al-Nisa:07 (ADA WARISAN UNTUK AHLI WARIS)
WARISAN UNTUK AHLI WARIS
(kajian tafsir al-Nisa:07)
A. Teks Ayat dan tarjamahnya
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Qs.4: 07
B. Kaitan dengan ayat lain
1. Pada ayat sebelumnya telah ditegaskan tentang larangan memakan harta anak yatim secara sembarangan. Setelah dirangkaikan dengan perintah menyerahkan harta anak yatim tepat pada waktunya, maka pada ayat ini ditegaskan bahwa baik laki-laki atau pun perempuan mempunyai hak milik, sesuai ketentuan perwarisan.
2. Ayat sebelumnya memerintah agar menguji kedewasaan anak yatim sebelum diserahkan hartanya pada mereka. Jangan sanpai menahan harta milik mereka yang sudah dewasa, karena merupakan hak mereka sebagai ahli waris dari orang tuanya. Pada ayat selanjutnya ditegaskan bahwa harta warisan itu adalah milik ahli waris, yang telah ditetapkan oleh syari’ah. Adapun besar kecilnya telah ditetapkan oleh Allah SWT secara adil dan bijaksana.
C. Tinjaun historis
عَنِ ابْنِ عَبَّاس قَالَ كَانَ أهْلُ الْجَاهِلِيَّة لاَ يُورثُوْنَ البَنَاتِ وَلاَ الصِّغَار الذُّكُوْر حَتىَّ يُدْرِكُوا فَمَاتَ رَجُلٌ مِنَ الأنْصَار يُقَال لَهُ أوْس بن ثَابِت وَتَرَكَ ابْنَتَيْنِ وَابْنًا صَغِيْرًا فَجَاءَ إبنَا عَمِّه خَالِد وَعرْطَفَة[1] وَهُمَا عَصَبَة فَأَخَذُوا مِيْرَاثَهُ كُلَّهُ فَأَتَت امْرأتُهُ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم فَذَكَرَتْ لَهُ ذلِك فَقَالَ مَا أدْرِي مَا أقُوْل فَنَزَلَتْ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الوَالِدَان الآية
Diriwayatkan dari Ibn Abbas yang menerangkan bahwa orang jahiliyah tidak mewariskan harta kepada wanita (walau dewasa), dan laki-laki yang masih kecil hingga dewasa. Salah seorang kaum Anshar yang bernama Aws bin Tsabit, wafat meninggalkan dua anak perempuan dan dua anak laki-laki masih kecil. Khalid dan Arthafah sebagai kelompok ashabah (hubungan nasab fihak laki-laki) mengambil alih kekuasaan harta al-marhum secara keseluruhan. Kemudian istri al-Marhum menghadap rasul SAW mempertanyakan hal tersebut. Namun Rasul pada saat itu tidak menjelaskannya hingga turun ayat ini (Qs.4:7). [2]
Dengan demikian ayat ini turun sebagai koreksi terhadap adat jahiliyah yang tidak mewariskan harta kepada kaum wanita dan anak kecil. Menurut ayat ini, baik laki-laki, maupun wanita, dewasa atau pun belum, tetap mendapatkan warisan dari al-marhum.
D. Tafsir Kalimat
1. لِلرِّجَالِ نَصِيبٌbagi kaum lelaki, ada bagian
Banyak ulama, seperti Qatadah, al-Sudi, Muqatil Thawus, yang berpendapat bahwa ayat ini dimansuh oleh ayat warits (Qs.4:11-12). Menurut Ibn al-Nashr al-Muqri (w.410), ayat ini turun berkaitan dengan adanya wanita anshar yang tidak mendapat warisan dari suaminya yang bernama Aws. Berdasar ayat ini wanita pun tetap mendapat bagian tertentu, maka ketentuannya dimansuh oleh ayat warits.[3] Ibn al-Jawzi berpendepat justru ayat ini memansuh ayat wasiat yang tercantum dalam surat al-Baqarah.[4] Namun Abu Muslim al-Ashfahani berpendapat bahwa ayat ini tidak dimansuh melainkan dijelaskan oleh ayat warits.[5] Artinya kaum laki-laki maupun perempuan mendapat bagian warisan, tapi ukurannya dijelaskan pada ayat warits.
2. مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَdari harta yang ditinggal wafat oleh orang tua atau kaum kerabat.
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa harta warisan itu ada yang telah ditinggalkan oleh orang tua dan kerabat. Artinya selama pemilik harta itu belum meninggal, maka bukan harta warisan. Harta warisan juga adalah yang ditinggal wafat, jadi kalau yang didapat setelah meninggal, bukanlah warisan. Potongan ayat ini juga merupakan penegasan bahwa yang mendapat warisan adalah ahli waris yang masih hidup tatkala pewaris itu meninggal. Orang yang meninggal lebih dahulu, maka tidak mempunyai hak waris. Penetapan dan pembagian waris baru bisa dilaksanakan bila memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Adanya yang wafat.
Tidak berlaku hukum waris bila pemilik harta itu belum wafat. Yang dimaksud wafat muwaris di sini, terdiri wafat hakiki dan wafat hukmi[6]. Wafat hakiki ialah orang yang punya harta telah diketahui wafat secara jelas. Sedangkan wafat secara hukmi, ialah orang yang hilang tidak diketahui keberadaannya, tidak ada berita. Kemudian dicari juga tidak ditemukan, melalui proses hukum dan berdasar penetapan pengadilan dinayatakan المفقود atau mati secara hukum.
b. Nyata ahli warisnya masih hidup tatkala muwaris wafat. Orang yang meninggal lebih dulu daripada yang meninggalkan harta, tidak mendapat warisan.
c. Adanya hubungan perwarisan
Hubungan tersebut mesti yang buktinya bisa dipertanggung jawabkan, baik bukti tertulis, administrasi, atau adanya saksi, atau pengakuan dari fihak ahli waris lainnya.[7]
Kaum kerabat terdiri atas orang yang mendapat warits tertentu, dinamakan dzaw al-Furudl dan yang mendapat bagian sisa yang disebut ashabah.
3. وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَwanita pun mendapat bagian dari harta yang ditinggal wafat oleh orang tua dan kaum kerabat. Ditinjau dari sudut histories, penggalan ayat ini merupakan koreksi terhadap hokum jahiliyah, yang membagikan harta waris bagi kaum pria belaka, tanpa memberi kaum wanita. Berdasar ayat ini baik pria maupun wanita tetap mendapat warisan, asalkan ada hubungan perwarisan dan masih hidup tatkala pemilik harta wafat. Secara ringkas yang menimbulkan waris mewarisi baik pria maupun wanita adalah adanya hubungan nasab, hubungan pernikahan dan hubungan wala, atau memerdekakan.
(1). Pertalian Nasab atau turunan, terdiri atas al-Ubuwah seperti ayah dan ibu, al-Bunuwwah seperti anak, dan al-Khawasyiah seperti saudara.
(2). Pertalian pernikahan yaitu yang berstatus suami dan istri. Jika mereka telah bercerai, maka hubungan waris menjadi putus, kecuali bila masih dalam masa iddah. Wanita yang masih dalam idah, statusnya masih sama dengan istri. Ketentuan masa idah wanita yang dicerai adalah sebagai berikut:
a. Wanita hamil masa idahnya hingga melaihirkan, sebagai mana firman Allah SWT:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Wanita hamil idahnya hingga melahirkan kandungannya. Qs.al-Thalaq: 4
b. Wanita yang masih suka haidl adalah tiga qar’in.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita yang dicerai masa idahnya ialah selama tiga quru… Qs.2(al-Baqarah) :228
Perkataan قروء quru merupakan bentuk jama dari قرء Qar’in.
