5. IFADLAH DAN ISTIGHFAR PASCA ARAFAH (kajian al-Baqarah:199)

Fiqih Qs.2: 199 tentang Ifadlah dan istighfar pasca Arafah
Â
- Teks Ayat dan Tarjamahnya
Â
Ø«Ùمَّ Ø£ÙŽÙÙيضÙوا Ù…Ùنْ ØÙŽÙŠÙ’ث٠أَÙَاضَ النَّاس٠وَاسْتَغْÙÙØ±Ùوا اللَّهَ Ø¥Ùنَّ اللَّهَ غَÙÙورٌ رَØÙيمٌ
Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (`Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Qs.2:199
- Kaitan dengan ayat sebelumnya
- Ayat 198 yang lalu mempersilakan jamaah haji untuk mencari karunia Allah berupa rejeki dengan berniaga, di samping mencari rahmat-Nya dengan berdzikir dan berdo’a di Muzdalifah. Ayat selanjutan mengingatkan agar beristigfar mencari ampunan Allah tatkala usai ibadah haji.
- Ayat 198 yang lalu memerintahkan agar setiap jamaah haji melakukan dzikir ketika mabit di Muzdalifah, ayat 199 ini berkaitan dengan perintah istighfar sepulangnya dari Muzdalifah.
- Rasul SAW memberi izin kepada juru pengairan dan jamaah yang udzur untuk meninggalkan Muzdalifah tengah malam. Kaum lanjut usia yang mendapat izin Rasul meninggalkan Muzdalifah antara lain Siti Saudah dan Umm Salamah. Aisyah menerangkan:
اسْتَأْذَنَتْ سَوْدَة٠النَّبÙيَّ صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ لَيْلَةَ جَمْع٠وَكَانَتْ ثَقÙيلَةً ثَبْطَةً ÙَأَذÙÙ†ÙŽ لَهَا
Siti Saudah meinta izi pada Rasul SAW untuk tidak bermalam Muzdalifah, karena lemah dan merasa berat, maka dizinkannya. Hr. al-Bukhari.[1]
أَرْسَلَ النَّبÙيّ٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ø¨ÙØ£Ùمّ٠سَلَمَةَ لَيْلَةَ النَّØÙ’ر٠Ùَرَمَتْ الْجَمْرَةَ قَبْلَ الْÙَجْر٠ثÙمَّ مَضَتْ ÙÙŽØ£ÙŽÙَاضَتْ وَكَانَ ذَلÙÙƒÙŽ الْيَوْم٠الْيَوْمَ الَّذÙÙŠ ÙŠÙŽÙƒÙون٠رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ تَعْنÙÙŠ عÙنْدَهَا
Nabi SAW mengutus utusan membawa Ummi Salamah pada malam nahr untuk melaksanakan jumrah sebelum fajar kemudian melakukannya. Hari itu adalah hari gilirannya bagi dia. Hr. Abu Dawud.[2]
Sedangkan yang sehat, walau kaum wanita tetap berada di Muzdalifah untuk mabit, seperti Siti Aisyah. [3] Dengan demikian, dari Muzdalifah jamaah haji bisa dibagi menjadi tiga kelompok; (1) langsung ke Mekah untuk menyediakan fasilitas jamaah dan petugas haji lainnya (2) kelompok yang pergi ke Mina untuk istirahat bagi yang udzur, (3) tetap di Muzdalifah untuk mabit bagi yang tidak mempunyai alasan syar’iy.
Ayat berikutnya memberikan bimbingan tentang ibadah pasca mabit di Muzdalifah.
