TIGA YANG MEMBAHAYAKAN DAN CARA MENANGGULANGINYA (kajian hadits al-Thabarani dari Ibn Umar) bagian pertama
TIGA YANG MEMBAHAYAKAN DAN CARA MENANGGULANGINYA
(kajian hadits al-Thabarani dari Ibn Umar) bgian pertama
- Teks Hadits dan Tarjamahnya
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ثَلاثٌ مُهْلِكَاتٌ ، وَثَلاثٌ مُنَجِّيَاتٍ ، وَثَلاثٌ كَفَّارَاتٌ ، وَثَلاثٌ دَرَجَاتٌ . فَأَمَّا الْمُهْلِكَاتُ : فَشُحٌّ مُطَاعٌ ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بنفْسِهِ . وَأَمَّا الْمُنَجِّيَاتُ : فَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ ، وَالرِّضَى ، وَالْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى ، وَخَشْيَةُ اللَّهِ فِي السِّرِّ وَالْعَلانِيَةِ . وَأَمَّا الْكَفَّارَاتُ : فَانْتِظَارُ الصَّلاةِ بَعْدَ الصَّلاةِ ، وَإِسْبَاغُ الْوُضُوءِ فِي السَّبَرَاتِ ، وَنَقْلُ الأَقْدَامِ إِلَى الْجَمَاعَاتِ . وَأَمَّا الدَّرَجَاتُ : فَإِطْعَامُ الطَّعَامِ ، وَإِفْشَاءُ السَّلامِ ، وَصَلاةٌ بِاللَّيْلِ ، وَالنَّاسُ نِيَامٌ
Diriwayatkan dari Ibn Umar menerangkan: Rasul SAW bersabda: Tiga (penyakit) yang merusak, tiga (sifat) yang menyelamatkan, tiga (amal) penghapus dosa dan tiga (kebiasaan) yang meningkatkan derajat. Adapun yang merusak adalah: (1) kikir yang ditaati, (2) hawa (nafsu) yang diperturutkan dan (3) kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri. Adapun yang menyelamatkan ialah: (1)adil di waktu marah dan senang, (2) ekonomis di waktu fakir dan kaya dan (3) takut kepada Allah SWT di waktu sembunyi dan terang-terangan. Adapun penebus (dosa) ialah: (1) menanti shalat sesudah shalat, (2) menyempurnakan wudlu di waktu dingin dan (3) meringankankan kaki untuk berjamaah. Adapun yang meningkatkan derajat ialah: (1) memberi makanan, (2) menyebarluaskan salam dan (3) shalat pada malam hari di waktu orang-orang tidur. Hr. Thabarani,[1] dari Ibnu Umar yang dinilai sebagai hadits hasan oleh Nashiruddlin al-Bani.
- Popularitas Hadits dan sekilas Rawi
- Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa muhadits antara lain al-Thabarani, al-Syihab al-Qadla’iy, dan al-Bayhaqi.[2] Oelh Abu Nu’aim al-Ashbahani diriawayatkan pada kitab Huliyah al-Awliya.[3] Menurut al-Suyuthi, dan al-Asqlani dalam sanad hadits ini terdapat Ibn Lahi’`h yang dinilai dla’if. Namun terdapat jalur lain hingga mata rantainya bersambung ka Anas bin Malik, ada jalur Abu Nu’aim. Nashiruddin al-Bani, setelah mengungkap berbagai riwayat melalui berbagai jalur, menilai hadits ini sebagai hadits hasan, karena ada jalur lain yang menjadi penguat.[4] Oleh Abu Thalib al-Maky disebut sebagai hadits masyhur.[5]
- Seperti tertera pada teks di atas, hadits ini diriwayat oleh Imam al-Thabrani dari Ibn Umar. Riwayat hidp Ibn Umar telah diuraikan dalam buku seri sebelumnya. Adapun riwayat singkat al-Thabarani sebagai berikut.
