambaran bahwa peningkatan iman harus menjadi landasan dalam berdo’a. Dari ayat 183 telah gamblang bahwa yang diajak bicara adalah mukmin. Namun pada ayat ini ditekankan kembali agar orang mukmin itu dalam berdo’a, hendaklah beriman. Hal ini memberikan gambaran bahwa jika ingin dikabulkan do’anya, iman harus selalu ditingkatkan. Abu Darda menandaskan bahwa iman seseorang itu kadang-kadang kualitasnya naik kadang-kadang menurun.[21] Oleh karena itu agar tetap stabil, maka harus berusaha semakin ditingkatkan.
- Berada di Jalur yang Benar
Kalimat لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ mempunyai arti “agar kamu berada pada jalur yang benar” merupakan salah satu bukti adanya kewajiban usaha manusia agar selalu berada di jalur yang benar, jika ingin do’anya dikabulkan. Sa’id, shahabat Rasulullah saw, pernah berkonsultasi kepada Rasulullah saw tentang langkah apa yang harus ditempuh agar do’a terkabul. Rasulullah saw menasehati agar menjauhi makanan yang haram. Hal ini membuktikan perbuatan yang halal atau yang haram sangat erat kaitannya dengan ijabah do’a. Oleh karena itu, jika seorang mukmin mengharapkan do’anya terkabul, hendaklah selalu berada pada jalur yang benar dan menjauhi jalur yang salah.
Dalam ayat tersebut juga menggunakan perkataan لَعَلَّ la’alla yang berarti mudah-mudahan. Ini membuktikan bahwa petunjuk Allah itu harus dikejar dan diusahakan. Itulah salah satu makna mohon petunjuk, اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ yang dianjurkan setiap shalat.
Al-Tusturi berpendapat bahwa syarat dikabul doa tidak kurang dari tujuh perkara yaitu:
- التَضَرُّع merendah
- الخَوْف cemas dan takut oleh Allah
- الرَّجَاء harap dan damba
- المُدَاوَمة terus menerus
- الخُشُوْع khusyu, konsentrasi
- العُمُوم menyeluruh
- أكلُ الحَلاَل makan makan yang halal.
Kemudian Ibn Atha berpandangan bahwa syarat do’a dikabul mesti memelihara empat hal yaitu:
- حِفْظ القَلْب عِنْد الوَحْدَة menjaga hati ketika menyendiri
- حِفْظ اللِّسَان مع الخَلْق menjaga lisan ketika bersama makhluq
- حِفْظُ العَيْن عِنْد النَّظْر إلَى ماَلا يَحل menjaga pandangan dari melihat yang tidak dihalalkan
- حِفْظ البَطْن مِن الحَرَام menjaga perut dari makanan yang haram.[22]
Pengunci ayat berbunyi لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ, yang berarti agar kalian mengambil pelajaran dan petunjuk. Perkataan رشد , berasal dari kata رَشَد – يَرْشُد – رشدا menurut bahasa berarti mencapai kedewasaan, kecerdasan atau kesempurnaan akal pikiran.[23] Perkataan ini terdapat dalam al-Qur`an cukup banyak.
Menurut al-Damaghani, رَشَد – يَرْشُد – رشدyang tercantum dalam al-Qur`an, mengandung enam makna.[24] lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
NO | TEKS AYAT | SURAT | MAKNA | ARTINYA |
1 | أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ | 49:7 | المُهْتَدُون | Yang mendapat petunjuk |
2 | وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا | 18:17 | موفقا | Hidayah taufiq |
3 | عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا | 18:24 | صوَابا | Tepat atau benar |
4 | فَإِنْ ءَانَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ | 4:6 | إصلاحا للمَال | Baik dan tepat dalam mengelola harta |
5 | أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ | 11:78 | عاقل في الدين | Paham dalam agama |
6 | وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا | 18:10 | مخْرَجًا | Jalan ke luar atau solusi |
Memperhatikan beberapa pengertian di atas, perkataan رشد ternyata banyak maknanya, terutama yang berkaitan dengan petunjuk yang disertai kecerdasan pikiran, perasaan dan perbuatan.
