10.HADITS RIWAYAT MUSLIM TENTANG KETENTRAMAN seri 02
C. Perbandingan Matan Hadits
Hadits ini diriwayatkan pula oleh rawi yang lainnya seperti dapat dilihat pada tabel berikut.
MUKHRIJ |
KITAB |
REDAKSI HADITS |
AHMAD (164-241) |
Musnad Ahmad, II h.252 |
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ |
MUSLIM (206-261) |
Shahih Muslim, IV h.2074 |
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ |
ABU DAWUD (202-275) |
Sunan Abi Dawud, IV h.287 |
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ |
IBN MAJAH (207-275) |
Sunan Ibn Majah, I h.82 |
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ |
AL-TURMUDZI (209-279 |
Sunan al-Turmudzi, IV h.34 |
مَنْ نَفَّسَ عَنْ أَخِيهِ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا قَعَدَ قَوْمٌ فِي مَسْجِدٍ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ |
Hadits ini ternyata diriwayatkan oleh beberapa rawi tapi melalui satu shahabat yaitu Abu Hurairah. Redaksi matannya tidak terdapat perbedaan yang mencolok.
D. Syarah Hadits
1. مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang menolong mengatasi kesulitan mukmin di dunia, Allah SWT akan menghilangkan kesusahannya di akhirat.
Perkataan نَفَّسَ bermakna memberi peluang orang untuk bisa bernafas dengan lega. Kalimat نَفَّسَ كربة berarti membantu orang yang sedang mengalami kesulitan. Dalam riwayat lain, redaksinya adalah:
Barangsiapa meringankan penderitaan seorang muslim, Allah SWT akan meringankan beban dia dari berbagai beban penderitaan di hari Kiamat. Hr. Ibn Hibban (270-354H).[1]
Perbuatan semacam ini termasuk akhlak yang mulia yang cukup besar pahalanya, terutama pada hari Kiamat oleh Allah SWT bakal dibebaskan dari segala kesulitan. Hari Kiamat adalah hari kesulitan yang dialami oleh manusia, kecuali yang selama hidupnya di dunia sering memberikan bantuan mengatasi kesulitan sesamanya. Adapun cara mengatasi kesulitan sesama, tergantung pada yang dibutuhkannya, baik yang bersifat materi atau pun immateri. Menolong orang yang teraniaya, mengobati orang sakit, memberikan bimbingan atau nasihat pada yang membutuhkannya, mendengarkan keluhan yang mencurahkan isi hatinya, juga termasuk pada perbuatan yang bisa memudahkan kesulitan hari Kiamat.
2. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَلآخِرَةِ
Barangsiapa yang membantu memudahkan orang yang kesulitan, Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat.
Memberikan kemudahan bagi yang sedang kesulitan, sebenarnya hampir sama dengan memberikan peluang seperti pada kalimat sebelumnya. Namun yang kedua ini lebih khusus pada memperlancar sesamanya dalam menjalankan usaha, baik yang bersifat duniawi, seperti perniagaan, maupun ukhrawi peribadatan dan kewajiban keagamaan.[2] Allah SWT berfirman:
مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقِيتًا
Barangsiapa yang memberikan syafa`at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) daripadanya. Dan barangsiapa yang memberi syafa`at yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Qs.4:85
Memberikan syafaat yang baik adalah menolong orang lain, memberikan jalan keluar, dalam mengatasi kesulitan, atau mencegahnya dari berbagai kemadaratan. Membuka jalan untuk mendapatkan kebaikan, berarti member syafa’at yang baik. Memberi peluang untuk keburukan, berarti memberi syafaat yang buruk.[3] Rasul SAW bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Barangsiapa yang memberi petunjuk (bimbingan) kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang berbuat kebaikan itu. Hr. Muslim (206-261H).[4]
3. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.
