TAFSIR SURAT AL-NISA: 05 – HARTA DIKELOLA MESTI OLEH YANG DEWASA
HARTA DIKELOLA MESTI OLEH YANG DEWASA
Kajian tafsir al-Nisa: 05
- Teks Ayat dan tarjamahnya
وَلا ØªÙØ¤Ù’تÙوا السّÙÙَهَاءَ أَمْوَالَكÙم٠الَّتÙÙŠ جَعَلَ اللَّه٠لَكÙمْ Ù‚Ùيَامًا وَارْزÙÙ‚ÙوهÙمْ ÙÙيهَا وَاكْسÙوهÙمْ ÙˆÙŽÙ‚ÙولÙوا Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ قَوْلا مَعْرÙÙˆÙًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Qs.4:05
Â
B. Kaitan dengan ayat lain
1. Ayat 02 memerintah agar para pengasuh mau menyerahkan harta anak yatim kepada pemiliknya. Ayat 5 ini melarang menyerahkan harta kepada yang belum memilki kemampuan untuk mengelolanya. Dengan demikian jika dikaitkan dengan ayat 2, ayat 5 ini berkenaan dengan tanggung jawab pengasuh dalam mengelola harta anak yatim. Al-Alusi (w.1270H) berpendapat bahwa ayat ini masih merupakan satu rangkaian dengan ayat-ayat tentang harta anak yatim.[1] Â Wali anak yatim jangan menyerahkan harta kepada yang belum dewasa.[2]
2. Ayat 4 memerintah agar suami menyerahkan maskawin kepada istrinya. Ayat 5 ini memberikan bimbingan tidak menyerahkan harta kepada yang belum mampu mengurusnya. Dengan demikian jika dikaitkan dengan ayat 4, ayat 5 ini berkenaan dengan pengelolaan harta rumah tangga supaya dipegang oleh orang yang memiliki kemampuan mengelolanya secara baik.
C. Tinjaun historis
1. Diriwayatkan oleh Al-Tsa’labi dari al-Hadlrami, bahwa seorang laki-laki mempercayakan pengelolaan seluruh hartanya kepada istrinya. Ternyata istrinya itu menggunakan harta suaminya secara tidak semestinya. Qs.4:5 turun sebagai peringatan kepada suami supaya hati-hati mempercayakan pengelolaan harta pada istrinya.[3]
2. Menurut Abu Musa al-Asy’ari, Qs.4:5 ini turun berisi larangan menyerahkan harta pada semua yang kurang mampu mengelolanya.[4]
D. Tafsir Kalimat
1. وَلا ØªÙØ¤Ù’تÙوا السّÙÙَهَاءَ أَمْوَالَكÙÙ…Ù Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) . Kalimat وَلا ØªÙØ¤Ù’تÙوا terdiri dari tiga kata: ÙˆÙŽ yang berarti dan sebagai kata sambung dari ayat sebelumnya. لا merupakan النهي kata larangan, yang berarti janganlah. Sedangkan perkataan ØªÙØ¤Ù’تÙوا dari ØªÙØ¤Ù’تÙوْنَ, karena ada لا, huruf Ù† dihilangkan, berasal dari kata آتَى – ÙŠÙØ¤Ù’تÙÙŠ mendatangkan, memberikan, mempercayakan, atau menyerahkan. PerkataanالسّÙÙَهَاءَ merupkan bentuk jama dari سَÙÙيْه, yang asal artinya ialah orang yang kurang kuat dalam pemikiran serta kurang ajeg dalam sikap dan tindakannya, karena mudah tergoyahkan. Ibn Jarir al-Thabari (224-310H)[5] menerangkan:
al-Safih ialah orang yang bodoh yang masih lemah pemikirannya, kurang pengetahuan tentang mana yang bermanfaat dan mana yang madarat. Menurut al-Zuhayli,[6] السّÙÙَهَاءَ dalam ayat ini berma’na:
Orang yang suka menghamburkan harta, baik laki-laki, perempuan, ataupun anak-anak. Dengan kata lain yang suka menggunakan harta pada hal-hal yang tidak semestinya, atau kurang baik dalam mengelolanya.
