al-Nisa:09 (TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP ANAK)
TANGGUNG JAWAB ORANG TUA
Kajian tafsir AL-Nisa: 09
- Teks Ayat dan tarjamahnya
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Qs.4: 09
- Kaitan dengan ayat lain
- Pada ayat 8 terdapat perintah untuk memberikan sebagian harta kepada kaum kerabat, anak yatim dan orang miskin yang tidak akan mendapat warisan. Ayat 9 ini memberikan bimbingan bahwa perlunya mempersiapkan kesejahteraan turunan. Jangan sampai ada anak yang ditinggal wafat dalam keadaan lemah kesejahteraannya.
- Ayat-ayat sebelumnya berkaitan dengan masalah tanggung jawab orang dewasa terhadap generasi penerus yang bersifat materi. Dalam ayat 9 ini tersirat bahwa tanggung jawab terhadap turunan, bukan hanya bersifat materi, tapi juga immateri seperti pendidikan dan pembinaan taqwa.
- Tinjauan Historis
Secara historis ayat ini turun berkaitan dengan ada seorang laki-laki mendekati mati mewasiatkan hartanya kepada kaum kerabat. Jika wasiat tersebut dipenuhi oleh ahli warisnya bakal mengakibatkan lemah ekonomi keturunannya. Ayat ini menganjurkan agar setiap orang tua memikirkan pula nasib turunannya, jangan sampai terjerumus pada kemiskinan akibat tidak mendapat warisan karena dihabiskan.[1]
- Tafsir Kalimat
- وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًاhendaklah ada rasa takut pada mereka sekiranya meninggalkan keturunan tidak berdaya sepeninggal mereka.
وَلْيَخْشَ berma’na takut di kala aman.[2] Dengan kata lain rasa takutnya bukan karena suana terancam perang atau bencana, melainkan kekhawatiran terhadap yang bakal terjadi.
لَوْ تَرَكُوا seandainya meninggalkan anak yatim مِنْ خَلْفِهِمْ sepeninggal mereka ذُرِّيَّةً ضِعَافًاsebagai keturunan yang tidak berdaya, karena tidak memiliki bekal untuk kesejahteraannya. Utamnya, orang tua mesti khawatir, jika keturunan itu ditinggal wafat dalam usia masih kecil. Mereka juga hendaknya mempersiapkan generasi penerus yang berkualitas baik dalam bidang ekonomi maupun pendidikannya.
- خَافُوا عَلَيْهِمْ khawatir akan nasib mereka. Kekhawatiran semcam ini sangat diperlukan, bukan hanya dalam perasaan tapi dimanifestasikan dalam usaha. Setelah sebelumnya menggunakan kalimat يَخْشَ yang berarti takut di kala aman, kemudian dirangkaikan dengan kata خَوْف yang menunjukkan kecemasan akan ancaman. Dengan demikian orang tua seyogyanya merasa khawatir, kalau keturunannya terancam oleh kemiskinan, baik harta maupun ilmu.
- فَلْيَتَّقُوا اللَّهَmaka bertakwalah kepada Allah.
Taqwa merupakan bekal utama dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, untuk menghindari keterpurukan turunan, mesti membekali mereka dengan taqwa. Taqwa pada prinsipnya adalah menjaga diri dari hal-hal yang menimbulkan akibat negatif, baik di dunia maupun di akhirat.
- وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا dan sampaikanlah kepada mereka perkataan yang bernilai baik.
سَدِيدًا berarti صّوَابًا مُحْكَمًا benar, tepat dan jelas, مُوَافَقًا لِلدِّيْن sesauai dengan ajaran agama.[3] Pengunci ayat ini mengisyaratkan adanya tanggung jawab orang tua untuk mendidik anaknya secara baik dan benar. Dengan demikian rumah tangga juga merupakan lembaga pendidikan yang utama.
