al-baqarah:218 (Iman Hijrah dan Jihad, sebagai tiga serangkai)
IMAN, HIJRAH DAN JIHAD
A.Teks Ayat dan tarjamahnya
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allâh, mereka itu mengharapkan rahmat Allâh, dan Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Qs.2:218
B.Tinjauan Historis
1. Sejak pengangkatan nabi hingga hijrah
Langkah Iman, Hijrah dan jihad tersebut ditempuh Rasûl dan shahabatnya; (1) pembinaan iman di Mekah, (2) hijrah dari mekah ke Madinah, (3) menegakkan agama Allâh di Madinah. Perhatikan hadits berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أُنْزِلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعِينَ فَمَكَثَ بِمَكَّةَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ سَنَةً ثُمَّ أُمِرَ بِالْهِجْرَةِ فَهَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ فَمَكَثَ بِهَا عَشْرَ سِنِينَ ثُمَّ تُوُفِّيَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasûl SAW menerima wahyu ketika berusia empat puluh tahun, kemudian tetap di Makah selama tiga belas tahun, kemudian diperintah hijrah. Beliau hijrah ke Madinah dan berada di sana selama sepuluh tahun hingga wafat. Hr. Ahmad, al-Bukhari, [1]
Da’wah Islam yang dilakukan Rasûl SAW pada awalnya secara sembunyi, kemudian bertambah luas hingga jumlah kaum muslimin empat puluh orang, yang kemudian dibina secara khusus di Bait al-Arqam. Kaum Quraisy berusaha menghalangi risalah dengan berbagai usaha, mulai dari berbagai tawaran, rayuan hingga kekerasan. Sejak tahun keempat kenabian, banyak kaum muslimin yang disiksa secara kejam, hingga mendorong Rasûl untuk menghijrahkan shahabatnya ke Habsyah, pada pertengahan tahun kelima. Rombongan pertama sebanyak sepuluh orang, antara lain Utsman bin Affan beserta istrinya, Ruqayah putri Rasûl; Abdurrahman bin Auf, dan Zubair bin Awwam. Rombongan kedua dipimpin Ja’far sebanyak seratus orang. Pada bulan Dzul-hijah tahun keenam kenabian, Umar bin Khathab dan Hamzah masuk Islam, yang mengakibatkan semakin menambah kebencian musyrikin. Pada tahun ketujuh dari kenabian, bani Hasyim diboikot perekonomiannya hingga menyengsarakan. Namun walau kaum muslimin mendapat cobaan berat dari segala penjuru, terutama penindasan kaum musyrikin, baik dalam bidang ekonomi maupun politik, tidak menurunkan semangat Rasûl SAW dalam berda’wah. Pada tahun itu, juga Abu Thalib sebagai pimpinan suku Bani Hasyim, dan Siti Khadijah isteri Rasûl yang mendukung da’wah baik materil maupun immateril, wafat. Pada bulan syawal tahun kesepuluh dari kenabian (Mei-juni 619 M), Rasûl berangkat ke Tha’if. Namun ternyata orang Tha`if belum meraih hidayah, Rasûl diperlakukan tidak layak oleh mereka bahkan mendapat lemparan batu dan kotoran hingga terluka. Menurut sebagian riwayat, setelah Rasûl SAW kembali ke Mekkah tahun ini pula Isra dan mi’raj terjadi, yang sekaligus turun perintah shalat lima waktu. Da’wah selanjutnya dilakukan dengan mendatangi berbagai lapisan masyarakat seperti Bani kilab, Bani Hanifah, Bani Amir, dan ternyata mendapat sambutan yang menggembirakan. Pada musim haji berikutnya, berdatanganlah masyarakat dari berbagai penjuru, yang dimanfaatkan Rasûl SAW untuk menda’wahi berbagai kafilah, dari luar penduduk Mekah. Di awal tahun kesebalas dari kenabian banyak orang Yatsrib yang masuk Islam seperti: Suwaib bin Shamit, Iyas bin Mu’adz, Tufail