7. IBADAH JAMAAH HAJI DI HARI TASYRIQ (kajian Qs.2:203)

VII. Fiqih Qs.2:203 tentang Ibadah di hari tasyriq
- Teks Ayat dan Tarjamahnya
Â
Â
ÙˆÙŽØ§Ø°Ù’ÙƒÙØ±Ùوا اللَّهَ ÙÙÙŠ أَيَّام٠مَعْدÙودَات٠Ùَمَنْ تَعَجَّلَ ÙÙÙŠ يَوْمَيْن٠Ùَلَا Ø¥ÙØ«Ù’Ù…ÙŽ عَلَيْه٠وَمَنْ تَأَخَّرَ Ùَلَا Ø¥ÙØ«Ù’Ù…ÙŽ عَلَيْه٠لÙمَن٠اتَّقَى وَاتَّقÙوا اللَّهَ وَاعْلَمÙوا أَنَّكÙمْ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙŠÙ’Ù‡Ù ØªÙØÙ’Ø´ÙŽØ±Ùونَ
Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya… Qs.2:203
- Kaitan dengan ayat sebelumnya
- Ayat sebelumnya berkaitan dengan dzikir pasca Arafah, sejak Muzdalifah hingga sampai di Mina. Dalam persoes manasik haji, masih ada kewajiban jamaah untuk dilaksanakan selama di Mina. Ayat berikutnya berkaitan dengan kegiatan di Mina sejak hari nahr hingga habisnya hari tasyriq.
- Ayat sebelum berkaitan dengan dzikir dalam arti do’a, maka ayat berikutnya perintah dzikir dalam amal seperti jumrah, bercukur, dan qurban selama di Mina.
- Musim ibadah haji disebat dalam al-Qur`an dengan (1) Ø£ÙŽØ´Ù’Ù‡ÙØ±ÙŒ مَعْلÙومَاتٌ (bulan-bulan yang diketahui, Qs.2:197, yaitu Syawal, Dzul-Qa’dah dan Dzul-Hijjah), ini merupakan jeda pelaksanaan haji sejak persiapan, pelaksanaan dan pasca haji. Musim haji memiliki jangka waktu tiga bulan sejak persiapan hingga akhir. Selama tiga bulan inilah kaum muslimin memiliki kesempatan umrah sebelum haji bagi tamattu’; menggabung haji dan umrah bagi qiran, dan berhaji dulu baru umrah bagi yang ifrad. (2) أَيَّام٠مَعْلÙومَات٠(hari-hari yang diketahui, Qs.22:28, (tanggal 1 hingga 10 Dzul-Hijjah), sebagai masa sibuknya tanah suci oleh jamaah yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia , hingga tanggal 7 semua jamaah dapat silaturahim dan tukar informasi serta meraih berbagai manfaat, berdzikir danm berfikir. Tanggal 8 di Mina, tanggal 9 di Arafah, serta tanggal 10 di Mina; (3) pada ayat ini  أَيَّام٠مَعْدÙودَات٠(Hari-hari yang ditentukan, Qs.2:203 yaitu hari tasyriq tanggal 11, 12, 13 Duzlihijjah), sebagai hari jumrah dan mabit di Mina pemantapan dzikir dan tafakkutr. Al-Bukhari meriwayatkan Ibn Abbas:
وَقَالَ Ø§Ø¨Ù’Ù†Ù Ø¹ÙŽØ¨Ù‘ÙŽØ§Ø³Ù ÙˆÙŽØ§Ø°Ù’ÙƒÙØ±Ùوا اللَّهَ ÙÙÙŠ أَيَّام٠مَعْلÙومَات٠أَيَّام٠الْعَشْر٠وَالْأَيَّام٠الْمَعْدÙودَات٠أَيَّام٠التَّشْرÙيقÙ
Ibn Abbas menyerukan Berdzikirlah pada Allah di hari ma’lumat yaitu sepuluh hari, dan hari ma’dudat yaitu hari tasyriq. Riwayat al-Bukhari.[1]
- Tafsir Kalimat
- ÙˆÙŽØ§Ø°Ù’ÙƒÙØ±Ùوا اللَّهَ ÙÙÙŠ أَيَّام٠مَعْدÙودَاتÙDan berzikirlah (pada) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.