- Beberapa Ibrah
- Essensi Ayat
Esseni Qs.4:9 antara lain (1) setiap orang tua hendaknya merasa khawatir jika meninggalkan keturunanya dalam keadaan lemah, (2) mewujudkan generasi berkualitas merupakan tanggung jawab orang tua, (3) bekal yang paling utama disediakan pada generasi muda adalah taqwa dan pendidikan yang baik.
- Tanggung jawab orang tua terhadap anak
Tanggung jawab orang tua terhadap berdasar tahapan usianya antara lain sebagai berikut
- Pendidikan anak masa konsepsi
Allah SWT berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”, atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” Qs.7:172-173
Abu Bakr al-Jazairi (1993M), menerangkan bahwa perjanjian manusia dengan Allah SWT tentang tauhid dan menjauhi syirk diawali oleh Nabi Adam alaih al-Salam[4], ketika turun ke bumi bertempat di wadi Nu’man di kawasan padang Arafah.[5] Menurut Wahbah al-Zuhaili (1991 M),[6] ayat ini memberikan isyarat antara lain (1) Allah menciptakan manusia atas fithrah tauhid, karena telah berikrar sejak seblum dilahirkan akan keesaan tuhannya dan tidak ada sekutu bagi-Nya. (2) Manusia tidak mempunyai alasan untuk tidak mengetahui tuhan karena telah melihat bukti-buktinya dengan berbagai ayat. Tidak ada alasan pula bagi manusia yang mengatakan tidak sampai da’wah Rasul padanya. Allah SWT telah memberikan bekal aqal untuk memilih mana yang benar mana yang salah. (3) Jika ada bayi yang masih kecil meninggal, maka menjadi ahli surga, karena dalam keadaan tauhid yang diikrarkannya. Jika mereka telah baligh, maka perjanjian awal tidak menjadikan alasan untuk bebas dari tuntutan. (4) ayat ini juga membatalkan alasan orang musyrik pada hari kiamat yang menyatakan tidak sampai da’wah pada mereka. (5) menyandarkan kesalahan aqidah pada nenek moyang juga dibatalkan oleh ayat ini, karena manusia telah dibekali fikiran dan perasaan untuk mempertimbangkan dalail-dlil ketauhidan. (6) Allah SWT tidak menerima dalil taqlid, karena telah datang dwengan jelas dasar-dasar fithriyah dan aqliyah yang menunjukkan keesaan Allah SWT.
Nabi Adam a.s, telah berikrar mewakili keturunannya untuk bertauhid dan menjauhi syirik, sebagai model bagi keturunannya. Dengan demikian setiap orang dewasa bertanggung jawab mendidik anak sejak dini untuk bertauhid. Bahkan mereka bertanggung jawab mempersiapkan anak sebelum dilahirkan, agar bertauhid. Inilah salah satu makna dari do’a agar anaknya dijauhkan dari setan yang dipanjatkan suami istri tatkala mau berjima. Ibn Abbas (3 sH – 68 H), meriwayatkan bahwa Rasul SAW bersabda:
لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا
Jika seseorang hendak bergul suami istri berdo’a:
بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkan kami dari setan dan jauhkan setan dari apa yng Engau anugerhkan kepada kami.” Maka jika Allah SWT menganugerahi anak pada mereka, akan terhindar dari godaan setan. Hr. al-Bukhari, Muslim,[7] dan Ibn Hibban (w.354 H), [8]
- Pendidikan anak ketika dikandung
Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ ءَاتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: “Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang shalih, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”. Qs.7:189
Mahmud Hijazi berpendapat bahwa ayat ini memberikan penjelasan tentang Allah SWT menciptakan menusia dari jenis sama, tabi’at yang satu, kemudian berpasangan suami isteri, agar meraih ketenangan. Tatkala pasangan itu bergaul menmbulkan kehamilan yng semakin besas. Di kala istrinya hamil, maka suami isteri itu berdo’a dan berjanji, andaikan keturunnya itu shalih, akan bersyukur.[9] Berdasar ayat ini pendidikan anak dalam kandungan dengan cara banyak berdo’a, bersyukur, dan menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan syari’ah.
- Pendidikan anak pasca dilahirkan.