bin Amr, Dlamad al-Azdi. Pada musim haji tahun kesebelas dari kenabian (Juli 620 M), jamaah Yatsrib masuk Islam. Mereka adalah kaum muda Bani Najar seprti As’ad bin Zararah dan Auf bin Haris, dari Bani Zuraiq seperti rafi’ bin Malik, dari bani Salmah seperti Qathbah bin Amir, dari Bani haram: Uqbah, dan dari bani Ubaid bernama Jabir bin Abdillah. Mereka bertekad akan menda’wahkan Islam di Yatsrib, kampung halamnya. Pada musim haji tahun kesebelas (Juli 621 M), bersama lima orang yang sudah masuk Islam tahun sebelumnya (di luar Jabir), tujuh penduduk yatsrib bangsa Khazraj yaitu Mu’adz, Dzakwan, Ubadah, Yazid dan Abbas serta bangsa Aus yaitu Abul-Haitsam dan Uwaim berbai’at kepada Rasûl di Aqabah untuk diangkat menjadi juru da’wah. Inilah yang dinamakan Bai’at al-aqabah pertama. Rasûl pun mengutus Mush’ab bin Umair untuk ikut ke Yatsrib sebagai utusan dan melihat situasi di sana.
Pada musim haji tahun berikutnya (juni 622 M), sebanyak 73 orang Madinah menunaikan haji dan berbai’at pada Rasûl sebagai juru da’wah Islam, yang dinamakan baiat al-Aqabah kedua. Mereka juga mengundang Rasûl untuk hijrah ke Yatsrib, dilatarbelakangi antara lain: (1) memperluas da’wah, (2) menyelamatkan muslimin yang tertindas di Mekah, (3) menjalin persaudaraan antara Aus dan Khazraj yang telah lama bermusuhan. Di sisi lain, semakin luasnya jangkauan da’wah Rasûl dan bertambahnya jumah muslimin, berakibat kaum musyrikin semakin membenci Rasûl. Mulai saat itu kaum muslimin diperintah Rasûl untuk hijrah ke Yatsrib secara berangsur. Pada hari kamis 26 Shafar (12-september- 622 M) para pembesar Quraisy semacam parlemen, berkumpul di Dar al-Nadwa yang diikuti oleh Abu Jahl bin Hisyam, Jubair bin Muth’im, Tha’imah, Harits, Syaibah, Utbah, Abu Sufyan, al-Nazhr, Abu al-Bukhturi, Zam’ah, Hakim, Nabih, Munabbih, dan Umayah bin Khalaf. Mereka bersepakat untuk mengepung dan membunuh Rasûl SAW. Rasûl mengetahui ancaman kaum musyrikin tersebut, dan siangharinya beliau mengunjungi rumah Abu Bakr untuk mengajak hijrah, dan kembali ke rumahnya menunggu waktu malam tiba.[2] Pada malam 27 Shafar (13-9-622 M), Rasûl SAW dan Abu Bakar meninggalkan rumah, setelah pesan pada Ali bin Abi Thalib untuk menempati tempat tidur beliau, kemudian menuju Goa Tsur.[3] Pada malam itu pula pembesar Quraisy sebanyak sebelas orang mengepung rumah Rasûl SAW guna melaksanakan pesan Dar al-Nadwa, padahal di rumah tersebut hanya ada Ali bin Abi Thalib. Rasûl dan Abu Bakr, berada di Goa Tsur selama tiga malam, hingga malam Ahad, tanggal 30 Shafar, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Yatsrib.[4] Senin 8 Rabi’ul-Awal /23-September-622 M (perjalanan Tsur-Quba ditempuh dalam waktu satu pekan), Rasûl dengan Abu Bakr tiba di Quba dan mendirikan Masjid di depan Rumah Kalstum bin al-Hadm.[5] Di Quba, Rasûl menginap empat malam, dan hari jum’at melanjutkan perjalanan. Waktu zhuhur, sampai di daerah Bani Salim bin ‘Awf, perintah shalat jum’at turun, dan melakukan shalat jum’at dengan berjamaah bersama seratus muslimin.[6] Setelah shalat jum’at melanjutkan perjalanan, dan sampai di Yatsrib tanggal 12 rabi’ul Awal. Inilah hijrah terbesar yang dilakukan Rasûl SAW bersama kaum muslimin. Kota Yatsrib kemudian diberi nama al-Madinah al-Munawarah, sebagai pusat bersinarnya syi’ar Islam ke seluruh penjuru dunia.
