YANG MESTI IZIN SUAMI (kajian hadits riwayat al-Bukhari) bagian kedua
YANG MESTI IZIN SUAMI
(kajian hadits riwayat al-Bukhari) bagian kedua
A. Teks Hadits dan Tarjamahnya
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ
وَرَوَاهُ أَبُو الزِّنَادِ أَيْضًا عَنْ مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي الصَّوْمِ
Abu al-Yaman mengabarkan hadits pada kami. Syu’aib mengabarkan hadits pada kami. Abu al-Zinad meriwayatkan hadits pada kami dari al-A’raj dari Abi hurairah. Sesungguhnya Rasul SAW bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita untuk melaksanakan shaum sedangkan suaminya hadir, kecuali atas izinnya. Tidak halal bagi seorang wanita untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, tanpa persetujan suaminya. Apa yang wanita nafqahkan tanpa perintah suaminya, maka setengahnya mesti dibayar pada suaminya. Abu al-Zinad juga meriwayatkan hadits yang senada dari Abi Musa, dari ayahnya dari Abi Hurairah. Hr, al-Bukhari[1]
Lanjutan syarah hadits
2.. وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ Tidak halal bagi seorang wanita untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, tanpa iznin suaminya.
Kalimat ini tidak terpisahkan dengan kalimat sebelumnya yang menggunakan kata sambung secara mutlak. Dengan demikian وَلَا تَأْذَنَ pada hadits ini bermakna تَأْذَنَ لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ tidak halal bagi seorang perempun memberi izin فِي بَيْتِهِ di rumahnya إِلَّا بِإِذْنِهِ kecuali dengan izin suaminya. Dalam riwayat muslim menggunakan kalimat وَلَا تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ Tidak halal bagi seorang wanita padahal suaminya hadir, untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, tanpa iznin suaminya. Namun kalimat وَهُوَ شَاهِدٌ bukan berarti membolehkan memberi izin ketika suaminya tidak ada, tapi sebagai penegasan atau menguatkan kalimat sebelumnya. Berfungsi pula sebagai من باب الأولى yang mengandung arti ketika ada suaminya di rumah mesti minta izin terlebih dahulu, untuk mempersilakan orang lain masuk rumah; apalagi tatkala suaminya tidak ada di rumah. Tegaslah seorang istri berkewajiban minta izin suami tatkala hendak mempersilakan orang lain masuk ke rumah, baik suaminya ada di rumah ataukah sedang tiada. Salah satu tanggung jawab istri terhadap suami adalah menjaga kehormatan diri, kehormatan suami dan juga kepemimpinan rumah tangga tatkala suaminya tiada di rumah. Allah SWT berfirman:فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ Wanita shahihat ada yang taat setia dan pandai menjaga tatkala suaminya tiada sebagaimana Allah telah menjaganya. Qs.4:35
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
dari Abi Hurairah, berkata: Rasul SAW ditanya: Wanita yang bagaimanakah yang terbaik? Beliau menjawab yang menyenangkan suami tatkala melihatnya, taat tatkala suami memerintah, tidak menyalahi suaminya dalam mengurus diri dan harta, hingga melakukan yang tidak disenangi. Hr. al-Nasa`iy.[2] Redaksi lainnya berbunyi
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ
dari Abi Hurairah, berkata: Rasul SAW ditanya: Wanita yang bagaimanakah yang terbaik? Beliau menjawab yang menyenangkan suami tatkala melihatnya, taat tatkala suami memerintah, tidak menyalahi suaminya dan tidak melakukan sesuatu yang kurang disenangi suaminya baik dalam mengurus diri maupun urusan harta suaminya. Har. Ahmad.[3]
خير النساء اللاتي إذا نظرت إليها سرتك ، وإذا أمرتها أطاعتك ، وإذا غبت عنها حفظتك في نفسها ومالها
Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkanmu tatkala kamu melihatnya, taat dan setia tatkala kamu memerintahnya, serta senantiasa menjaga diri dan hartanya tatkala kamu tidak dio sampingnya. Hr. Ibn Abi Hatim, Abu Dawud al-Thayalisi.[4]
ألا أخْبِرُك بِخَيْرِ مَا يكنزُ المَرْء المَرْأةُ الصَّالِحَة إذَا نَظَر إليْهَا سَرَّتْه وإذا أمَرَها أطَاعَتْه وإذا غَابَ عَنْهَا حَفظتْه في نَفْسِهَا وَمَالِه
“Ingatlah aku beritahukan kepada kamu tentang simpanan seseorang yang patut dipelihara, yaitu isteri yang shalih; yang menyenangkan suami tatkala melihatnya, selalu taat tatkala suami memerintahnya, dan selalu menjaga dirinya dan harta suami tatkala jauh darinya”. Hr. Abu Dawud (w.275 H), Ibn Majah (w.275 H), dan Abû Ya’la (w.307). [5]