- Tinjauan Historis
- A’isyah istri Rasul SAW menerangkan:
كَانَتْ Ù‚ÙØ±ÙŽÙŠÙ’Ø´ÙŒ وَمَنْ دَانَ دÙينَهَا ÙŠÙŽÙ‚ÙÙÙونَ Ø¨ÙØ§Ù„Ù’Ù…ÙØ²Ù’دَلÙÙَة٠وَكَانÙوا ÙŠÙØ³ÙŽÙ…َّوْنَ الْØÙمْسَ وَكَانَ Ø³ÙŽØ§Ø¦ÙØ±Ù الْعَرَب٠يَقÙÙÙونَ Ø¨ÙØ¹ÙŽØ±ÙŽÙَات٠Ùَلَمَّا جَاءَ Ø§Ù„Ù’Ø¥ÙØ³Ù’لَام٠أَمَرَ اللَّه٠نَبÙيَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ أَنْ يَأْتÙÙŠÙŽ عَرَÙَات٠ثÙمَّ ÙŠÙŽÙ‚ÙÙÙŽ بÙهَا Ø«Ùمَّ ÙŠÙÙÙيضَ Ù…Ùنْهَا ÙَذَلÙÙƒÙŽ قَوْلÙه٠تَعَالَى { Ø«Ùمَّ Ø£ÙŽÙÙيضÙوا Ù…Ùنْ ØÙŽÙŠÙ’ث٠أَÙَاضَ النَّاسÙ
Orang quraisy dan para pengikutnya suka wuquf di Muzdalifah. Mereka menamakan bangsanya sebagai al-Hums. Sedangkan bangsa Arab lainnya melaksanakan wuquf di Arafah. Tatkala syari’ah Islam datang, Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya SAW untuk langsung menuju Arafah (tanggal 9 Dzul-Hijjah), guna melaksanakan wuquf di sana. Kemudian bertolak meninggalkan Arafah pada waktunya. Itulah ma’na ayat Qs.2:199 ini. Hr. al-Bukhari.[4]
Al-Hums merupakan jama dari Ahmas yang berarti “keras pendirian, atau pemberaniâ€.[5] Mereka menamkan dirinya demikian karena merasa dirinya paling keras hati dan pemberani mempertahankan taradisi nenek moyang.
Secara historis Qs.2:199 ini merupakan koreksi terhadap kaum Quraisy yang terlalu mempertahankan tradisi tidak berdasar.
- Umar bin al-Khathab menerangkan:
Ø¥Ùنَّ Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØ´Ù’رÙÙƒÙينَ كَانÙوا لَا ÙŠÙÙÙيضÙونَ ØÙŽØªÙ‘ÙŽÙ‰ ØªÙŽØ·Ù’Ù„ÙØ¹ÙŽ Ø§Ù„Ø´Ù‘ÙŽÙ…Ù’Ø³Ù ÙˆÙŽÙŠÙŽÙ‚ÙولÙونَ أَشْرÙقْ ثَبÙير٠وَأَنَّ النَّبÙيَّ صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ خَالَÙÙŽÙ‡Ùمْ Ø«Ùمَّ Ø£ÙŽÙَاضَ قَبْلَ أَنْ ØªÙŽØ·Ù’Ù„ÙØ¹ÙŽ Ø§Ù„Ø´Ù‘ÙŽÙ…Ù’Ø³Ù
Orang-orang musyrikin Quraisy tidak mau meninggalkan Muzdalifah sebelum terbit matahari. Mereka menandaskan bahwa menjemput sang surya di ثَبÙير٠Bukit Muzdalifah. Dengan turun ayat ini Nabi SAW mengubah tradisi mereka, dan beliau meninggalkan sebelum matahari terbit. Hr. al-Bukhari.[6]
Dengan demikian secara histories pengertian Ø£ÙŽÙَاضَ mencakup: (1) bertolak meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah pada waktu Maghrib, dan (2) bertolak meninggalkan Muzdalifah menuju Mina setelah shalat shubuh sebelum terbit matahari.
- Tafsir Kalimat
- Ø«Ùمَّ Ø£ÙŽÙÙيضÙوا Ù…Ùنْ ØÙŽÙŠÙ’ث٠أَÙَاضَ النَّاس٠Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (`Arafah)
Seperti dikemukakan pada bahasan yang lalu Perkataan Ø£ÙŽÙÙيضÙوا berma’na bertolak secara bersamaan meninggalkan suatu tempat berkumpul. Pengkal ayat ini menegaskan bahwa seluruh jamaah hendaklah meninggalkan tempat wuquf, apabila sudah habis waktunya. Ibn al-Jawzi[7] menerangkan, terdapat perbedaan faham tentang yang dimaksud الناس pada من ØÙŠØ« Ø£ÙØ§Ø¶ الناس antara lain (a) menurut Urwah, Mujahid, betrmakna sebagaimana bertolaknya masyarakat Arab pada umumnya yang beribadah haji, selain al-Hums yang mempertahankan tradisi nenek moyangnya. Ma’na hadits riwayat al-Bukhari dari A’iysah di atas, juga mengisyaratkan demikian. Tegasnya jamaah haji mesti meninggalkan tempat wuquf sebagaimana yang dilakukan jamaah haji sejak dauhulu kala, jangan meniru kebiasaan orang quraisy. (b)  Nabi Ibrahim yang wuquf di Arafah, kemudian Mabit di Muzdalifah, sebagaimana dikemukakan al-Dlahak bin Muzahim. (c) Nabi Adam yang bertolak meninggalkan Arafah, sebagaimana dikemukakan al-Zuhry, Ab al-Mutawakil, Abu Nuhaik, dan al-Ajli. (d) Jamaah Yaman dan Rubai’ah yang bertolak dari Arafah menuju Muzdalifah tepat waktu, sebagaimana dikemukan oleh Muqatil.