2. Turunya Qs.2:218
Pada bulan ke tujuh belas sejak hijrah (624 M), berada di Madinah, Rasûl mengutus Abd Allâh bin Jahsy, putra dari saudara perempuan ayahnya, untuk memimpin 12 orang shahabat, dalam missi da’wah pada kaum Quraisy. Tatkala sampai di kawasan Nakhlah, berpapasan dengan tentara Quraisy yang menghadang, kemudian terjadi duel, Abdullah bin Jahsy berhasil menewaskan kafir Quraisy bernama Amr bin al-Hadlrami yang menghadangnya. Pada saat itu, Ibn Jahsy, tidak mengetahui betul apakah sudah masuk rajab atau masih Jumadi al-Akhir. Bulan rajab adalah bulan haram yang dilarang peperangan. Persitiwa tersebut menimbulkan perbedaan faham di kalangan shahabat, karena terjadi pada bulan haram, apakah jihad yang menewaskan kafir itu, berpahala ataukah tidak. Ayat 218 ini merupakan jaminan bagi mujahid yang berjuang membela Islam dan muslim, bakal meraih maghfirah dan rahmat Allâh SWT.[7]
D.Tafsir Kalimat
1. إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا sesungguhnya orang-orang yang beriman
Ditinjau dari sudut bahasa, iman menurut al-Qurthubi:الإيْمَانُ فِي اللُّغَةِ التَّصْدِيْقُ Iman menurut bahasa adalah membenarkan.[8] Sedangkan definisi iman dikemukakan oleh ulama aqidah antara lain:فَأَصْلُ الإيْمَان هُو التَّصْدِيْقُ بِاللهِ وَمَا جَاءَ مِنْ عِنْدِهِ Pokok iman adalah Membenarkan Allâh dan segala yang datang dari-Nya[9]. Iman juga berma’na:التَّصْدِيْقُ بِالقَلْبِ وَالاقْرَار بِاللِّسَانِ وَالعَمَل بِالجَوَارِح Membenarkan dalam hati Iqrar dengan lisan amal dengan angota badan [10] Dengan demikian baru dikatakan iman, bila kepercayaannya mencapi seratus perosen, yang dibuktikan dengan hati, diucapkan secara lisan dan dimanfestasikan dalam sikap dan perbuatan. Jika kurang satu unsur saja, dari semua syarat tersebut, maka tidak bisa dikategorikan iman. Orang yang percaya di hati, ikrar di lisan tapi tidak mengamalkan ataurannya, adalah fasiq (Qs.2:26-27). Orang yang mengaku percaya dengan lisan kadang-kadang mengamalkannya, tapi hatinya menolak, disebut munafiq (Qs.2:8). Orang yang tidak percaya sama sekali, baik dalam hati, lisan maupun perbuatannya, maka disebut Kafir (Qs.2:6-7). Adapun yang mesti diimani, hanya terbatas pada enam perkara, dan tidak beriman kepada selainnya. Rasûl SAW bersabda:الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْقَدَرِ كُلِّهِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ Iman adalah engkau percaya spenuhnya kepada Allâh, Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasûl-Nya, hari akhir, dan segala taqdir yang baik maupun yang buruk. Hr.Ahmad (w.241)[11]
2. وَالَّذِينَ هَاجَرُوا dan mereka yang berhijrah.