Kalimat ini mengandung jaminan bagi seorang muslim yang menyembunyikan kejelekan orang, akan mendapat perlindungan Allah SWT di akhirat dari terungkapnya kehinaan. Hari akhirat adalah hari terbukanya segala perbuatan baik, maupun jahat yang dilakukan manusia. Rasul SAW dengan hadits ini mendorong agar menutupi aib sesama muslim yang mesti ditutupi. Orang yang mesti ditutupi aibnya antara lain orang yang pernah berbuat salah kemudian bertaubat. Adapun cara menutupi aib sesama muslim yang terlanjur sudah terungkap di khalayak umum, antara lain dengan cara mengungkap kebaikan-kebaikannya, karena tidak mungkin yang buruk itu tidak memiliki kebaikan sama sekali. Cara ini tersirat pada firman Allah SWT:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
Sesungguhnya perbuatan baik itu menghilangkan perbuatan jelek. Qs.11:114
Dengan mengungkapkan kebaikan-kebaikan orang yang memiliki keburukan akan nampak ada keseimbangan. Namun aturan ini tidak berlaku dalam penegakkan hukum yang mesti membongkar kesalahan orang jahat di depan pengadilan. Mengungkap kesalahan penjahat untuk mencegah dan menghentikannya serta menghukum orang yang bersalah merupakan kewajiban setiap orang.[5] Menyembunyikan kesalahan orang jahat di pengadilan adalah sama dengan bersekongkol dalam kejahatan. Allah SWT berfirman:
Tolong-menolonglah dalam kebaikan dan taqwa. Janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Qs.5:2
Mengungkap kejelekan orang yang berbuat jahat karena sebagai saksi di persidangan adalah suatu kewajiban dalam rangka nasihat. Kewajiban saksi adalah bicara secara jujur, walau mesti membongkar kejelekan orang. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Qs.2:283
Ayat ini memerintah agar saksi mau menyampaikan apa adanya tentang yang diketahuinya, walaupun mesti mengungkapkan kesalahan orang lain. Mengungkap kesalahan orang lain, karena jadi saksi dalam persidangan, tidak termasuk ghibah yang tercela, melainkan termasuk nasihat yang wajib.[6] Tidak semua menjelekan orang itu termasuk ghibah yang tercela, tergantung pada situasi dan kondisi keperluannya. Imam al-Hasan menandaskan:
Menjelekan tiga orang, tidak termasuk ghibah yang tercela yaitu orang yang suka memenuhi hawa nafsu, orang fasiq (yang suka maksiat) secara terang-terangan, dan pemerintah yang jahat.[7]
Ibn al-Imad setelah menelaah berbagai ayat dan hadits menyimpulkan bahwa menjelekkan orang yang dibolehkan itu mencapai empat puluh kondisi antara lain: rawi hadits tentang sanad, bendahara mengungkap ketidakjujuran orang, saksi di peradilan, pengawas keuangan atau waqaf. Al-Syawukani dalam salah satu babnya diberi nama بَاب لاَ غِيْبَةَ لِفَاسِق أو مُنَافِق bab tidak termasuk ghibah bagi fasiq atau munafiq.[8]
Dengan demikian menutupi aib atau kejelekan sesama muslim sangat dianjurkan, kecuali dalam keadaan mendesak demi kemaslahatan orang yang lebih banyak. Orang yang menutupi aib sesama muslim akan ditutupi kesalahannya oleh Allah SWT, baik dengan ampunan atau dengan cara yang lainnya.
4. وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Allah SWT senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba itu menolong sesamanya.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan al-Turmudzi dengan redaksi yang sama.[9] Jika ingin mendapat pertolongan Allah, maka berdasar hadits ini mesti senantiasa menolong sesama manusia. Allah SWT senantiasa menolong orang yang selalu memberikan pertolongan. Dalam hadits riwayat al-Hakim diterangkan bahwa Rasul SAW pernah ditanya tentang amal yang utama. Di antara amal yang paling utama adalah (1) menolong sesama, (2) membahagiakan orang yang bersedih, dan (3) mengantar teman yang sedang kebingungan mencari jalan. Bahkan beliau menandaskan:
Seseorang yang pergi dengan temannya untuk membantu mengatasi masalah atau suatu keperluan, itu lebih utama dibanding dengan I’tikaf di Masjid ku ini (sambil berisyarat dengan jari ke Masjid Nabawi), selama dua bulan. Hr. al-Hakim (321-405H).[10]
5. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
Barangsiapa menempuh jalan mencari ilmu, Allah akan memberikan kemudahan baginya jalan ke Surga.
