AYAT DAN HADITS IBADAH JUM’AT
AYAT DAN HADITS IBADAH JUM’AT
- DISIPLIN SHALAT JUM’AT
(kajian fiqih QS.62:09)
- Teks Ayat dan tarjamah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ () فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. Qs.62:9-10
- Historis Jum’at
Shalat jum’ah merupakan kewajiban bagi kaum muslimin, difardlukan sejak tanggal 12 Rab’ul-Awal tahun pertama hijri bertepatan dengan peristiwa hijrah Rasul SAW. Beliau meninggalkan Mekah pada hari kamis terakhir di bulan shafar tahun 13 kenabian, menginap di Jabal Tsur selama empat hari, tanggal 1 Rabi’ul-Awal menuju Quba. Empat hari di Quba membangun masjid di tanah Kalsum bin Hadim. Hari jum’at tanggal 12 pagi menuju Yatsrib, di Bani Salim mendapat perintah shalat Jum’at. Itulah jum’at pertama yang dilaksanakan kaum muslimin. Sebelum shalat dilakukan, dikumandangkan adzan, lalu Rasul berkhuthbah dengan dua kali khuthbah, kemudian iqamah, baru dilakukan shalat jum’at dua raka’at. Bagaimanakah kaifiyat khuthbah berdasar teladan Rasul SAW? Tulisan ini mengungkap beberapa hadits yang berkaitan dengan hal tersebut.
- Sekilas tafsir ayat
- يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
Kalimat يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا secara tersurat mengandung seruan secara umum siapapun orang beriman dipanggil oleh ayat ini baik laki-laki maupun perempuan. Setiap panggilan yang menggunakan kalimat seperti dalam al-Qur`an mencakup semua mu`min. Namun ada hadits yang mengecualikannya yaitu: Thariq bin Shihab mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Shalat jum’at itu merupakan hak dan kewajiban atas setiap muslim dengan berjamaah, kecuali empat golongan: hamba sahaya, wanita, anak kecil, dan orang sakit. (Hr. Abu Daud).[1]
Inilah yang menyebabkan timbulnya perbedaan faham di kalangan ulama; (a) Pendapat pertama beranggapan bahwa shalat jum’at wajib bagi seluruh kaum muslimin, tanpa terkecuali. Alasan pendapat ini adalah keumuman seruan firman Allah dalam shalat jum’at. Di sana tanpa terkecuali, setiap mu’min adalah wajib, sebagaimana keumuman seruan perintah shaum pada firman Allah pada surat Al-Baqarah. Adapun pengecualian hadits dari Thariq bin Syihab, bukan dari hak dan kewajiban, tapi dari fi jam’atin (berjama’ah). Oleh karena itu bagi orang yang termasuk pada empat golongan itu hendaklah ia shalat jum’at tapi tidak perlu shalat berjama’ah. Menurut pendapat ini Hadits dari Thariq bin Syihab itu tidak bisa dijadikan alasan sebab hadits itu munqathi’ (terputus sanadnya), karena Abu Daud mengatakan bahwa Thariq bin Syihab itu tidak mendengar Rasulullah langsung. (b) Pendapat kedua beranggapan bahwa kewajiban shalat jum’at itu hanya bagi yang tidak dikecualikan hadits. Hadits dari thariq bin Syihab mengecualikan (meng-istisna) firman Allah yang umum. Jika dikatakan bahwa Thariq tidak mendengar dari Rasul (kata Abi Daud) memang betul namun menurut Hakim, Thariq mendengar dari Abu Musa. Oleh karena itu hadits ini tidak munqathi’.[2]. Di samping itu hadits ini dikuatkan oleh hadits lain yang marfu’ yaitu dari Abi Hurairah yang menyatakan bahwa Rasululullah saw bersabda:
خَمْسَةٌ لا جُمُعَةَ عَلَيْهِمْ: الْمَرْأَةُ، وَالْمُسَافِرُ، وَالْعَبْدُ، وَالصَّبِيُّ، وَأَهْلُ الْبَادِيَةِ
Lima golongan tidak ada kewajiban jum’at bagi mereka: perempuan, hamba sahaya, anak kecil, orang dalam perjalanan, serta orang dusun.Hr. al-Thabarani.[3]
Alasan lain yang dipegang oleh yang berpendapat ini adalah bahwa pada firman Allah itu ditandaskan وَذَرُوا الْبَيْعَ (tinggalkan jual beli). Orang yang bertanggung jawab dan merupakan kebiasaan yang jual beli itu laki-laki. Oleh karena itu merupakan bukti bahwa perintah itu pada laki-laki, karena merekalah yang berkewajiban mencari nafqah. Sayid Sabiq,[4] menandaskan bahwa orang yang dalam perjalanan itu tidak wajib jum’at karena Rasulullah saw pun ketika haji wada’ di Arafah tidak melaksanakan shalat jum’at karena dia sedang dalam perjalanan. Beliau pada saat itu melaksanakan shalat dzuhur dan ashar dijama’ taqdim. Begitu pula para khalifah sepeninggal Nabi Saw. Selanjutnya Sayid Sabiq mengatakan bahwa orang-orang yang tidak kena kewajiban shalat jum’at (yang tersebut dalam hadits) berkewajiban shalat dzuhur. Sedangkan orang yang melaksanakan shalat jum’at tidak usah melaksanakan shalat dzuhur.