Adapun pengertian رشد yang tercantum pada Qs.2:186 menurut mufasirin dapat dilihat pada tabel berikut.
NO | MUFASIR | KITAB | PENGERTIAN يرشدون | ARTINYA |
1 | Ali bin Ahmad al-Wahidi (w.468H) | Al-Wajiz Fi tafsir, I h.152 | ليكونوا على رجاء من إصابة الرشد | Agar mereka tetap mendapat petunjuk pada yang benar |
2 | Al-Nasafi (w.671) | Tafsir, I h.91 | ليكونوا على رجاء من إصابة الرشد وهو ضد الغى | Tetap pada petunjuk lepas dari kesesatan |
3 | Al-Baydlawi (w.791H) | Tafsir al-Baydlawi, I h.467 | راجين إصابة الرشد وهو إصابة الحق | Agar mendapat petunjuk yaitu sesuai dengan al-Haq |
4 | Mahmud Al-Alusi (w.1270H) | Ruh al-Ma’ani, II h.64 | يهتدون لمصالح دينهم ودنياهم وأصل الباب إصابة الخير | Mendapat petunjuk untuk kemaslahatan duniawi dan ukhrawi |
5 | Mushthafa Al-Maraghi | Tafsir, IV h.185 | الرشْد و الرَّشَاد ضِد الغَي والفَسَاد أي الأعْمَال إذَا صدرت بِروح الإيْمان يرجي صَاحبهَا راشِدًا مُهْتَديًا | Rusy merupakan lawan dri kesesatan dan kerusakan. Jika amal atas kesadaran ruh keimanan ia mendapat petunjuk |
Semoga Allah SWT menerima segala ibadah shaum, meningkatkan pemahaman terhadap al-Qur`an, dan mengabulkan do’a kita semua. Amin.
- Beberapa Ibrah
- Essensi Ayat
- Secara historis ayat ini turun sebagai jawaban kepada yang mempertanyakan tentang (1) apakah Allah SWT itu dekat atau jauh, (2) apakah do’a itu mesti berteriak atau berbisik, (3) bagaimana taubat dari dosa yang dilakukan.
- Dalam ayat ini tersirat langkah yang ditempuh dalam do’a, seperti dapat digambarkan berikut.
- Do’a tidak bisa dipisahkan dengan iman dan taat,[25] sebagamana tersurat dalam penegasan ayat فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِى وَلْيُؤْمِنُوْا بِى. Mujahid (w.104H), mengartikan kalimat ini dengan فليطيعوا لي maka taatilah Aku.[26] Istijabah bermakna memenuhi segala seruan Allah SWT untuk menaati segala aturan-Nya dengan disiplin menjauhi segala yang dilarang.
- Apakah Ada Do’a yang Ditolak?
Dalam Qs.2:186 ini ditegaskan bahwa Allah SWT mengabulkan do’a hamba-Nya yang bermohon kepada-Nya. Namun dirangkaikan pula dengan kalimat:
فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِى وَلْيُؤْمِنُوْا بِى yang mengisyaratkan bahwa doa yang dikabul itu apabila memenuhi syarat istijabah, yang dilandasi iman. Dengan kata lain, bila doa itu tidak istijabah, walau dilandasai iman, boleh jadi tidak dikabulkan. Persoalannya seperti apakah do’a yang ditolak itu?
Contoh Do’a Nabi yang Ditolak
Fakta historis memberikan gambaran bahwa tidak semua do’a dikabulkan Allah SWT. Bahkan do’a para nabi sekali pun, ada yang tidak dikabulkan. Tentu saja semua itu sesuai dengan kebijaksanaan Allah SWT yang Maha Tahu segalanya. Contoh do’a nabi yang tidak dikabul, antara lain sebagai berikut.