Hijrah menurut bahasa berarti pindah, baik secara fisik maupun non fisik. Al-Qurthubi menandaskan: الهجْرة معْنَاهَا الإنْتِقَال مِنْ مَوْضِعٍ إلَى مَوْضِعٍ وَقَصْدُ تَرْكِ الأوَّل إِيْثَارًا لِلثَّانِي Hijrah berarti pindah dari satu tempat ke tempat lain dan menyengaja meninggalkan satu posisi awal menuju posisi yang ke dua.[12]
Pengertian semacam ini bisa difahami bahwa hijrah itu perpindahan posisi, baik secara fisik maupun non fisik. Perpindahan fisik adalah pindah dari tempat yang diduduki, sedangkan pindah non fisik adalah pindah pendirian, pergantian sikap, atau perubahan tingkah laku. Menurut mufasir, orang yang berhijrah adalah:تَرَكُوا دِيَارَهُم خَوْفَ الفِتْنة وَالإضْطِهَاد فِي ذَات الله Meninggalkan kampung halaman karena Allâh demi menyelematkan diri dari kekacauan dan penindasan.[13] Mahmud Hijazi, menjelasan bahwa yang berhijrah adalahفََارَقُوا الأهْلَ وَالأوْطَانَ لإعْلاَءِ كَلِمَةِ الله وَنَصْرِ دِيْنِهِ وَلَحَقُوا بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم meninggalkan keluarga dan kampung halaman untuk menegakkan kalimah Allâh, membela agama dan mengikuti Rasûl SAW.[14] Selanjutnya hijrah dalam arti luas tersirat dalam sabda Rasûl SAW, sebagai berikut:الُمهَاجِرُمَنْ هَاجَرَ مَا نَهَى الله عَنْهُOrang hijrah adalah yang meninggalkan segala yang dilarang Allâh SWT. Hr. Ahmad (164-241H), Ibn Hibban (w.354 H) [15] Menurut riwayat al-Thabarani (260-360H), dalam khuthbah haji wada, Rasûl bersabda:المُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ السَّيِّئَاتِOrang yang berhijrah adalah yang meninggalkan segala keburukan.[16] Wahbah al-Zuhayli, berpendapat bahwa hijrah fisik yang dilakukan Rasûl dan para shahabatnya, cukup banyak hikmah dan fungsinya. Yang paling penting antara lain: (1). Tegaknya syi’ar Islam dan menghindarkan konplik keagamaan. (2). Mencari dan mendapatkan kemungkinan tersebarnya ajar an Islam. Kaum muslimin yang tidak memiliki peluang untuk mendapat bimbingan Islam dan memahami hukumnya di suatu tempat, maka sebaiknya hijrah ke tempat lain untuk mendapatkannya. (3). Persiapan perogram untuk terwujudnya pemerintahan Is-lami dan penyebarluasan syari’at Islam ke seluruh pen-juru dunia. Semua itu nampak sekali dapat diwujudkan melalui hijrah dari Mekah ke Madinah.[17] Ibn al-Arabi,[18] berpendapat bahwa hijrah fisik diperlukan sepanjang masa hingga hari kiamat apabila berlatar belakang sebagai berikut: (1). Melepaskan diri dari desakan perang yang merugikan Muslimin, menuju ke tampat yang menguntungkan Islam dan muslimin, seperti perpindahan dari Dar al-Harbi ke Dar al-Islam. (2). Menghindarkan diri dari perbuatan bid’ah demi me-nyelamatkan al-Sunnah. (3). Perpindahan dari suatu tempat yang penuh ma’shiat dan perbuatan haram, ke tempat bersih supaya tidak terbawa arus orang durhaka. (4). Melepaskan diri dan ancaman penyakit yang apabila ti-dak pindah akan membahayakan badan. (5). Menyelamatkan diri dari ancaman orang jahat karena berada di tempat yang kurang aman. (6). Menyelamatkan kekayaan yang sangat berguna bagi per-juangan Islam. Memperhatikan uraian di atas, jelaslah bahwa hijrah fisik itu tetap diperlukan, hanya bentuk dan sifatnya bisa ber-aneka ragam. Namun yang penting semua hijrah itu dilakukan demi fi sabil Allâh, membela agama Allâh. Adapun yang dimaksud tidak ada hijrah setelah futuh Makah, adalah tidak ada kewajiban hijrah dari Mekah ke Madinah. Hal ini tampak sekali, bahwa Rasûl SAW tidak mewajibkan muslim Mekah hijrah ke madinah, setelah Mekah beliau taklukan dalam futuhnya.
3. وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ dan orang-orang yang berjihad di jalan Allâh.Perkataan جِهَاد jihad menurut bahasa berasal dari ج ه د yang berarti mengerahkan segala kemampuan dan kesungguhan untuk meraih sesuatu. Sedang dalam syari’ah jihad berarti mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan untuk membela Agama Allâh SWT. Al-Jurjani memberikan difenisi:الجِهَاد هُو الدُّعَاء إلَى الدِّيْن الحَقِّ Jihad ialah menyeru dengan sungguh-sungguh kepada agama yang benar . [19] Jihad dilakukan dengan berbagai hal, antara lain tersirat pada sabda Rasûl SAW sebagai berikut:جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ Jihadlah untuk mengalahkan musyrikin dengan harta, tangan dan lisan kalian. Hr. al-Nasa`i, Ibn Hibban, Abu Ya’la.[20] Dalam riwayat lain redasksinya adalah:جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ Jihadlah untuk mengalahkan kaum musyrikin dengan hartamu, jiwamu dan lisanmu. Hr. Ahmad, Abu Dawud, al-Darimi,[21]
4. ُأ ولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ mereka itu mengharap rahmat Allâh SWT.
Orang yang iman, hijrah dan jihad di jalan Allâh adalah mengejar rahmat Allâh. Rahmat merupakan lambing kasih saying yang tiada terhingga. Apabila rahmat Allah telah didapat, maka apa pun yang diinginkan akan mendaptkannya, baik kebahgiaan di dunia kini, mauopun di akhirat, bahkan ampunan atas segala dosa dan eksalahan.
5. وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ dan Allâh Maha Pengampun dan maha Penyayang.
Asma Allah غَفُورٌ mengandung arti pengampun atas segala dosa hambanya, dan رَحِيمٌ mengandung arti mencurahkan kasih saying yang tiada terhingga sehingga memberi pahala yang amat besar bagi hamba yang beramal. Ini merupakan jaminan dari Allâh, bahwa orang yang beriman, berhijrah dan berjihad akan mendapatkan ampunan dan rahmat Allâh SWT, yang maha pengampun lagi maha Penyayang. Ampunan dari dosa dan kesalahan. Rahmat berupa pahala yang terhingga baik di dunia kini, maupun di akhirat kelak.
E.Beberapa Ibrah
1. Langkah meraih rahmat dan maghfirah
Orang yang beriman, hijrah dan jihad yang mengharap rahmat Allâh, bakal meraih ampunan dan rahmat-Nya. Oleh karena itu untuk mencapai rahmat dan ampunan Allâh, mesti beriman, hijrah dan jihad. Essensi iman adalah kepercayaan seratus prosen akan kebenran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan serta dipraktikan dalam sikap dan perbuatan. Esseni hijrah adalah perubahan dari yang kurang baik menjadi baik, serta peningkatan kualiat kebaikan. Sedangkan jihad intinya adalah menegakkan kebenran, memberantas kabatilan, memperbaiki orang yang belum baik.