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Muthair al-Lakhmi al-Yamani al-Thabrani merupakan nama lengkap al-Thabarani. Beliau dilahirkan pada tahun 260 H / 873 M, bulan shofar, oleh seorang perempuan besuku Akka di Kota Akka, kota yang merupakan salah satu kota tertua di Palestina. Al-Thabarani dilahirkan ditengah-tengah keluarga dari kabilah Lakhm suku Yaman yang berimigrasi ke Quds (Palestina) dan menetap di sana.
Al-Thabrani mulai belajar hadis sejak usianya masih muda, yakni ketika beliau berusia 13 tahun, tepatnya pada tahun 273 H. Sedangkan pada tahun 274 H, beliau berkelana ke Quds (Palestina), Syam serata Qaisariyah untuk menghafal al-Qur’an dan belajar berbagai ilmu pengetahuan dan agama. Berbagai upaya di lakukan al-Thabarani guna menambah wawasan keilmuan. Salah satu upaya yang beliau lakukan dengan menghabiskan umurnya yaitu dengan mengunjungi satu tempat untuk berpindah lagi ke tempat yang lain. Syiria, Hijaz, Yaman, Mesir, Irak, Iran, Semenanjung Arab Saudi, serta Afghanistan sekarang ini, termasuk beberapa tempat yang beliau kunjungi guna menambah hazanah keilmuan di samping beberapa kota lain disekitar negeri-negeri Persia. Dalam mempelajari hadis Nabi sendiri,al-Thabarani menghabiskan waktu kurang lebih tiga puluh tahun. Selama kurun waktu 30-33 tahun beliau berkelana menambah koleksi keilmuan. Al-Thabrani juga mengunjungi Asfahan pada tahun 290 H. Setelah menyelesaikan studinya ke berbagai wilayah, beliau kembagi lagi ke Asfahan, dan menetap di sana sampai pada akhirnya, Al-Thabrani meninggal di Asfahan pada 28 Zulqa’idah tahun 360 H dalam usia seratus tahun sepuluh bulan dan dimakamkan di samping makam Hamamah al-dausi, seorang sahabat Rasulullah Saw.
- Syarah al-Hadits
- ثَلاثٌ مُهْلِكَاتٌ Tiga yang merusak,
Perkataan ثَلاثٌ berarti tiga. Padaredaksi ini tidak disebut tiga apa? Apakah ucapan, sikap, tindakan, perbuatan atau penyakit? Yang jelas disebutkan “tiga” jumlahnya yang rinciannya akan disebutkan. Perkataan مُهْلِكَاتٌ berasal dari perkataan أهْلَك – يُهْلِكُ – إِهْلَاك yang berari mencelakakan, menimbulkan kecelakaan atau mendatangkan sesuatu yang menjerumuskan pelakukan pada kecelakaan. Pada kalimat ثَلاثٌ مُهْلِكَاتٌ ini ditandaskan bahwa ada tiga sifat, sikap atau tindakan yang menimblkan kecelekaan. Tentu saja bukan hanya tiga jumlahnya masih ada yang lainnya. Namun tiga yang bakal dirinci semuanya merupakan sifat atau tindakan yang menimbulkan kecelakaan. Tegasnya مُهْلِكَاتٌ mempunyai makna yang sama dengan موبقات itu sifat, sikap dan tindakan yang menjerumuskan pada kecelekaan atau kehancuran pelakunya.[6] Menurut al-Ghazali setiap individu wajib menghilangkan مُهْلِكَاتٌ yang tidak mungkin bisa menghilangkannya tanpa mengetahui penyebabnya, hakikatnya dan dampak negatifnya.[7] Muhlikat juga bisa difahami sebagai tiga macam penyakit ruhani yang membahayakan.
- وَثَلاثٌ مُنَجِّيَاتٍ
Dalam kitab Faidl al-Qadir مُنَجِّيَاتٍ adalah yang menyelamatkan manusia dari adzab Allah.[8] Dengan demikian perkataan مُنَجِّيَاتٍ (yang menyelamatkan atau yang menangkal bahaya )merupakan lawan kata dari مُهْلِكَاتٌ (yang menyeret pada kehancuran atau yang mendatangkan bahaya) di sini ditandaskan bahwa ada tiga yang dapat menyelamatkan pelakunya dari bahaya.