Do’a merupakan salah satu ibadah yang penting, karena diperintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Oleh karena itu bila ada do’a tidak terkabul, hendaklah introsfeksi mungkin apa yang diminta dalam do’a kurang memenuhi syarat. Do’a yang tidak dikabul antara lain sebagai berikut:
- Yang mesti disertai ikhtiar
Dari Abi Muasa r.a diriwayatkan, Nabi SAW bersabda:
ثَلاثَةٌ يَدْعُوْنَ الله فَلا يَسْتَجِيْبُ لَهُم : رَجُلٌ كَان لَهُ دَيْن فَلم يَشْهَد ، وَرَجُلٌ أعْطَى سَفِيهًا مَالَه ، وَقَد قَال الله عَزَّ وجل : ( وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاء أمْوَالَكم (النساء) ) وَرَجُلٌ كَانَت عِنْدَه امْرَأة سَيئَة الخُلق فَلَم يُطَلِّقْهَا
Tiga golongan yang berdo’a kepada Allah SWT tidak mendapat jawaban: (1) orang yang punya piutang tapi tidak mengingatkan, (2) orang yang menyerahkan hartanya kepada yang bodoh sebagaimana difirmankan Allah SWT وَلاَ تُؤْتُوْا السُّفَهَاءَ أمْوَالَكُمْ, (3) orang yang punya istri berakhlaq buruk tapi tidak menceraikannya. Hr. al-Bayhaqi (384-458)[27] al-Hakim menandaskan bahwa hadits ini shahih memenuhi syarat al-Bukhari dan Muslim walau mereka tidak meriwayatkannya.[28]
Hadits ini mengisyaratkan bahwa urusan utang piutang, pengelolaan harta kekayaan, dan pembinaan akhlaq keluarga, tidak boleh mengandalkan do’a. Do’a yang berisi permohonan penyelamatan harta dan keluarga tanpa disertai ikhtiar tidak akan dikabulkan. Dalam riwayat lain Rasul SAW bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
Demi Dzat yang ditangan-Nya jiwaku, hendaklah kamu memerintah yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Kalau tidak, Allah akan memaksakan untuk menurunkan siksaan atas kalian, kemudian kalian berdo’a, maka tidak diqabulkan. Hr. al-Tirmidzi.[29]
- Contoh do’a nabi yang ditolak
Fakta hitoris memberikan gambaran bahwa tidak semua do’a, yang dipanjatkan hamba-Nya yang shalih, dikabulkan. Bahkan do’a para nabi sekali pun, ada yang tidak dikabulkan. Tentu saja semua itu sesuai dengan kebijaksanaan Allah SWT yang maha Tahu segalanya. Contoh do’a nabi yang tidak dikabul, antara lain sebagai berikut.
(1) Do’a Nabi Nuh tentang keselamatan anaknya
Nabi Nuh berda’wah selama sembilan ratus lima puluh tahun (Qs.29:14), tapi sedikit sekali umatnya yang beriman. Beliau memohon agar umatnya yang kafir dimusnahkan, karena khawatir lebih membahayakan (Qs.71:26). Kemudian Allah SWT memberi petunjuk agar Nabi Nuh menyelamatkan umatnya yang beriman dengan menaiki bahtera, dari siksa yang akan diturunkan. Tatkala adzab Allah tiba, salah seorang anak Nabi Nuh tidak mau ikut naik bahtera hingga ikut tenggelam bersama kafirin lainnya. Nabi Nuh merasa iba melihat anaknya tersiksa, hingga berdo’a untuk keselamatan anaknya: رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ ( “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.”Qs.11:45). Inilah permohonan nabi Nuh yang ingin menyelamatkan anaknya dari adzab Allah SWT. Namun bagaimanakah nasib anaknya itu?
قَالَ يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” Qs.11:46
Ayat ini mengabadikan teguran Allah SWT kepada Nuh yang memohon agar anaknya diselamatkan dari siksa. Allah SWT tidak mengabulkan du’a Nabi Nuh berkenaan dengan putranya yang kafir.
