MEWASPADAI KAUM RUWAIBIDLAH
MEWASPADAI KAUM RUWAIBIDLAH
(kajian hadits riwayat Ibn Majah dari Abi Hurairah)
A. Teks Hadits dan Tarjamahnya
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
dari Abi Hurairah, Rasul SAW bersabda: Bakal tiba suatu jaman dipenuhi penipuan; Pendusta diaangga[ benar,; yang jujur dianggap bohong; pengkhianat diberi keprcayaan; yang amanah dianggap khianat; terjadi juga banyaknya al-Ruwaibah berbicara atau menyampaikan gagasan. Ditanyakan pada Rasul SAW: apa itu al-Ruwaibah? Rasul bersabda: orang bodoh diberi kepercayaan mengurus orang banyak. Ibn Majah, dan lain-lain.[1]
C. Syarah Sekilas
1. سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ bakal datang atas manusia suatu jaman bertahun-tahun banyak penipuan kedustaan.
Perkataan سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ memberi isyarat bahwa jaman Rasul SAW belum terjadi, tapi bakal terjadi sepeninggal beliau. Namun yang jelas tidak diterangkan berapa jarak antara wafat Rasul dengan munculnya kejadian yang diungkapnya itu. Boleh jadi saat ini sudah muncul di berbagai tempat di penjuru dunia.
Perkataan سَنَوَاتٌ merupakan bentuk jama dari سنة yang beratintahun atau zaman, atau periode. Oleh karena itu dapat diartikan berbagai periode, atau beberapa tahun bahkan bertahun-tahun. Sedangkan perkataan خَدَّاعَاتُ merupakan bentuk jama dari خَدَّاعَة (penipu, pendusta, pemalsuan) dengan tasydid (double) huruf dal menunjukkan mubalaghah atau superlative yang mengisyaratkan amat sangat.
2. يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ pendusta dianggp jujur
Pada saat yang disebutkan di atas (tahun-tahun penipuan), maka orang yang tidak jujur, alias pendusta dianggap benar. Perkataan الْكَاذِبُ mengandung makna yang luas, bisa pengertian secara hakiki yaitu yang suka berbohong, bisa juga bermakna majazi seperti cerita fiktif, dongeng, novel. Saat ini yang berdusta dianggap benar, juga banyak sekali teutama dalam pengaturan anggaran. Jika penyusun RAB itu menulis harga yang sebenarnya, maka tidak diakui atau tidak diterima. Namun justru yang diterima itu adalah rencana anggaran belanja yang dinaikan, alias campur dusta. RAB yang dicampuri dusta itulah yang dianggap sebagai kebenaran yang dijadikan acuan pengeluaran. Dongeng atau cerita fiktif, saat ini juga banyak dijadikan dasar hokum seperti kisah wali songo, manakib Syah Abdul Qadir Jaelani, cerita leluhur, Nyi Roro Kidul, Dayang Sumbi. Cerita fiktif dianggap sebagai kebenaran, bahkan terkadang dijadikan sumber nilai dalam kehidupan. Pada suatu hari terjadi diskusi antara yang pro dan kontra penyerangan salah satu kelompok sebagai protes pada ajaran sesat dan pada kelompok yang menghina Nabi SAW. Yang menarik adalah ungkapan seorang Prof.Dr. yang mengatakan seharusnya umat Islam toleransi kepada aliran agama apapun, termasuk pada aliran sesat. Kata beliau Rasul SAW saja pernah diludahi oleh orang yahudi tidak melawan. Betulkah Rasul pernah diludahi orang yahudi? Siapa yahudi yang berani meludahi Rasul? Bagaimana sikap shahabat, apakah membiarkan pemimpinnya dihina? Dalam catatan sejarah, Rasul bertemu kaum yahudi sudah berada di Madinah. Sebelum terjadi hijrah, tidak ditemukan yahudi yang membenci Rasul SAW. Setelah hijrah, Rasul SAW sampai di Madinah mengadakan perjanjian damai akan saling menghormati satu sama lain. Kaum yahudi yang melanggar perjanjian seperti Bani Quraidlah, oleh Rasul diperangi bahkan diusir. Bani al-Nazhir yang menyalahi janji tentang tebusan, juga ditindak hingga mereka berlindung di pepohonan dan di belakang kaum wanita. Pada