HADITS DARI MASA KE MASA SERI 02
- Isyarat Wahyu Pertama tentang cara memelihara al-Qur`an dan hadits
إقْرَأْ Ø¨ÙØ§Ø³Ù’م٠رَبّÙÙƒÙŽ الَّذÙÙŠ خَلَقَ () خَلَقَ الْإÙنْسَانَ Ù…Ùنْ عَلَق٠() اقْرَأْ وَرَبّÙÙƒÙŽ الْأَكْرَم٠() الَّذÙÙŠ عَلَّمَ Ø¨ÙØ§Ù„ْقَلَم٠() عَلَّمَ الْإÙنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Al-Alaq:1-5
- Kalimat إقرأ yang berulang dua kali, mengisaratkan bahwa membaca merupakan ibadah yang paling pertama diperintahkan Allah SWT kepada Nabi SAW khususnya, dan berlaku umum kepada setiap umatnya. Ini merupakan bukti betapa tinggi dan utama nilai membaca bagi umat manusia.
- Kegiatan membaca mesti atas nama Allah SWT, seperti diisyaratkan dengan Ø¨ÙØ§Ø³Ù… ربّÙÙƒ bukan atas nama yang lain.
- Objek utama yang dibaca adalah nama Allah dan segala ciptaanNya, seperti diisyaratkan pada kalimat الَّذÙÙŠ خَلَق. Nama Allah yang diisyaratkan pada wahyu pertama ini antara lain sebagai رَبّ Rabb (Maha Pemelihara), Khalaq خَلَق (Maha pencipta), أَلآكْرَم al-Akram (Maha Pemurah), أَلَّذÙÙŠ عَلَّم Al-Ladzi Allama (Yang Maha Mengajar). Sedangkan objek bacaan berupa makhluq yang diisyaratkan pada ayat-ayat tersebut adalah semua alam baik mikro seperti disyaratkan dengan خَلَقَ الإÙنْسَانَ Ù…Ùنْ عَلَق maupun makro seperti tersirat pada خَلَقَ di ayat pertama. Dengan demikian ayat yang mesti dibaca manusia terdiri atas ayat wahyu dan ayat ilmu; dalil syar’iah[1] dan dalil ilmiyah, ayat qauliyah[2] dan ayat kauniah[3]. Fungsi membaca juga mesti menghasilkan peningkatan Iman, ilmu dan amal.
Setiap muslim dituntut untuk iman pada wahyu, pintar dalam dalam ilmu. Sedangkan amal mesti bersti berdasar pada dalil syar’yah dan ilimyah. Oleh karena itu bahan bacaan yang diperlukan muslim terdiri yang ilmiyah dan syar’iyah, yang imani dan filosofi, serta yang dogmatis dan yang logis empiris.
- Karena Qs. Al-‘Alaq:1-5 ini memerintah untuk membaca ayat wahyu dan ayat ilmu, maka mu`min dituntut berdzikir dan berfikir. Sikap terhadap wahyu Allah dengan cara berdzikir, baik dalam hati, diucapkan dengan lisan maupun diamalkan secara anggota badan. Sedangkan terhadap kejadian alam, setiap mu`min dituntut berfikir. Orang yang berfikir dan berdzikir inilah termasuk ulu al-Albab.
- Untuk kesempurnaan berdzikir dan berfikir, maka tanggung jawab mu`min terhadap al-Qur`an adalah (1) membaca, (2) memahami dan menghayati isinya, (3) mengamalkan segala perintah dan menjauhi larangannya, (4) mengajarkan dan menyebarluaskan keberlakuknnya.
- Pada Qs. al-Alaq 1-5 tersebut tercantum secara berurutan antara membaca dan menulis, antara qira’ah dan kitabah. Ini mengisyaratkan pentingnya jalinan kerjasama antara pustaka dan pembaca, antara pengarang dan pembaca.
- Isyarat dari ayat 4 dan 5 menunjukkan bahwa pengajaran memerlukan kelengkapan bacaan. Sedangkan bacaan mesti diajarkan.
- Agar al-Qur`an dan hadits tetap terpelihara dan berada dlam qalbu umat, maka mesti menempuh langkah (1) membaca, (2) menulis, (3) mengajarkannya. Dengan tiga kegiatan tersebut makan akan terbebas dari lupa dan pikun tentang ayat dan hadits.
- Al-Hadîts Pasca Wahyu Pertama- hingga Wafat Rasul SAW
Selama Rasûl SAW masih hidup itulah al-Hadîts terwujud sebagai syari’ah yang kedua setelah Al-Qur`ân. Periode pertama ini oleh ulama al-Hadîts dinamakan
عصرالوَØÙ’ÙŠ وَالتَّكْوÙيْن  masa turun wahyu dan pembentukan syari’ah dan masyarakat Islam.
