AL-NISA: 08 (hak selain ahli waris)
HAQ UNTUK YANG BUKAN AHLI WARITS
Kajian AL-Nisa: 08
- Teks Ayat dan tarjamahnya
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.. Qs.4: 08
B. Kaitan dengan ayat lain
1. Pada ayat sebelumnya telah ditegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar mendapat bagian warisan dari al-Marhum, orang tuanya atau kerabatnya. Tentu saja tidak semua kerabat mendapat bagian waris, karena ada yang terhalang oleh yang lebih dekat hubungannya dengan al-marhum. Ayat 8 ini menegaskan bahwa yang tidak mendapat bagian tertentu itu seperti kerabat yang agak jauh dan orang miskin, anak yatim, hendaklah diberi bagian sesuai dengan kesepakatan ahli waris. Ahli waris juga seyogyanya memberikan penjelasan dengan kata-kata yang baik, mengapa mereka tidak mendapat warisan.
2. Ayat 7 menjelaskan bahwa adanya hubungan perwarisan itu disebabkan nasab, ada pula karena kekerabatan. Ayat 8 ini menjelaskan tentang keharusan memberi bagian kepada yang tidak mempunyai hubungan perwarisan. Oleh karena itu, ahli waris mesti memberikan sebagian harta yang ditinggalkan al-Marhum kepada yang tidak mendapat warisan.
3. Ayat-ayat waris menunjukkan bahwa kepemilikan harta almarhum berpindah kepada ahli waris. Ayat 8 ini mengisyaratkan bahwa ahli waris berkewajiban memanfaatkan harta peninggalan al-Marhum untuk kepentingan sosial di luar keluarga, seperti orang miskin dan anak yatim.
C. Tinjauan historis
1. Diriwayatkan dari Sa’id Ibn al-Musayyab bahwa ada seseorang yang telah memberikan sebagian hartanya kepada tetangga dan kaum kerabatnya. Tatkala ia meninggal, orang yang telah mendapat pemberian itu menghadiri pembagian waris. Ahli waris mengecam kehadiran orang yang telah mendapat bagian tersebut dengan mengatakan bahwa mereka tidak memiliki apa-apa dari peninggalan al-Marhum. Ayat ini turun sebagai perintah agar menyampaikan kata-kata yang baik terhadap orang yang menghadiri pembagian waris.[1]
2. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini turun sebelum diturunkan ayat waris. Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh Qatadah (60-117H), keberlakukannya dimansuh oleh ayat warits.[2] Namun diriwayatkan oleh al-Bukhari, dari Ibn Abbas,[3] bahwa ayat ini tetap berlaku, tidak dimansukh, sebagai perintah agar ahli waris memberikan sebagian harta peninggalan al-marhum kepada kerabat yang tidak mendapatkan warisan.
D. Tafsir Sekilas
1. وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ
Ayat ini berkaitan dengan perintah kepada ahli waris agar memberikan sebagian hartanya kepada orang yang tidak mendapat bagian tertentu karena terhalang oleh yang lebih dekat dengan al-Marhum. Adapun jumlah harta yang diberikan tergantung pada kerelaan ahli waris yang disepakati sebelum pembagian waris dilaksanakan.[4] Perkataan وَإِذَا حَضَرَ apabila hadir, mengandung ma’na masih ada, apakah hadir secara fisik ketika pembagian ataukah tidak. Namun al-Syafi’I (w.204H), berpendapat bahwa yang berhak menerima bagian itu hanya orang yang menghadiri pembagian warisan. Orang yang tidak menghadirinya, dan bukan ahli waris, tidak perlu mendapat pemberian.[5]
Perkataan الْقِسْمَةَ , menurut al-Zuhayli ialah قِسمة التركة بَيْن الورثة , tatkala membagi waris.[6] Namun, sebagaimana dikutip Ibn Katsir, ada pula ulama yang berpendapat, kalimat tersebut menunjukkan waktu pembagian harta wasiat.[7]
2. أُولُو الْقُرْبَى
Menurut Al-Baydlawi (w.791H),[8] أولو القربى ممن لا يرث orang yang tidak mendapat bagian tertentu. Oleh Al-Wahidi (w.468H),[9] ditandaskan mereka itu kerabat yang mahjub atau terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat.
