al-Baqarah:223 (DIMENSI SUAMI ISTRI)
DIMENSI SUAMI ISTRI
A.Teks Ayat dan tarjamahnya
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِين
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. Qs.2:223
B. Tinjauan Historis
عن جابر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ الْيَهُودُ تَقُولُ إِذَا جَامَعَهَا مِنْ وَرَائِهَا جَاءَ الْوَلَدُ أَحْوَلَ فَنَزَلَتْ نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Dari Jabir diriwayatkan bahwa orang yahudi beranggapan, jika seseorang bergaul dengan isterinya dari arah belakang, maka anaknya akan juling. Ayat ini turun sebagai bantahan terhadap anggapn tersebut. Hr. Al-Bukhari (194-256H)[1]
Ada seorang shahabat menghadap Rasul SAW, mengatakan bahwa ia tidak menggauli isterinya dan tidak pula nadzar untuk itu. Rasul bersabda:
ائْتِ حَرْثَكَ أَنَّى شِئْتَ وَأَطْعِمْهَا إِذَا طَعِمْتَ وَاكْسُهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلَا تُقَبِّحْ الْوَجْهَ وَلَا تَضْرِبْ
Gaulilah isterimu sesuai keinginanmu, berilah makan sesuai yang kamu makan, beri pakaian seperti kamu berpakaian, jangan mencampakkan wajahnya dan jangan pula memukulnya. Hr. Abu Dawud.[2]
Diriwayatkan dari Ibn Umar r.a, bahwa ketika syari’ah Islam turun, masyarakat terdiri dari penyembah berhala, yahudi dan nashrani. Peristiwa hijrah membawa umat dari Mekah ke Madinah. Di Madinah kaum yahudi dinggap paling berilmu, mereka punya aturan tidak boleh menggauli isteri, kecuali dengan satu cara. Sedangkan kaum Quraisy sudah biasa melakukannya dengan berfariasi. Ada seorang muhajir[3] nikah dengan kaum anshar dan mengajak bergaul suami isteri secara fariasi, sambil duduk, berdiri, dari belakang dan dari depan. Hal ini ditolak isterinya dan dianggap perbuatan munkar. Kemudian perselisihan ini diadukan kepada Rasul SAW, maka turunlah Qs.2:223 ini. Beliau menandaskan:
نِسَاؤكُم حَرْثٌ لَكُم فَأتُوا حَرْثَكُمْ أنَّى شِئْتُم أيْ مُقْبِلات وَمُدْبِرَات ومُسْتَلْقِيَات يَعْنِي بِذلِكَ مَوْضِع الوَلد
silakan apakah dari belakang, berbaring, duduk, atau berdiri asalkan pada tempat lahirnya anak. Hr. Abu Daud[4]
C. Kaitan dengan ayat sebelumnya
Ayat 222 melarang mengauli isteri yang sedang haidl dan menyuruh agar suami menggauli isteri yang telah suci. Ayat 223 ini memberikan kebebasan kepada suami isteri dalam berjima sesuai apa yang dikehandki kedua belah pihak, asalkan pada tempatnya.
D. Tafsir Kalimat
1. نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ isterimu adalah ladang bagimu. Isteri diumpamakan ladang, karena tempat menanam benih. Dari isterilah akan tumbuh calon generasi penerus. Oleh karena itu seorang suami mesti waspada, jangan sampai menanam benih yang buruk. Kualitas tanaman dipengruhi oleh kualitas benih. Tanaman pun sangat tergantung pada pemeliharaan, apakah akan tumbuh secara baik ataukah tidak.
2. فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ tanamilah ladangmu sesuai kehendakmu.
Ibn Hajar al-Asqalani (773-852H) meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Huyay bin Akhtab dan kaum Yahudi mengatakan kepada kaum Muslimin: إنه لا يحل لكم أن تأتوا النساء إلا مستلقيات و إنا نجد في كتاب الله أن جماع المرأة غير مستلقية ذنب (seseungguhnya tidak halal menggauli istri kecuali dengan cara berhadapan. Kami menemukan dalam kitab Allah bahwa menjimai istri tanpa berhadapan adalah dosa). Tidak lama kemudian turunlah ayat ini.[5]
Isteri dilambangkan tempat bercocok tanam, yang hasil panennya dipengaruhi oleh kondisi tanah, kualitas benih, air hujan, dan sinar matahari. Kehidupan berkeluarga bagaikan bertani yang membutuhkan pemeliharaan, penggarapan secara baik. Keturunan yang akan dihasilkan pun sangat terpengaruh oleh kondisi istri, kepemimpinan suami, dan lingkungan sekitar. Hidup di dunia juga bagaikan bertani yang hasilnya dipanen di akhirat.