Abu Umamah (w. 86 H) menerangkan bahwa Rasul SAW bersabda:
مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
“Tidak ada yang lebih baik manfaatnya yang diraih mu`min setelah taqwa kepada Allah dibanding isteri yang shalih; jika suaminya memerintah ia setia, jika melihatnya ia menyenangkan, jika memberi bagian ia tetap berbaikan, jika suami sedang tiada, ia tetap menjaga dirinya dan harta suaminya”. Hr. Ibn Mâjah (w.275 H).[6]
Berdasar beberapa hadits di atas, jelaslah bahwa seorang istri bertanggung jawab untuk menjaga kemaslahatan rumahtangganya terutama tatkala suami tidak ada di tempat. Istri merupakan pemimpin rumah tangga mewakili suami yang sedang tidak di tempat. Di samping itu kalimat وَلَا تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ menunjukkan bahwa pada prisipnya seorang istri tidak diperkenankan untuk melakukan hal-hal yang tidak disenangi suaminya, baik dalam urusan sikap diri maupun urusan pengelolaan harta. Dalam riwayat lain ditegaskan وإن لَكُم عَلَيْهِنَّ أن لا يُوَطِّئْن فَرْشَكُمْ أحَدًا تَكْرَهُوْنَه “Ingatlah di antara yang menjadi hakmu sebagai tanggung jawab isteri; jangan sampai mereka memasukkan seorang pun yang tidak kamu senangi ke rumahmu.” Hr. al-Darimi (w.255 H), dari Jabir bin ‘Abd Allah.[7]
Dikaitkan dengan pangkal hadits yang dibahas yang melarang shaum sunat tanpa izin suami, jelas berkaitan dengan urusan ibadah ritual, maka potongan hadits ini berkaitan dengan ibadah social yang ada hubungannya dengan sesame manusia. Kedua macam ibadah tersebut tentu saja sangat bernilai di sisi Allah maupun sisi manusia. Namun ternyata berdasar hadits yang dikaji di sini, baik ritual maupun social yang dilakukan seorang istri, mesti tetap atas izin suami, jelaslah jangan sampai mengganggu keharmonisan berkeluarga. Istri yang mengutamakan kepentingan keluarga khususnya keharmonisan dengan suaminya mendapat jaminan untuk mendapatkan surg di hari akhirat kelak. Rasul SAW bersabda:
إذَا صَلَّت المَرْأةُ خَمْسَهَا وَصَاَمتْ شَهْرَهَا وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَأطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أي أبْوَابِ الجَنَّةِ شَاءَتْ
“Jika perempuan itu menegakkan shalat lima waktu, shaum bulan ramadhan, menjaga kehormatannya, dan taat pada suaminya, maka akan masuk surga melalui pintu mana saja yang ia inginkan.” Hr. Ibn Hibban (w. 354 H) dari Abi Hurairah.[8]
Hadits ini berisi jaminan bagi isteri yang taat pada suami, bila ia menegakkan shalat, shaum, dan menjaga kehormatannya, akan masuk surga. Dengan demikian isteri yang setia pada suaminya, bukan hanya meraih derajat sebagai wanita terbaik di dunia, tapi juga menjadi ahli surga di akhirat kelak. Perintah suami yang mesti ditaati isteri, tentu saja yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Jika perintahnya itu bertentangan dengan syari’at, maka yang mesti ditaati adalah Allah SWT dan Rasul-Nya. Siapa pun tidak dibenarkan menaati suatu perintah yang bertentangan dengan perintah Allah SWT. Rasul bersabda:لا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَة الخَالِق “Tidak ada ketaatan pada makhluq dalam berbuat maksiat terhadap Khaliq.” Hr. Ibn Abî Syaybat (w.235) dari al-Hasan.[9]
Timbul pertanyaan, bagaimana kalau seorang suami mengajak masuk perempuan lain ke rumahnya tanpa izin istri? Tentu saja jawabannya bukan dengan hadits inhi, melainkan dalam ketentuan lainnya. Pada dasarnya baik suami maupun istri mesti berusaha saling menyenangkan dan menghindari hal-hal yang menimbulkan ketidaknyamanan pasangannya. Istri berkewajiban menjaga ketentraman dan kenyamanan suami. Suami pun berkewajiban menjaga ketentraman dan kenyamanan istrinya. Allah SWT berfirman: فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Jika istrimu itu teah setia menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyulitkan mereka, sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Maha Agung. Qs.4:34
3.. وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ Apa yang wanita nafqahkan tanpa perintah suaminya, maka setengahnya mesti dibayar pada suaminya.
