TAFSIR AL-FATIHAH:05
04.KAJIAN TAFSIR AL-FATIHAH:05
A.Teks Ayat dan terjemahnya
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Qs.1:5
B.Kaitan dengan ayat sebelumnya
1. Ayat 4 menandaskan bahwa Allâh SWT sebagai penguasa dan pemilik penuh hari pembasalan. Oleh karena itu setiap manusia mesti menyadari bahwa segala perbuatan di dunia bakal diperhitungkan dan dimintai tanggung jawab di akhirat. Ayat 5 merupakan iqrar hamba kepada Allâh untuk menyiapkan diri menghadapi hari akhir dengan mengabdi dan berbakti kepada-Nya.
2. Karena Allâh SWT Maha terpuji, Maha Pengasih, Maha Kuasa, sebagaimana dikemukakan pada ayat sebelumnya, maka tidak sepatutnya manusia menyembah dan minta pertolongan kepada selain-Nya. Ayat 5 ini merupakan iqrar mu`min untuk beribadah dan minta pertolongan hanya kepada Allâh SWT.
3. Setelah Allâh SWT, pada ayat sebelumnya mengungkap keagungan, kekuasaan, dan kewenangan-Nya, maka ayat 5 ini memerintah agar setiap manusia hanya tunduk pada-Nya, tidak tunduk kepada selain-Nya.
4. Jika ayat pertama berisi iqrar tauhid Uluhiyah, ayat kedua dan ketiga iqrar tauhid rububiyah ayat keempat iqrar tauhid mulkiyah, maka ayat 5 ini berisi iqrar tauhid dalam ibadah dan isti’anah.
5. Jika ayat sebelumnya mengungkap kedudukan Allâh sebagai yang Maha segalanya, maka ayat kelima ini mengungkap kedudukan manusia yang membutuhkan pertolongan dari yang Maha memilki segalanya.
C.Tinjauan Historis
عَنْ أَبِي سَعِيدِ بْنِ الْمُعَلَّى قَالَ كُنْتُ أُصَلِّي فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ أُجِبْهُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي قَالَ أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ ثُمَّ قَالَ أَلَا أُعَلِّمُكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ الْمَسْجِدِ فَأَخَذَ بِيَدِي فَلَمَّا أَرَدْنَا أَنْ نَخْرُجَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ قُلْتَ لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ
Abi Sa’id bin al-Mu’alli menerangkan: Saya sedang shalat di masjid, kemudian Rasûl SAW memanggilku. Saya tidak men-jawabnya. Setelah shalat, saya katakan: Ya Rasûl saya sedang shalat. Beliau bersabda: Bukankah Allâh berfirman: اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ Penuhilah seruan Allâh SWT dan Rasûl-Nya ketika memanggilmu berkaitan dengan menghidupkanmu? Sabdanya lagi padaku: Saya akan ajarkan satu surat yang paling agung, sebelum kamu ke luar dari masjid, kemudian beliau mengambil tanganku (memberi petunjuk). Tatkala beliau mau ke luar saya bertanya: Bukankah Engakau akan mengajariku suatu surat yang paling agung dalam Al-Qur`ân ? Beliau bersabda الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ merupakan tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang sebagai Al-Qur`ân al-‘azhim yang diturunkan padaku. Hr. al-Bukhari (194-256H).[1]
D.Tafsir Kalimat
1. إيَّك نَعْبُدُ hanya kepada Engkau kami beribadah
Jabatan kalimat إِيَّاكَ sebagai objek dari kata kerja نَعْبُدُ Objeknya didahulukan dari kata kerja berfungsi sebagai pengkhususan. Oleh karena itu diartikan “hanya pada Engkau, bukan pada yang lain“. Setelah ayat sebelumnya mendudukan Asma Allâh SWT secara gha`ib, kemudian pada ayat ini dipanggil secara langsung dengan kata Engkau, sebagai penentangan selain pada Allâh SWT, maka diartikan لاَ نَعْبُدُ سِوَاكَ kami tidak beribadah selain pada-Mu.[2] Abu Bakr al-Jaza`iri berpandangan:
العِبَادَة : الخُضُوع والتَّذَلُّل وَفِي الشَّرْعِ العِبَادة طَاعة الله ورسوُلِه ِبِالإيْمَانِ وَفِعْل الأمْر وَاجْتِنَاب النَّهْي مَعَ غَايَةِ الْحُبِّ والتَّعْظِيْم لَهُما والتَّذَلُّل لِلَّهِ وَحْدَه
Ibadah dalam arti bahasa ialah tunduk, patuh, dan merendah. Sedangkan menurut istilah syar’iy ialah taat pada Allâh dan Rasûl-Nya dengan iman dan menjalankan segala perintahnya, menjauhi segala yang dilarangnya, yang dilatar belakangi cinta dan hormat, serta merendahkan diri hanya pada Allâh SWT semata. [3]
Dengan demikian ibadah mencakup berbakti dan mengabdi serta berserah diri pada Allâh SWT.
