SEKILAS TENTANG SHALAT IED DAN KHUTHBAH (kajian hadits dari Jabir bin Abd Allah)

SEKILAS TENTANG SHALAT IED DAN KHUTHBAH
(kajian hadits dari Jabir bin Abd Allah)
- Teks Hadits dan Tarjamahnya
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ
Muhammad bin Abd Allah bin Numair menyampaikan hadits pada kami. Ayahku menyampaikan hadits pada kami. Abd al-Malik bin Abi Sulaiman menyampaikan hadits pada kami dari Atha, dari Jabir bin Abd Allah yang menerangkan: Aku bersaksi bahwa pada hari Id bersama Rasul SAW. beliau memulainya dengan shalat id sebelum khuthbah, tanpa adzan, tanpa iqamah. Setelah shalat beliau berdiri sambil bersandr pada Bilal. Beliau menyampaikan beberapa perintah supaya bertaqwa pada Allah, mengajarkan untuk tetap taat pada-Nya, memberikan berbagai nashihat, serta memberi peringatan. Hr. Muslim, al-Nasa`iy,[1]
- Mata Rantai Hadits
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ Muhammad bin Abd Allah bin Numair menyampaikan hadits pada kami. Ayahku menyampaikan hadits pada kami. Abd al-Malik bin Abi Sulaiman menyampaikan hadits pada kami dari Atha, dari Jabir bin Abd Allah yang menerangkan:
Berdasar pernyatan ini, matarantainya dapat digambarkan seperti berikut
- Syarah Sekilas
- شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ kata Jabir bin Abd Allah; saya jadi saksi bersama Rasul SAW ketika shalat pada hari ied. Beliau memulainya dengan shalat sebelum khuthbah, tanpa adzan tanpa iqmah.
Kalimat شَهِدْتُ menunjukkan bahwa Jabir benar-benar bersama Rasul ketika shalat ied. Telah diakui oleh ulama hadits Jabir bin Abd Allah banyak meriwayatkan hadits tentang ibadah, utamanya rukun Islam. Manasik haji yang paling lengkap uraiannya juga diriwayatkan oleh beliau. Dalam riwayat lain diterangkan bahwa Rasul SAW tidak ke luar dari rumahnya untuk menuju tempat shalat pada ied al-Fithri kecuali setelah makan terlebih dahulu. Anas bin Malik menerangkan كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ adalah Rasul SAW tidak ke luar pada hari ied al-Fithri, sehingga memakan beberapa buah korma. Hr.al-Bukhari.[2] Abd Allah bin Buraidah dari ayahnya menerangkan أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَطْعَمُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ ، وَكَانَ إِذَا كَانَ يَوْمُ النَّحْرِ لَمْ يَطْعَمْ حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ ذَبِيحَتِهِ seungguhnya Rasul SAW suka memakan makanan pada hari ied al-Fithri sebelum keluar, dan adalah pada hari raya qurban tidak makan dulu sehingga pulang dari shalat. Beliau makan sebagian dari daging qurban. Hr. al-Darimi.[3]
Dalam hadits ini terdapat rawi yang bernama Uqbah bin al-Asham yang dianggap lemah oleh Yahya bin Ma’in, Abu Dawud, tapi dianggap tsiqat (dapat dipercaya) oleh Imam Ahmad, Ahmad bin Shalih dan Ibn Syahin. Namun demikian hadits riwayat al-Bukhari di atas yang menerangkan bahwa Rasul SAW tidak keluar shalat ied fl-Fithri kecuali setelah makan, adalah sebagai penguat hadits ini sehingga Ibn al-Qathhan menandaskan bahwa hadits ini shahih.[4] Di samping itu terdapat hadits shahih yang isinya sama peresis demngan hadits ini tapi redaksinya berbeda sperti berikut: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ لَا يَخْرُجُ حَتَّى يَطْعَمَ وَيَوْمَ النَّحْرِ لَا يَطْعَمُ حَتَّى يَرْجِعَ Adalah Rasul SAW pada hari raya fitri tidak keluar seblum makan damn pada hari raya qurban tidak makan sehingga pulang dari shalat. Hr. Ahmad, al-Tirmidzi.[5]
