07.HADITS RIWAYAT BUKHARI TENTANG NIAT DAN HIJRAH seri 03
D. Syarah Hadits
1. Penjelasan Kalimat
1. عَن أمِيْر المُؤْمِنِيْن أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
Kalimat ini menunjukkan bahwa al-Nawawi mengutip hadits langsung menyebut rawi shahabi, tidak menyebutkan mata rantainya dari Umar hingga al-Bukhari.
2. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
Dia berkata: Saya mendengar Rasul SAW bersabda. Kalimat سَمِعْتُ menunjukkan bahwa Umar bin al-Khathab mendengar langsung sabda Rasul yang diriwayatkannya, tanpa perantara. Ditinjau dari sudut penggunaan kata, سَمِعْتُ menunjukan lebih otentik dengan kata قَال atau يَقُوْل. Perkataan سَمِعْتُ dalam hadits qawli ini, setaraf dengan رَأَيْتُ dalam hadits fi’liy.
Menurut riwayat lain, sebagai makna dikutip pada perbandingan matan di atas, Umar bin al-Khathab menyampaikan hadits ini tatkala khutbah di atas mimbar.[1] Namun jika dilihat dari mata rantainya, ternyata hanya Umar bin al-Khathab yang meriwayatkan hadits ini, tidak ditemukan shahabat lain yang meriwayatkannya. Oleh karena itu, hadits ini shahih karena kualitas rawi sejak shahabat hingga mukhrijnya dapat dipercaya.
Namun ditinjau dari sudut kuantitas rawi, hadits ini tidak termasuk mutawatir[2], melainkan hadits ahad. Dikatakan demikian karena tidak ditemukan yang meriwayatkan hadits ini, dari Rasul SAW selain Umar bin al-Khathab. Tidak ditemukan yang meriwayatkan hadits ini dari Umar, selain Alqamah bin Abi Waqas. Tidak terdapat yang meriwayatkan hadits ini dari Alqamah, selain Muhammad bin Ibrahim al-Taymi. Tidak terdapat yang meriwayatkan hadits ini dari al-Taymi, selain Yahya bin Sa’id. Sedangkan dari Yahya bin Sa’id cukup banyak rawi yang meriwayatkannya.
Ulama muhadits pun tidak kurang dari sembilan mukhrij yang mengutip hadits tentang niat ini. Imam al-Bukhari, sebagaimana dapat dilihat pada bagian sanad di atas, mencantumkan hadits ini secara berulangkali. Menurut al-Syafi’iy (150-204H), hadits ini dikutip dalam tujuh puluh bab fiqih. Menurut Ibn Daqiq al-Ied (625-702H), yang mengutip hadits ini melebihi dua ratus orang ulama.[3]
3. إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niat. Perkataan إِنَّمَا menurut ilmu Balaghah berfungsi الْحَصر yaitu:
إثْبَات الحُكْم فِي الْمَذْكُوْر وَنَفْيُه عَمَّا سِوَاه
Menetapkan hukum yang disebutkan dan menafikan yang lain, atau:
إخْتِصَاص الْمَذْكُور بِالوَصْفِ الْمَذْكُور دُوْنَ غَيْرِه Mengkhususkan yang disebut dengan sifat yang disebutkan berikutnya dan menapikan selainnya[4].
Oleh karena itu sering diartikan sesungguhnya hanyalah, atau sangat ditentukan olehnya. Ditinjau dari sudut ilmu nahwu, الأَعْمَالُ merupakan مبْتَداء atau pokok kalimat, yang predikatnya adalah بِالنِّيَّاتِ. Perkataan الأَعْمَالُ merupakan bentuk jama dari العْمَلُ yang berarti perbuatan atau tindakan baik yang bersifat kata, rasa, maupun raga, dan sikap, ucap atau tindakan anggota badan.