Menurut para shahabat Rasul dari kawasan Kuffah seperti Ali, Umar, Ibn Mas’ud dan Abu Musa, serta para tabi’in seperti Mujahid, Qatadah dan Ikrimah, Qar’in adalah masa keluar haidl. Sedangkan menurut Shahabat Hijaz sperti Aisyah, Ibn Umar dan Zaid Bin Tsabit, qar’in berarti masa suci dari haidl.[8]
Terdapat berbedaan pendapat tersebut disebabkan adanya penggunaan istilah di kawasan Arab, Qar’in itu terkadang berarti haidl, terkadang suci dari haidl[9]. Hal ini dipengaruhi oleh struktur bahasa daerah Arab yang bisa saja terjadi perbedaan.
c. Wanita yang sudah berhenti haidl atau tidak pernah haidl adalah selama tiga bulan. Firiman Allah SWT:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Wanita yang sudah berhentai haidl dan yang tidak pernah haidl, bila dicerai maka masa idahnya adalah tiga bulan. Qs. 65 (al-Thalaq) : 4
Ketentuan idah (tenggang waktu) tersebut berlaku bagi wanita yang dicerai. Sedangkan wanita yang ditinggal mati, tidak hamil padahal belum dicerai, masa idahnya adalah empat bulan sepuluh hari, sebagai ditegaskan firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Qs.2:234
Sedangkan wanita yang ditinggal mati dalam keadaan hamil, masa idahnya adalah melahirkan sebagaimana diterangkan di atas.
(3). Pertalian Wala.
Menurut Zuhaili[10] wala itu ada dua macam (a) wala al-Itq, dan (b) wala al-Muawalah.
Wala al-Itq yaitu pertalian memerdekakan. Jika seseorang membeli hamba sahaya, kemudian memerdekakannya. Rasul SAW bersabda:
إِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
Sesungguhnya hubungan wala itu hanya yang memerdekakan. Hr. al-Bukhari.[11]
Maka orang yang memerdekakan itu menjadi ahli waris dari orang yang dimerdekakan. Wala al-Muwalah ialah hubungan perwarisan yang dibentuk atas dasar kesepakatan untuk saling mewarisi. Warisan bagi yang mempunyai hubungan ini hanya berlaku apabila tidak ada ahli waris karena nasab dan pernikahan. Selama ada orang yang berhak mendapat warisan karena ada hubungan nasab dan pernikahan, hubungan lain akan terhalang. Rasul SAW bersabda:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ ِلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
Berikanlah harta warisan almahum kepada ahli warits yang berhak menerimanya. Adapun sisanya serahkan kepada keluarga terdekat laki-laki. Hr. Bukhari, Muslim, Al-Turmudzi, dan al-Darimi.[12]
4.. مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا banyak atau sedikitnya bagian sangat tergantung pada ketentuan yang ditetapkan.
Pengunci ayat ini merupakan ketantuan bahwa harta warisan telah ditetapkan jumlahnya, ada yang mendapatkan banyak ada pula yang mendapat bagian sedikit. Semua ketantuan tersebut sebagai aturan mutlak yang tidak boleh diubah. Ayat ini juga sebagai dasar hokum bahwa yang mendapat ketentuan bagian warisan itu adalah yang berkaitan kekerabatan seperti orang tua, anak, suami istri. Sedangkan yang tidak ada hubungan kekerabatan seperti anak angkat, dzawil-Arham, tidak ditentukan oleh hokum waris. Besar atau sedikit hak mereka dapat ditentukan oleh ahli waris. Adapun ketetapan pembagiannya diuraikan pada ayat selunjutnya (Qs.4:11-12 dan Qs.4:176). Harta warisan baru dapat dibagikan apabila telah memenuhi rukun-rukunya sebagai berikut:
a. Al-Muarrits
Al-Muwarits المورث yaitu orang yang mewariskan harta, atau peninggalan lainnya.