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. Qs.42:20
Boleh saja melakukan hubungan dengan isteri sesuai kehendak kedua belah fihak, sepanjang pada tempatnya. Hukum syari’ah tidak mengharamkan mencari keni’matan dalam bergaul suami istri, yang penting mendatangkan kebaikan dan kemanfaatan. Oleh karena itu mesti menghindari yang menimbulkan mafsadat.[6] Manfaat dan mafsadat pun bakal didapat, sesuai dengan yang diperbuat. Bila ingin hasil yang baik, maka hendaklah bercocok tanam secara baik, benih yang baik, dan di tempat yang baik pula.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasul SAW bersabda:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
Telah dijadikan kesenangan bagiku dari kehidupan dunia; istri, wewangian, dan dijadikannya penyejuk mata hatiku di dalam shalat. Hr. Ahmad, al-Nasa`iy, al-Thabarani, al-Bayhaqi. [7]
Kata al-Muqadasi, sanadnya shahih.[8] Menurut al-Hakim hadits ini memiliki derajat shahih, para rawinya memenuhi darajat al-Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkan.[9] Bersenda gurau mesra dan rayuan dalam kehidupan suami istri, merupakan kebiasaan terpuji. Rasul saw. bersabda:وَلَيْسَ مِنَ اللَّهْوِ إِلاَّ ثَلاَثٌ تَأْدِيبُ الرَّجُلِ فَرَسَهُ وَمُلاَعَبَتُهُ امْرَأَتَهُ وَرَمْيُهُ بِقَوْسِه. Tidak ada senda gurau (yang baik) kecuali seseorang sedang melatih berkuda, bermesraan dengan isterinya dan melatih main panah. Hr. al-Turmudzi (209-279H).[10]
Berdasar hadits ini bersenda gurau, bercengkrama dan bermain antar suami-isteri termasuk perbuatan yang terpuji. Al-Qur’an menggambarkan bahwa suami isteri itu bagaikan pakaian. Firman Allah SWT:هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ.“Isterimu adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi isterimu” . Qs. 2: 187. Seorang suami jika beranggapan bahwa dirinya adalah pakaian isteri, maka akan berusaha untuk memuaskan isterinya. Sang isteri pun demikian, jika beranggapan sebagai pakaian suaminya akan berusaha memberikan kepuasan pada suami. Menggunakan pakaian juga mesti tenang, tertib dan jangan sampai rusak apalagi robek. Dari segi lain, ayat tersebut mengandung makna bahwa jima’ itu milik bersama. Dirinya merupakan bagian dari yang lain. Betapa erat ikatan suami isteri digambarkan oleh ayat tersebut. Jima’ adalah mengandung makna didikan bahwa dua sama dengan satu, satu sama dengan dua. Adapun teknik melakukan jima’, boleh saja bervariasi, asalkan pada farji/vagina.
Jima diusahakan bisa dicapai oleh kedua belah pihak suami isteri. Menurut Imam Al-Ghazali, jima’ yang paling berkualitas adalah jima’ yang klimaksnya bersamaan antara suami isteri.[11] Keberhasilan tersebut sangat tergantung kepada kerjasama kedua belah pihak. Namun jika sulit dicapai secara bersamaan, usahakanlah sang suami menahan kekuatan, jangan sampai ejakulasi sebelum istrinya mengalami orgasme. Artinya isteri bisa mendahului suaminya. Jika isteri mendahului suami, tidak akan menimbulkan masalah, sebab wanita bisa mengalaminya beberapa kali ejakulasi tiap kali berjima’.
Suami bisa memuaskan isterinya terlebih dahulu, baru meraih kepuasan dirinya. Hal ini sebagai manifestasi dari kedudukan suami yang menjadi pemimpin dan memiliki kewibawaan. Potensi untuk itu, dimiliki seorang laki-laki. Dalam ayat waris ditandaskan:للذكر مثل حظ الأنثيين Satu orang laki-laki sebanding dengan dua orang perempuan. Qs. 4: 11. Bila dikaji dari sudut pendidikan seks, ayat ini bisa diambil pelajaran bahwa laki-laki dapat membuat isterinya dua kali orgasmus, dalam satu kali jima’. Kaum pria juga memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan biologis dua orang isteri dalam satu kali janabat. Hal ini bisa dilakukan bila suami tidak egois, tidak mementingkan kepuasan diri.