Al-Hadîts pada masa ini terwujud dalam bentuk aqwal, af’al, taqarir Nabi SAW[4]. Shahâbat waktu itu faham betul tentang Al-Qur`ân dan al-Hadîts. Bila di antara mereka ada yang kurang faham, langsung bertanya pada Rasûl SAW. Shahâbat benar-benar menjaga hafalannya bukan hanya makna tapi juga redaksi yang disampaikan Rasûl SAW. Rasûl pun berdo’a untuk muhaddits:
رَØÙÙ…ÙŽ الله مَنْ Ø³ÙŽÙ…ÙØ¹ÙŽ Ù…ÙÙ†Ùّي ØÙŽØ¯Ùيْثًا Ùَبَلَغَه٠كَمَا Ø³ÙŽÙ…ÙØ¹ÙŽÙ‡Ù ÙÙŽØ±ÙØ¨Ù‘ÙŽ Ù…ÙØ¨ÙŽÙ„َّغ أَوْعَى Ù„ÙŽÙ‡Ù Ù…Ùنْ Ø³ÙŽØ§Ù…ÙØ¹
Allâh mencurahkan rahmat kepada mendengar suatu al-Hadîts dariku kemudian menyampaikannya kepada orang lain seperti apa yang ia dengar. Betapa banyak orang yang menerima informasi lebih faham dibanding dengan yang mendengar langsung. Hadîts Riwayat[5] Ibn Hibban dari Ibn Mas’ud[6]
Al-Hadîts ini mengisyaratkan betapa bahagia orang yang selalu menyebarluaskan al-Hadîts Rasûl ullah SAW. Itulah mungkin salah satu faktor yang mendorong para shahâbat sangat semangat dan tekun menerima al-Hadîts dari Rasûl serta menyebarluaskannya. Mereka sangat jujur dan adil tidak ada yang berani berbuat dusta, karena sangat takut oleh ancaman Rasûl yang sangat berat:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ Ù…ÙØªÙŽØ¹ÙŽÙ…Ùّدًا Ùَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَدَه٠مÙÙ† النَّار
Barngsiapa yang membuat kedustaa atas namaku, maka siaplah bertempat duduk di neraka.[7] Hr. Ahmad, Bukhari, Ibn Majah dan Hakim
Dengan demikian para shahâbat selalu berhati-hati dalam meriwayatkan al-Hadîts. Al-Hadîts pada saat ini belum ditulis secara resmi, karena belum diperlukan dan ada kekhawatiran bercampur dengan Al-Qur`ân. Rasûl SAW juga melarang shahâbat menulis apa yang disampaikan beliau selain Al-Qur`ân. Sabdanya:
لاَ ØªÙŽÙƒÙ’ØªÙØ¨Ùوْا عَنÙّي شَيْئًا Ø¥Ùلاَّ Ø§Ù„Ù‚ÙØ±Ù’آن Ùَمَنْ كَتَبَ عَنÙّي غَيْرَ Ø§Ù„Ù‚ÙØ±Ù’آن ÙَلْيَمْØÙÙ‡
Janganlah kamu menulis sesuatu dariku selain Al-Qur`ân. Barang siapa yang sudah terlanjur menuliskannya, maka segeralah menghapusnya. Hr. Al-Darimi dari Abi Sa’id al-Khudri. [8]
Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan ini berlaku ketika awal Islam. Sedangkan pada akhirnya Rasûl mengizinkan shahâbat tertentu untuk menulis al-Hadîts.
Shahâbat Rasûl yang mendapat mandat untuk menuliskan al-Hadîts selain Al-Qur`ân antara lain (1) Abd Allâh Bin Amr Bin Ash (27 sH – 83 H) dengan nama al-Shâdiqah, (2) Jabir Bin Abd Allâh (16- sH – 78 H), yang catatannya bernama shahîfah Jâbir, (3) Anas Bin Malik (10 sH – 93 H) yang bekerja sama dengan para putranya, (4) Abu Hurairah (19 sH – 59 H), dengan al-shahîfah al- shahîhah, (5) Abu Bakr al-Shiddiq (50 sH – 13 H), (6) Ali Bin Abi Thalib (23 sH – 40 H), dan (7) Abd Allâh Bin Abbas (3 sH – 68 H) [9]. Di samping shahâbat tersebut masih banyak yang lainnya yang mendapat izin dari Rasûl untuk menuliskan al-Hadîts, seperti Abu Syah, Abu Ayub Al-Anshari, Rafi Bin Khadij, Amr Bin Hazm, Sa’id, dan Ibn Mas’ud, tapi tidak dipublikasikan secara resmi.