Pada bahasan ayat 198 yang lalu, dikemukakan bahwa Rasul SAW bertolak dari Arafah pada waktu maghrib tiba, sebelum melaksanakan shalat menuju Muzdalifah. Shalat maghrib dan isya dijama ta`khir qashar di Muzdalifah, kemudian mabit di sana. Semua jamaah bermalam di Muzdalifah hingga terbit fajar, kecuali yang udzur seperti Um Salamah dan Saudah. Setelah shalat shubuh, kemudian berdo’a dan berdzikir di Masy’ar al-Haram sebuah bukti di Muzdalifah (yang saat ini sudah dibangun masjid), hingga agak terang. Kemudian Rasul sebelum terbit matahari meninggalkan Muzdalifah, sebagaimana diterangkan Jabir bin Abd Allah berikut:
وَأَرْدَÙÙŽ الْÙَضْلَ بْنَ عَبَّاس٠وَكَانَ رَجÙلًا ØÙŽØ³ÙŽÙ†ÙŽ Ø§Ù„Ø´Ù‘ÙŽØ¹Ù’Ø±Ù Ø£ÙŽØ¨Ù’ÙŠÙŽØ¶ÙŽ وَسÙيمًا Ùَلَمَّا دَÙَعَ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ مَرَّتْ بÙÙ‡Ù Ø¸ÙØ¹ÙÙ†ÙŒ يَجْرÙينَ ÙÙŽØ·ÙŽÙÙÙ‚ÙŽ الْÙÙŽØ¶Ù’Ù„Ù ÙŠÙŽÙ†Ù’Ø¸ÙØ±Ù Ø¥ÙلَيْهÙنَّ Ùَوَضَعَ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ يَدَه٠عَلَى وَجْه٠الْÙَضْل٠ÙÙŽØÙŽÙˆÙ‘ÙŽÙ„ÙŽ الْÙَضْل٠وَجْهَه٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ الشّÙÙ‚Ù‘Ù Ø§Ù„Ù’Ø¢Ø®ÙŽØ±Ù ÙŠÙŽÙ†Ù’Ø¸ÙØ±Ù ÙÙŽØÙŽÙˆÙ‘ÙŽÙ„ÙŽ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ يَدَه٠مÙنْ الشّÙقّ٠الْآخَر٠عَلَى وَجْه٠الْÙَضْل٠يَصْرÙÙ٠وَجْهَه٠مÙنْ الشّÙÙ‚Ù‘Ù Ø§Ù„Ù’Ø¢Ø®ÙŽØ±Ù ÙŠÙŽÙ†Ù’Ø¸ÙØ±Ù ØÙŽØªÙ‘ÙŽÙ‰ أَتَى بَطْنَ Ù…ÙØÙŽØ³Ù‘ÙØ±Ù ÙÙŽØÙŽØ±Ù‘ÙŽÙƒÙŽ Ù‚ÙŽÙ„Ùيلًا Ø«Ùمَّ سَلَكَ الطَّرÙيقَ Ø§Ù„Ù’ÙˆÙØ³Ù’Ø·ÙŽÙ‰ الَّتÙÙŠ ØªÙŽØ®Ù’Ø±ÙØ¬Ù عَلَى Ø§Ù„Ù’Ø¬ÙŽÙ…Ù’Ø±ÙŽØ©Ù Ø§Ù„Ù’ÙƒÙØ¨Ù’رَى
dan berangkat sebelum matahari terbit sambit membonceng Fadhal Ibnu ‘Abbas. Fadhal seorang laki-laki berambut indah dan berwajah putih. Ketika beliau berangkat, berangkat pulalah orang-orang besertanya. Fadhal menengok kepada mereka, lalu mukanya ditutup Rasulullah dengan tangannya. Fadhal menoleh ke arah lain untuk melihat. Rasulullah SAW menutup pula mukanya dengan tangan yang lain, sehingga Fadhal mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Sampai di tengah lembah Muhassir, dipercepatnya untanya melalui jalan tengah yang langsung menembus ke Jumratul Kubra. Hr. Muslim.[8]
Dalam hadits ini tersirat pula koreksi terhadap kebiasaan orang Quraisy yang biasa berhenti di Lembah Muhassir sebelum ke Mina. Justru Rasul SAW agak mempercepat kendaraannya dan langsung menuju tempat Jumrah al-Aqabah di Mina.