Dengan demikian kaum wanita tidak diwajibkan melakukan shalat jum’ah. Bagimana kalau mereka melakukan shalat jum’ah? Rasul menandaskan bahwa kaum pria tidak boleh melarang istrinya untuk pergi ke masjid, walaupun sebenarnya tempat shalat kaum wanita itu di rumahnya masing-masing. Lalu bagaimana kalau wanita yang melakukan shalat jum’ah itu, apakah mereka tetap melaksanakan shalat zhuhur? Ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Menurut sebagian ulama tetap wajib shalat zhuhur, karena tidak ada jum’ah bagi mereka. Menurut pendapat lain tidak perlu shalat zhuhur, apabila mereka melakukan shalat jum’ah. Ketegasannya adalah bahwa di jaman Rasulullah SAW tidak diriwayatkan kaum wanita pergi melakukan shalat jum’ah. Jika hadits di atas ditafsirkan dengan tidak ada kewajiban berjama’ah, maka kalimat fiy jama’atin akan dikemanakan. Hadits tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa shalat jum’at itu disyaratkan berjamaah. Artinya tidak sah shalat jum’ah tanpa berjamaah. Dengan demikian jika tidak ada jamaah, maka tetap berlaku shalat zhuhur. Sedangkan hadits yang mengatakan bahwa tidak ada shalat zhuhur pada hari jum’ah, itu berlaku bagi orang yang melakukan shalat jum’ah. Tegasnya, bagi kaum wanita lebih tepat tidak perlu pergi ke masjid untuk shalat jum’ah, cukup shalat di rumahnya saja, supaya tidak menimbulkan keraguan. Perkataan إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ (apabila diserukan atau dikumandangkan panggilan untuk shalat) mengandung arti adzan telah dikumandangkan. Kalimat ini tidak menggunakan bila mendengar adzan, tapi menggunakan kalimat bila telah diperdengarkan. Oleh karena itu yang diseur untuk segera ke masjid bukan hanya yang mendengar adzan, tapi siapa pun yang mengaku beriman mesti segera ke masjid. Kalimat لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ menunjukkan bahwa yang diserukan adalah untuk shalat jum’at. Sedangkan فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ (Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah) mengisyaratkan bahwa shalat jum’at itu mesti dilakukan secara berjama’ah. Oleh karena itu setiap mu`min mesti segera datang ke tempat shalat jum’at untuk melaksanakannya secara berbarengan dengan jamaah lainnya.
- وَذَرُوا الْبَيْعَ dan tinggalkanlah jual beli. Kalimat ini mengandung beberapa makna antara lain (a) penegasan wajibnya shalat dilakukan secara berjamaah sehingga segala kegiatan perniagaan atau mata pencaharian mesti ditinggalkan; (b) dilarang transaksi pada hari jum’at selama upacara jum’atan berlangsung yaitu sejak adzan dkumandangkan hingga shalat jum’at selesai dilaksanakan; (c) ada isyarat bahwa yang diseru oleh ayat ini adalah kaum pria yang berkewajiban mencari nafqah. Larangan melakukan jual beli dipahami oleh Imam Malik mengandung makna batalnya serta keharusan membatalkan jual beli jika dilakukan pada saat imam berkhutbah dan shalat. Imam Syafi’i tidak memandang sebagai haramnya transaksi jual beli selama prosesi jum’atan dilaksanakan.
- ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Pengunci yat ini sebagai penegasan bahwa menyegerakan untuk datang ke masjid di hari jum’at adalah lebih baik di banding terlambat menghadirinya. Terdapat isyarat pula bahwa yang lebih baik akibat yang diperolah adalah disiplinnya enaati atauran.
- فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah
Jika telah usai melaksanakan shalat, maka kembalilah ke tempat mereka berbisnis dan memenuhi keperluan lainnya.[5]
Ayat ini menyambungkan antara kegiatan ibadah ritual, dengan ibadah yang sifatnya social. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memisahkan hari ibadah dengan hari berbisnis atau meta pencaharian lain. Setelah ayat sebelum menyerukan agar kaum muslimin disimpil memenuhi panggilan Ilahi menuju masjid ketika diseru jum’atan maka ketika selesai shalat jum’at dipersilakan kembali ke tempat masing-masing, tidak dibenarkan untuk duduk-duduk dengan mengabaikan tugas lainnya. Kalimat فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ bertebaran di muka bumi mengisyaratkan kembali ke tugas masing-masing. Sedangkan وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ mencari karunia Ilahi, berupa rejeki yang halal untuk didapatkan. Kalimat ini juga berkaitan dengan وَذَرُوا الْبَيْعَ pada sebelumnya yang melarang jual beli, ketika adzan jum’at telah dikumandangkan.[6] Jadi merupakan batas waktu bolehnya beraktifitas harian, usai shjalat ju’at dilakukan. Ini juga ada kaitan dengan proses pelaksanaan ibadah haji, di kala usai menunaikan haji tidak disalahkan untuk mencari nafqah:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ
Tidak ada halangan bagi kalian, untuk mencari karunia yang dianugerahkan dari tuhan kalian. Qs.2:198
- وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Namun tetap ingat pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan berdzikir, akar meraih keuntungan duniaw dan ukhrawi.
Menuruit al-Nasafi kalimat ini mengandung arti perintah banyak bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang mengatur sedemikian rupa indahnya.[7] Namun menurut al-Baydlawi mencakup atas segala hkum dan syari’ah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang mesti dijadikan dasar hidup, termasuk juga didalamnya melakukan shalat ba’da jum’atan.[8]
- Beberepa ibrah
- Shalat ju’mat difardlukan pada kaum pria yang sudah baligh. oleh karena itu jika seruan adzan telah dikumandangkan, maka haram bagi kaum pria untuk bertransaksi perniagaan baik barang ataupun jasa.
- Dengan diserukannya kaum pria menuju shalat jum’at secara serentak, maka mengisyaratkan bahwa ibadah jum’at mesti dilaksanakan dengan berjamaah.
- Disiplin memenuhi aturan, adalah lebih baik di banding menyepelekannya. Mementingkan shalat jum’at di atas kepentingan yang merupakan kewajiban setiap mu`min laki-laki. Namun jika sham’at telah selesai silaksanakan, dipersilakan kembali ke tugas dan kepentingan lainnya.
- Jika shalat jum’at telah selesai, mak kaum muslimin dipersilakan kembali ke tugas masing-masing, seperti mencari rejeki dari karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
- Dalam mencari rejeki juga tetap mesti dzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan syukur atas ni’matnya, serta berpedoman pada aturan syari’ahnya, agar neraih keuntungan yang sempurna
-=o0o=-
[1] Sunan Abi Dawud, no.901
[2] (Subulus-Salam, II:58)
[3] al-Mu’jam al-Kabir, XIX h.111
[4] (Fiqhus-Sunnah,I:256)
[5] al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Qur`an, XVIII h.108
[6] zad al-Masir, VI h.31
[7] tafsir al-Nasafi, III h.430
[8] tafsir al-Baydlawi, V h.294