Ibn Abbas menandaskan bahwa أَيَّام٠مَعْدÙودَات٠hari tertentu pada ayat ini berjumlah empat hari yaitu hari nahr (10 Dzul-Hijjah) dan tiga hari sesudahnya.[2] Sedangkan menurut al-Suyuthi, ayat ini memerintah takbir ketika melempar jumrah.[3] Al-Jashshah berpederian bahwa hari-hari yang ditentukan pada ayat ini adalah hari tasyriq, karena hari nahar telah tersirat pada ayat sebelumnya.[4] Kalau perintah dzikir pada ayat sebelumnya mencakup talbiyah, maka ayat ini lebih menekankan pada takbir. Talbiyah dilakukan sejak ihram tanggal 8 dzulhijjah hingga tiba di tempat Jumrah. Ibn Abbas menerangkan:
لَمْ يَزَلْ النَّبÙيّ٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙŠÙلَبّÙÙŠ ØÙŽØªÙ‘ÙŽÙ‰ رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةÙ
Rasul SAW terus menerus talbiyah sampai jumrah al-Aqabah. Hr. al-Bukhari.[5]
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Rasul SAW pada tanggal 10 Dzul-Hijjah melakukan jumrah hanya di aqabah saja, pada waktu dluha kemudian bercukur, berqurban, dan thawaf ifadlah di Masjid al-Haram. Namun urutan yang dilakukan Rasul SAW tersebut tidak berarti menjadi ketentuan secara tertib, karena Rasul SAW sendiri membolehkan memilih mana yang bias didahulukan antara jumrah aqaba, menyembelih, thawaf atau bercukur.
Abd Allah bin Amr bin Ash menerangkan sebagai berikut:
أَنَّ رَسÙولَ اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙˆÙŽÙ‚ÙŽÙÙŽ ÙÙÙŠ ØÙŽØ¬Ù‘َة٠الْوَدَاع٠ÙَجَعَلÙوا يَسْأَلÙونَه٠Ùَقَالَ رَجÙÙ„ÙŒ لَمْ Ø£ÙŽØ´Ù’Ø¹ÙØ±Ù’ ÙÙŽØÙŽÙ„َقْت٠قَبْلَ أَنْ أَذْبَØÙŽ Ù‚ÙŽØ§Ù„ÙŽ اذْبَØÙ’ وَلَا ØÙŽØ±ÙŽØ¬ÙŽ Ùَجَاءَ آخَر٠Ùَقَالَ لَمْ Ø£ÙŽØ´Ù’Ø¹ÙØ±Ù’ ÙÙŽÙ†ÙŽØÙŽØ±Ù’ت٠قَبْلَ أَنْ أَرْمÙÙŠÙŽ قَالَ ارْم٠وَلَا ØÙŽØ±ÙŽØ¬ÙŽ Ùَمَا Ø³ÙØ¦ÙÙ„ÙŽ ÙŠÙŽÙˆÙ’Ù…ÙŽØ¦ÙØ°Ù عَنْ Ø´ÙŽÙŠÙ’Ø¡Ù Ù‚ÙØ¯Ù‘ÙÙ…ÙŽ وَلَا Ø£ÙØ®Ù‘ÙØ±ÙŽ Ø¥Ùلَّا قَالَ اÙْعَلْ وَلَا ØÙŽØ±ÙŽØ¬ÙŽ
Seungguhnya Rasul SAW setelah wuquf di haji wada, shahabat pada bertanya padanya: seseorang bertanya saya tidak tahu ternyata bercukur sebelum menyembelih? Rasul SAW bersabda: sekarang nyembelih lah, gak apa-apa. Seorang lagi bertanya: Saya gak tahu, nyatanya menyembelih dulu sebelum mumrah. Rasul SAW bersabda: Sekarang lontarlah jumrah, tidak apa-apa. Ternyata apa yang ditanyakan pada hari itu tentang sesuatu manasik yang dilakukan hari itu (tanggal 10 Dzul-Hijjah) mana yang didahulukan mana yang diakhirkan, kecuali dengan jawaban lakukanlah dan tidak apa-apa. Hr. al-Bukhari dan Muslim.[6]
Dengan demikian pada tanggal 10 Dzul Hijjah, jamaah haji boleh melakukan mana yang didahulukan apakah jumrah, menyembelih, bercukur atau thawaf ifadlah, sebelum yang lainnya.