(2) Do’a Nabi ibrahim tentang ampunan bagi orang tuanya
Nabi Ibrahim terus menerus mengajak orang tuanya untuk beriman. Namun ayah dan ibunya tetap musyrik, sehingga menjadikan beliau merasa iba dan berjanji akan memohonkan ampun, dengan menandaskan : لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali, (Qs.60:4). Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Ibrahim itu merupakan teladan umat, utamanya dalam perjuangan menegakkan tauhid, memberantas kemusyrikan, dan menolak kekufuran. Namun dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa janji kepada orang tuanya untu memohonkan ampunan, dikecualikan. Karena Allah SWT tidak berkenan mengampuni orang musyrik dan mendo’akannya pun ditolak. Tatkala orang tuanya telah wafat, Nabi Ibrahim pernah memohon ampunan untuk ayah dan ibunya, seperti diabadikan dalam al-Qur`an:رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mu’min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”. Qs.14:41
Allah SWT tidak mengabulkan permohonan Ibrahim tentang ampunan kepada orang tuanya, melainkan hanya berfungsi memenuhi janji. Firman-Nya
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأَبِيهِ إِلاَّ عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. Qs.9:114
(3) Do’a Rasul SAW tentang kehancuran Musyrikin
Rasul SAW mengutus shahabatnya untuk da’wah kepada kaum musyrikin. Shahabat yang diutus tersebut diperlakukan oleh tokoh musyrikin secara tidak baik, maka Rasul berdo’a ketika ruku terakhir untuk keselamatan kaum muslimin dan kehancuran musyrikin. Perhatikan hadits berikut.
عَنْ الزُّهْرِيِّ حَدَّثَنِي سَالِمٌ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنْ الْفَجْرِ يَقُولُ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا وَفُلَانًا بَعْدَ مَا يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
Diriwayatkan dari al-Zuhri, dari Salim dari ayahnya yang mendengar Rasul SAW tatkala bangun dari ruku terakhir (dalam shaalat) shubuh berdo’a: Ya Allah kutuklah si Pulan, kutuklah si Pulan, si pulan dan si pulan setelah mengucapkan سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ maka turunlah ayat (Qs.3:128) لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ hingga فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ. Hr. al-Bukhari.[30]
Dari Hanzhalah bin Abi Sufyan diterangkan bahwa yang dido’akan Rasul itu adalah Shafwan bin Umayah, Suhail bin Amr, Haris bin Hisyam, kemudian turun :لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim. Qs.3:128. Hr. al-Bukhari [31]
Dalam riwayat itu tidak disebut shalat tertentu, melainkan secara umum qunut selama satu bulan.[32] Dalam riwayat Ibn Khuzaimah diterangkan bahwa qunut itu dilakukan pada shalat maghrib, isya, shubuh, zhuhur dan ashar.[33] Dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa setelah Qs.3:128 ini turun, Rasul menghentikan do’a qunut tersebut.[34] Dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa setelah Qs.3:128 ini turun, Rasul SAW tidak lagi mendo’akan kehancuran musyrikin. Menghancurkan kemusyrikan, bukan denghan do’a agar Allah menurunkan siksa, melainkan dengan cara jihad melawan mereka. Allah SWT berfirman:
قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ
Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman, Qs.9:14
Nilai yang terkandung dalam pertistiwa tersebut antara lain (1) Rasul dan umatnya tidak diperkenankan mendo’akan orang musyrik dicelakakan Allah, (2) memenangkan Islam, jangan hanya mengandalkan do’a, tapi mesti berjuang dengan menghimpun kekuatan, (3) bila kaum musyrikin ingin dikalahkan, maka kaum muslimin harus kuat dalam segala aspek kehidupan.