2. وَ إيَّاكَ نَسْتَعِيْن hanya kepada Engau kami mohon pertolongan.
Bentuk kalimat ini sama dengan awal ayat yang menunjukan pengkhususan. Oleh karena itu ma’naya لاَنَسْتَعِيْن سِواك kami berjanji hanya kepada engkau mohon pertolongan, tidak akan minta pertolongan kepada siapa pun selain kepada Engkau ya Allâh!. Hijazi mengartikan kalimat ini dengan نَخُصُّكَ بِطَلبِ المَعُوْنَة kami mengkhususkan hanya kepada Engkau, minta pertolongan.[4] Kedua kalimat menggunakan pelaku jama نَحْنُ yang berarti kami. Ini memberi isyarat bahwa mu`min berikrar bersama-sama, tidak sendirian. Juga memberikan didikan bahwa setiap mu`min bertanggung jawab mengajak sesamanya untuk beribadah dan minta pertolongan hanya kepada Allâh SWT.
E.Beberapa Ibrah
1.al-fatihah ayat 5 sebagai iqrâr
Setiap muslim berikrar dalam shalat إيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إيَّاكَ نَسْتَعِيْن hanya kepada-Mu ya Allâh kami beribadah dan hanya kepada-Mu ya Allâh kami mohon pertolongan. Ikrar ini dikemukakan setiap mu’min, setelah mengungkapkan keyakinannya bahwa segala puji bagi Allâh, Tuhan alam semesta, juga Allâh yang Maha rahman dan Rahim, serta menguasai dan merajai hari pembalasan. Dengan demikian ikrar ibadah hanya kepada Allâh, dan minta pertolongan hanya kepada-Nya, merupakan bukti kesadaran yang mendalam. Manusia itu tidak layak mengabdi, berbakti, dan menghambakan diri selain kepada Allâh. Selain Allâh adalah makhluq, sedangkan manusia memiliki derajat tertinggi di atas yang lainnya. Jika manusia beribadah kepada selain Allâh, berarti patuh kepada makhluq yang sekaligus menyembah yang lebih rendah derajatnya.
2. Ibadah sebagai pengabdian dan kebutuhan
Ibadah merupakan bentuk pengabdian manusia kepada yang dipertuhankannya. Pengabdian, bukan hanya kewajiban, tapi juga merupakan kebutuhan. Tidak ada manusia yang tidak membutuhkan pengabdian. Orang yang percaya atau pun tidak akan adanya tuhan, tetap dia butuh pengabdian pada tuhan. Jadi beribadah, bukan memenuhi kebutuhan tuhan, tapi memenuhi kebutuhan manusia.
3.Ibadah sesuai fungsi manusia
Allâh SWT berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Qs.51:56
Jadi jelas latar belakang manusia diciptakan Allâh itu berfungsi untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu manusia yang tidak beribadah, sama dengan menentang fungsi hidupnya sendiri. Tentu saja dia akan menderita berbagai kerugian, karena hidup tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Jika ternyata ada manusia yang tidak mau beribadah kepada ِالله, maka bukan hanya telah menyimpang dari ketentuan-Nya, tapi juga telah menentang fungsinya sendiri. Manusia itu tidak mungkin bisa melepaskan diri dari ibadah. Perhatikanlah manusia yang tidak pernah menerima da’wah, karena jauh dari jangkauan manusia mu’min, bukankah mereka mencari-cari cara beribadah? Perhatikan pula orang komunis yang atheis, katanya tidak mengakui adanya tuhan, bukankah mereka juga tatkala ditinggal mati oleh kerabatnya mencari cara untuk mengabdikan dirinya kepada orang yang dicintainya.
4. Hanya Allâh yang berhak disembah
Al-Islâm mengajarkan, penuhilah kebutuhan ibadah itu, tapi jangan salah sasaran. Beribadah dan mengabdilah kepada yang berhak diibadahi. Bersembahlah kepada yang berhak disembah. Jangan menyembah kepada yang tidak memiliki hak disembah. Yang berhak disembah adalah yang menciptakan yang mengatur, yang mencurahkan rahmat, dan yang menguasai segala-galanya. Jika beribadah kepada yang tidak memiliki segala-galanya, tentu akan sia-sia akibatnya. Inilah salah satu makna, mengapa setiap mu’min berikrar hanya beribadah kepada Allâh SWT. Iyyâka na’budu, berarti hanya kepada Allâh kita berjanji, pada Allâh kita berbakti, pada Allâh kita mengabdi dan menghambakan diri, serta haya untuk Allâh jiwa raga kita ini.