Pangkal ayat ini melarang mempercayakan harta kepada orang yang belum mampu mengelolanya secara baik. Dikaitkan dengan ayat sebelumnya larangan tersebut mencakup masalah harta anak yatim, dan harta hasil usaha suami. Harta yang tidak boleh diserahkan kepada mereka itu yang melebihi kebutuhannya, karena dikhawatirkan akan habis kurang manfaat.[7]  Pengasuh tidak boleh menyerahkan harta anak yatim kepada pemiliknya yang belum dewasa. Seorang suami juga jangan menyerahkan seluruh harta kepada istrinya yang tidak mampu mengelola secara baik. Istri dan anak yang belum mampu mengurus harta, hendaklah diberi belanja sesuai keperluannya.[8] Arti أمْوَال bentuk jama dari مَال yaitu harta. أمْوالَكÙÙ… berma’na harta kalian, bisa berma’na harta milik kalian, bisa juga harta yang menjadi tanggung jawab kalian. Menurut al-Wahidi, ma’na َلا ØªÙØ¤Ù’تÙوا السّÙÙَهَاءَ أَمْوَالَكÙم٠ialah janganlah menyerahkan harta kalian kepada istri atau anak-anak yang belum mampu mengelolanya secara baik.[9] Al-Jawzi (508-598H)[10] menerangkan bahwa pengertian السÙهاء pada ayat ini mencakup lima ma’na: (1) istri, seperti pandangan Ibn Umar, (2) istri dan anak, sebagaimana dikemukakan Sa’id bin Jubair, Qatadah, al-Dlahak, Muqatil, al-Fara, Ibn Qutaibah(3) anak-anak, sebagaimana pendapat Abu Malik, (4) anak yatim, sebagaimana dikemukakan Ikrimah, (5) mencakup siapa saja yang belum memiliki kemampuan mengelola harta, sebagai mana dikemukakan Ibn Jarir, Abu Sulayman al-Dimasyqi, karena ayat ini bersifat umum. Sedangkan pengertian أموالكم mencakup: (1) harta anak yatim (2) harta milik orang yang belum dewasa dalam pengelolaannya.
Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa menyerahkan harta kepada yang belum dewasa adalah tidak baik, walau pun kepada pemiliknya. Adapun mempercayakan pengelolaan harta sendiri kepada orang lain yang belum diketahui betul kualitas pribadi dan kemampuannya, lebih tidak baik lagi. Perhatikan hadits berikut.
Dari Abi Muasa r.a diriwayatkan, Nabi SAW bersabda: Tiga golongan yang berdo’a kepada Allah SWT tidak mendapat jawaban: (1) orang yang punya piutang tapi tidak mengingatkan, (2) orang yang menyerahkan hartanya kepada yang bodoh sebagaimana difirmankan Allah SWT وَلاَ ØªÙØ¤Ù’تÙوْا السّÙÙَهَاءَ أمْوَالَكÙمْ, (3) orang yang punya istri berakhlaq buruk tapi tidak menceraikannya. Hr. al-Bayhaqi (384-458)[11]
Hadits ini mengisyaratkan bahwa urusan utang piutang, pengelolaan harta kekayaan, dan pembinaan akhlaq keluarga, tidak boleh mengandalkan do’a. Oleh karena itu hendaknya berhati-hati memberikan kepercayaan pengelolaan harta kepada siapapun, baik dalam bentuk usaha bersama, ataupun memberikan pinjaman. Rasul SAW pun tidak selamanya memberikan harta kepada yang meminta.
Sesungguhnya Ubaid Allah bin Addy meriwayatkan bahwa ada dua orang laki-laki berceritra pernah datang kepada Rasul SAW untuk minta harta zakat. Kemudian Rasul SAW melihatnya dengan seksama tentang penampilan mereka. Rasul bersabda: Jika kalian mau, aku beri. Ingat tidak ada bagian dari zakat untuk orang kaya dan yang mampu berusaha. Hr. Ahmad (w.241H), Abu Dawud (w.275H) dan al-Nasa`iy (w.303H)[12]
 Dari Atha bin Yasar diriwayatkan bahwa Rasul SAW bersabda: Tidak halal harta zakat kepada orang kaya, kecuali lima kelompok (1) yang berjihad di jalan Allah, (2) pengelola zakat, (3) orang yang pailit, (4) orang yang membeli harta zakat dengan miliknya, (5) orang yang mempunyai tetangga miskin yang menerima zakat kemudian memberi hadiah karena ketetanggaannya. Hr. Abu Dawud.[13]
2. الَّتÙÙŠ جَعَلَ اللَّه٠لَكÙمْ Ù‚Ùيَامًا yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Al-Qurthubi (w.671H) mengartikan kalimat ini dengan لمعاشكم ÙˆØµÙ„Ø§Ø Ø¯ÙŠÙ†ÙƒÙ… yang telah Allah jadikan sebagai alat kehidupan kalian, dan kemaslahatan agama.[14] Perkataan Ù‚Ùيَامًا bila(1) bentuk kata jadian dari قَامَ akan berma’na tanggung jawab dalam pengelaolaan harta demi kemaslahatan bersama, (2)bentuk jama dari Ù‚Ùيْمَة berarti bekal hidup.[15] Tegasnya, harta yang tidak boleh diserahkan kepada السّÙÙَهَاء itu adalah harta pokok yang berpengaruh pada kemaslahatan bersama dalam kehidupan keduniaan maupun keagamaan.