bulan Rabi al-Awal tahun 4 H (Agustus 625M), Bani Nadhir melanggar perjanjian dengan Rasul SAW tentang diyat yang mesti mereka bayar berkaitan dibunuhnya dua orang ani Kilab oleh Amr bin Umayah. Ketika limit waktu dan tempat yang disepakati telah tiba, Bani Nadlir bukan membayar diyat tapi justru bersepakat secara sembunyi akan membunuh Rasul SAW. Akhirnya Rasul SAW saat itu kembali ke Madinah dengan shahabatnya. Tidak lama kemudian Rasul SAW mengutus Muhammad bin Masalamah untuk menyampaikan pesan kepada Bani Nadlir berisi ultimatum sebagai berikut:
“Hendaklah kalian keluar dari Madinah jangan lagi bertetangga denganku di sini. Aku beri jeda waktu selama sepuluh hari. Barangsiapa yang ku dapatkan orangmu setelah jeda waktu itu di sini, akan ku tebas batang lehernya.” Akhirnya kaum yahudi itu tidak mempunyai jalan lagi selain harus meninggalkan Madinah. Bagaimana bisa terjadi yahudi meludahi wajah Rasul bisa dibiarkan dan tidak ditindak, yang melanggar janji saja diusir?
Fenomena di masyarakat juga saat ini tidak sedikit yang lebih mempercayaai praduga pedukunan dalam berobat di banding diagnosa tenaga medis. Semua itu membuktikan bahwa apa yang diungkap rasul di akhir zaman telah menjadi kenyataan.
3. وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ yang benar dianggap dusta
Perkataan الصَّادِقُ (yang benar) yang didustakan oleh masyarakat, mencakup orang yang bicara ataupun isi pembicaraan, gagasan bahkan pedoman hidup. Kisah kebenaran yang diungkap al-Qur`an dan hadits banyak yang didustakan umat. Tidak sedikit kaum cendekiawan mengajak kritis menanggapi kisah qur’ani, tapi tidak kritis terhadap kisah fiktif. demikian pula dalam kehidupan politik, perekonomian maupun social kemasyarakatan. Demikian pula sikap umat terhadap ulama atau gurunya.
4. وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ ِorang yang berkhianat, malah dipercaya
Perkataan وَيُؤْتَمَنُ ditinjau dari bahasa berasal dari kata أمن – أمانة yang diberi huruf tambahan sehingga mengandung diberi kepercayaan, atau dipercaya, atau diberi amanah. Menurut al-Zuhayli, perkataan الأمَانة bermakna مَا يُؤْتَمَن الشَّخص عَلَيْه (apa yang dipercayakan seseorang atasnya), yang dikenal dengan كُلُّ مَاأخَذْتَه بإِذْنِ صَاحِبِهِ (segala yang anda ambil dengan izin pemiliknya). Amanah juga mencakup segala sesuatu yang mesti dipertanggungjawabkan, baik yang berkaitan langsung dengan Allah SWT, maupun yang ada hubungannya dengan sesama manusia.[2] Mushthafa al-Maragahi berpendapat bahwa amanah ialah الشَّيء الَّذِي يُحْفَظ لِيُؤَدَّى إلى صَاحِبهِ (sesuatu yang mesti dijaga dan diserahkan kepada ahlinya). Orang yang menjaga dan memenuhi amanah disebut حَفِيظ – أمين – وَفِي dan orang yang tidak menjaga serta tidak memenuhinya disebut خَائِن (pengkhianat).[3] Dengan demikian perkataan الْخَائِنُ merupakan lawan kata dari أمين . Dalam hadits ini ditegaskan bahwa di zaman kekacauan, orang yang khianat malah justru diberi amanat kepercayaan. Kalau tidak mau terjadi kekacauan seharusnya memberikan amanah itu kepada ahlinya, bukan kepada yang berkhianat. Allah SWT berfirman:إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Qs.4:58
Menurut beberapa riwayat, seperti Ibn Abbas, amanah pada ayat ini adalah kekuasaan, sedangkan menurut yang lainnya segala urusan kaum muslimin.[4] Dengan demikian jabatan termasuk الْأَمَانَاتِ amanah. Oleh karena itu, berdasar ayat ini, urusan kemaslahatan umat, baik pemerintahan ataupun jabatan lainnya mesti dipegang oleh ahlinya. Bila mana orang yang khianat diberi kepercayaan, maka keadaan tidak karuan.