- وَاسْتَغْÙÙØ±Ùوا اللَّهَ dan mohonlah ampun kepada Allah;
Ayat ini menegaskan kembali bahwa selama manasik haji jangan sampai lepas dari dzikir dan istighfar mengharap kauruinia dan maghfirah Ilahi. Adapun prosesi dzikir dan istighfar setelah sampai di Mina diterangkan oleh Jabir bin Abd Allah sebagai berikut:
ØÙŽØªÙ‘ÙŽÙ‰ أَتَى الْجَمْرَةَ الَّتÙÙŠ عÙنْدَ الشَّجَرَة٠Ùَرَمَاهَا Ø¨ÙØ³ÙŽØ¨Ù’ع٠ØÙŽØµÙŽÙŠÙŽØ§ØªÙ ÙŠÙÙƒÙŽØ¨Ù‘ÙØ±Ù مَعَ ÙƒÙلّ٠ØÙŽØµÙŽØ§Ø©Ù Ù…Ùنْهَا Ù…ÙØ«Ù’Ù„Ù ØÙŽØµÙŽÙ‰ الْخَذْÙ٠رَمَى Ù…Ùنْ بَطْن٠الْوَادÙÙŠ Ø«Ùمَّ انْصَرَÙÙŽ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ الْمَنْØÙŽØ±Ù ÙÙŽÙ†ÙŽØÙŽØ±ÙŽ Ø«ÙŽÙ„ÙŽØ§Ø«Ù‹Ø§ ÙˆÙŽØ³ÙØªÙ‘Ùينَ بÙيَدÙÙ‡Ù Ø«Ùمَّ أَعْطَى عَلÙيًّا ÙÙŽÙ†ÙŽØÙŽØ±ÙŽ Ù…ÙŽØ§ غَبَرَ وَأَشْرَكَه٠ÙÙÙŠ هَدْيÙÙ‡Ù Ø«Ùمَّ أَمَرَ Ù…Ùنْ ÙƒÙÙ„Ù‘Ù Ø¨ÙŽØ¯ÙŽÙ†ÙŽØ©Ù Ø¨ÙØ¨ÙŽØ¶Ù’عَة٠ÙÙŽØ¬ÙØ¹Ùلَتْ ÙÙÙŠ Ù‚ÙØ¯Ù’ر٠ÙÙŽØ·ÙØ¨Ùخَتْ Ùَأَكَلَا Ù…Ùنْ Ù„ÙŽØÙ’Ù…Ùهَا ÙˆÙŽØ´ÙŽØ±ÙØ¨ÙŽØ§ Ù…Ùنْ مَرَقÙهَا Ø«Ùمَّ Ø±ÙŽÙƒÙØ¨ÙŽ Ø±ÙŽØ³Ùول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙÙŽØ£ÙŽÙَاضَ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ الْبَيْت٠Ùَصَلَّى بÙمَكَّةَ الظّÙهْرَ Ùَأَتَى بَنÙÙŠ Ø¹ÙŽØ¨Ù’Ø¯Ù Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØ·Ù‘ÙŽÙ„ÙØ¨Ù يَسْقÙونَ عَلَى زَمْزَمَ Ùَقَالَ Ø§Ù†Ù’Ø²ÙØ¹Ùوا بَنÙÙŠ Ø¹ÙŽØ¨Ù’Ø¯Ù Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØ·Ù‘ÙŽÙ„ÙØ¨Ù Ùَلَوْلَا أَنْ ÙŠÙŽØºÙ’Ù„ÙØ¨ÙŽÙƒÙمْ النَّاس٠عَلَى سÙقَايَتÙÙƒÙمْ لَنَزَعْت٠مَعَكÙمْ ÙَنَاوَلÙوه٠دَلْوًا ÙÙŽØ´ÙŽØ±ÙØ¨ÙŽ Ù…ÙنْهÙ
Sampai di Jumrah yang dekat dengan sebatang pohon, beliau melempar dengan tujuh buah batu kerikil sambil membaca takbir pada setiap lemparan. Kemudian beliau terus ke tempat penyembelihan kurban. Di sana beliau menyembelih enam puluh tiga hewan kurban dengan tangannya dan sisanya diserahkannya kepada ‘Ali untuk menyembelihnya, yaitu sebagai hewan kurban bersama-sama dengan anggota jamaah yang lain. Kemudian beliau suruh ambil dari setiap hewan kurban itu sepotong kecil, lalu menyuruhnya masak dan kemudian beliau makan dagingnya seta beliau minum kuahnya. Sesudah itu beliau naiki kendaraan menuju Baitullah untuk thawaf. Beliau shalat Zhuhur di Makkah. Sesudah itu beliau datangi Bani ‘Abdul Muththalib yang sedang menimba sumur Zamzam. Beliau bersabda kepada mereka. “Hai Bani ‘Abdul Muththalib! berilah kami minum! Kalaulah orang banyak tidak akan salah tanggap, tentu akan kutolong kamu menimba bersama-sama. Lalu mereka timbakan seember dan beliau minum daripadanya.â€Hr. Muslim.[9]