Dalam hadits lain ditandaskan bahwa orang yang mengembangkan thalab ilmu akan mendapat anugrah yang cukup banyak dari Allah SWT. Malaikat mendo’akan ampunan bagi yang mencari ilmu. Rasul SAW bersabada:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Barangsiapa menempuh jalan untuk mendapatkan dan mengembangkan ilmu, Allah SWT memberikan kemudahan baginya jalan ke Surga. Malaikat mengembangkan sayapnya membeberkan keridlaan bagi yang mencari ilmu. Orang yang mencari ilmu dimohonkan ampunan oleh makhluk yang di langit dan bumi hingga ikan di air. Keunggulan yang berilmu dibanding yang beribadah, tak ubahnya antara bulan di banding binatang-bintang yang lainnya. Ulama itu pewaris para nabi. Nabi tidak mewariskan uang dinar atau dirham. Mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil warisan ilmu, berarti mengambil kekayaan yang melimpah. Hr. Ahmad, Abu Dawud, al-Turmudzi, dan Ibn majah.[11]
Hadits ini merupakan jaminan bagi orang yang mencari dan mengembangkan ilmu dan pendidikan. Bahkan tersirat dalam hadits tersebut memberikan fasiltas pengembangan ilmu, jauh lebih utama dibanding mengembangkan fasilitas ibadah ritual. Orang yang rajin ibadah ritual, tanpa mengembangkan ilmu dibandingkan dengan yang mengembangkan ilmu bagaikan perbandingan bulan dengan bintang selainnya.
6. وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْملائِكَةُ
Tidaklah suatu kelompok berkumpul di salah satu rumah dari rumah Allah, lalu membaca kitab Allah, dan mempelajarinya secara mendalam di antara mereka, kecuali Allah SWT akan menurunkan bagi mereka ketentraman dan rahmat yang melimpah. Mereka juga dikerumuni Malaikat, yang mendo’akan. وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ Allah juga menyebut-nyebut kebaikan mereka kepada yang ada di dekat-Nya.
Manfaat memperdalam ilmu keagamaan, khususnya yang bersumber dari al-Qur`an cukup banyak. Orang yang memperdalam keagamaan berdasar hadits ini akan mendapatkan ketentraman, rahmat Allah, dan curahan do’a para malaikat. Allah SWT juga akan mengumumkan kepada makhluk lain tentang kemuliaan derajat yang mengembangkan pendidikan keagamaan.
Makna حَفَّتْهُمْ الْملائِكَةُ , menurut al-Nawawi ialah malaikat akan menjaga orang yang memanfaatkan rumah sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu keagamaan.[12] Oleh karena itu, setiap muslim bertanggung jawab memanfaatkan segala kesempatannya dalam pembicaraan untuk pengembangan kajian syari’ah Islam. Sabda Rasul SAW:
كُلُّ كَلَامِ ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ لَا لَهُ إِلَّا أَمْرٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ أَوْ ذِكْرُ اللَّهِ
Setiap obrolan anak Adam, menjadi tanggung jawabnya dan tidak memiliki nilai apa pun baginya kecuali memerintah yang ma’ruf, mencegah yang munkar, dan dzikir pada Allah SWT. Hr. al-Turmudzi,[13]
Berdasar hadits ini apapun pembicaraan yang tidak mengarah pada dzikir dan pengembangan pendidikan, amar ma’ruf nahy munkar akan sia-sia. Kumpulan banyak orang yang tidak dimanfaatkan untuk mengkaji al-Qur`an dan sunnah akan menjurus kepada pembicaraan yang tidak berarti. Bahkan tidak sedikit yang menjurus kepada senda gurau yang dicampur dusta, yang menimbulkan kotornya hati. Rasul SAW bersabda:
لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الْكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ وَإِنَّ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْ اللَّهِ الْقَلْبُ الْقَاسِي
Janganlah kalian terlalu banyak bicara tanpa dzikir pada Allah. Sesungguhnya banyak bicara tanpa dzikir dapat mengesatkan hati. Sesungguhnya manusia yang paling jauh dari Allah, adalah yang memiliki hati kesat. Hr. al-Turmudzi[14]
Dengan demikian berdasar hadits obrolan yang tidak benafaskan dizikir dapat mengesatkan hati, yang lama kelamaan menjadi gelap, terutama obrolan yang bercampur bohong. Rasul SAW bersabda:
Celakalah orang bicara bercampur bercampur bohong dengan tujuan agar orang lain tertawa. Celakalah, celakalah. Hr. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasa`iy.[15]
Dalam riwayat al-Turmudzi redakinya haditsnya adalah:
Kecelakaan bagi yang bicara dengan suatu pembicaraan dengan tujuan membuat orang tertawa, kemudian mencampuri pembicaraannya dengan bohong. Kecelakaan baginya, kecelakaan baginya. Hr. al-Turmudzi.[16]
7. وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Barangsiapa yang lalai beramal, tidak mungkin dapat mencapai derajat yang dimiliki oleh yang tersebut tadi.