Dikaitkan dengan kalimat sebelumnya, penggalan hadits ini mengandung perintah agar seorang istri yang akan berinfaq hendaklah minta persetujuan terlebih dahulu dari saminya. Konsekuensinya bila seorang istri infaq tanpa persetujuan suami, maka mesti mengembalikan atau membayar setengah dari apa yang telah diinfakkannya. Kalimat ini juga memberi isyarat bahwa harta rumah tangga merupakan milik bersama suami istri. Jika salah satu di antara suami istri, berkeinginan menggunakannya di luar kepentingan bersama, maka mesti ada persetujuan kedua belah fihak. Diriwayatkan dari Abi Hurairah
فِي الْمَرْأَةِ تَصَدَّقُ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا قَالَ لَا إِلَّا مِنْ قُوتِهَا وَالْأَجْرُ بَيْنَهُمَا وَلَا يَحِلُّ لَهَا أَنْ تَصَدَّقَ مِنْ مَالِ زَوْجِهَا إِلَّا بِإِذْنِهِ
Mengenai seorang istri bersedekah dari harta rumah tangga suaminya, dia mengatakan tidak boleh kecuali dari kelebihan makanan [pokok dan pahala untuk keduanya; tidak halal seorang istri bersedekah dari harta suaminya kecuali atas izinnya. Hr. Abu Dawud.[10]
Jika harta yang diinfakkan istri itu mendapat persetujuan suaminya, maka pahala dari infaq tersebut sampai pula kepada suaminya. Rasul SAW bersabda:
إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِهِ
Jika seorang istri berinfaq dari harta hasil usaha suaminya, tanpa perintah suaminya, maka setengah pahala adalah untuk suaminya. Hr. Al-Bukhari.[11]
Kalimat وَلَا يَحِلُّ لَهَا أَنْ تَصَدَّقَ مِنْ مَالِ زَوْجِهَا إِلَّا بِإِذْنِهِ tidak halal bagi istri bersedekah tanpa izin suami tersebut tentu saja bila diambil dari harta suami seperti ditegaskan dengan kalimat مِنْ مَالِ زَوْجِهَا bukan dari harta milik sendiri. Menurut mayoritas ulama yang dilarang oleh hadits ini juga infaq yang hukumnya sunat bukan yang wajib sebagaimana shaum, karena hal yang wajib tidak mesti ada persetujuan. Aisyah radliallahu anha menerangkan sebagai berikut:
دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ
Hindun binti Utbah istri Abi Sufyan menghadap Rasul SAW, berkata: Wahai Rasul! Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang laki-laki yang sangat kikir. Dia tidak memberi nafaqah padaku dan pada anakku yang mencukupi, kecuali apa yang kau ambil dari hartanya tanpa sepengetahun dia. Apakah aku memikul dosa atas perbuatanku itu? Rasil SAW bersabda: ambilah dari hartanya secara ma’ruf apa yang mencukupi kebutuanmu dan menuckupi kebutuhan anakmu. Hr. Muslim (206-261H).[12]
Hadits ini memberi isyarat bahwa seorang istri diperbolehkan mengambil harta suami untuk memenuhi apa yang telah diwajibkan padanya. Hal ini juga termasuk pada kategori memenuhi tanggung jawab tentang kemaslahatan keluarga. Jadi jelas infaq dari harta suami yang diperbolehkan istri mengeluarkannya tanpa persetujuan adalah (1) yang hukumnya wajib (2) yang tathawu tapi tidak menggangu kebutuhan pokok. Rasul SAW bersabda:
إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ طَعَامِ بَيْتِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ كَانَ لَهَا أَجْرُهَا بِمَا أَنْفَقَتْ وَلِزَوْجِهَا أَجْرُهُ بِمَا كَسَبَ وَلِلْخَازِنِ مِثْلُ ذَلِكَ لَا يَنْقُصُ بَعْضُهُمْ أَجْرَ بَعْضٍ شَيْئًا jika seorang wanita berinfaq dari harta rumah tangganya sepanjang tidak menimbulkan kerusakan, maka pahalanya adalah untuknya dan untik suaminya. Dia dapat pahala karena berinfaq, dan suaminya dapat pahala karena telah mencarikan nafqah. Demikian pula seorang bendahara, akan mendapat pahala dari yang mereka infakkan. Satu sama yang lain mengurangkan paha yang lain sedikit pun. Hr.Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud.[13]