Seperti dikemukakan di atas, al-Muwarits mesti sudah meninggal.Jika belum meninggal tidak bisa disebut muwarits dan peninggalannya belum menjadi warisan. Bila ada orang yang tidak diketahui apakah sudah meninggal atau belum, maka dianggap mafqud. Al-Mafqud, peninggalannya bisa diwariskan apabila memenuhi syarat yang bisa diterima secara hukum melalui proses pengadilan. Menurut Imam Maliki al-Mafqud baru bisa diputuskan wafat apabila sudah mencapai usia tujuh puluh tahun. Menurut Hanbali bila diperkirakan berusia sembilan puluh tahun. Sedangkan menurut Imam al-Syafi’iy, tergantung pada penilaian dan ijtihad hakim secara adil yang mengambil keputusan.[13]
b. Al-Waris
Al-warits الوارث ialah orang yang masih hidup tatkala al-Muwarits meninggal dunia dan mempunyai hubungan perwarisan, sebagaimana dijelaskan di atas.
c. Al-Mauruts
al-Mauruts الموروث terkadang disebut juga al-Tirkah التركة ialah milik al-marhum yang ditinggal wafat olehnya. Peninggalan tersebut bisa dalam bentuk harta, bisa juga utang piutang, atau dalam bentuk lainnya. Sebelum peninggalan tersebut dibagikan kepada ahli waris, perlu dipenuhi dahulu kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengannya. Harta peninggalan yang dibagikan kepada ahli waris, hanyalah milik penuh al-marhum, yang telah bebas dari campuran milik orang lain, dan telah memenuhi kewajiban lainnya seperti zakat, bayar utang, wasiat, serta keperluan mengurus jenazah.
E. Beberapa Ibrah
1. Setiap individu baik laki-laki maupun perempuan pasti menjadi ahli waris, besar atau kecilnya yang mereka dapatkan tergantung pada hubungannya dengan al-marhum.
2. Harta warisan yang dibagikan kepada keluarga adalah benar-benar milik al-marhum. Harta yang masih campur dengan milik fihak lain mesti dipisahkan terlebih dahulu.
3. Ahli waris yang mendapat bagian adalah yang masih hidup tatkala al-marhum meninggal. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu, tidak mempunayi hak waris.
4. Ahli waris yang mendapat bagian tertentu adalah yang ada hubungan kekerabatan dengan al-Marhum, baik secara nasab atau pernikahan. Yang tidak ada hubungan tersebut seperti anak angkat atau dzawil-Arham bagiannya ditentukan oleh ahli waris.
[1] Dalam al-tafsir al-Munir tertulis عَرْفطة dalam al-Qurthubi, عَرفجة و سويد
[2] Abu al-Fadlal Ahmad bin Ali (773-852H), al-‘Ijab fi Bayan al-Asbab, II h.834, Al-Suyuthi (w.911H), Lubab al-Nuqul, I h.64
[3] Hibat Allah bin Salamah bin Nashr al-Muqri, al-Nasikh wa al-Mansukh, I h.65
[4] Abu al-Faraj Ibn al-Jawzi (508-597H), Nawasikh al-Qur`an, I h.59
[5] Abu al-Fida Ibn Katsir (w.774H), Tafsir Ibn Katsir, I h.212
[6] Sayid Sabiq (1972M), Fqh al-Sunnah, (Beirut, 1983) cet. 4 j. 3 h.426
[7] Muhammad Ali Al-Shabuni (1405H), Al-Mawarits Fi al-Syari’a al-Islamiyah (Mekah, 1985, Alam al-Kutub), h.37
[8] al-Qurthubi, Abu Abd Allah (w.671H), al-Jami li ahkam al-Qur’an (Kairo, 1372H, Dar al-Sya’b) j.2 h.113
[9] Abu al-Walid Muhammad Ibn Rusyd (w. 595H), Bidayah al-Mujtahid, (Beirut, Dar al-Fikr) j. 2 h. 67
[10] al-Fiqh al-Islamy, j.8 h. 251
[11] Shahih al-Bukhari, no.1398
[12] Redaksi yang dikutip di sini adalah riwayat Bukhari, hadits no. 6338
[13] Wahbah al-Zuhaili (1404H), al-Fqh al-Islamy wa adillatuh (Damaskus, 1985, Dar al-Fikr), juz 8 h. 425