إذَا جَامعَ اَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيُصَدِّقْهُ ثُمَّ إِذَا قَضَى حَاجَتَهُ قَبْلَ أَنْ تَقْضِيَ حَاجَتَهَا فَلاَ يُعَجِّلْهَا حَتَّى تَقْضِيَ حَاجَتَهَا.
“Jika seorang suami berjima’ dengan isterinya, hendaklah melakukan secara benar dan dengan sebaik-baiknya. Jika dia telah terdesak untuk mencapai klimaks, maka hendaklah ia menahan diri, jangan melepaskannya sebelum isterinya mencapai klimaks memenuhi kepuasannya”. Hr. Abi Ya’la, (w.307).[12]
Jika suami istri bersepakat untuk melakukan jima kedua kali, handaklah diselang dengan mencuci kelamin dan berwudlu. Dalam riwayat Abi Sa’id diterangkan bahwa Rasulullah saw. memerintah wudlu bagi yang telah berjima’, jika hendak melakukan lagi jima’ berikutnya.
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ بَيْنَهُمَا وُضُوءًا
Jika salah seorang di antaramu menggauli isterinya dan hendak mengulanginya lagi, maka hendaklah berwudlu di antara keduanya. Hr. Muslim.[13] Jika hubungan suami istri telah usai, usahakan jangan langsung tertidur, melainkan bersihkanlah terlebih dahulu farji dan dzakarnya, dan berwudlu.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ
Hadits dari Aisyah menerangkan “Adalah Rasulullah saw. apabila junub (habis jima’) kemudian hendak makan atau hendak tidur suka berwudlu terlebih dahulu seperti wudlu akan shalat”. H.R. Muslim.[14] Bila fase terakhir ini sudah selesai, lebih baik langsung mandi, walaupun waktu shalat masih lama, bila tidak mandi minimal wudlu. Rasul SAW bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْغُسْلُ
Hadits dari Abi Hurairah menerangkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Jika salah seorang duduk di antara empat cabang anggota tubuh, kemudian menggauli isterinya maka wajiblah mandi. Hr. al-Bukhari dan Muslim.[15]
Menurut Mansur Ali, yang dimaksud empat cabang anggota tubuh ialah dua tangan dan dua kaki. Kalimat tersebut merupakan kinayah dari hubungan seks suami isteri.[16] Dalam Hadits ‘Aisyah diterangkan
إِذَا جَاوَزَ الخِتَانُ الختانَ فَقَدْ وَجَبَ الغُسْلُ فَعَلْتُهُ أنَا وَ رَسُول الله عليه وسلم فَاغْتَسَلْنَا
Jika khitan bersentuhan dengan khitan, maka wajib mandi. Aku pernah mengalaminya bersama Rasulullah saw. dan kami mandi. H.R. Tirmidzi.[17]
Hadits ini menyatakan bahwa jika dua kelamin bersentuhan, maka wajib mandi walau tidak mengeluarkan mani. [18]
3. وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ kerjakanlah amal baik untuk dirimu.
Oleh karena itu hendaklah memenuhi etika yang dianggap baik oleh kedua belah pihak dan tidak bertentangan dengan syari’ah. Berlaku baik akan membawa kebaikan bagi diri. Menurut al-Sudi, ma’na ayat ini adalah قدموا الأجر في تجنب ما نهيتم عنه وامتثال ما أمرتم به (usahakan untuk mendapatkan pahala dengan menjauhi apa yang dilarang, dan memenuhi apa yang diperitahkan).[19] Jika dilakukan secara benar dan baik, hubungan suami istri pun akan bernilai shadaqah yang mendatangkan pahala.
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
Pada kemaluanmu terdapat shadaqah. Shahabat bertanya: Apakah dalam memenuhi kebutuhan seks, kami akan mendapatkan pahala? Rasul SAW bersabda: Bukankah jika kamu penuhi secara tidak halal akan mendatangkan dosa? Jika demikian, maka bila kamu penuhi secara halal, akan mendapat pahala. Hr. Ahmad, Muslim, Abu Dawud.[20]
4. وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ bertakwalah kepada Allah dan ingatlah kamu akan bertemu dengan-Nya.