Rasul SAW setelah thawaf Ifadlah dan shalat zhuhur di al-Haram, kembali ke Mina untuk mabit dan melakukan jumrah pada hari berikutnya terdiri jumrah al-Ula, al-Wustha dan al-Aqabah yang dilakukan tiap hari setelah shalat zhuhur. Dengan demikian jelaslah bahwa perintah dzikir pada ayat ini tertuju pada perintah ibadah selama hari tasyriq. Takbir di hari tasyriq bagi jamaah haji selain setiap ba’da shalat utamanya ketika melempar jumrah. Adapun cara melempar jumrah seperti diterangkan hadits dalam beberapa riwayat. Aisyah menerangkan:
Ø£ÙŽÙَاضَ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ù…Ùنْ Ø¢Ø®ÙØ±Ù يَوْمÙÙ‡Ù ØÙينَ صَلَّى الظّÙهْرَ Ø«Ùمَّ رَجَعَ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ Ù…Ùنًى Ùَمَكَثَ بÙهَا لَيَالÙÙŠÙŽ أَيَّام٠التَّشْرÙيق٠يَرْمÙÙŠ الْجَمْرَةَ Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ زَالَتْ الشَّمْس٠كÙÙ„Ù‘Ù Ø¬ÙŽÙ…Ù’Ø±ÙŽØ©Ù Ø¨ÙØ³ÙŽØ¨Ù’ع٠ØÙŽØµÙŽÙŠÙŽØ§ØªÙ ÙŠÙÙƒÙŽØ¨Ù‘ÙØ±Ù مَعَ ÙƒÙلّ٠ØÙŽØµÙŽØ§Ø©Ù ÙˆÙŽÙŠÙŽÙ‚ÙÙ٠عÙنْدَ الْأÙولَى وَالثَّانÙيَة٠ÙÙŽÙŠÙØ·Ùيل٠الْقÙيَامَ وَيَتَضَرَّع٠وَيَرْمÙÙŠ Ø§Ù„Ø«Ù‘ÙŽØ§Ù„ÙØ«ÙŽØ©ÙŽ ÙˆÙŽÙ„ÙŽØ§ ÙŠÙŽÙ‚ÙÙ٠عÙنْدَهَا
Rasul SAW melakukan thawaf ifadlah tepat pada harinya (tanggal 10 dzul-hijjah), saat shalat zhuhur, kemudian kembali ke Mina. Beliau berada di Mina setiap malam tasyriq. Beliau melontar jumrah di saat matahari telah tergelincir. Beliau lontar setiap jumrah dengan tujuh lemparan yang disertai takbir pada tiap lemparan. Beliau berdiam di jumrah pertama dan yang kedua dengan lama berdiri khusyu berdo’a. Kemudian melontar jumrah yang ketiga dan tidak berdiam lagi di sana. Hr. Abu Dawud[7]
Diriwayatkan dari Ibn Umar sebagai berikut:
أَنَّه٠كَانَ يَرْمÙÙŠ الْجَمْرَةَ الدّÙنْيَا Ø¨ÙØ³ÙŽØ¨Ù’ع٠ØÙŽØµÙŽÙŠÙŽØ§ØªÙ ÙŠÙÙƒÙŽØ¨Ù‘ÙØ±Ù عَلَى Ø¥ÙØ«Ù’ر٠كÙلّ٠ØÙŽØµÙŽØ§Ø©Ù Ø«Ùمَّ يَتَقَدَّم٠ØÙŽØªÙ‘ÙŽÙ‰ ÙŠÙØ³Ù’Ù‡ÙÙ„ÙŽ ÙÙŽÙŠÙŽÙ‚Ùومَ Ù…ÙØ³Ù’تَقْبÙÙ„ÙŽ Ø§Ù„Ù’Ù‚ÙØ¨Ù’لَة٠ÙÙŽÙŠÙŽÙ‚Ùوم٠طَوÙيلًا وَيَدْعÙÙˆ وَيَرْÙَع٠يَدَيْه٠ثÙمَّ يَرْمÙÙŠ Ø§Ù„Ù’ÙˆÙØ³Ù’Ø·ÙŽÙ‰ Ø«Ùمَّ ÙŠÙŽØ£Ù’Ø®ÙØ°Ù ذَاتَ الشّÙمَال٠ÙَيَسْتَهÙÙ„Ù ÙˆÙŽÙŠÙŽÙ‚ÙÙˆÙ…Ù Ù…ÙØ³Ù’تَقْبÙÙ„ÙŽ Ø§Ù„Ù’Ù‚ÙØ¨Ù’لَة٠ÙÙŽÙŠÙŽÙ‚Ùوم٠طَوÙيلًا وَيَدْعÙÙˆ وَيَرْÙَع٠يَدَيْه٠وَيَقÙوم٠طَوÙيلًا Ø«Ùمَّ يَرْمÙÙŠ جَمْرَةَ ذَات٠الْعَقَبَة٠مÙنْ بَطْن٠الْوَادÙÙŠ وَلَا ÙŠÙŽÙ‚ÙÙ٠عÙنْدَهَا Ø«Ùمَّ يَنْصَرÙÙÙ ÙÙŽÙŠÙŽÙ‚Ùول٠هَكَذَا رَأَيْت٠النَّبÙيَّ صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙŠÙŽÙْعَلÙÙ‡Ù