Secara ringkas manasik Rasul SAW tanggal 10 Dzul-Hijah adalah sebagai berikut:
- Ø¥Ùنَّ اللَّهَ غَÙÙورٌ رَØÙيمٌ sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Pengunci ayat ini mengingatkan kembali tentang asma Allah, sekaligus juga sebagai jaminan bagi jamaah haji yang menemepuh manasik seperti yang diajarkan rasul SAW bakal meraih Ampunan Allah SWT, yang maha pengampun dan Penyayang. Tersirat pula di dalamnya bahwa ibadah haji dan umrah itu mesti berfungsi sebagai ajang taubat memperbaiki diri mengharap ampunan dan rahmat Ilahi.
Â
- Beberapa Ibrah
- Waktu wuquf di Arafah, pada tanggal 9 Dzulhijjah berakhir waktu maghrib. Jika waktu maghrib telah tiba, maka segeralah meningalkan Arafah, bertolak ke Muzdalifah untuk mabit di sana. Jangan lupa berdzikir selama berada di Muzdalifah. Namun di waktu malam tidak ada ibadah khusus di Muzdalifah selain apa yang biasa dilakukan sebagaimana di luar musim haji.
- Di jaman Rasul SAW, ketika meninggalkan Arafah, jamaah terdiri dari beberapa kelompok, ada yang berkendaraan, ada pula jalan kaki. Hal ini memberi isyarat bebasnya memilih cara meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah. Setelah sampai di Muzdalifah, sebagaimana diterangkan pada kajian sebelumnya, Rasul SAW melaksanakan shalat maghrib dan isya jama’ takhir qashar. Beliau melaksanakan shalat maghrib terlebih dahulu walau sudah tiba waktu isya, kemudian melaksanakan shalat isya.
- Setelah shalat shubuh tanggal 10 Dzulhijjah merupakan waktu untuk meninggalkan muzdalifah menuju Mina, sambil berdzikir, mohon ampunan dan berdo’a. Perintah ini memberi isyarat bahwa ibadah haji mesti berfungsi (a) penanaman disiplin pengaturan waktu dan tempat secara tepat, (b) banyak bertaubat dan memperbaiki diri selama hayat, (c) ampunan Allah dan kasih sayang-Nya mesti diusahakan untuk didapat.
Â
–=o0o=–
[1] Shahih al-Bukhari, no.1568
[2] Sunan Abi Dawud, no.1658
[3] Shahih Muslim, II h.939
[4] Shahih al-Bukhari, IV h.1643
[5] Syarh al-Zarqani, II h.449
[6] Shahih al-Bukhari, II h.604
[7] Zad al-Masir, I h.214
[8] Muslim Bin Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut, Dar al-Fikr)Â II h. 886-892
[9] Muslim Bin Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut, Dar al-Fikr)Â II h. 886-892