YANG MESTI IZIN SUAMI (kajian Hadits al-Bukhari dari Abi Hurairah) bagian pertama
YANG MESTI IZIN SUAMI
(kajian hadits riwayat al-Bukhari) bagian pertama
A. Teks Hadits dan Tarjamahnya
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ
وَرَوَاهُ أَبُو الزِّنَادِ أَيْضًا عَنْ مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي الصَّوْمِ
Abu al-Yaman menyampaikankan hadits pada kami. Syu’aib mengabarkan hadits pada kami. Abu al-Zinad meriwayatkan hadits pada kami dari al-A’raj dari Abi hurairah. Sesungguhnya Rasul SAW bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita untuk melaksanakan shaum sedangkan suaminya hadir, kecuali atas izinnya. Tidak halal bagi seorang wanita untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, tanpa persetujan suaminya. Apa yang wanita nafqahkan tanpa perintah suaminya, maka setengahnya mesti dibayar pada suaminya. Abu al-Zinad juga meriwayatkan hadits yang senada dari Abi Musa, dari ayahnya dari Abi Hurairah. Hr, al-Bukhari[1]
B. Takhrij Hadits
1. حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ Abu al-Yaman mengabarkan hadits pada kami. Syu’aib mengabarkan hadits pada kami. Abu al-Zinad meriwayatkan hadits pada kami dari al-A’raj dari Abi hurairah.
Kalimat ini mengisyaratkan bahwa al-Bukhari (a94-256H) menerima hadits dari أَبُو الْيَمَانِ yang bernama al-Hakam bin Nafi, dia adalah Tabi al-Atba, dijuluki Abu al-Yaman yang wafat tahun 222H. Beliau menerima hadits dari شُعَيْبٌ yang nama populernya adalah Abu Bisyr bin Abi Hamzah Dinar, sebagai tabi al-Tabi’in, lama hidup di Syam dan wafat tahun 162H. Yang menyampaikan hadits pada beliau adalah أَبُو الزِّنَادِ nama aslinya Abdullah bin Dakwan, sebagai Tabi’in (karena bertemu dengan shahabat dalam keadaan muslim), lama hidup di Madinah dan wafat tahun 130H. Beliau menerima hadits dari الْأَعْرَجِ seorang tabi’in senior, yang benarma asli Abdurrahman bin Hurmuz dijuluki juga dengan nama Abu daud, lama hidup di Madinah dan wafat tahun 117. Beliau menerima hadits dari Abu Hurairah yaitu seorang shahabat yang bernama asli Abdurrahman bin Shahr, wafat tahun 57H, yang riwayatnya telah diungkap pada pembahasan yang lalu.
وَرَوَاهُ أَبُو الزِّنَادِ أَيْضًا عَنْ مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي الصَّوْمِ
Kalimat ini menginformasikan bahwa hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu al-Zinad melalui jalur lainnya yaitu dari Musa, dari ayahnya yang masih dari Abi hurairah. Itulah komentar al-Bukhari. Hadits ini sangat popular di kalangan ahli hadits, bahkan tiga imam dari penyusun al-Kutub al-Sittah meriwayatkannya dengan berbagai jalur atau mata rantai hingga sampai pada mereka. Adapun redaksinya ada yang sama ada pula yang berbeda. Perbandingan redaksinya dapat dilihat pada table berikut.
NAMA IMAM DAN NOMOR HADITS |
REDAKSI MATAN HADITS DAN TARJAMAHNYA |
Al-Bukhari (194-256H); hadits nomor 4796
|
لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ Tidak halal bagi seorang wanita untuk melaksanakan shaum sedangkan suaminya hadir, kecuali atas izinnya. Tidak halal bagi seorang wanita untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, tanpa iznin suaminya. Apa yang wanita nafqahkan tanpa perintah suaminya, maka setengahnya mesti dibayar pada suaminya. |
Muslim (206-261H); hadis nomor 1704 |
لَا تَصُمْ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُ Seorang wanita tidak dibenarkan melaksanakan shaum padahal suaminya hadir, kecuali atas izinnya. Perempuan juga tidak boleh mengizinkan orang lain masuk ke rumah suaminya padahal dia masih ada kecuali atas izinnya. Apa yang diinafkkan seorang wanita dari hasil usaha suami tanpa perintahnya, maka setengah pahalanya adalah untuk suaminya |
Abu Daud (202-275H); hadits nomor 2102 |
لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ وَلَا تَأْذَنُ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ Seorang wanita tidak dibenarkan shaum, padahal suaminya ada tanpa izinnya, kecuali ramadlan. Seorang wanita tidak dibenarkan mengizinkan orang lain masuk rumah padahal suaminya masih ada kecuali atas izinnya |
C. Syarah Hadits
1.. أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ Sesungguhnya Rasul SAW bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita untuk melaksanakan shaum sedangkan suaminya hadir, kecuali atas izinnya.