(4) Do’a Rasul SAW tentang Umat menjadi satu madzhab
Rasul SAW pernah memohon kepada Allah SWT agar umatnya berada dalam satu kesatuan pandangan, jangan bergolong-golongan.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ عَنْ أَبِيهِ وَكَانَ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ رَاقَبَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّيْلَةَ كُلَّهَا حَتَّى كَانَ مَعَ الْفَجْرِ فَلَمَّا سَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ صَلَاتِهِ جَاءَهُ خَبَّابٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي لَقَدْ صَلَّيْتَ اللَّيْلَةَ صَلَاةً مَا رَأَيْتُكَ صَلَّيْتَ نَحْوَهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجَلْ إِنَّهَا صَلَاةُ رَغَبٍ وَرَهَبٍ سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِيهَا ثَلَاثَ خِصَالٍ فَأَعْطَانِي اثْنَتَيْنِ وَمَنَعَنِي وَاحِدَةً سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُهْلِكَنَا بِمَا أَهْلَكَ بِهِ الْأُمَمَ قَبْلَنَا فَأَعْطَانِيهَا وَسَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُظْهِرَ عَلَيْنَا عَدُوًّا مِنْ غَيْرِنَا فَأَعْطَانِيهَا وَسَأَلْتُ رَبِّي أَنْ لَا يَلْبِسَنَا شِيَعًا فَمَنَعَنِيهَا
Diriwayatkan dari Abd Allah bin Khabbab bin al-Aratt dari ayahnya yang menjadi syahid Badr bersama Rasul SAW. Beliau pernah mengawasi Rasul pada suatu malam suntuk hingga terbit fajar.Tatkala Rasul selesai salam dari salah satu shalatnya, Khabab menghadap: Ya Rasul! Atas nama ayah, engkau, dan ibuku! Engkau shalat malam, yang tidak pernah aku lihat seperti yang engkau lakukan tadi malam? Apa gerangan yang menyebabkan hal tersebut? Rasul SAW bersabda: betul! Shalat itu merupakan shalat yang penuh harap dan cemas; aku memohon kepada Allah tuhanku yang maha perkasa dan maha Agung tiga perkara. Namun Ia hanya berkenan padaku tentang dua perkara; yang satunya Ia tolak. Saya bermohon agar Allah SWT tidak menghancurkan umat kami seperti apa yang pernah dilakukan-Nya kepada umat terdahulu, maka Ia berkenan. Saya berdo’a pada Tuhanku agar kami tidak dikalahkan musuh, maka Allah berkenan. Namun tatkala saya bermohon pada Tuhanku agar kita tidak tidak berkelompok-kelompok, maka Allah SWT menolak do‘aku. Hr. Ahmad dan al-Nasa`iy[35]
Dalam hadits ini terungkap bahwa Rasul memohon tiga hal yaitu agar umatnya (1) tidak dihancurkan sebagaimana umt terdahulu, (2) tidak dikalahkan musuhnya, (3) tidak berkelompok-kelompok. Yang dikabulkan Allah adalah dua, sedangkan yang ketiga tidak dikabulkan-Nya. Apa yang tersirat dalam do’a tersebut telah terlihat buktinya; (1) umat Rasul SAW yang berdosa tidak langsung disiksa Allah seperti pada umat nabi Nuh, Nabi Musa, nabi Luth, melainkan ditangguhkan hingga akhirat. Sejak Rasul SAW diutus, tidak terlihat adanya orang kafir yang langsung disiksa akibat kekufurannya. (2) Rasul SAW selama melawan kafirin yang memeranginya, tidak mengalami kekalahan, setelah dipanjatkan do’a ini. (3) Doa Rasul tentang panyatuan pendapat umat dan menghilangkan kelompok yang tidak diperkenankan Allah SWT, juga terbukti saat ini. Di kalangan kaum muslimin terdapat perbedaan faham yang tidak bisa disamakan. Nilai yang terkandung dalam do’a tersebut (1) Rasul selalu berdo’a untuk kemeslahatan umatnya, (2) Umat rasul SAW, walau yang jahat, tidaklah disiksa secara langsung, (3) do’a kemenangan mesti disertai perjuangan, (4) perbedaan faham, merupakan fakta yang tidak bisa dihapuskan, (5) bukan perbedaan pendapat yang dilarang, tapi perpecahan.