2. Hijrah sebagai tahapan da’wah
Secara garis besarnya da’wah Rasûl itu terdiri dua periode yaitu priode Makiyah dan priode Madaniah. Periode da’wah di Mekah ditempuh dalam tiga belas tahun semenjak diutus jadi Rasûl sampai hijrah. Sedangkan periode Madaniah berlangsung sepuluh tahun. Masing-masing periode terdiri atas beberapa tahapan atau marhalah da’wah.[22] Adapun marhalah da’wah Rasûl pada periode Makiyah dan madaniyah antara lain (1) Da’wah secara sirri yaitu dengan bertatap muka dari individu ke individu, (2) tarbawiyah, berupa pengkaderan di Dar al-Arqam, (3) da’wah terbuka, terutama setelah turun Qs.26:214, (4) missi penawaran terbuka melalui kunjungan ke berbagai kafilah, setelah turun Qs.15:94), (5) mengirim utusan penyebarluasan informasi ke berabagi pelosok, (6) mendirikan sarana ibadah dan memfungsikannya sejah hirah ke Madinah, berawal dari Quba, (7) membina Ukhuwah antara Anshar dan muhajirin, (8) penyebarluasan melalui media tertulis, 105 surat ke berbagai lapisan dunia, terutama tahun 7 H, (9) mujadalah, diskusi dan debat terbuka dengan berbagai pemimpin masyarakat, (10) mengadakan berbegai perjanjian damai dan kerjasama dengan berbagai pemimpin dunia, (11) iqrar daulah Islamiyah menjadi al-Madinah al-Munawarah.
3. Rasûl perintis umat menjadi penerus
Rasûl SAW telah selesai melaksanakan tugasnya, secara sempurna dan paripurna. Saat ini perjuangan beliau diwariskan pada umatnya. Risalah al-islam berlaku sepanjang masa, menegakkan iman, hijrah dan jihad tetap menjadi tanggung jawab setiap umat. Wa Allâh `A’lam
[1] Musnad ahmad, I h.236, Shahih al-Bukhari, III h.1398
[2] Shahih al-Bukhari, I h.553
[3] Zad al-Ma’ad, II h.52
[4] Fath al-Bari, VII h.336
[5] menurut kitab rahmatan li al-Alamin, I h.102, saat itu Rasul, genap berusia 53 tahun.
[6] Shahih al-Bukhari, I h.555
[7] Al-Mubarakfuri, Siroh Rasul, h.221, al-Wahidi, asbab al-Nuzul, h.36-38, al-Zuhyli, al-Tasir al-Munir, II h.259
[8] al-Qurthubi (w.671), al-Jami li Ahkam al-Qur`an, I h.162
[9] al-Marwazi (w.294H), Ta’zhim Qadr al-Shalah, II h.695
[10] Ab al-Qasim Hibat Allah (w.418) I’taqad ahl-alsunnah, I h.172
[11] Musnad Ahmad, I h.51
[12] al-jami li Ahkam al-Qur`an, III h.49
[13] Abu Bakr al-Jaza`iri, Aysar al-Tafasir, I h.198
[14] Mahmud Hijazi, al-Tafsir al-Wadlih, II h.52
[15] Musnad Ahmad, II h.205, Shahih Ibn Hibban, I h.467
[16] al-Mu’jam al-kabir, III h.293
[17] al-Tafsir al-Munir,V:232
[18] Ahkam al-Qur’an, I h.484-486
[19] al-Ta’rifat, h.80
[20] sunan al-Nasa`I, VI h.7, Shahih Ibn Hibban, XI h.6, Musnad, VI,468
[21] Musnad Ahmad, III h.124, Sunan Abi dawud, III h.10, Sunan al-Darimi, II h.280,
[22] Shafy al-Rahman al-Mubarakfuri, Sirah Rasul Allah, al-Rahiq al-Makhtum, h.77