- وَثَلاثٌ كَفَّارَاتٌ tiga sebagai penutup kesalahan
Perkataan كَفَّارَاتٌ mempunyai arti yang menutupi. Oleh karena itu penebus dosa sering disebut kifarat dosa. Jika muhlikat difahami sebagai penyakit yang membahayakan, munajjiyat sebagai pencegah bahaya penyakit atau pencegah penyakit, maka kaffarat bisa difahami sebagai obat penawar yang menghentikan merajalelanya penyakit.
- وَثَلاثٌ دَرَجَاتٌ tiga sebagai peningkat darajat.
Perkataan دَرَجَاتٌ merupakan bentuk jama dari درجة yang sering difahami sebagai tingkatan atau sudah menjadi bahasa Indonesia dengan istilah derajat. Dengan demikian yang tiga ini sebagai sifat, ucap dan amal perbuatan yang dapat meninkatkan derajat manusia baik dalam keimanan, keislaman atau pun kedudukannya sebagai muslim. Jika kaffarat difahami sebagai obat penawar penyakit ruhani, maka دَرَجَاتٌ bisa difahami sebagai peningkat derajat kesehatan.
- فَأَمَّا الْمُهْلِكَاتُ : فَشُحٌّ مُطَاعٌ adapun yang memabahayakan adalah pelit yang ditaati atau dipelihara.
Perkataan شح menurut bahasa berarti بخيل حريص kikir yang disertai rakus berkeinginan keras memiliki segalanya. [9] Kata al-Asqalani أعم من البخل لأن البخل مختص بمنع المال والشح يعم منع كل شيء في جميع الأحوال istilah شَحِيحٌ lebih luas dari bakhil. Bakhil hanya kikir pada harta, sedangkan syahih mencakup kikir dalam segalanya, baik harta, sikap maupun tindakan.[10] Menurut al-Bayhaqi الشح : أشد البخل والحرص على متاع الدنيا syuh ialah sangat pelit dan keranjingan oleh kesenangan dunia.[11]
Penyakit semacam ini sudah mendarah daging di kalangan umat manusia. Istilah الشُّحَّ lebih buruk dari البخل oleh karena itu sering diartikan شديد البخل (sangat pelit). Ada juga yang berpendapat bahwa البخل itu mengandung arti kikir harta, sedangkan الشُّحَّ bukan hanya harta melainkan mencakup jasa, kata, tenaga, maupun harta. Ulama lain berpendapat bahwa البخل kikir pada orang lain, sedangkan الشُّحَّ kikir baik pada orang lain maupun pada dirinya sendiri. Oleh karena itu egois, rakus, tidak mau berbagi juga termasuk bagian dari الشُّحَّ . Pelit dalam bentuk apapun merupakan penyakit berbahaya. Pelit harta membawa akibat rakus yang membahayan diri pelakunya maupun orang lain. Orang pelit biasanya mengalami stres berkepanjangan, karena dilanda rasa takut miliknya diambil orang. Orang pelit biasanya kedatangan tamu saja sudah curiga minta sumbangan. Sipelit juga bila berniaga akan membeli dengan harga yang semurah-murahnya dan bila menjual menarif setinggi-tingginya. Mereka menyangka bahwa dengan prinsip ekonomi membeli sangat murah dan menjual sangat mahal akan mendatangkan keuntungan yang banyak. Boleh jadi keuntungan itu akan diraih dengan cara yang demikian, tapi tidak akan langgeng. Pedagang yang demikian akan ditinggalkan pembeli, yang lama kelamaan akan bangkrut juga karena kehilangan pelanggan. Hasil penelitian membuktikan bahwa pelit harta itu berbahaya bagi kesehatan. Studi terbaru menemukan sifat kikir ternyata mempengaruhi kadar stres. Hal tersebut terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh tim dari Queensland University of Technology (QUT) di Brisbane, Australia. Para responden dalam penelitian ini diukur respon fisiologisnya saat mereka menjalankan simulasi tawar-menawar finansial. Mereka yang membuat penawaran relatif rendah mengalami lebih banyak stres dibandingkan yang membuat penawaran tinggi. Hasil