(5) Do’a Rasul SAW tentang ampunan bagi musyrik
عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ دَخَلَ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيْ عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَنَزَلَتْ مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Diriwayatkan dari al-Zuhry dan Sa’id bin al-Musayyab dari ayahnya menerangkan: tatkala Abu Thalib menghadapi mati, Rasul SAW menghampirinya. Di samping dia terdapat Abu Jahal, dan Abd Allah bin Abi Umayah. Rasul SAW bersabda: Wahai pamanku, ucapkanlah kalimah لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ supaya aku punya alasan di sisi Allah. Namun Abu Jahal dan Ibn Abi Umayah mengatakan: Hai Abi Thalib, apakah anda akan menyimpang dari kayakinan Abd al-Muthalib? Rasul SAW bersabda: Kalau begitu biarlah aku akan memohonkan ampun untukmu (Abu Thalim), selama tidak dilarang tentangmu. Namun setelah Rasul SAW, hijrah ke Madinah turun ayat مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam (Qs.9:13). Hr. Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan al-Nasa`iy[36]
Hadits ini mengisahkan bahwa Rasul SAW berusaha menaqini Abu Thalib yang sedang sekarat (tahun 10 dari kenabian, atau tiga tahun sebeum hijrah). Namun Abu Thalib tetap berpegang pada agama nenek moyangnya, sehingga membuat Rasul SAW iba. Kemudian turunlah ayat berikut.[37]
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. Qs.28:56
Rasul SAW berjanji akan tetap memohonkan ampun untuk pamannya yang ia cintai, kecuali bila Allah SWT tidk berkenan. Dalam suatu riwayat, Rasul terus berdo’a untuk pamannya itu. Namun setelah sampai di Madinah, turunlah ayat berikut.
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam. Qs.9:113
Itulah contoh do’a nabi yang tidak dikabulkan Allah SWT. Ternyata bukan hanya do’a manusia biasa ada yang ditolak Allah SWT, do’a nabi pun ada yang tertolak. Tentu saja kebijaksanaan Allah SWT intu mengandung hikmah dan nilai yang sangat penting. Oleh karena itu, janganlah buruk sangka terhadap Allah SWT. Dia Maha Tahu yang terbaik.
- Antara Jahar dan Sirr dalam Do’a dan Dzikir
Seperti telah dikemukakan pada penjelasan terdahulu, ayat 186 ini turun berkaitan dengan pertanyaan shahabat tentang cara berdo’a apakah mesti menggunakan suara nyaring ataukah berbisik. Ayat 186 jika dianggap sebagai jawaban tentang pertanyaan tersebut, akan disimpulkan bahwa berdo’a yang tepat dilakukan dengan sirr atau merendahkan suara. Timbul pertanyaan apakah ada do’a yang dilakukan secara jahar? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu menelusuri apa yang dipraktikan Rasul SAW dan shahabatnya.
Do’a Jahar (Suara Nyaring)
Selain berdo’a dengan merendahkan suara, terdapat pula dizkir atau do’a dengan suara terdengar oleh orang lain atau suara nyaring yang disebut pula dzikr jahar. Di antara dzikir atau do’a secara jahar yang dilakukan oleh Rasul SAW antara lain :
(1) Talbiyah
Rasul SAW bersabda:
جاءني جبريل فقال يا محمد مر أصحابك فليرفعوا صياحهم بالتلبية فإنها شعار الحج
Jibril mendatangiku dan berkata: Hai Muhammad perintahlah shahabatmu untuk meninggikan suara dengan talbiyah, karena merupakan syi’ar ibadah haji. Hr, Ibn Khuzaimah al-Hakim[38]
(2) Tasbih ba’da witir
عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يُوتِرُ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَيَقُولُ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ
Diriwayatkan dari Sa’id bin Abd al-Rahman bin Abza dari ayahnya dari Nabi SAW. Sesungguhnya beliau shalat witir dengan membaca سَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى dan وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ dan هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ Sedangkan setelah beliau salam membaca سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ sebanyak tiga kali dengan suara nyaring. Hr. al-Bukhari dan Muslim
Dalam beberapa riwayat juga diterangkan bahwa Rasul SAW berdo’a dengan suara nyaring sehingga terdengar oleh shabatnya ketika (3) istisqa do’a meminta hujan, (4) Do’a ketika Perang Ahzab, terutama untuk meningkatkan semangat bekerja Hr. al-Bukhari, Muslim,[39]; (5) berdo’a dalam mengakhiri khutbah; (6) Do’a setelah Thawaf menuju Maqam Ibrahim.