Kalimat أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ menunjukkan bahwa ada tiga kelompok yang menjadi mustahiq pemberian harta warisan di luar ahli waris itu. Al-Jaza`iri,[10] mengartikan أُولُو الْقُرْبَى dengan أصْحَاب القَرابَات الذِيْن لاَيَرِثُوْن لِبُعْدِهِم عَن عمُودي النَّسَبِ kaum kerabat, adalah orang yang ada hubungan persaudaraan dengan al-Marhum, tapi tidak mendapat warisan karena juhnya dari hubungan nasab dan terhalang oleh yang lebih dekat sehingga tidak mendapat bagian.
3. وَالْيَتَامَى
وَالْيَتَامَى bentuk jama dari اليتيم Yang dimaksud dengan anak yatim, boleh jadi ada hubungan persudaraan ataukah tidak, tapi haknya diberikan melalui walinya, karena tidak dibenarkan memberikan harta kepada yang masih belum dewasa.[11] Kasus anak yatim yang tidak mendapat wrisan yang perlu diberi utamanya, cucu al-Marhum dari anak yang sudah wafat, sedangkan anaknya yang lain, ada yang masih hidup. Status cucu yang demikian tidak mendapat bagian, karena terhalang oleh anak yang masih hidup.
4. وَالْمَسَاكِينُ
Perkataan وَالْمَسَاكِينُ merupakan bentuk jama dari المسكين orang miskin baik ada hubungan kerabat ataukah tidak. Dengan demikian harta warisan bukan hanya milik keluarga, tapi juga ada kewajiban sosial untuk menyantuni orang yang membutuhkan. Adapun ma’na miskin, lebih jelasnya dapat dilihat pada beberapa definisi sebagai berikut.
MUFASIR |
MA’NA MISKIN |
ARTINYA |
Syihab al-Din al-Mishri (853-915H)[12] |
مسكين وهو مفعيل من السكون وهو الذي سكنه الفقر أي قلل حركته |
Miskin merupakan kata jadian dari سكون yang berarti terdiam. Miskin adalah orang yang terdiam karena kefakirannya, atau sempit ruang gerak kerjanya |
Al-Jaza`iri[13] |
فقير ليس له ما يكفيه ويسأل النَّاس ويذل نفسه بالسؤال |
Miskin adalah yang sangat membutuhkan. Ia tidak memiliki kekayaan yang memberi kecuckupan. Minta kepada manusia menimbulkan kehinaan. |
Mahmud Hijazi (1372H)[14] |
عَديم الحركة من حاجته وضعفه |
Orang yang kehilangan ruang kerja. Penuh kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya |
Tentang orang miskin, tersirat pula dalam hadits berikut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ
Dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa Rasul SAW bersabda: Bukanlah orang miskin; orang yang berkeliling pada manusia yang mendapatkan satu atau dua suap makanan, satu atau dua butir kurma. Orang miskin adalah yang tidak memiliki kecukupan untuk menghidupi dan tidak mempunyai kemampuan. Hendaklah bersedekah padanya. Dia juga tidak minta-minta pada manusia. Hr. al-Bukhari (w.256H), Muslim (w.261H) dan Abu Dawud (w.275H).[15]
5. فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ
Perkataan فَارْزُقُوهُمْjelas dalam, bentuk perintah, yang asal hukumnya menjadi wajib. Tegasnya ahli waris berkewajiban memberi kepada orang yang berkaitan dengan al-Marhum, tapi tidak mempunyai hak waris karena terhalang oleh yang lebih dekat. Sedangkan kalimat مِنْهُ berisyarat pada harta yang ditinggalkan al-marhum. Al-Zarqani,[16] menandaskan bahwa tersurat dalam ayat ini secara jelas perintah memberikan sebgian harta peninggalan al-marhum kepada kaum kerabat, orang miskin, anak yatim yang hadir pada waktu pembagian waris.