Alangkah ruginya, orang yang tidak mampu menggunakan kesempatannya demi meningkatkan nilai amalnya. Oleh karena itu, tidak boleh ada peluang yang disia-siakan.
E. Beberapa Ibrah
1. Essensi hadits
Dalam Hadits riwayat Muslim dari Abi Hurairah ini, terkandung beberapa makna antara lain: (1) bila ingin ringan beban hidup, maka hendaklah memberi keringanan pada orang lain, (2) bila ingin terlepas dari berbagai kesulitan, maka jangan menyulitkan orang, (3) bila tidak mau terungkap aib diri sendiri, maka jangan membukakan aib orang lain, (4) jika ingin mendapat pertolongan Allah, maka seringlah menolong sesama, (5) bila ingin mudah menempuh jalan ke Surga, maka kembangkanlah dunia pendidikan keagamaan, (6) bila ingin meraih ketentraman di rumah, maka manfaatkanlah untuk lembaga pengkajian al-Qur`an, (7) bila igin mendapat rahmat Allah dan penjagaan Malaikat, maka manfaatkanlah segala peluang untuk meningkatkan kualitas ibadah ritual dan sosial.
2. Mewujudkan Ketentraman
Langkah mewujudkan ketentraman berdasar hadits ini antara lain: (1) memberikan kemudahan bagi yang sedang kesulitan, (2) memberikan bimbingan kepada yang memerlukannya, (3) menutupi aib sesama muslim, (4) memberikan bantuan dan pertolongan dalam segala kebaikan, (5) mengisi kegiatan untuk ibadah (7) mengembangkan pengkajian syari’ah dan ilmu keagamaan, (8) menciptakan suasana tenang dan senang bagi setiap orang. Wa Allah A’lam.
[1] Shahih Ibn Hibban, II h.292
[2] al-shan’ani (773-852H), Subul al-Salam, IV h.168
[3] Abu Bakr al-Jaza`iri (tahun 1993M masih menjabat Da’i Masjid Nabawi) Aysar al-Tafasir, I h.516
[4] Shahih Muslim, hadits no.3509
[5] al-Mubarakfuri (1283-1353H), Tuhfat al-Ahwadzi, VIII h.214
[6] Ibn Hajar al-Asqalani (773-852H), Fath al-Bari, V h.97
[7] Abd al-Ra`uf al-Munawi, Faidl al-Qadir, I h.115
[8] Nayl al-Awthar, IV h.162
[9] Sunan Abi Dawud, IV h.287, Sunan al-Turmudzi, IV h.326
[10] al-Mustadrak, IV h.300
[11] Musnad Ahmad, V h.196, Sunan Abi Dawud, III h.317, Sunan al-Turmudzi, V h.148, Sunan Ibn Majah, I h.81,
[12] Tuhfat al-Ahwadzi, VIII h.215
[13] Sunan al-Turmudzi, IV h.608
[14] Sunan al-Turmudzi, IV h.607
[15] Musnad Ahmad, V h.5, Sunan Abi Dawud, IV h.297, al-Sunan al-Kubra, VI h.509
[16] Sunan al-Turmudzi, IV h.557