Ikrar semacam ini tentu saja bukan hanya diucapkan dalam shalat, tapi diucapkan setiap saat. Yang tidak kalah pentingnya ialah realisasi dari ikrar tersebut. Iyyaka na’budu merupakan ikrar tauhid fi al-Ibadah. Tauhid تجريد الله بما يختص به ialah tajrid Allâh bima yukhtashshu bihi, yaitu menunggalkan Allâh dengan apa yang dikhususkan pada-Nya. Dengan demikian Tauhid ibadah ialah تَجْريْد الله في العبَادة tajrid Allâh fi al-Ibadah mengkhususkan ibadah hanya kepada Allâh, dan menentang ibadah kepada selain-Nya. Tajrid Allâh fi al-Ibadah, juga mengkhususkan gerak, ucap dan sikap tertentu hanya kepada Allâh. Dalam shalat ada ruku, maka tidak tepat bila ruku kepada selain Allâh. Dalam shalat ada sujud, maka kita tidak boleh sujud kepada selain-Nya.
Cabang ibadah juga seperti qurban, aqiqah, thawaf, dan wuquf, mesti dikhususkan kepada Allâh SWT. Itulah salah satu sebabnya mengapa hewan yang disembelih bukan karena Allâh, haram dagingnya dimakan oleh kaum muslimin. Rasûl SAW juga pernah melarang sahabatnya sujud kepada beliau.
Dalam shalat juga memuji dan menyanjung Allâh, maka siapa pun tidak layak menyanjung makhluq-Nya dengan sanjungan yang sama kepada-Nya. Kita juga mengucapkan takbir, Allâhu Akbar, maka tidak layak mengagungkan makhluq disamakan dengan Allâh SWT. Inilah prinsip تَجْريْد الله في العبَادة tajridul-Lah fil-Ibadah.
5. Tauhid fi al-Isti’ânah
Tauhid yang kedua dari ikrar fatihah ayat kelima ini ialah tauhid fi al-Isti’ânah. Tajrid Allâh fi al-Isti’ânah, تَجْريْد الله في الإستعَانة yaitu mengkhususkan Allâh sebagai tempat minta pertolongan, tempat bergantung dan tempat berlindung utama. Kita sebagai muslim berikrar dalam shalat, tidak akan beribadah kepada selain Allâh; tidak pula meminta perlindungan kepada selain-Nya. Mungkin saja sesama manusia dapat saling tolong, saling bantu dan saling bela. Namun pertolongan utama ialah pertolongan Allâh. Sesama manusia hanya terbatas pada saling bantu. Karena fi al-Isti’ânah hanya dipusatkan pada Allâh, maka orang yang bertauhid tidak akan menggantungkan dirinya kepada siapa pun selain kepada Allâh SWT. Karena tempat bergantungnya hanya Allâh, maka kemandirian hidupnya akan tetap terjaga dan terpelihara. Inilah pula hakikat kemerdekaan manusia, bebas dari ketergantungan kepada apa dan siapapun, selain pada Allâh SWT. Rasûl SAW juga dalam mengawali khuthbah sering beriqrar:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Sesungguhnya segala puji bagi Allâh. Kita memuji-Nya, minta pertolongan kepada-Nya. Barangsiapa yang ditunjukki Allâh, tidak akan ada yang mampu menyesatkannya. Barangsiapa yang di-sesatkan, maka tidak akan ada yang mampu memberi hidayah. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allâh. Tiada sekutu bagi-Nya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Hr. Muslim, al-Nasa`I, Ibn Majah dan Ibn Hibban.[5]
6. Pantang meminta tolong pada selain Allâh
Iyyaka nasta’in juga mengandung arti penolakan pada permintaan tolong kepada selain Allâh SWT. Ikrar semacam inilah yang mendidik kaum muslimin pantang menyerah dalam berjuang membela kebenaran. Mereka juga akan terhindar dari ketergantungan pada pertolongan siapa pun selain pertolongan Allâh. Mereka tidak akan rela mengemis pada pertolongan manusia, apa lagi jika harus mengorbankan aqidah. Prinsip إياك نعبد وإياك نستعين merupakan prinsip tauhid yang tidak akan tergoyahkan, terutama tauhid ibadah dan tauhid isti’anah.
7. Memenuhi kewajiban sebelum menuntut hak
Didahulukannya kalimat إيَّاك نَعْبُد sebelum إيَّاكَ نَسْتَعين memberi isyarat bahwa menjalani kehidupan hendaknya men-dahulukan kewajiban, sebelum menuntut hak. Beribadah dulu, baru memohon pertolongan. Jika ingin memperoleh hak, maka mesti terlebih dahulu memenuhi kewajiban.
[1] Shahih al-Bukhari, IV h.1738
[2] al-Zuhayli, al-tafsir al-Munir, I h.55
[3] al-Jaza`iri Guru Besar di Masjid al-Nabawi, tahun 2005) Aysar al-Tafasir, I h.31
[4] Mahmud Hijazi, al-Tafsir al-Wadlih, I h.10
[5] Shahih Muslim, II h.593, al-Sunan al-Kubra, III h.322, Sunan Ibn Majah, I h.609, Shahih Ibn Hibban, XIV h.528