- Al-Hadîts masa al-Khulafâ al-Râsyidûn
Sepetinggal Rasûl SAW pada tahun 13 H, kepemimpinan dipegang oleh al-Khulafâ al-Râsyidûn yaitu Abu Bakr al-Shiddiq, kemudian Umar Bin Khaththab, Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib, sampai tahun 40 H. Ketika Umar Bin Khththab menjadi Khalifah, sebenarnya gagasan pembukuan al-Hadîts itu sudah muncul. Namun karena Al-Qur`ân saat itu belum menjadi mushhaf (dalam bentuk buku), maka al-Hadîts pun belum sempat ditulis secara resmi, karena shahâbat masih memusatkan perhatinnya pada pemeliharan dan penulisan Al-Qur`ân. Pada era ke dua ini justru para rawi al-Hadîts diseleksi dan dibatasi, sehingga periode ini dinamakan
عَصْر التثبت والإقلال ÙÙŠ الرواية periode pemantapan dan penyeleksian rawi al-Hadîts.
Shahâbat meriwayatkan al-Hadîts dengan dua cara; riwayat bi al-Lafzhi dan riwayat bi al-Ma’na. Riwayat bi al-Lafzhi artinya meriwayatkan al-Hadîts dengan redaksi yang sama persis dengan apa yang disabdakan Rasûl SAW. Boleh dikatakan kutipan langsung dari Rasûl SAW. Sedangkan riwayah bi al-ma’na, periwayatan al-Hadîts dengan menggunakan redaksi shahâbat, tapi isinya dari Rasûl SAW. Sejak jaman Rasûl SAW masih hidup, shahâbat menyebarkan al-Hadîts secara estapet. Apa yang didengar shahâbat dari Rasûl, kemudian disampaikan kepada para muridnya yaitu tâbi’în.[10] Ketika Rasûl SAW masih hidup, semua al-Hadîts bersumber pada satu sumber. Sedangkan setelah Rasûl wafat, sumber al-Hadîts itu tersebar di kalangan shahâbat. Sedangkan para shahâbat itu memiliki karakteristik yang berbeda, sesuai dengan keahlian, kedudukan, usia dan kuantitas serta kualitasnya dalam mendampingi Rasûl SAW. Oleh karena itu tidak heran bila ada shahâbat yang banyak meriwayatkan al-Hadîts seperti Abu Hurairah, ada pula yang sedikit, seperti Khalid Bin Walid. Pada masa al-Khulafâ al-Râsyidûn ini suasana al-Hadîts masih berwarna iklim Rasûl SAW, sehingga perkembangannya tidak pesat, karena shahâbat yang menerima langsung masih hidup. Shahâbat banyak konsentrasi pada usaha pembukuan Al-Qur`ân.
Â
[1] syar’iyah ialah hukum Allah SWT yang tersirat dan tersurat dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
[2]Â ayat qauliyah ialah firman Allah SWT yang diwahyukan kepada para nabi.
[3]Â ayat kauniah ialah hukum yang tersurat dan tersirat pada kejadian alam semesta, juga dinamakan sunnah Allah.
[4] aqwal ialah ucapan Nabi yang didengar shahabat, Af’al ialah perbuatan Nabi yang dilihat Shabat. Sedangkan Taqarir ialah perbuatan shabat yang dibirakan oleh Rasulullah SAW.
[5] Hadits Riwayat, berma’na hadits tersebut dikutip dari kitab yang diriwayatkan dan disusun oleh….selanjutnya ditulis Hr.
[6] Abu Hatim, Muhammad Bin Hibban (wafat th 354 H) Shahih Ibn Hibban, (Beirut, 1993, Muassah al-Risalah)  juz I (selanjutnya ditulis angka romawinya saja) halaman (selanjutnya ditulis h.) 271
[7] Muhammad Bin Isma’il al-Bukhari (lahir th. 194 H, wafat th.256H, selanjutnya ditulis angkanya saja disertai H, untuk tahun Hijri, dan M, untuk tahun Masehi, sH. Untuk sebelum Hijrah Nabi) Shahih al-Bukhari, 1 h. 434
[8]Â Abdullah Bin Abd al-Rahman al-Darimi (w.255 H), Sunan al-Darimi, (Beirut, 1407 H, Dar al-Kitab)Â j. I , h. 130
[9]Â Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta,1998,) h.52-53
[10] tâbi’în ialah orang yang bertemu dengan shahâbat dalam keadaan muslim dan wafat sebagai muslim, tapi tidak sempat bertemu dengan Rasûl SAW