Pemberian yang ditandaskan فَارْزُقُوهُمْ tersebut dilakukan sebelum harta warisannya dibagikan kepada ahli waris.[17] Sedangkan perkataan مِنْهُ berma’na harta yang diberikan itu sebgian dari harta warisan al-marhum.[18] Dengan demikian orang yang berhak menerima harta peninggalan al-Marhum itu terdiri atas ahli waris, sebagaimana akan diterangkan pada ayat 11-12 serta ayat 176, dan yang bukan ahli waris yaitu yang tersirat pada ayat 8 ini.[19] Bedanya adalah, bahwa ahli waris mendapat bagian tertentu, sedangkan bukan ahli waris jumlahnya ditentukan oleh kesepakatan ahli waris.
6. وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Pengunci ayat yang berbunyi وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوفًا memerintahkan agar ahli waris bersikap dan berucap baik kepada keluarga lain utamanya terhadap yang tidak menerima bagian. Perkataan yang ma’ruf di sini yang dianggap baik secara hukum, atau pun etika kesopanan dan adat kebiasaan. Kata-kata yang baik perlu disampaikan kepada keluarga yang tidak mendapat warisan, supaya mereka mengerti dan tidak menimbulkan kecemburuan.
Menurut al-Baydlawi قَوْلاً مَعْرُوفًاialah
تطيب بِهَا نُفُوسهُم وَالمعْرُوف مَا عَرَفَه الشَّرْعُ أو العَقْل بِالْحَسن
Kata-kata yang indah menyentuh hati mereka hingga senang. Al-Ma’ruf ialah yang diakui kebaikannya oleh syari’ah dan akal fikiran manusia.[20]
Pada halaman lain,[21] ditandaskan olehnya, bahwa perkatan baik yang disampaikan kepada mereka itu yang menyenangkan mereka sehingga merasa cukup dan puas atas apa yang diberikan.
E. Beberapa Ibrah
1. Sebelum membagi waris mesti dipenuhi dahulu hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab al-Marhum seperti, utang, wasiat, zakat, dan biaya pengurusan jenazah.
2. Harta warisan al-Marhum menjadi hak milik ahli waris. Namun ahli waris tidak hanya membagikan hartanya kepada yang berhak menrima warisan, tapi juga mesti memberikan sebagiannya kepada yang tidak mendapat bagian, seperti kerabat, anak yatim dan kaum kerabat al-Marhum.
3. Harta warisan tidak sama dengan harta temuan, karena merupakan amanah dari Allah SWT dan dari al-Marhum yang mewariskannya.
4. Jumlah yang diberikan kepada kaum kerabat, anak yatim dan orang miskin ditentukan oleh kesepakatan ahli waris.
5. Ahli waris mesti menympaikan penjelasan secara baik tentang hak dan tanggung jawabnya, kepada yang bukan ahli waris.
[1] Abu al-Fadlal Syihab al-Din (773-852H), al-‘Ijab fi bayan al-Asbab, II h.837
[2] al-Nasih wa al-Mansukh li Qatadah, I h.38
[3] Shahih al-Bukhari, IV h.1669
[4] Tafsir al-Maraghi, IV h.192
[5] Ahkam al-Qur`an, I h.147
[6] al-Tafsir al-Munir, IV h.262
[7] Tafsir Ibn Katsir, I h.456
[8] Tafsir al-Baydlawi, II h.151
[9] Al-Wajiz Fi Tafsir al-Kitab al-Aziz, I h.253
[10] al-Jaza`iri, Aysar al-Tafasir, I h.439
[11] perhatikan kembali tafsir Qs.4:5-6 yang dijelaskan terdahulu.
[12] Al-Tibyan fi Tafsir Gharib al-Qur`an, I h.96
[13] Aysar al-Tafasir, II h.384
[14] al-Tafsir al-Wadlih, X h.61
[15] Shahih al-Bukhari, II h.538, Shahih Muslim, II h.719, Sunan Abi Dawud, II h.118
[16] Manahil al-Irfan, II h.188
[17] al-Baghawi, I h.397 / al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, IV h.260
[18] Tafsir Abi Su’ud, II h.147
[19] al-Syawkani (1173-1250H), Fath al-Qadir, I h.428
[20] Tafsir al-Baydlawi, II h.148
[21] Tafsir al-Baydlawi, IV h.373