Hadits ini memberikan jaminan siapa pun yang berjasa dalam berinfaq bakal mendapatkan pahala. Seorang istri yang menginfakkaan harta suaminya dapat pahala karena menyalurkan harta secara tepat. Seorang suami juga mendapat pahala dari harta yang diinfakkan istrinya, karena telah berjasa mencari nafqah. Demikian pula seorang bendara mendapatkan pahala darin infaqnya karena berjasa mengelola harta secara tepat, tidak akan mengurangi pahala sipemilik harta. Apa yang mereka infakkan secara tathawu, tentu saja tidak boleh menimbulkan kesulitan berumah tangga sebagaimana ditegaskan dengan kalimat غَيْرَ مُفْسِدَةٍ (tidak mendatangkan mafsadat fihak manapun). Hal ini memberikan isyarat agar setiap suami memberikan wewenang pada istrinya untuk berinfaq, karena pahalanya akan didapat oleh keduanya.
D. Beberapa Ibrah
1. Ketentraman, keharmonisan dan ketenangan keluarga merupakan tanggung jawab bersama suami dan istri. Suami maupun istri wajib memelihara kemaslahatan keluarga baik secara probadi maupun bersama, maka tidak boleh terganggu oleh tindakan apapun walau yang sifatnya ibadah baik yang bersifat ritual maupun social.
2. Tanggung jawab suami istri ada yang bersifat ritual seperti shaum, ada yang bersifat soasil hubungan dengan fihak yang lain, dan ada pula yang bersifat materi harta keluarga. Beribadah dengan ketiga hal itu mesti dilakukan sesuai proporsinya, tidak boleh mengganngu yang lainnya.
3. Apa yang dilakukan istri yang bersifat berdampak pada fihak suami, mesti dilakukan atas persetujuan suami. Demikian pula yang dilakukan suami bila berdampak pada hak istri, maka mesti dilakukan atas persetujuan istri.
4. Infaq yang dikeluarkan istri pahalanya bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk suaminya. Istri berpahala karena infaqnya; suami dapat pahala karena telah menyediakannya.
5. Harta dalam rumah tangga ada yang bersifat milik pribadi masing-masing suami istri; ada pula yang bersifat milik bersama. Yang menjadi milik pribadi masing-masing tentu saja punya kewenangan tanpa terhalang yang lain. Namun yang milik bersama mesti persetujuan bersama bila digunakan bukan untuk kepentingan bersama.
6. Suami memiliki hak yang mesti dipenuhi oleh istrinya. Istri juga punya hak yang mesti dipenuhi oleh suaminya. Hak dan kewajiban masing-masing mesti dipenuhi sesuai ketentuan syari’ah.
7. Ibadah baik yang sifatnya ritual, social maupun amwal harta mesti dilakukan sesuai aturan, tidak boleh berlebihan tidak pula berkekurangan dan mesti saling mendukung antara yang satu dengan yang lainnya sehingga terpeliahara kesimbangan.
[1] Shahih al-Bukhari, no.4796
[2] Sunan al-Nasa`iy, III h.271
[3] Musnad, II h.251
[4] Tafsir Ibn Abi Hatim, no.5294, Musnad al-Thayalisi, no.2434
[5] Abû Daud, Sunan Abi dawud., II h.126, Ibn Majah, Sunan Ibn Majah., I h.596, Abû Ya’la, Ahmad bin ‘Alî, Musnad Abû Ya’lâ, jz. IV h.378
[6] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, I h.596
[7] Abd Allâh bin Abd al-Rahmân al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, , juz II h.69
[8] Abû Hâtim Muhammad bin Hibban, Shahîh Ibn Hibbân, juz IX h.471
[9] Abû bakr bin Muhammad bin Abi Syaybat,, juz VI h.545
[10] Sunan Abi Dawud, no.1438
[11] Shahih al-Bukhari, no.1924
[12] Shahih Muslim, III h.1338, no3233
[13] Shahih al-Bukhari, no.1336, Shahih Muslim, no.1700, Sunan Abi Dawud, no.1435