HADITS ZAMAN TIDAK KARUAN seri 03
ZAMAN YANG TIDAK KARUAN
(kajian hadits riwayat Ibn Majah dari Abi Hurairah) bagian ketiga
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ الْجُمَحِيُّ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
5. وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ orang yang jujur malah dikhianati
Perkataan وَيُخَوَّنُ bisa bermakna dikhianati, bisa juga dianggap khianat. Perkataan الْأَمِينُ (yang dapat dipercaya, pengemban amanah) merupakan lawan dari kata الْخَائِنُ (yang berkhianat). Zaman yang tidak karuan, orang yang jujur dikhianati atau dianggap khianat. Bila zaman tersebut sudah seperti itu, maka yang memegang jabatan hanyalah orang yang berkhianat. Sedangkan yang amanah tidak mempunyai kesempatan untuk berperan. Akhirnya Negara dan masyarakat dipegang oleh para pengkhianat. Rasul SAW bersabda:
سِتَّةٌ لَعَنْتُهُمْ وَلَعَنَهُمْ اللَّهُ وَكُلُّ نَبِيٍّ كَانَ الزَّائِدُ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَالْمُكَذِّبُ بِقَدَرِ اللَّهِ وَالْمُتَسَلِّطُ بِالْجَبَرُوتِ لِيُعِزَّ بِذَلِكَ مَنْ أَذَلَّ اللَّهُ وَيُذِلَّ مَنْ أَعَزَّ اللَّهُ وَالْمُسْتَحِلُّ لِحُرُمِ اللَّهِ وَالْمُسْتَحِلُّ مِنْ عِتْرَتِي مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَالتَّارِكُ لِسُنَّتِي
Dari ‘Aisyah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “enam orang yang aku, Allah dan setiap Nabi melaknat mereka yaitu orang yang menambah-nambah dalam kitabullah (Al Qur’an), orang yang mengingkari takdir Allah, orang yang berkuasa dengan diktator untuk memuliakan orang yang telah dihinakan oleh Allah dan menghinakan orang yang telah Allah muliakan, orang yang menghalalkan apa apa yang diharamkan Allah, orang yang menghalalkan Ahli Baitku yang telah diharamkan oleh Allah, dan orang yang meninggalkan sunnahku.” Abu Isa berkata; Demikianlah Abdur Rahman bin Abul Mawali telah meriwayatkan hadits ini dari Ubaidillah bin Abdur Raman bin Mauhab dari ‘Amrah dari A’isyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sufyan Ats Tsauri, Hafs bin Ghiyats dan yang lainnya telah meriwayatkan dari Ubaidillah bin Abdur Rahman bin Mauhab dari Ali bin Husain dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara mursal, dan ini yang lebih shahih.[1]
6. وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ Ruwaibidlah menjadi banyak bicara.
Penggalan hadits ini, Rasulullah s.a.w. memberikan ‘warning’ (peringatan dini) kepada umatnya agar berhati-hati terhadap Ruwaibidhah, simbolisasi seseorang yang ‘berlagak pakar, padahal tidak memiliki otoritas untuk berfatwa. Dia, bak “tong kosong (yang) — dalam terminologi ‘Aidh al-Qarni — disebut sebagai: al-Ahmaq, seorang yang bodoh namun tidak sadar akan kebodohannya, maka dia lebih tepat disebut sebagai orang ‘pandir’, dan inilah yang disebut oleh para ulama sebagai “Jâhil Murakkab” (orang yang sangat bodoh), atau “nu bodo tapi guminter”. Seorang Ruwaibidhah akan selalu mencitrakan diri sebagai seorang pakar, memerankan dirinya sebagai ‘pengumbar fatwa’ yang berdusta atas nama kebenaran, yang karena kepiawainnya membangun citra dan kehebatan retorikanya dirinya menjadi (seolah-olah) ‘Sang Maestro’ pada bidangnya. Karena di’blow-up’ oleh berbagai media, pendapatnya dikutip oleh para muqallid (pengikut setianya)-nya dengan satu keyakinan bahwa apa pun yang dikatakannya selalu benar, atau mininal lebih otoritatif dari siapa pun yang sebenarnya lebih memiliki otoritas dalam bidangnya. Yang diherankan, kenapa orang-orang seperti ini (Ruwaibidah-ruwaibidah kontemporer) semakin banyak bermunculan, dengan mengatasnamakan keahliannya yang dikatakannya sendiri dan – kemudian – di’amini’ oleh banyak orang, karena (antara lain) permainan media cetak dan elektroinik yang mendukung kemunculannya. Bahkan oleh beberapa media massa (elektronik dan cetak) – yang entah sengaja atau tidak ketika memunculkannya — sering disebut sebagai pakar dalam bidang tertentu yang paling layak menjadi “marja’ taqlid” (nara sumber otoritatif yang tak perlu disangsikan keabsahan pendapat-pendapatnya). Memang “ironis”, tetapi itulah kenyataannya!
Misalnya Pak Surono — salah seorang pakar vulkanologi — yang sudah sekian banyak mengemukakan pernyataannya tentang bahaya Gunung Merapi, pendapat-pendapatnya – untuk kalangan ‘akar-rumput’ — tak lebih populer dan juga tidak lebih diakui keabsahannya daripada fatwa ‘mbah Maridjan’, sebelum wafat hampir tidak pernah mengeluarkan pernyataan apa pun tentang Gunung Merapi. Tetapi, sebagai seorang yang – oleh sebagian kalangan – dianggap lebih tahu tentang Gunung Merapi, beliau lebih dipercaya daripada Pak Surono.
7. قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّة Rasul ditanya tentang apa itu “Ruwaibidoh?” beliau menjawab orang bodoh berperan penting dalam urusan public.