Al-Shan’ani (1059-1182H),[6] menganjurkan agar setiap jamaah yang mau pergi shalat ied menggunakan pakaian yang paling bagus yang dimilikinya dan berwangi-wangian. Beliau mengambil dasar hukum dari hadits berikut: عَنِ الْحَسَنِ بن عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ ، قَالَ ” أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَلْبَسَ أَجْوَدَ مَا نَجِدُ ، وَأَنْ نَتَطَيَّبَ بِأَجْوَدِ مَا نَجِدُ Hasan bin Ali mengatakan: Rasul SAW memerintah kita untuk berpakaian yang paling bagus yang kita miliki, berwangi-wangian yang paling bagus yang kita miliki. Hr. al-Thabarani (260-360H), al-Hakim (321-405H).[7]
Al-Hakim berkomentar, andaikan rawi yang bernama Ishaq binBarzah ini dikenal, tentu kedudukan hadits ini menjadi shahih. Menurut al-Shan’ani, Ishaq itu bukan tidak dikenal tapi sudah dianggap dla’if oleh al-Azadi, dan dianggap tsiqat, dapat dipercaya oleh Ibn Hibban, sebagaimana ia terangkan dalam kitab al-Talkhish.[8]
Kalimat فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ mengisyaratkan bahwa shalat ied dilakukan sebelum khuthbah. Ini jelas berbeda dengan shalat jum’at. Shalat dilakukan sebelum khuthbah berlangsung sejak jaman Rasul SAW, hingga al-Khulafa al-Rasyidun tidak ada perubahan. Pada jaman Marwan pernah dilakukan khuthbah sebelum shalat,[9] sebagaimana idriwayatkan oleh Thariq bin Syihab, tapi diprotes oleh ulama saat itu.[10] Menurut sebagian riwayat, yang alasan Marwan mendahulukan khuthbah, agar banyak umat yang mendapat kesempatan ikut shalat secara berjamaah. Namun alas an yang demikian tidak bisa dijadikan dasar untuk perubahan, karena jamaah yang terlambat datang ada cara untuk menggantikannya dengan shalat empat raka’at. Abd Allah bin Mas’ud menandaskan: مَنْ فَاتَهُ الْعِيدُ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا barang siapa yang tidak sempat shalat ied, maka lakukanlah shalat empat raka’at. Hr. al-Thabarni, menurut al-Haytsami rawi hadits ini orang-orang yang dapat dipercaya.[11]
Kalimat قَبْلَ الْخُطْبَةِ tidak menggunakan kalimat الخُطْبَتَيْن memberi isyarat bahwa khuthbah ied dilakukan hanya satu kali, berbeda dengan khuthbah jum’at. Ada yang berpendapat bahwa khuthbah ied itu dilakukan dua kali seperti khuthbah jum’at, sebagaimana dikemukakan al-Syafi’iy (150-204H) sebagai berikut: عن عبيد الله بن عبد الله بن عتبة قال السنة أن يخطب الامام في العيدين خطبتين يفصل بينهما بجلوس Diriwayatkan dari Ubaid Allah bin Abd Abd Allah bin Utbah mengatakan termasuk sunnah seorang imam berkhuthbah pada dua hari raya dengan dua khuthbah yang dipisah antara keduanya dengan duduk.[12] Namun perlu diketahui bahwa ungkapan ini buykan hadits tapi pendapat Ubaid Allah. Dia seorang tabi’in, bukan seorang shahabat, maka yang dimaksud dengan kata al-Sunnah, bukanlah sunnah Nabi, bukan hadits tapi pendapat pribadi yang tidak bisa dijadikan dasar hokum dalam ibadah. Ada pula ulama yang tetap meyakini adanya dua khuthbah dalam shalat id, dengan alasan hadits yang menyatakan:خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَخَطَبَ قَائِمًا ثُمَّ قَعَدَ قَعْدَةً ثُمَّ قَامَ (Rasul keluar pada hari fithri atau adlha, beliau khuthbah berdiri kemudian duduk, kemudian berdiri lagi.Hr.Ibn Majah.[13]
