09. Ibadah Shaum jangan berdusta (kajian hadits riwayat al-Bukhari)
Bagian kesembilan:
Ibadah Shaum jangan berdusta
(kajian hadits riwayat al-Bukhari)
- Teks Hadits Yang Dikaji
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Adam Bin Abi Iyas telah menyampaikan hadits pada kami. Ibn Abi Dzinb menyampaikan hadits pada kami. Sa’id al-Maqburi menyampaikan hadits pada kami dari ayahnya dari Abi Hurairah berkata, Rasul SW bersabda: Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan keji dan tidak meninggalkan pekerjaan keji, maka tidak ada hajat bagi Allah dalam meninggalkan makan dan minum orang itu. Hr.al-Bukhari.[1]
- Sekilas Mata Rantai Hadits
Al-Bukhari (194-256H/810-870M) meriwayatkan hadits ini yang diterima langsung dari آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ Adam bin Abi Iyas sebagai gurunya yang menyampaikan hadits sebanyak 194. Adam bin Iyas adalah seorang ulama hadits dari kalangan Tabi al-Tabi’in junior bertempat tinggal di Baghdad julukan Abu al-Hasan wafat tahun 220H. Beliau menerima hadits dari ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ yang benma asli Muhammad bin Abdirrahman bin al-Haris bin Abi Dzi`b dikenal pula dengan nama Abu al-Harits bertempat tinggal di Madinah termasuk Tabi al-Tabi’in wafat tahun 158H. Al-Bukhari meriwayatkan hadits mellui beliau sejumlah 59 hadits. Ibn Di`b menerima hadits dari سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ yang benama asli Sa’id bin Abi Sa’id Kaisan yang dijuluki Abu Sa’ad, seorang Tabi’in pertengahan, lama hidup di Madinah, wafat tahun 123 H. beliau menerima hadits dari أَبِيهِ (ayahnya) yang bernama Kaisan dengan panggilan Abu Sa’id kalangan tabi’in senior bertempat tinggal di Madinah, wafat tahun 100H. Beliau menerima hadits dari Abi Hurairah yaitu Abdurahman bin Shahr sebagaimana telah diuraikan dalam makalah terdahulu riwayat lengkapnya sebagai seorang shahabat Rasul yang paling banyak meriwayatkan hadit, wafat di Madinah tahun 57H. al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abi Hurairah sebanyak 1039 hadits.
- Popularitas Hadits
Hadits ini diriwayatkan pula oleh banyak muhaddits terutama penysun kitab al-Kutub al-Sittah seperti Abu Dawud, Ibn Majah, dengan redaksinya ada yang sama ada pula yang sedikit berbeda. Lihat table berikut:
No | NAMA MUHADDITS | REDAKSI HADITS |
1 | Abu Dawud (202-275H).[2] | مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ |
2 | Al-Tirmidzi (209-279).[3] | مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ بِأَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ |
3 | Ibn Majah (209-273H).[4] | مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْجَهْلَ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَا حَاجَةَ لِلَّهِ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ |
- Sekilas Syarah Hadits
- مَنْ لَمْ يَدَعْ
Perkataan يَدَعْ pada kalimat ini berasal dari وَدَعَ – يَدَع yang menurut ahli bahasa berarti تَرَكَ – يَتْرك berarti meninggalkan. Dengan demikian مَنْ لَمْ يَدَعْ berari “barang siapa yang tidak meninggalkan”. Kalimat ini tentu belum sempurna dan mesti ada sambungan sebagai jawabannya.
- قَوْلَ الزُّورِ
Perkataan قَوْلَ yang berarti “ucapan atau perkataan” merupakan objek kata kerja sebelumnya. Sedangkan الزُّورِ terkadang bermakna الكِذب bohong, terkadang berarti الزِّيْف palsu atau kepalsuan, terkadang berarti البُهْتان tuduhan palsu atau tuduhan yang mengandung kebohongan. Al-Asqalani mengartikan قَوْلَ الزُّورِ pada hadits ini الكذب atau dusta, yang dalam redaksi al-Shaghani terdapat kalimat فِي الصَّوم dalam keadaan shaum.[5] al-Syaukani mengartikan قَوْلَ الزُّورِ dengan الكذب والميل عن الحق (dusta dan menyimpang dari kebenaran).[6] Al-Thiby berkomentar bahwa pengertian asal dari kata قَوْلَ الزُّورِ adalah dusa dan tuduhan palsu, tapi dalam hadits ini mencakup segala perkataan keji seperti (1) perkataan yang menjurus pada kekufuran, (2) saksi palsu, (3) tuduhan palsu, (4) mengada-ada, (5) menjelekkan orang lain, (6) mencaci, (7) mengutuk (8) mencela, (9) memaki dan sebangsanya yang diharamkan syari’ah.[7]
- وَالْعَمَلَ بِهِ dan (tidak meninggalkan) perbuatan keji
Kalimat الْعَمَلَ ini merupakan sambungan dari قَوْلَ الزُّورِ maka menggunakan baris yang sama. Sedangkan kata ganti بِهِ merujuk pada الزُّور (keji, buruk, kotor). Oleh karena itu makna وَالْعَمَلَ بِهِ adalah وَلَم يَدَع العَمَل بِالزُّر (dan tidak meninggalkan perbuatan keji).
- فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُmaka tidak butuh bagi Allah orang itu dalam meninggalkan makanan dan minumannya.
Menurut sebagian ulama kalimat ini merupakan kinayah bahwa Allah tidak mempunyai tanggung jawab untuk memberi pahala. Ada juga yang mengatakan sebagai celaan Allah pada orang yang tidak mau meninggalkan yang keji, seperti kalimat yang biasa disampaikan pada orang dicela : emangnya aku butuh kamu?”, atau “aku tidak membutuhkan kamu”. Orang Arab kalau sedang memarahi temannya mengatakan لاَ حَاجَةَ لِي فِي كذَا (tidak ada kebutuhan bagiku dalam hal itu!). Perlu diketahui bahwa Allah SWT itu tidak membutuhkan apa pun dan siapapun. Al-Shan’ani berpendapat bahwa kalimat ini merupakan kinayah yang mengandung makna bahwa shaum tanpa meninggalkan keburukan tidak akan mendapat pahala dari Allah SWT.[8] Kalimat ini tentu saja bukan berarti dipersilakan meninggalkan shaum yang diakibatkan tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan keji, tapi lebih tegas memerintah agar shaum itu berdampak pada akhlaq.[9] Tegasnya Jika shaum ingin bernilai serta meraih pahala, maka selain menahan makan dan minum, juga mesti menjauhi perkataan dan perbuatan keji. Kalau melihat redaksi al-Tirmidzi yang bunyinya فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ بِأَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُTidak ada bagi Allah suatu hajat dengan meninggalkan mekan dan minum di waktu shaum, kalau tidak meninggalka perkataan dan perbuatan keji. Oleh karena itu, agar mendapat pahala dari Allah SWT, maka dengan meninggalkan makan dan minum selama shaum mesti disertai meningalkan perbuatan dan perkataan keji.
- Beberapa Ibrah
- essensi hadits
- Ibadah shaum, selain meninggalkan makan dan minum, serta meninggalkan yang membatalkannya di siang hari, juga mesti disertai menjauhi ucap, sikap dan tindakan yang diharakan.
- Perbuatan dusta, saksi palsu, dan menipu merupakan dosa yang dapat menggugurkan nilai ibadah shaum. Jika perbuatan tersebut masik tetap dilakukan ketika shaum, maka Allah SWT tidak memberikan pahala dari ibadah shaumnya, melainkan hanya memenuhi kewajiban.
- Nilai ibdah shaum bukan ditentukan oleh lapar atau dahaga di siang hari tapi ditentukan oleh ada atau tidaknya dampak pada perbaikan akhlaq dan sikap.
- bahaya dusta
seperti tersirat dalam hadits di atas, bahwa dengan berdusta, maka pahala ibadah shaum akan hilang. Dengan demikian bahya dusta berdasar hadits ini adalah hilangnya kualitas ibadah shaum. Selain itu banyak bahaya lain dari dusta baik yang tersirat dalam hadits lain, maupun ditinjau dari sudut pesikis yang berdampak megatif pula bagi fisik.
Perkataan bohong sering muncul disebabkan beberapa factor antara lain (a) lemah jiwa dan mentalnya, (b) kegoncangan jiwa, (c) senang dengan perhatian manusia atau pandangan manusia, (d) senang bergurau atau bercanda yang berlebihan, (e) rasa dengki dan iri yang ada, (f) lingkungan buruk yang mempengaruhi, (g) pencitraan diri supaya selalu dianggap baik oleh orang lain.
Pada dasarnya setiap bohong berdampak negatif dan resiko sesuai dengan tingkat kebohonganya itu. Seseorang apabila sudah berdusta atau berbohong, maka pada dasarnya dia harus siap berbuat kebohongan yang lainnya untuk menutupi kebohongan yang pertama. Kebohongan memang biasanya bersambung bahkan sampai seorang itu menjadi pembohong, karena tidak bisa berhenti untuk berbohong. Itulah salah satu makna sabda Rasul SAW.
وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Sesungguhnya bohong itu mengarah pada kejahatan. Sedangkan kejahatan mengarahkan kepada neraka. Seseorang yang akan berbohong terus hingga tercatat di sisi Allah sebagai pembohong. Hr. al-Bukhari.[10]
Berdasar hadits ini betapa bahya berbohong, karena akan menjadi penyakit yang kronis sulit disembuhkan. Karena sulit disembuhkan maka menjadi penderita penyakit kebohongan. Penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan oleh fihak lain dengan obat apapun, kecuali dirinya sendiri yang berusaha menyembuhkannya dengan segera berhenti. Dengan demikian menyelesaikan kebohongannya dengan mangaku dan menutupnya dengan taubat atau minta maaf kalau hal itu bersangutan dengan manusia. Tidak sedikit orange yang kurang memperhatikan hal ini, bahkan ada yang beranggapan kalau bohong sedikit tidak apa-apa atau tidak dosa. Tidak aneh penyakit tersebut melanda penceramah, apalgi pelawak. Di antara mereka berani berbohong dengan membuat kisah tanpa data agar dapat menarik perhatian yang diajak bicara, atau dapat menghibur hadirin. Membikin cerita bohong supaya hadirin bisa tertawa. Perbuatan semacam ini sungguh sangat tercela, dan menjerumuskan pada kehancuran. Rasul SAW bersabda:
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
Kecelakaan bagi orang yang berbicara kemudian dia berbohong supaya suatu kaum (fihak lain) tertawa. Sungguh kecelakaan bagai dia. Sungguh kecelakaan bagai dia. Hr. al-Tirmidzi.[11]
Berbohong tidaklah dibenarkan, baik sungguh-sungguh ataupun sekedar main-main saja. Sering kita lihat, orang kalau sudah kumpul dengan temannya akan berupaya membuat senang dan tertawa teman-temannya walaupun harus berbohong! Ternyata bohong semacam itu walau menarik orang lain bisa tertawa membawa bahaya, bahkan sampai tiga kali Rasul SAW menyampaikan kata وَيْلٌ pada haditsnya. Kata orang, lisan adalah daging tak bertulang, apabila manusia tidak menjaga lisannya, maka kebinasaanlah yang ia dapat. Ingatlah selalu, tidak ada satu ucapan pun yang keluar dari mulut, kecuali ada malaikat yang mencatat. Allah berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18)
Dampak negative dari bohong sebenarnya bukan hanya pada penyakit ruhani, melainkan berpengaruh juga pada penyakit jasmani. bahaya bohong ternyata juga besar. Bohong tidak hanya membuat orang lain tidak mempercayainya, tetapi juga dapat berakibat fatal bagi kesehatan dirinya sendiri. Bahaya berbohong bagi kesehatan seperti dikutip dari buku Ayat-ayat Sehat karya Yuga Pramita: Pada saat berbohong, seseorang sejatinya sedang melawan apa-apa yang sebenarnya harus disampaikan. Jangan heran jika dalam kondisi demikian, terjadi konflik batin yang tak mustahil membuat jiwa seseorang tertekan. Dr. Dr. Ari F. Syam, Sp.PD-kGEH, MMB, FINASIM, FACP., spesialis penyakit dalam FK-UI dan RSCM mengatakan, tekanan jiwa (setelah melakukan kebohongan) akan menyebabkan gangguan jiwa (neurosis), baik depresi, ansietis, maupun gangguan fisik akibat kejiwaan berupa penyakit psikomatik. Psikomatik adalah penyakit fisik yang didasari oleh penyakit psikis.
Sementara menurut Saudra Dalton-Smith M.D.,penulis Set Free to Live Free, berbohong dapat meningkatkan hormon stres yang bisa mengakibatkan degup jantung dan tarikan napas meningkat, pencernaan melemah, serta saraf dan otot menjadi sangat sensitif. Sekali dua kali hal ini mungkin tidak berpengaruh serius. Akan tetapi, jika sering terjadi-lantaran pengaruh peningkatan tekanan darah setiap kali melakukan pembohongan- situasi ini dapat memicu tercetusnya beragam penyakit gawat seperti jantung koroner, stroke dan gagal jantung kongestif.
Sehat adalah suatu kondisi tubuh, baik fisik maupun mental yang berfungsi secara normal. Berbohong yang merupakan perilaku ternyata memiliki pengaruh terhadap kondisi fisik dan non fisik tubuh. Kajian penelitian aspek berbohong dari tinjauan kesehatan kekinian telah dapat diungkap bahwa perilaku bohong menjadi penyebab timbulnya penyakit jantung koroner, stroke dan gagal jantung pada pelakunya. Ketika seseorang berbohong, maka yang timbul adalah emosi negatif yang berkembang menjadi stres yang dipendam, dan tanpa sadar psikosomatis terpicu.
Psikomatis adalah gangguan psikis yang tampil dalam bentuk gejala-gejala fisik. Bentuk gangguan psikomatis misalanya, naiknya tekanan darah, naiknya kadar asam lambung, sesak nafas, insomnia, alergi kulit hingga nafsu makan yang hilang. Awalnya bukan pada gejala fisik, namun dengan adanya pikiran negatif atau masalah emosi, maka berdampaklah pada fisik tubuh.