-=o0o=-
[2] Syihab al-Din Ahmad, Abu al-Fadl, al-‘Ijab fi Bayan al-Asbab, I h.434
[3] Abd al-Rahman al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul, I h.33
[4] Tafsir al-Baghawi, I h.155
[5] Abd al-Rahman bin Ali al-Jawzi, Zad al-Masir fi ilm al-Tafsir, I h.189
[6] al-‘Ijab fi Bayan al-Asbab, I h.435
[7] al-Jami li Ahkam al-Qur`an, II h.308
[8] Tafsir Ibn Abi Hatim, I h.476
[9] Ruh al-Ma’ani, II h.131
[10] al-bahr al-Muhith, II h.214
[11] Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, II h.151
[12] Sunan Ibn Majah, I h.557
[13] Syu’b al-Al-Iman, III h.407
[14] (Tafsir Al-Maraghi, II h. 75).
[15] Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, II h.151
[16] Sunan Ibn Majah, I h.557
[17] Syu’b al-Al-Iman, III h.407
[18] (Tafsir Al-Maraghi, II h. 75).
[19] Shahih Maslim, IV h.2096
[20] al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil, III: 97
[21] (Sunan Ibnu Majah, I: 23),
[22] al-Zuhayli, al-tafsir al-Munir, II h.155
[23] Kamus al-Munawir, h.534-535
[24] Ishlah al-Wujuh wa al-Nazha`ir, h.205-206
[25] Al-Syawkani, Fath al-Qadir, I h.185
[26] Ibn Jarir al-Thabari (w.310H), Jami al-Bayan, II h.160
[27] Abu Bakr al-Bayhaqi, Syu’b al-Iman, VI h.249
[28] al-Mustadrak al al-Shahihain, juz VII h.312
[29] Sunan al-Tirmidzi, no.2095
[30] Shahih al-Bukhari, IV h.1661
[31] Shahih al-Bukhari, IV h.1493
[32] Shahih Muslim, I h.467
[33] Shahih Ibn Khuzaimah, I h.312-315
[34] Shahih Muslim, I h.466, Shahih Ibn Khuzaimah, I h.315
[35] Musnad Ahmad, V h.108, Sunan al-Nasa`iy, III h.216
[36] Musnad Ahmad, V h.433, Shahih al-Bukhari, I h.457, Shahih Muslim, I h.54, Sunan al-Nasa`iy, IV h.90
[37] Shahih al-Bukhari, IV h.1789
[38] Shahih ibn Khuzaimah, IV h.174, al-Mustadrak, I h.620
[39] Shahih al-Bukhari, III h.1103
[40] Shahih al-Bukhari, II h.676, Sunan al-Tirmidzi, V h.210
[41] Ibn Jarir al-Thbari, Tafsir al-Thabari, III h.424
[42] (Al-Qasimi, Mahasin al-Ta`wil, III: 111)
[43] Tafsir al-Thabari, III h.488
[44] (Tafsir Al-Maraghi, II: 77)
[45] Shahih al-Bukhari, II: 234.
[46] Al-baghawi, I h.207
[47] Sa’id Hawab (Al-Asas: 419).
[48] Al-Qur`an dan tarjamahnya, (1981),h.45).
[49] al-Qur`an dan tafsirnya, (1981:27)
[50] Sa’id hawa,(Al-Asas fi al-Tafsir: 420)
[51] Tafsir al-Baghawi, I h.206
[52] (Al-Maraghi, II h. 78).
[53] (Al-Maraghi,II: 80).
[54] (Al-Qasimi, III: 125)
[55] (Shahih Bukhari, II h.228, Sunan Abi Dawud, II h.307) dari Abi Hurairah.
[56] (Ashan’ani, Subul al-salam, II h. 157)
[57] shahih al-Bukhari, I h.387
[58] shahih al-Bukhari, no.1842
[59] shahih Muslim, no.1964
[60] shahih muslim, no 1838, sunan al-Tirmidzi, no.635
[61] shahih al-Bukhari, no.1789
[62] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, I h. 235
[63] shahih Ibn Hibban, no.622 dan al-Atsar li al-Thahawi, no.4009
[64] Shahih Muslim, IV h.2074
[65] Musnad Ahmad, 11461
[66] shaih Muslim, no.1874
[67] shahih Muslim, 3202
[68] Thabarani, juz XI h.84, nomor 13468, menurut al-Albani hadits hasan (silsilah al-Shahihah, II h.602)