Perlu diperhatikan bahwa Ibn Majah meriwayatkan hadits ini melalui jalur berikut حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَحْرٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ الْخَوْلَانِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ (telah menyampaikan hadits pada kami Yahya bin Hakim, telah menyampaikan hadits pada kami Abu Bahr, telah menyampaikan hadits pada kami Ubaid Allh bin Amr al-Raqi. Telah menyampaikan hadits pada kami Ism’il bin Muslim al-Khaulani, telah menyampaikan hadits pada kami Abu Zubair dari Jabir. Menurut Isma’il al-Kannani (762-840H),[14] هذا إسناد فيه إسماعيل بن مسلم وقد أجمعوا على ضعفه وأبو بحر ضعيف (pada sanad hadits ini terdapat yang bernama Isma’il bin Muslim yang sudah disepakati oleh ulama hadits atas kedla’ifannya, dan Abu Bahr juga dla’if. Jelaslah bahwa dalam hadits ini terdapat dua rawi yang dla’if. Abu al-Thayib menegaskan bahwa Abu Bahr dan Isma’il bin Muslim yang tercantum pada sanad hadits ini kerduanya dla’if.[15] Ibn Hajar al-Asqalani (w.852H),[16] mengungkap berbagai pendapat tentang keabsahan Isma’il bin Muslim antara lain: Isma’il Muslim, dikenal juga nama Abu Ishaq al-Bashri, menurut Yahya bin al-Qathan sering keliru dalam meriwayatkan hadits. Imam Ahmad mengatakan Munkar al-Hadits. Kata Sufyan bi Uyainah, Isma’il itu sering salah. Imam al-Nawawi menegaskan bahwa khuthbah ied yang dilakukan dua kali tidak ada dasarnya, kecuali hanya dianalogikan pada khuthbah jum’at.[17] Tegasnya Jadi hadits tersebut tidak bisa dijadikan dasar hukum. Ada penegasan pada hadits ini, بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ mengisyaratkan bahwa sebelum shalat tidak ada seruan yang dikumandangkan baik oleh imam ataupun oleh mu`adzin. Dalam hadits lain, masih riwayat Muslim melalui jalur Ibn Juraij, ditandaskan لَا أَذَانَ لِصَّلَاةِ يَوْمِ الْعِيدِ وَلَا إِقَامَةَ وَلَا شَيْءَ (tidak ada adzan untuk shalat ied, tidak ada iqamah, dan tidak ada sesuatu apa pun). Hadits ini mengisyaratkan bahwa tidak ada ucapan apapun yang diungkapkan imam ketika mengawali shalat ied. Imam al-Syafi’I berpendapat sebaiknya imam mengucapkan الصلاة جامعة seperti sebelum shalat gerhana. Namun menurut Ibn Hajar al-Asqalani, haditsnya mursal,[18] maka tidak bisa dijadikan dasar hukum.[19] Di samping tidak ada adzan dan iqamah, juga tidak ada shalat baik sebelum maupun setelah shalat ied. Ibn Abbas menandaskan أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat pada hari ied al-Fithri dua raka’at. Beliau tidak melakukan shalat sebelumnya, tidak pula melakukan shalat sesudahnya. Hr.al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi.[20]
2.ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ Setelah shalat beliau berdiri sambil bersandar pada Bilal. Beliau menyampaikan beberapa perintah supaya bertaqwa pada Allah, mengajarkan untuk tetap taat pada-Nya, memberikan berbagai nashihat, serta memberi peringatan.