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Jika amanah disepelekan, maka tunggulah saat kehancuran. Shahabat bertanya: apa yang dimaksud menyepelekan amanah? Rasul bersabda: jika urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran. Hr. al-Bukhari (194-256H).[5]
5. وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ orang yang jujur malah dikhianati
Perkataan وَيُخَوَّنُ bisa bermakna dikhianati, bisa juga dianggap khianat. Perkataan الْأَمِينُ (yang dapat dipercaya, pengemban amanah) merupakan lawan dari kata الْخَائِنُ (yang berkhianat). Zaman yang tidak karuan, orang yang jujur dikhianati atau dianggap khianat. Bila zaman tersebut sudah seperti itu, maka yang memegang jabatan hanyalah orang yang berkhianat. Sedangkan yang amanah tidak mempunyai kesempatan untuk berperan. Akhirnya Negara dan masyarakat dipegang oleh para pengkhianat. Rasul SAW bersabda:
سِتَّةٌ لَعَنْتُهُمْ وَلَعَنَهُمْ اللَّهُ وَكُلُّ نَبِيٍّ كَانَ الزَّائِدُ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَالْمُكَذِّبُ بِقَدَرِ اللَّهِ وَالْمُتَسَلِّطُ بِالْجَبَرُوتِ لِيُعِزَّ بِذَلِكَ مَنْ أَذَلَّ اللَّهُ وَيُذِلَّ مَنْ أَعَزَّ اللَّهُ وَالْمُسْتَحِلُّ لِحُرُمِ اللَّهِ وَالْمُسْتَحِلُّ مِنْ عِتْرَتِي مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَالتَّارِكُ لِسُنَّتِي
Dari ‘Aisyah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “enam orang yang aku, Allah dan setiap Nabi melaknat mereka yaitu orang yang menambah-nambah dalam kitabullah (Al Qur’an), orang yang mengingkari takdir Allah, orang yang berkuasa dengan diktator untuk memuliakan orang yang telah dihinakan oleh Allah dan menghinakan orang yang telah Allah muliakan, orang yang menghalalkan apa apa yang diharamkan Allah, orang yang menghalalkan Ahli Baitku yang telah diharamkan oleh Allah, dan orang yang meninggalkan sunnahku.” Abu Isa berkata; Demikianlah Abdur Rahman bin Abul Mawali telah meriwayatkan hadits ini dari Ubaidillah bin Abdur Raman bin Mauhab dari ‘Amrah dari A’isyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sufyan Ats Tsauri, Hafs bin Ghiyats dan yang lainnya telah meriwayatkan dari Ubaidillah bin Abdur Rahman bin Mauhab dari Ali bin Husain dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara mursal, dan ini yang lebih shahih.[6]
6. وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ Ruwaibidlah menjadi banyak bicara.