Tubuh seseorang yang berbohong tersebut banyak mengeluarkan hormon yang besarannya seakan sama dengan seseorang yang sedang menghadapi pilihan yang sangat sulit untuk diputuskan saat itu juga, misalnya lari kencang. Berbohong akan selalu menyertai pelakunya. Perasaan bersalah dan gelisah akan menyebabkan hormon stres keluar sangat beragam, dan pada umumnya adalah kortisol dan norepinefrin. Hormon ini menyebabkan degup jantung dan tarikan nafas meningkat, sistem pencernaan melemah, saraf dan otot menjadi sensitif. Kortisol sendiri meningkatkan kadar gula darah dan menekan sistem kekebalan tubuh, sedangkan norepinefrin memicu timbulnya respon yang membuat detak jantung semakin cepat dan tekanan darah meningkat cepat.
Berbohong sesekali saja memang tidak langsung membuat pelakunya terkena stroke, namun jika menjadi kebiasaan seiring dengan komplikasi tekanan darah tinggi, juga dapat beresiko terkena penyakit yang sama dengan seseorang yang mengalami stres kronis, seperti kanker, diabetes, jantung koroner, stroke dan gagal jantung kongestif. Mereka yang berbohong setiap hari atau telah menyimpan rahasia besar selama bertahun-tahun dimungkinkan akan lebih beresiko mengalami gangguan kesehatan dibandingkan yang jarang atau tidak pernah berbohong. Kondisi psikologis seseorang sangat erat hubungannya dengan kesehatan secara fisik. Termasuk ketika orang banyak berbohong, maka rahasia-rahasia yang tersimpan di kepalanya akan membebani pikiran dan akhirnya berdampak secara fisik.
Dalam beberapa dokumen terungkap dampak negative dari berbohong, antara lain (a) Selalu tertekan. Saat seseorang memegang rahasia, secara natural pikirannya akan berusaha menjaga rahasia itu agar tidak terungkap pada waktu yang tidak terpat. Masalahnya, pikiran seperti itu hanya akan membuat orang tersebut semakin tidak bisa melupakannya. Penelitian di Journal of Personality and Social Psychology menunjukkan orang yang disuruh untuk tidak memikirkan beruang putih justru lebih susah menyingkirkan beruang putih dari pikirannya. Dalam kondisi tertekan seperti itu, seseorang akan mengalami gejala post-traumatic stress disorder, depresi, serta gangguan obsesif kompulsif. (b) Susah focus. Menyimpan rahasia efeknya sama seperti lampu yang menyilaukan atau rekan kerja yang menyebalkan. Dalam sebuah studi, mahasiswa yang diminta menyimpan sebuah rahasia lebih lambat dalam mengerjakan tes di komputer. Alasannya, memikirkan secara aktif agar rahasia itu tidak terungkap sangat mengganggu konsentrasi. (c) Cepat obesitas. Efek ini mungkin jarang diperhatikan, namun bisa dijelaskan oleh hasil penelitian di Tufts University. Menurut penelitian itu, sebuah aktivitas fisik akan terasa lebih berat dari yang sebenarnya ketika seseorang banyak menyimpan rahasia. Misalnya, menyusuri tebing jadi tampak lebih terjal. Saat seseorang berbohong, bagian otak yang berhubungan dengan rasa terbebani secara fisik akan terpengaruh. Tidak hanya terbatas pada persepsi, namun secara fisik akan mengalami penambahan beban dalam bentuk badan berlemak tinggi. (d) Memperpendek usia. Berbagai penelitian membuktikan betapa bahayanya menyimpan banyak rahasia. Korban Hollocaust atau pembantaian etnis Yahudi di masa perang dunia II cenderung lebih sehat ketika mau terbuka saat diwawancara. Pasien HIV yang tidak mau mengakui kalau dirinya homoseksual cenderung meninggal lebih cepat dibanding yang terang-terangan mengakui.
Tentu saja masih banyak dampak egatif dari bohong, baik pada ruhani maupun jasmani.
[1] Shahih al-Bukhari, juz VI h.472 no.1770
[2] sunan Abi Dawud, no.2015
[3] sunan al-Tirmidzi, no.641
[4] sunan Ibn Majah, no.1679
[5] Fath al-Bari, juz VI h.142
[6] Faidl al-Qadir, juz VI h.290
[7] al-Mubarahfuri, Tuhfat al-Ahwadzi, juz II h.243
[8] subul al-Salam, II h.157
[9] Ahmad Abd al-Rahman al-Banna, al-Fath al-Rabbani, X h.76
[10] shahih al-Bukhari, Juz XIX h.45 no.5629
[11] sunan al-Tirmidzi, Juz XIII h.172 nomor 4338