penelitian ini sudah diterbitkan di jurnal PLOS ONE. Peneliti mengukur detak jatung selama pertukaran itu. Pemain yang membuat penawaran rendah, juga yang menerima tawaran akhir rendah, didefinisikan studi itu 40 persen dari total jumlah atau kurang, mengalami peningkatan detak jantung. Peningkatan detak jantung ini mirip dengan kondisi seseorang yang stres. Menurut para peneliti, eksperimen ekonomi yang mengukur detak jantung ini merupakan yang pertama. Penelitian ini ingin mengukur stres mental ketika berhubungan dengan uang dan pembuatan keputusan. Namun peneliti juga menegaskan peserta yang kikir mungkin juga mengalami stres karena perasaan bersalah. “Hal ini bisa dilihat sebagai bukti bahwa kita berempati dengan orang lain dan menempatkan diri di posisi orang lain dalam situasi seperti itu,” kata Markus Schaffner, salah seorang peneliti dan manajer Queensland Behavioral Economics Gropu Laboratory for Economic Experiments di QUT. “Hasil penelitian itu mengindikasikan bahwa perasaan negatif ketika memperlakukan orang lain dengan tidak adil. Misalnya, menawarkan di bawah 40 persen dari total nilai dalam permainan. Ada biaya emosi dan fisiologi dan kita merasa tak nyaman,” imbuhnya. Bukan pertama kalinya ilmuwan meneliti manfaat alturisme dalam konteks ekonomi. Riset sebelumnya membuktikan tindakan amal justru meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. Oleh karena itu, ketika berhubungan dengan hal berbau keuangan, tak ada salahnya untuk bersikap murah hati.[12]
Dalam surat al-Nisa:128 ditandaskan وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ bahwa setiap diri manusia hadir menderita penyakit pelit. Kalimat وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ ini memberi isyarat (1) bahwa salah satu penyebab manusia sulit damai adalah tabi’at pelit. Oleh karena itu jika ingin mewujudkan perdamaian mesti menghilangkan sifat الشُّحَّ ini sehingga bukan hanya pandai menerima, tapi juga mesti pandi memberi. (2) penyakit الشُّحَّ mendatangkan bahaya bagi keutuhan rumah tangga. Gara-gara sifat pelit itu bisa timbul pertengkaran, perselisihan dan krisis rumah tangga. Rasul AW bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَمَرَهُمْ بِالظُّلْمِ فَظَلَمُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا
Jauhilah olehmu penyakit pelit. Sesungguhnya penyakit pelit itu telah mencelakakan orang sebelum kamu. Sipelit mendorong pada kezaliman, sehinga mereka menjadi pelaku zhalim. Sipelit memerintah mutuk memutuskan silaturahim, maka mereka memutuskan kekeluargaan. Sipelit memerintah mereka berbuat kejahatan, maka mereka berbuat jahat. Hr. Ahmad.[13] bersambung ke bagian 02
[1] Al-Mu’jam al-Awsath, XI h.301, XII h.188 dan 493
[2] al-Thabarani (260-360H), Al-Mu’jam al-Awsath, XI h.301, XII h.188 dan 493, al-Bayhaqi (384-458H), Syu’b al-Iman, II h.308, al-Qadla’iy, Musnad al-Syihab, II h.45-46
[3] Huliyah al-Awliay, I h.366
[4] Shahih al-jami al-Shaghir, III h.67, al-Silsilah al-Shahihah, IV h.301, Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, II h.356
[5] Quwwat al-Qulub, I h.106
[6] Faidl al-Qadir, juz III h.405
[7] Ihya Ulum al-Din, juz I h.14
[8] Faidl al-Qadir, III h.404
[9] Nayl al-Awthar, VII h.131
[10] Fath al-Bari, IX h.508
[11] Syu’ab al-Iman, juz II h.306
[12] http://banjarmasin.tribunnews.com/2014/11/07/ini-bahayanya-jadi-orang-pelit
[13] Musnad Ahmad, no.5502