Mereka adalah orang yang pandai merangkai kata, sehingga kata-katanya mudah memikat hati banyak orang dan mudah menimbulkan kepercayaan. Orang seperti ini, sering mengemas dirinya dengan penampilan yang dirasa memberikan kesan baik bagi orang-orang yang tengah dihadapinya. Senang memamerkan kekayaannya yang dia anggap sebagai tameng untuk memdapatkan kepercayaan dan kelas tertentu di hadapan orang banyak. Disamping itu orang seperti ini tidak ragu menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan kepercayaan bagi dirinya, dengan cara memenuhi tuntutan orang-orang yang menjadi sasaran baginya untuk mendapatkan keuntungan.
Orang yang menggunakan kekuatan perkataannya, mengemas penampilannya, menggunakan kekayaannya dan kekuatan kedudukannya, hanya akan mempu membeli kepercayaan orang-orang yang tidak memiliki iman yang teguh, memiliki penyakit hati ( cinta dunia, mengkultuskan hingga menyekutukan Allah ) dan membiarkan dirinya dalam kebodohan atau enggan mencek ulang setiap informasi yang didapatnya. Sehingga mereka bersikap sebagaimana orang-orang fasik, yaitu menganggap hina nasihat orang yang miskin, tidak memilki kedudukan dan kekuatan terhormat, tidak memilki dukungan dan sangat sederhana dalam tutur katanya, tidak di lebih-lebihkan atau di ada-adakan.
Di zaman serba modern ini, penampilan, kekayaan, ilmu duniawi, kekuasaan, hingga orang yang memiliki pengikut yang banyak apalagi dilengkapi kemampuan menarik hati melalui paras dan perkataannya, sering malah menjadi orang yang di tuju, didengarkan dan di ikuti. Sehingga tidak lah heran, merka tidak dapat lagi membedakan perkataan dari seorang yang bodoh tidak memilki dasar ilmu pengetahuan. Asalkan apa yang disampaikannya memenuhi selera dan kepentingan banyak orang, maka cukuplah dia menjadi orang yang paling dijadikan rujukan. Demikiannlah sifat ummat yang bagaikan buih dilautan…..mencari yang memikat, yang menghibur, yang memudahkan, yang paling memberikan keuntungan. Jadilah orang bodoh membodohi yang bodoh.
D. Beberapa Ibrah
- Peringatan akan bahaya berbicara tanpa landasan ilmu. Allah ta’ala berfirman, وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak punya ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’ : 36). Allah ta’ala juga berfirman يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ () إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ “Hai umat manusia, makanlah sebagian yang ada di bumi ini yang halal dan baik, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Sesungguhnya dia hanya akan menyuuh kalian kepada perbuatan dosa dan kekejian, dan agar kalian berkata-kata atas nama Allah dalam sesuatu yang tidak kalian ketahui ilmunya.” (QS. al-Baqarah : 168-169). Maka barangsiapa yang gemar berbicara mengatasnamakan agama tanpa ilmu, sesungguhnya dia adalah antek-antek Syaitan, bukan Hizbullah dan bukan pula pembela keadilan atau penegak Syari’at Islam!
2. Hadits ini memberi isyarat betapa pentingnya kejujuran dan mengandung peringatan betapa bahaya kedustaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا “Wajib atas kalian untuk bersikap jujur, karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan menuntun ke surga. Apabila seseorang terus menerus bersikap jujur dan berjuang keras untuk senantiasa jujur maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai orang yang shiddiq. Dan jauhilah kedustaan, karena kedustaan itu akan menyeret kepada kefajiran, dan kefajiran akan menjerumuskan ke dalam neraka. Apabila seseorang terus menerus berdusta dan mempertahankan kedustaannya maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu).[2]
3. Hadits ini juga menunjukkan pentingnya menjaga amanah dan memperingatkan dari bahaya mengkhianati amanah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ “Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah datangnya hari kehancuran.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?”. Maka beliau menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kiamatnya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).[3] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, لا إِيمَانَ لِمَنْ لا أَمَانَةَ لَهُ “Tidak lengkap iman pada diri orang yang tidak memiliki sifat amanah.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan al-Thabarni dalam al-Mu’jam al-Kabir,[4] dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, dihasankan al-Albani dalam Takhrij Misykat al-Mashabih [35] as-Syamilah)
4. Bila orang yang tidak punya keahlian sudah dijadikan narasumber, pedukunan sudah menjadi rujukan, maka kehancuran akan segera tiba. Hadits ini memberikan peringatan, agar jangan sampai kaum ruwaibidoh terlalu banyak bermunculan.
5. Jalan keluar ketika menghadapi situasi kacau semacam itu adalah dengan kembali kepada ilmu dan ulama. Jika mendapatkan fatwa atau pendapatan, hendaklah mengecek kebenarannya, jangan sampai menetrima pandangan orang tanpa kritis. Setiap da’I, para pendidik, termasuk orang tua semestinya membimbing generasi yang kritis terhadap ungkapan tokoh yang tidak diketahui keahliannya.
6. Dalam mengkaji ilmu, janganlah hanya melihat siapa figure yang bicara, ataupun dari mana latar belakngnya. Namun perhatikanlah apa yang disampaikannya. Betapa banyak kebenaran diperoleh dari rakyat jelata yang dianggap bisa, dan tidak sedikit kekeliruan keluar dari orang yang dianggap terhormat.
7. Dalam memilih pemimpin hendaklah jangan hanya ditinjau dari sudut popularitas belaka, tapi mesti menelusuri kejujuran dan keahlian calon. Kalau pemilihan pemimpin terjadi hanya ditinjau dari sudut popularitas, boleh jadi negeri ini dikuasai oleh ruwaibidoh.