Penggalan hadits ini, Rasulullah s.a.w. memberikan ‘warning’ (peringatan dini) kepada umatnya agar berhati-hati terhadap Ruwaibidhah, simbolisasi seseorang yang ‘berlagak pakar, padahal tidak memiliki otoritas untuk berfatwa. Dia, bak “tong kosong (yang) — dalam terminologi ‘Aidh al-Qarni — disebut sebagai: al-Ahmaq, seorang yang bodoh namun tidak sadar akan kebodohannya, maka dia lebih tepat disebut sebagai orang ‘pandir’, dan inilah yang disebut oleh para ulama sebagai “Jâhil Murakkab” (orang yang sangat bodoh), atau “nu bodo tapi guminter”. Seorang Ruwaibidhah akan selalu mencitrakan diri sebagai seorang pakar, memerankan dirinya sebagai ‘pengumbar fatwa’ yang berdusta atas nama kebenaran, yang karena kepiawainnya membangun citra dan kehebatan retorikanya dirinya menjadi (seolah-olah) ‘Sang Maestro’ pada bidangnya. Karena di’blow-up’ oleh berbagai media, pendapatnya dikutip oleh para muqallid (pengikut setianya)-nya dengan satu keyakinan bahwa apa pun yang dikatakannya selalu benar, atau mininal lebih otoritatif dari siapa pun yang sebenarnya lebih memiliki otoritas dalam bidangnya. Yang diherankan, kenapa orang-orang seperti ini (Ruwaibidah-ruwaibidah kontemporer) semakin banyak bermunculan, dengan mengatasnamakan keahliannya yang dikatakannya sendiri dan – kemudian – di’amini’ oleh banyak orang, karena (antara lain) permainan media cetak dan elektroinik yang mendukung kemunculannya. Bahkan oleh beberapa media massa (elektronik dan cetak) – yang entah sengaja atau tidak ketika memunculkannya — sering disebut sebagai pakar dalam bidang tertentu yang paling layak menjadi “marja’ taqlid” (nara sumber otoritatif yang tak perlu disangsikan keabsahan pendapat-pendapatnya). Memang “ironis”, tetapi itulah kenyataannya!
Misalnya Pak Surono — salah seorang pakar vulkanologi — yang sudah sekian banyak mengemukakan pernyataannya tentang bahaya Gunung Merapi, pendapat-pendapatnya – untuk kalangan ‘akar-rumput’ — tak lebih populer dan juga tidak lebih diakui keabsahannya daripada fatwa ‘mbah Maridjan’, sebelum wafat hampir tidak pernah mengeluarkan pernyataan apa pun tentang Gunung Merapi. Tetapi, sebagai seorang yang – oleh sebagian kalangan – dianggap lebih tahu tentang Gunung Merapi, beliau lebih dipercaya daripada Pak Surono.
7. قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّة Rasul ditanya tentang apa itu “Ruwaibidoh?” beliau menjawab orang bodoh berperan penting dalam urusan public.
Mereka adalah orang yang pandai merangkai kata, sehingga kata-katanya mudah memikat hati banyak orang dan mudah menimbulkan kepercayaan. Orang seperti ini, sering mengemas dirinya dengan penampilan yang dirasa memberikan kesan baik bagi orang-orang yang tengah dihadapinya. Senang memamerkan kekayaannya yang dia anggap sebagai tameng untuk memdapatkan kepercayaan dan kelas tertentu di hadapan orang banyak. Disamping itu orang seperti ini tidak ragu menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan kepercayaan bagi dirinya, dengan cara memenuhi tuntutan orang-orang yang menjadi sasaran baginya untuk mendapatkan keuntungan.
D. Beberapa Ibrah
- Peringatan akan bahaya berbicara tanpa landasan ilmu. Allah ta’ala berfirman, وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak punya ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’ : 36). Allah ta’ala juga berfirman يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ () إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ “Hai umat manusia, makanlah sebagian yang ada di bumi ini yang halal dan baik, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Sesungguhnya dia hanya akan menyuuh kalian kepada perbuatan dosa dan kekejian, dan agar kalian berkata-kata atas nama Allah dalam sesuatu yang tidak kalian ketahui ilmunya.” (QS. al-Baqarah : 168-169). Maka barangsiapa yang gemar berbicara mengatasnamakan agama tanpa ilmu, sesungguhnya dia adalah antek-antek Syaitan, bukan Hizbullah dan bukan pula pembela keadilan atau penegak Syari’at Islam!