3. وَارْزÙÙ‚ÙوهÙمْ ÙÙيهَا وَاكْسÙوهÙمْ Berilah mereka belanja dan pakaian.
Orang yang belum mampu mengelola harta secara baik, cukup dipenuhi kebutuhannya, seperti makanan dan pakaian. Pengelola harta anak yatim juga hendaknya menafkahi yang diasuhnya sesuai kebutuhan. Bahkan dalam tarjamah Depag RI di atas, ditekankan dari hasil pengelolaan harta itu, alias dari keuntungannya. Perkataan وَارْزÙÙ‚ÙوهÙمْ berilah mereka rejeki, sebenarnya mencakup segala kebutuhan baik makanan, pakaian, kesehatan, perlindungan maupun tempat tinggal. Namun pada ayat ini ditegaskan وَاكْسÙوهÙمْ berilah mereka pakaian, karena banyak pengasuh yang kurang memperhatikannya. Sedangkan perkataan ÙÙيْهَا padanya, bukan Ù…Ùنْهَا darinya, memberi isyarat, agar harta yang diberikan itu dari keuntungannya bukan dari pokok.[16] Dengan demikian harta pokoknya tetap utuh, supaya dapat diserahkan kelak anak yatim telah dewasa. Namun bila ayat ini difahami secara umum, sebagaimana dikemukakan di atas, berlaku pula atauran tersebut pada kehidupan suami istri. Istri yang boros, sebaiknya tidak diberi kepercayaan memegang kendali harta keluarga, melainkan cukup diberi nafakah dan kiswah sesuai kebutuhannya. Demikan pula suami yang tidak mampu mengelola hartanya, lebih baik mempercayakan kepada anggota keluarga yang bisa dipercaya kedewasaan, kejujuran dan keahliannya. Mempercayakan amanat kepada yang bukan ahli, akan menimbulkan kerugian. Rasul SAW bersabda:
bila urusan sudah dipercayakan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. Hr. al-Bukhari (w.256H).[17]
4.ÙˆÙŽÙ‚ÙولÙوا Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ قَولاً مَعْرÙÙˆÙًا   dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Mereka hendaklah diberi pengertian supaya tidak timbul kecurigaan atau kecemburuan. Tidak memberikan harta kepada mereka bukan karena akan merusaknya tapi demi kemaslahatan bersama. Ucapan yang baik adalah yang bisa dimengerti, difahami semua fihak, sesuai dengan akal, perasaan, dan dianggap baik oleh syari’ah. قَولاً مَعْرÙÙˆÙًا juga berma’na ucapan yang menyenangkan hati, tidak menimbulkan kemarahan dan kesedihan serta difahami oleh yang menerima penjelasan.[18] Pengunci ayat ini memberi isyarat antara lain (1) pengasuh anak yatim memiliki tanggung jawab bukan hanya yang bersifat materi, tapi juga pendidikan, (2) Pemilik harta mesti mengetahui seluk beluk harta yang dikelola orang lain, (3) pengelola harta mesti memberikan penjelasan secara jujur, tentang keuntungan atau kerugiannya kepada pemilik harta, (4) adanya saling percaya semua fihak yang disertai kewaspadaan dan pengawasan.
[1] Â Abu al-Fadlal Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, IV h.201
[2] Â Al-Baydlawi (w.791), Tafsir al-Baydlawi, II h.147
[3] Â Abu al-Fadlal Ahmad bin Ali (773-852H), al-‘Ijab fi Bayan al-Asbab, II h.830, Al-Suyuthi (w.911H), al-Dur al-Mantsur, II h.432
[4] Â Abd al-Rahman al-Tsa’alibi (w.791H), al-Jawahir al-Hisan, I h.349
[5] Â Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan (Tafsir al-Thabari),
[6] Â Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, IV 247
[7] Abd al-Azhim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, II h.19
[8] Â Abu al-Fida Isma’il bin Katsir (w.774H), Tafsir Ibn Katsir, I h.453
[9] Â Abu al-Hasan al-Wahidi (w.468H), al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz (Tafsir al-Wahidi), I h.252
[10] Â Abd al-Rahman al-Jawzi, Zad al-Masir, II h.12-13
[11] Abu Bakr al-Bayhaqi, Syu’b al-Iman, VI h.249
[12] Musnad Ahmad, no.17291, Sunan Abi Dawud, no. 1391, Sunan al-Nasa`iy, II h.54
[13] Â Sunan Abi Dawud, II h.119
[14] Â Abu Abd Allah Muhammad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, V h.31
[15] Â Tafsir al-Jalalin, I h.98
[16] Â tafsir al-Maraghi, IV h.187
[17] Â Shahih al-Bukhari, no.57
[18] Â Abu Bakr al-Jaza`iri, Aysar al-Tafasir, I h.438