Sesungguhnya dia melontar jumrah pertama dengan tujuh lontaran sambil takbir setelah melemparkan batunya, kemudian manuju ke tempat agak datar ( nyaman) menghadap qiblat dan berdiri agak lama seraya berdo’a sambil mengangkat kedua tangannya. Setelah itu beliau melontar jumrah al-Wustha, lalu mengambil jalan sebelah kiri mengambil tempat yang agak datar menghadap qiblat, berdiri lama sambil berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya dan berdiri lama. Setelah itu beliau melontar jumrah aqabah dari bagian bawah lembah, dan tidak berdiri di sana untuk berdo’a. Kemudian beliau meninggalkan tempat jumrah. Akhirnya beliau berkata demikianlah saya melihat Rasul SAW melakukannya ketika jumrah. Hr. al-Bukhari.[8]
Menurut al-Baydlawi ÙˆÙŽØ§Ø°Ù’ÙƒÙØ±Ùوا اللَّهَ ÙÙÙŠ أَيَّام٠مَعْدÙودَات٠ini memerintah berdzikir pada hari tasyriq utamanya ketika jumrah, setelah shalat dan menyembelih qurban serta dalam segala kesempatan lainnya.[9] Yang dimaksud dengan dzikir pada ayat ini mencakup (1) ucapan seperti takbir, tahlil, dan tahmid, (2) hati seperti menghayati makna haji, meningkatkan keyakinan akan kebenaran syari’ah dan pembawanya (3) perbuatan seperti jumrah, bercukur, qurban diskusi tentang al-Islam. Adapun waktu takbir yang ditegaskan ÙÙÙŠ أَيَّام٠مَعْدÙودَات٠ ini terdapat perbedaan faham di kalangan ulama antara lain (1) sejak shalat shubuh di hari Arafah hingga usai shalat ashar pada ahir hari tasyriq, sebagaimana dikemukakan oleh Ali, Abu Yusuf dan Muhammad, (2) sejak shalat shubuh hari Arafah hingga ashar hari nahr, sebagaimana dikemukakan Ibn Mas’ud, Abu Hanifah, (3) sejak setelah shalat zhuhur hari nahr hingga ba’da ashar hari tasyriq, sebagaimana dikemukakan Ibn Umar, Zaud bin Tsabit, Ibn Abbas dan Atha, (4) sejak shalat zhuhur di hari nahr sampai usai shalat zhuhur hari nafar, atau tanggal 12 Duzlhijjah, sebagaimana dikemukakan oleh al-Hasan, (5) sejak zhuhur hari nahr hingga shalat shubuh di akhir hari tasyriq, sebagaimana dikemukakan oleh Anas bin Malik, dan sebagian pendapat Syafi’iyah, (6) sejak shalat maghrib malam nahr sampai shalat shubuh di akhir hari tasyriq, yang menjadi madzhab al-Syafi’iy dan Hanbali.[10].Selain takbir dan jumrah, selama di Mina Rasul SAW memberikan khuthbah dan berdialog dengan shahabatnya tentang berbagai hal. Abu Bakrah menerangkan
خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم Ø§Ù„Ù†ØØ± Rasul SAW memberikan khuthbah di hari nahr. Riwayat Muslim.[11] Pada hari tasyriq juga Rasul SAW berkhuthbah.[12] Dengan demikian, Rasul SAW sebagai pemimpin haji mengisi kegiatannya dengan banyak bimbingan pada jamaah yang dibimbingnya. Apa yang dicontohkan Rasul tersebut seharusnya diikuti oleh para pembimbing jamaah haji dan umrah.
- Ùَمَنْ تَعَجَّلَ ÙÙÙŠ يَوْمَيْن٠Ùَلَا Ø¥ÙØ«Ù’Ù…ÙŽ عَلَيْهÙBarangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya.
Menurut al-Shan’ani, ayat ini merupakan keringanan dari Allah SWT untuk jamaah haji yang akan meninggalkan Mina, pada hari kedua tayriq (tanggal 12 Dzul Hijjah).[13] Kata al-Dailami ayat ini memberi isyarat bahwa hari mabit di Mina setelah hari nahar itu adalah tiga hari, tapi bagi yang mengambilnya dua hari saja, tidak menjadi dosa.[14] Bolehnya meninggalkan Mina pada hari kedua Tasyriq ini berlaku bagi yang bisa meninggalkannya sebelum maghrib. Bila maghrib masih berada di lingkungan Mina, maka jamaah tersebut tidak boleh meningalkannya sebelum melontar jumrah di hari berikutnya (tanggal 13 Dzul-Hijjah). Ibn Umar menandaskan:
من غابت له الشمس ÙÙŠ اليوم الذي قال الله Ùيه Ùمن تعجل ÙÙŠ يومين Ùلا إثم عليه وهو منى Ùلا ÙŠÙ†ÙØ±Ù† ØØªÙ‰ يرمى الجمار من الغد
Barangsiapa yang keburu terbenam matahari pada hari kedua tasyriq sebagaimana tersirat dalam firman Allah Ùمن تعجل  ÙÙŠ يومين Ùلا إثم عليه padahal masih berada di Mina maka janganlah meninggalkan Mina hingga selesai jumrah pada hari esoknya. Hr. Ibn Abi Hatim.[15]
- وَمَنْ تَأَخَّرَ Ùَلَا Ø¥ÙØ«Ù’Ù…ÙŽ عَلَيْهÙDan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula
Ayat ini mempersilakan untuk jamaah haji tetap berada di Mina hingga berakhir hari tasyriq, sebagaimana yang dilakukan oleh rasul SAW sendiri.Aisyah menerangkan:
ثم رجع إلى منى ÙØ£Ù‚ام بها  أيام التشريق الثلاث
Rasul SAW usai thawaf Ifadlah kembali ke Mina dan tetap berada di sana hingga hari ketiga di hari tasyriq. Ibn Hibban.[16]
Dalam riwayat lain diterangkan bahwa Rasul SAW setelah menyelasaikan mabit dan jumrah di Mina hingga tanggal 13 dzulhijjah, lengsung menuju Mekah untuk thawaf wada, kemudian langsung kembali ke Madinah. Ada sebagian shahabat yang minta izin untuk tinggal dulu di Mekah pasca haji, Rasul SAW mengizinkannya selama tiga hari.