Kalimat ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ memberi isyarat bahwa Rasul SAW berkhuthbah di tempat yang lebih tinggi setelah shalat ied.[21] Kalimat فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ memberi isyarat bahwa dalam khuthbah beliau diisi dengan berbagai nasihat utamanya taqwa dan wejangan yang mendorong untuk menaati segala aturan syari’ah. Dalam berbagai riwayat diterangkan bahwa khuthbah Rasul SAW berisi nasihat yang mencakup segala aspek kehidupan, baik yang sifatnya ritual maupun sosial. Selama beliau khuthbah id memperbanyak takbir dan tahmid. Dalam hadits diterangkan:كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُ بَيْنَ أَضْعَافِ الْخُطْبَةِ يُكْثِرُ التَّكْبِيرَ فِي خُطْبَةِ الْعِيدَيْنِ Adalah Rasul SAW bertakbir di sela-sela khuthbah. Beliau memperbanyak takbir di khuthbah ied fithri dan isd al-Adlha. Hr. Ibn Majah.[22]
Tegasnya takbir dapat diperbanyak ketika ada jeda dalam khuthbah, baik disela memberi nasihat atau pada pergantian topik masalah. Adapun takbir ied di luar khuthbah diungkapkan oleh al-Shan’ani (773-852H),[23] sebagai berikut:
Takbir pada dua hari raya (ied al-Fithri dan al-Adlha) menurut mayaroritas ulama adalah di syari’ahkan. Takbir pada ied al-Fithri menurut imam al-Nashir hukumnya wajib berdasar firman Allah SWT وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ (hendaklah kamu mengagungkan Allah sebagaimana Allah memberi petunjuk padamu,Qs.2:185). Menurut mayoritas ulama hukumhnya disunahkan, tapi waktunya terdapat dua pendapat yang berbeda. Menurut mayoritas ulama takbir ied itu sejak imam ke luar menuju tempat shalat hingga khuthbah. Imam al-Bayhaqi meriwayatkan dua hadits yang didla’ifkan olehnya. Namun menurut al-Hakim hal ini merupakan sunnah yang setujui oleh imam hadits. Terdapat riwayat shahih dari Ibn Umar dan lainnya dari kalangan shahabat. Pendapat kedua dikemukakan oleh imam al-Nashir bahwa takbir ied dilakukan sejak maghrib awal syawal hingga waktru ashar setiap habis shalat fardlu. Sedangkan al-Syafi’iy berpendapat hingga selesai shalat. Adapun takbir pada ied al-Adlha diperintahkan oleh firman Allah SWT كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ (demikianlah Allah telah menaklukan hewan itu untukmu agar kamu bertakbir sesuai petunjuk-Nya.Qs.22:37). Adapaun waktunya menurut sebagian ulama sejak hari Arafah hingga akhir hari tasyriq. Al-Shan’ani berpendapat yang paling shahih adalah riwayat Ibn Mas’ud yang menyatakan bahwa takbir al-Adlha itu sejak shubuh Arafah hingga akhir hari tasyriq.
[1] Shahih Muslim, no.1467, Sunan al-Nasa`iy, I h.549
[2] Shahih al-Bukhari, I h.325
[3] Sunan al-Darimi, I h.455
[4] Abu Muhammad al-Hanafi (w.762H), Nshb al-Rayah, II h.208
[5] Musnad Ahmad, V h.352, Sunan al-Tirmidzi, II h.426
[6] Subul al-Salam, II h.72
[7] al-Mu’jam al-Kabir, III h.90, al-Mustadrak, IV h.256
[8] Subul al-Salam, II h.72
[9] Shahih Muslim, I h.69
[10] al-Tamhid li Ibn Abd al-Barr, X h.258
[11] Majma al-Zawa`id, II h.205
[12] al-Syafi’iy, al-Umm, I h.211
[13] Sunan Ibn Majah, I h.409
[14] Mishbah al-Zujajah, I h.152
[15] Awn al-Ma’bud, IV h.3
[16] Tahdzib al-Tahdzib, I h.210
[17] al-Asqalani(w.852H), al-Dirayah fi Takhrij ahadits al-Hidayah, I h.222
[18] hadits mursal ialah yang gugur pembawa riwayatnya, baik di awal ataupun di akhir, yang mernjadi mata rantainya, sehingga kualitasnya lemah.
[19] Fath al-Bary, II h.454
[20] Shahih al-Bukhari,V h.2207, no.911, Shahih Muslim, no.1476, Sunan al-Tirmidzi, no.493
[21] Nail al-Awthar, III h.375
[22] Sunan Ibn Majah, I h.409