2. Hadits ini memberi isyarat betapa pentingnya kejujuran dan mengandung peringatan betapa bahaya kedustaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا “Wajib atas kalian untuk bersikap jujur, karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan menuntun ke surga. Apabila seseorang terus menerus bersikap jujur dan berjuang keras untuk senantiasa jujur maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai orang yang shiddiq. Dan jauhilah kedustaan, karena kedustaan itu akan menyeret kepada kefajiran, dan kefajiran akan menjerumuskan ke dalam neraka. Apabila seseorang terus menerus berdusta dan mempertahankan kedustaannya maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu).[7]
3. Hadits ini juga menunjukkan pentingnya menjaga amanah dan memperingatkan dari bahaya mengkhianati amanah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ “Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah datangnya hari kehancuran.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?”. Maka beliau menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kiamatnya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).[8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, لا إِيمَانَ لِمَنْ لا أَمَانَةَ لَهُ “Tidak lengkap iman pada diri orang yang tidak memiliki sifat amanah.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan al-Thabarni dalam al-Mu’jam al-Kabir,[9] dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, dihasankan al-Albani dalam Takhrij Misykat al-Mashabih [35] as-Syamilah)
4. Bila orang yang tidak punya keahlian sudah dijadikan narasumber, pedukunan sudah menjadi rujukan, maka kehancuran akan segera tiba. Hadits ini memberikan peringatan, agar jangan sampai kaum ruwaibidoh terlalu banyak bermunculan.
5. Jalan keluar ketika menghadapi situasi kacau semacam itu adalah dengan kembali kepada ilmu dan ulama, yang benar-benar bebas dari pengaruh apa dan siapapun selain kepentingan da’wah di jalan Allah. Jika mendapatkan fatwa atau pendapatan, hendaklah mengecek kebenarannya, jangan sampai menetrima pandangan orang tanpa kritis. Setiap da’I, para pendidik, termasuk orang tua semestinya membimbing generasi yang kritis terhadap ungkapan tokoh yang tidak diketahui keahliannya.
6. Dalam mengkaji ilmu, janganlah hanya melihat siapa figure yang bicara, ataupun dari mana latar belakangnya. Namun perhatikanlah apa yang disampaikannya. Betapa banyak kebenaran diperoleh dari rakyat jelata yang dianggap bisa, dan tidak sedikit kekeliruan keluar dari orang yang dianggap terhormat.
7. Dalam memilih pemimpin hendaklah jangan hanya ditinjau dari sudut popularitas belaka, tapi mesti menelusuri kejujuran dan keahlian calon. Kalau pemilihan pemimpin terjadi hanya ditinjau dari sudut popularitas, boleh jadi negeri ini dikuasai oleh ruwaibidoh.
Semoga kita terbebas dari virus ruawibaidlh; amiiin
[1] HR. Ibnu Majah, Kitab Al Fitan Bab Syiddatiz Zaman, Juz. 12, Hal. 44, No hadits. 4026, dan lafal hadits ini adalah berdasarkan riwayat Ibnu Majah.
[2] al-Tafsir al-Munir, V h.121
[3] Tafsir al-Maraghi, V h.69
[4] Ibn Jarir al-Thabari, tafisr al-Thabari, V h.145
[5] Shahih al-Bukhari, I h.33
[6] sunan al-Tirmidzi, VIII h.50 nomor 2080
[7] shahih Muslim, juz XIII h.16 nomor 4721
[8] shahih al-Bukhari, I h.103 nomor 57
[9] Syu’b al-iman, juz IX h.383, al-Mu’jam al-Kabir, IX h.81