- Ù„Ùمَن٠اتَّقَى وَاتَّقÙوا اللَّهَ baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
Baik yang meninggalkan Mina pada tanggal 12, yang disebut nafar awal, maupun yang meninggalkannya di akhir hari tsyriq yang disebut nafar tsani, mesti dilatar belakangi taqwa. Ayat ini juga sebagai penekanan bahwa semua rangkaian ibadah haji mesti ditindaklanjuti dengan taqwa.
- وَاعْلَمÙوا أَنَّكÙمْ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙŠÙ’Ù‡Ù ØªÙØÙ’Ø´ÙŽØ±Ùونَ dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya
Pengunci ayat ini sebagai penegasan bahwa nilai ibadah akan diketahui Allah dan diperhitungkan di ahri akhirat kelak. Oleh karena itu segala yang dikerjakan oleh umat manusia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT di hari kemudian. Allah SWT juga akan memperhitungkan secara teliti, siapa yang termasuk ibadahnya karena taqwa siapa pula yang berlatar belakang lain.
- Beberapa Ibrah
- Ibadah di Mina pada hari tasyriq adalah jumrah, mabit, mendengarkan khuthbah. Rasul SAW dalam melaksanakan perintah dzikir di hari-hari yang istimewa itu ternyata lebih banyak memberikan khuthbah (taushiah), nasihat pada para jamaah. Bahkan kalu ditelaah beberapa hadits, Rasul bukan memimpin doa, tapi banyak memberi nasihat. Dengan demikian para pembimbing hajai dan umrah seharusnya mengikuti apa yang telah dicontohkan Rasul SAW.
- Mabit dan jumrah di Mina bisa dilakukan hingga tanggal 12 Dzul-Hijah bisa juga hingga tangga 13 dzulhijjah. Perintah dzikir di Mina diwujudkan oleh Rasul SAW dengan jumrah dan memberikan nasihat pada umatnya. Ini memberi isyarat bahwa dzikir yang sifatnya ritual tidak terlepas dengan kehidupan social. Dzikir lisan dan qalbu juga tidak boleh lepas dari berfikir menggunakan aqal.
- Baik jamaah haji meninggalkan mina dari tanggal 12 dzlulhijjah (yang disebut nafar Awal) maupun tanggal 13 (yang disebut nafar tsani), harus tetap dilandasi taqwa. Seluruh rangkaian haji mesti dijiwai dimanifestasikan pada ketaqwaan.
–=o0o=–
[1] Shahih al-Bukhari, I h.329
[2] Al-Dur al-Mantsur, I h.562
[3] Tafsir al-Jalalain, I h.43
[4] Ahkam al-Qur`an, I h.393
[5] Shaih al-Bukhari, no.1443
[6] Shahih al-Bukhari, no.1621, Shahih Muslim, 2301
[7] Sunan Abi Dawud, no.1683
[8] Shaih al-Bukhari, no.1633
[9] Tafsir al-Baydlawi, I h.490
[10] Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir, I h.217
[11] Shahih Muslim, III h.1307
[12] Shih Ibn Khuzaimah, IV h.318
[13] Tafsir al-Shan’ani, I h.81
[14] Ma’mar al-Dalami,
[15] Tafsir Ibn Abi Hatim, VII h.229
[16] Shahih Ibn Hibban, IX h.180