Kalimat لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ (tidak halal bagi kaum wanita), ditinjau dari sudut fiqih menunjukkan keharaman, karena setiap yang tidak halal adalah haram. Memang ada ulama yang berpendapat bahwa hukumnya adalah makruh, karena kalimat tidak halal tidak semua mengisyaratkan haram. Namun menurut al-Asqalani, kalimat لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ yang lebih tepat diartikan hukumnya haram bagi kaum wanita, sebagai mana menurut mayoritas ulama. [2]
Kalimat أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ (wanita shaum tatkala suaminya hadir, kecuali dengan seizinnya. Menurut riwayat muslim (206-261H) menggunakan redaksi larangan لَا تَصُمْ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ (janganlah seorang wanita shaum ketika suaminya ada kecuali dengan izinnya).[3] Yang diharamkan di sini adalah shaum tathawwu bukan shaum wajib, sebagaimana terungkap dalam riwayat al-Tirmidzi (209-279H) dan Ibn Majah (207-275H) dengan redaksi لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ يَوْمًا مِنْ غَيْرِ شَهْرِ رَمَضَانَ إِلَّا بِإِذْنِهِ Seorang perempuan tidak dibenarkan shaum sehari pun padahal suaminya hadir, selain shaum ramadlan kecuali dengan izinnya.[4]
Al-Nawawi (631-676H),[5] menegaskan bahwa larangan ini mengisyaratkan haramnya wanita shaum sunat ketika suaminya hadir kecuali atas izinnya, karena shaum sunat itu waktunya tidak sempit boleh dilaksanakan di hari lain. Adapun salah satu sebabnya diharamkan adalah seorang suami mempunyai hak untuk bersenang-senang dengan istrinya kapanpun. Memenuhi keinginan suami untuk menenyangkannya adalah menjadi kewajiban seorang istri. Oleh karena itu tidak boleh dikalahkan dengan ibadah yang disunnahkan. Ada yang berpendapat bahwa shaum sunat tanpa izin suami itu semestinya dibolehkan saja, tapi tatkala suaminya menginginkan sesautu dari istri yang menimbulkan batalnya shaum, maka istrinya mesti membatalkan shaumnya, umpamanya menginginkan makan berasama atau sebangsanya. Al-Nawawi menjawab pendapat tersebut dengan menegaskan bahwa shaumnya sang istri bisa mengganggu kebebasan suami untuk memenuhi keinginanya, maka semestinya minta persetujuan terlebih dahulu.[6]
Adapun perkataan وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ atau dalam redaksi lainnya وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ (sedangkan suaminya menyaksikan atau hadir) mengisyaratkan bahwa istri dilarang shaum sunat tanpa persetujuan suaminya itu ketika suaminya berada di rumah atau sedang berbarengan dengannya. Jika suaminya itu sedang bepergian, sedangkan istrinya tidak ikut dan berada di rumah, maka istrinya boleh saja shaum tanpa minta persetujuan terlebih dahulu. Namun menurut al-Asqalani,[7] jika seorang istri sedang shaum padahal suaminya tidak di rumah, tiba-tiba di siang hari suminya datang dan menghendaki sesuatu yang membatalkan shaum, maka wajiblah istrinya itu membatalkan shaumnya. Larangan ini juga memberi isyarat bahwa di antara kebaikan istri pada suami adalah tidak melakukan ibadah yang hukumnya sunat yang menganggu keharmonisan rumah tangga. Menjaga keharmonisan suami istri hukumnya wajib, maka jangan sampai terganggu oleh ibadah yang hukumnya sunat. Dalam riwayat Ibn Abi Syaibah diterangkan ada seorang waniya yang menghadap Rasul menanyakan tentang hak suami yang mesti dipenuhi istrinya, maka Rasul SAW bersabda: لا تصوم إلا بإذنه إلا الفريصة فإن فعلت أثمت ولم يقبل منها tidak dibenarkan seorang istri shaum tanpersetujuan suaminya kecuali yang difardlukan. Jika istrinya tetap melakukan shaum maka termasuk dosa dan tidak akan diterima shaumnya.[8] Kalimat إِلَّا بِإِذْنِهِ juga mengandung arti syarat dikabulnya ibadah sunat yang dilakukan seorang istri adalah persetujuan suami. Persetujuan tersebut baik dalam bentuk kalimat langsung ataupun tidak langsung. Namun bukan berarti istri dilarang melakukan semua ibadah sunat tanpa izin suami. Sepanjang ibadah sunat yang dilakukannya itu tidak menganggu keharmonisan suami istri maka dapat dijalankannya.[9] Larangan ibadah shaum sunat bagi istri tanpa persetujuan suami, juga memberi isyarat adanya kemestian mendahulukan kewajiban di banding yang hukumnya sunat. Tegasnya larangan ini tidak mencakup shalat sunat yang hanya membutuhkan waktu singkat.[10] Namun jika ibadah yang hukumnya sunat itu dapat mengganggu atau menghalangi kewajiban memelihara kebahagiaan suami istri, maka sepantasnya dihindari. Dalam riwayat Ahmad (164-241H) bahkan ditegaskan seorang istri dilarang shaum sunat tanpa iizin suaminya walau hanya satu hari. Perhatikan redaksinya:
لَا تَصُمْ الْمَرْأَةُ يَوْمًا وَاحِدًا وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Janganlah seorang perempuan shaum walau hanya satu hari, padahal suaminya ada kecuali dengan izinnya. Hr. Ahmad.[11]
لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ يَوْمًا وَاحِدًا وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ إِلَّا رَمَضَانَ
Seorang perempuan tidak shaum walau hanya satu hari padahal suaminya ada kecuali dengan izinnya selain ramadlan. Hr. Ahmad.[12]9780
Kalau ibadah tathawwu itu mesti mendapat izin dari suami, maka secara tersirat seorang suami boleh saja membatasi istrinya dalam melakukan ibadah tathawu yang diperkirakan mengganggu hak dan kewajiban. Persolannya sebatas mana membatasinya? Tentu seperti apa yang diajarkan rasul pada shahabatnya.