Huruf ب yang menjadi harf al-Jar pada بِالنِّيَّاتِ tentunya mempunyai arti cukup luas. Al-Ghalayini, dalam kitabnya Jami al-Durus al-Arabiyah yang selesai disusun tahun 1330 H (1912 M), menjelaskan bahwa arti perkataan بِ , hingga tiga belas makna,[5] seperti (1) ilshaq yang bermakna dengan, (2) al-isti’anah (pertolongan atau bantuan), (3) al-sababiyah (sebab atau karena), (4) al-ta’diyah (berfungsi mentransitifkan kata kerja yang intransitif), (5) al-Qsam (sumpah), (6) al-‘Iwadl (tebusan), (7) al-Badl (pengganti), (8) al-Zharfiyah (berarti pada, di), (9) al-Mushahabah (beserta), (10) al-Tab’idliyah (sebagian), (11) makna عن (tentang), (12) al-Isti’la ( atas), dan (13) al-ta`kid atau al-zâ`idah, sebagai kata tambahan untuk penguat kata setelahnya.
Dengan demikian arti ِ بِالنِّيَّاتِantara lain: (1) dengan niat, (2) disertai niat, (3) karena dan dilatarbelakangi oleh niat, (4) tergantung pada niat, (5) berada pada niat, (6) bersama niat, dan (7) atas niat.
2. Pengertian Niat
Perkataan النِّيَّات merupakan jamak dari النِيَّة yang dalam riwayat lain tidak dalam bentuk jamak, berasal dari kata نَوَى . Niat menurut bahasa adalah القّصْدُ menyengaja, atau menentukan tujuan. Karena menyengaja atau menentukan tujuan, tentu saja terletak pada hati. Orang yang melakukan sesuatu, tidak akan diketahui niatnya untuk apa dan karena apa. Yang mengetahui niat seseorang, hanya Allah SWT dan diriya sendiri. Mansur Ali Nashif, Guru Besar al-Azhar Mesir,[6] berkomentar:
Niat menurut bahasa berarti menyengaja. Hakikat niat menurut syari’ah ialah menyengaja sesuatu yang dibarengi dengan perbuatan. Hukum niat adalah fardlu dalam segala amal. Tempat niat adalah hati. Tidak cukup mengucapkannya bila hati lalai atau lupa.
Dengan demikian niat itu merupakan upaya sengaja dalam melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Berbuat tanpa niat berarti amal tanpa tujuan, tanpa kesengajaan. Selanjutnya Mansur Ali Nashif berpandangan bahwa melafalkan niat adalah mempunyai keutamaan untuk meyakinkan hati. Ikrar lisan menurut beliau berfungsi penguat hati dan tekad. Dalam shalat melafalkan niat seperti ucapan ushalli dan seterusnya, mau shaum mengucapkan nawaytu, mempunyai keutamaan.[7]
Al-Bahuti berpendapat, ikrar niat sebenarnya cukup dalam hati secara sir.[8] Al-Syairazi berpendapat bahwa niat merupakan fardlu dalam segala ibadah, karena tidak sah tanpa disertainya. Tempat niat adalah hati, mengucapkannya hanya sebagai penguat. Niat itu dalam hati dan tidak mengucapkannya adalah sah.[9] Namun Abd al-‘Aziz bin Baz,[10] menandaskan :
Mengucapkan niat tidak ada dasarnya dalam syari’ah yang suci, tidak terdapat sumbernya dari Rasul SAW, tidak pula dari shahabat.[11]
Suatu amal baik, bisa mempunyai nilai ibadah bila niatnya ikhlas. Amal baik pun bisa tidak bernilai ibadah, kalau niatnya bukan untuk Allah SWT. Oleh karena itu, setiap muslim dituntut mengikhlaskan niatnya. Allah SWT berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. Qs.98:5.