Kata Wahbah al-Zuhayli, ayat ini merupakan peringatan terhadap hamba-Nya agar waspada dalam bersikap, berucap dan bertindak, sebab akan dimintai tanggung jawab oleh Allah SWT tatka menjumpai-Nya.[21] Menurut al-Baydlawi ayat ini berma’na واتقوا الله بالاجتناب عن معاصيه واعلموا أنكم ملاقوه فتزودوا ما لا تفتضحون به (bertaqwalah kepada Allah dengan menjauhi pelanggaran ma’siat. Sesungguhnya kamu akan bertemu dengan-Nya, maka bersiaplah menghadapi-Nya jangan melakukan kesalahan).[22] Oleh karena itu hendaklah pandai menjaga diri jangan sampai bersikap dan bertindak yang membahayakan, sebab di akhirat akan bertemu dengan Allah SWT yang bakal meminta tanggung jawab. Jika ingin ringan tanggung jawab di akhirat, maka berlakulah baik dan dapat dipertanggung jawabkan secara syari’ah.
5. وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ beritakanlah berita gembira bagi orang mu`min. Jika segalanya dilakukan atas dasar iman, bakal mendatangkan kebahagiaan paripurna, baik di dunia maupun di akhirat.
Pengunci ayat ini merupakan jaminan, bahwa orang yang membangun rumah tangga atas dasar iman akan meraih kebahagiaan paripurna.
E. Beberapa Ibrah
E. Beberapa ‘Ibrah
- 1. Qs.2:223 menghapus anggapoan yahudi yang beranggapan bahwa cara jima mempengaruhi fisik anak. Berdasar ayat ini tidak ada kalitan antara cara jima dengan kondisi fisik anak
- 2. Dimensi seks suami istri, selain berfungsi memenuhi tabi’at insani, tapi juga bernilai ibadah.
- 3. Dalam hubungan suami istri dipersilakan bervariasi, asalkan tidak melalui dubur. Cara yang bervariasi dapat membina mawaddah suami istri
- 4. Istri bagaikan ladang yang ditanami benih, maka tanamilah dengan bibit unggul dan dapat menghasilkan yang baik.
- 5. Lakukan hubungan suami istri untuk meraih kebaikan dan taqwa.
- 6. Setiap manusia akan berjuma dengan Allah SWT, maka bersiaplah untuk mempertanggung jawabkan kehidupan keluiarga
8. Dengan membangun keluarga berdasar etika syari’ah, setiap mu`min akan meraih bahagia yang paripurna
9. Kebahagiaan tumah tangga mu`min, bukan hanya selama hidup di dunia, tapi juga di akhirat kelak
[1] shahih al-Bukhari, V h.160
[2] Sunan Abi Dawud, II h.245
[3] Muhajir ialah kaum muslimin yang ikut berhijrah dari Mekah ke Madinah. Sedangkan yang menyambut kedatangan Muhajir di Madinah dinamai Anshar.
[4] Sunan Abi Dawud, II h.249
[5] al-‘Ijab Fi Bayan al-Asbab, I h.556
[6] Tafsir al-Maraghi, II h.158
[7] Musnad Ahmad, III h.199, Sunan al-Nasa`iy, V h.280, al-Mu’jam al-Awsath, V h.241, Sunan al-Bayhaqi, VII h.78
[8] al-Ahadits al-Mukhtarah, V h.112
[9] al-Mustadrak, II h.174
[10] Abu Isa al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, IV h.174
[11] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ulum al-Din, II, h. 52
[12] Abu Ya’la, Musnad Abi Ya’la, VII h.208
[13] shahih Muslim, I h.249
[14] shahih Muslim, I h.248
[15] Shahih al-Bukhari, I h.110 dan Shahih Muslim, I h.271
[16] Manshur Ali Nashif, At-Taj, I h. 108
[17] sunan al-Turmudzi, I h.181
[18] Manshur Ali Nashif, At-Taj, I h. 108.
[19] Tafsir al-Tsa’alibi, I h.173
[20] Musnad Ahmad, no.20500, Shahih Muslim, no.1674, Sunan Abi Dawud, no.1093
[21] al-tafsir al-Munir, II h.306
[22] Tafsir al-Baydlawi, I h.510