Ibadah ritual yang hukumnya tathawwu atau sunat secara fiqhiyah memang tidak boleh mengganggu kewajiban yang sifatnya social. Itulah mungkin salah satu hikmahnya mengapa Rasul SAW membatasi umat yang ingin beribadah melebihi beliau. Shaum tidak boleh setiap hari, shalat malam pun tidfak boleh semalam suntuk.
Abdullah bin Amr bin Ash menerangkan bahwa tatkala beliau bertekad untuk memperbanyak ibadah, Rasul SAW bersabda:
يَا عَبْدَ اللَّهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَلَا تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Wahai Abdallah! Kabarnya engkau selalu shaum di siang hari, dan bangun malam. (kata Ibn Amr) betul wahai Rasul! Beliau bersabda: jangan engkau lakukan seperti itu! Shaumlah dan berbuka lah! Bangunlah malam dan tidurlah sebagiannya. Sesungguhnya jasadmu punya hak untuk kemu penuhi. Matamu juga punya hak untuk kamu penuhi. Istrimu juga punya hak untuk kamu penuhi kebutuhannya. Hr. al-Bukhari (194-256H).[13]
Dalam riwayat Ahmad (164-241) ditegaskan:
لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ
Dirimu punya hak yang mesti kamu penuhi, keluargamu juga punya hak yang mesti kemu penuhi. Har. Ahmad.[14]
Demikiian pula dalam membaca al-Qur`an mesti memberi kesempatan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Ketika Abdullah bin Amr bertekad memperbanyak bacaan al-Qur`an, Rasul bersabda:
اقْرَأْ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ قَالَ قُلْتُ إِنِّي أَجِدُ قُوَّةً قَالَ فَاقْرَأْهُ فِي عِشْرِينَ لَيْلَةً قَالَ قُلْتُ إِنِّي أَجِدُ قُوَّةً قَالَ فَاقْرَأْهُ فِي سَبْعٍ وَلَا تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ
Bacalah olehmu al-Qur`an di setiap bulan! Saya berkata bahwa masih kuat melebihi itu. Sabda Rasul bacalah menamatkannya dalam dua puluh malam! Saya katakana masih kuat! Rasul bersabda bacalah al-Qur`an dalam tujuh hari dan jangan lebih dari itu. Hr. Muslim.[15]
Rasul membatasi ibadah Ibn Amr bahwa shaum tidak boleh setiap hari, shalat tidak boleh semalam suntuk, membaca al-Qur`an sebaiknya satu bulan saja untuk menamatkannya. Kalau pun masih banyak waktu dan kesempatan bolehlah sampai tujuh hari dan tidak boleh melebihi itu, karena harus ada kesempatan untuk kepentingan memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Dengan demikian sang suami boleh saja membatasi ibadah istrinya, yang sudah dibatasi oleh Rasul SAW tersebut, yang sifatnya ritual yang tidak diwajibkan.
Bersambung ke makalah berikutnya. Insya Allah
[1] Shahih al-Bukhari, no.4796
[2] Fath al-Bari, XIV h.488
[3] shahih Muslim, hadits nomor 1704
[4] Sunan Al-Tirmidzi, 713; Sunan Ibn Majah, no.1751
[5] nama lengkapnya Abu Zakariya, Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau merupakan ulama yang menulis berbagai karaya tulis antara lain Hadits Arbain, al-Adzkar, riyad al-Shalihin, Syarah Shahih Muslim, Minhaj al-Thalibin. Beliau wafat tahun 676H
[6] Syarah al-Nawawi ala Muslim, III h.474
[7] Beliau adalah al Imam al ‘Allamah al Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al ‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah (Jalur Gaza-red). Beliau lahir di Mesir pada bulan Sya’ban 773 H, wafat pada tanggal 28 Dzulhijjah 852 H di Mesir. Karya tulisnya cukup banyak antara lain Bulguhul-Maram, Fath al-Bari, Tahdzib al-Tahdzib, Talkhish
[8] Mushannaf Ibn Abi Syaibah, II h.507
[9] Fath al-Bari, XIV h.489
[10] Tuhfah al-Ahwadzi, II h.326
[11] Musnad Ahmad, no.9357
[12] Musnad Ahmad, no. 9780
[13] Shahih al-Bukhari, no.4800
[14] Musnad Ahmad, no.6583
[15] shahih Muslim, no.1964