3. Fungsi Niat
Fungsi niat, paling penting berdasar ayat tersebut antara lain untuk (1)menentukan dorongan karena menjalankan perintah Allah (2) memusatkan tujuan mencari ridla Allah dengan menjalankan segala perintah-Nya, dan (3) membedakan perbuatan yang satu dengan yang lainnya. Perbuatan yang sama, karena beda niatnya akan berbeda pula hukum dan fungsinya.[12] Apa yang membedakan antara shaum sunat dengan shaum wajib, kalau bukan pada niat. Apa pula perbedaan antara pelaksanaan zakat dengan sedekah sunat, kalau bukan pada niat. Itulah salah satu makna kalimat berikutnya:
4. وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya amal seseorang tergantung pada apa yang ia niatkan.Kalimat ini akan membedakan antara seseorang yang berbuat sesuatu bernilai ibadah dengan yang tidak.[13] Orang yang mempelajari ilmu tauhid, fiqih, atau akhlaq belum tentu menjadi ibadah bila diniatkan untuk menjadi mubaligh tenar, supaya mudah mencari uang. Sebaliknya seorang yang mempelajari ilmu ekonomi, teknologi, atau seni, bisa meraih nilai ibadah bila ditujukan dan digunakan untuk menegakkan al-Islam, jihad fi sabil Allah. Rasul SAW bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu dari yang diharapkan dengannya ridla Allah, tapi ia tidak mempelajarinya kecuali hanya untuk kepentingan dunia, maka ia tidak akan menemukan harumnya surga di hari kiamat. Hr. Abu Dawud 202-275H), al-Turmudzi (209-279H), Ibn Majah (207-275), Ibn Hibban (270-354H), al-Hakim (321-405H)[14]
Thalab ilmu dengan niat ridla Allah, berhasil atau tidak maka tetap mendapat pahala.
Kemudian barangsiapa yang mencari ilmu, dan mendapatkannya, Allah SWT mencatat baginya dua macam dari pahala. Barangsiapa yang mencari ilmu, tapi tidak mendapatkannya, Allah mencatat baginya satu bagian dari pahala. Hr. al-Thabarani (260-360H), al-Bayhaqi (384-458H)[15]
Dengan demikian yang membedakan antara thalab ilmu yang mendapatkan pahala dengan yang tidak, adalah ikhlasnya niat. Kemudian Rasul SAW memberikan contoh dalam kelanjutan haditsnya:
5. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ وَ رَسُولِه فَهِجْرَتُه إلَى الله وَرَسُولِه
Barangsiapa yang hijrahnya pada Allah dan Rasulnya, maka nilai hijrahnya pada Allah dan Rasul.
[1] lihat Shahih Muslim, III h.1515
[2] hadits mutawatir ialah yang diriwayat dari orang banyak, oleh orang banyak, kepada orang banyak, yang mustahil berdusta sama-asama. Hadits tidak mutawatir disebut Ahad
[3] Ibn Daqiq al-Id, Syarh al-Arba’in al-Nawawiyah, h.46
[4] Abd Allah al-Ukburi (538-616H), Imla ma Manna bih al-Rahman, h.25
[5] Mushtafa al-Ghalayini, Jami al-Durus al-‘Arabiyah, III h.166-169
[6] Manshur Ali Nashif, al-Taj al-Jami li Ushul fi Ahadits al-Rasul (disusun 1341-1347H), I h.50
[7] al-Taj, I h.175
[8] al-Bahuti, al-Raudl al-Murba’, h.32
[9] Abu Ishaq Ibrahim bin Ali ibn Yusuf al-Fayruz Abadi al-Syairazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’iy, I h.70
[10] Kepala urusan fatwa dan bimbingan Islam kerajaan Arab Saudi
[11] Abd al-Aziz bin Abd Allah bin Baz, Tuhfat al-Ihwan, h.63
[12] Ahmad bin Taymiyah, Fiqh al-Haj, h.30
[13] Muhammad bin Shalih Utsaymin, Syarh al-Arba’in al-Nawawiyah, h.15
[14] Sunan Abi Dawud, III h.323, Sunan al-Turmudzi, V h.33, Sunan Ibn Majah, I h.92, Shahih Ibn Hibban, I h.279, al-Mustadrak, I h.160,
[15] al-Mu’jam al-Kabir, 22 h.68, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, X h.119