Allah SWT berfirman :
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo`a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni`mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. Qs.46:15
Berdasar ayat ini; (1) orang dewasa mesti menyambut kehamilan secara senang dan bersyukur, (2) jarak antara anak yang satu dengan yang lainnya tidak kurang dari tiga puluh bulan, (3) ibu menyusui anaknya selama dua tahun, (4) membimbing anaknya menghadapi masa depan, bahkan hingga usia empat puluh tahun, (5) ketika orang berusia empat puluh tahun idealnya sudah merasa tenang dan senang hingga bersyukur atas keberhasilan mendidik anaknya, (6) sebagai anak merasa bahagia atas ni’mat yang dianugrahlkan Allah SWT kepada dirinya mau pun pada orang tuanya, (7) anak selalu berbuat ihsan kepada orang tuanya yang dirasakan mereka sangat berjasa.
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهَا حَمَلَتْ بِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ بِمَكَّةَ قَالَتْ فَخَرَجْتُ وَأَنَا مُتِمٌّ فَأَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَنَزَلْتُ قُبَاءً فَوَلَدْتُ بِقُبَاءٍ ثُمَّ أَتَيْتُ بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعْتُهُ فِي حَجْرِهِ ثُمَّ دَعَا بِتَمْرَةٍ فَمَضَغَهَا ثُمَّ تَفَلَ فِي فِيهِ فَكَانَ أَوَّلَ شَيْءٍ دَخَلَ جَوْفَهُ رِيقُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ حَنَّكَهُ بِالتَّمْرَةِ ثُمَّ دَعَا لَهُ فَبَرَّكَ عَلَيْهِ وَكَانَ أَوَّلَ مَوْلُودٍ وُلِدَ فِي الْإِسْلَامِ
Diriwayatkan dari Asma putri Abi Bakr r.a, bahwa ia mengandung Abbd Allah bin Zubair di Mekah. Dia menerangkan: Saya hijrah ke Madinah ketika hamil tua, dan melahirkan di Quba. Saya hadapkan bayi itu kepada Rasul SAW. Beliau meletakannya dipangkuannya dan minta kurma lalu mengunyahnya, kemudian menyuapi bayi saya itu, sebagai makanan pertama yang bercampur dengan air liur Rasul SAW. Kemudian Nabi SAW berdo’a untuk keberkahan bagi bayi. Hr. Ahmad (164-241 H), al-Bukhri, Muslim, dan al-Baihaqi (384-457 H).[10]
Dengan demikian orang tua hendaknya mendo’kan bayi yang baru lahir agar mendapat perlindungan Allah dan memperoleh keberkahan.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ ثُمَّ يَقُولُ كَانَ أَبُوكُمْ يُعَوِّذُ بِهِمَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَقَ
Dari Ibn Abbas diriwayatkan bahwa Rasul SAW memohonkan perlindungan bagi Hasan dan Husain (tatkala dilahirkan). Beliau berdo’a:
أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّة
“Aku memohonkan perlindungan dengan kalimah Allah yang sempurna dari segala gangguan setan”. Beliau juga menandskan bahwa cara demikian dilakukan oleh Nabi ibrahim untuk ptranya; Isma’il dan Ishaq. Hr. Abi Daud (202-275 H),[11] dan al-Thabarani (260-360H).[12]
Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang tua mesti selalu melindungi anaknya dari segala godaan, gangguan dan pengaruh negatif setan. Sedangkan setan itu terdiri dari setan jin dan setan manusia. [13]
Al-Mubarakfuri (1283-1353H), berpendapat bahwa yang dimohonkan rasul dalam do’a kelahiran itu agar bayi mendapat perlindungan Allah dari segala pengaruh negatif, dan ancaman, baik yang datang dari dalam diri, seperti setan jin maupun dari luar seperti ucapan dan lingkungan manusia.[14]
- Nama dan aqiqah tatkala bayi berusia tujuh hari
Samurah bin Jundab meriwayatkan bahwa Rasul SAW bersabda:
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ رَأسُهُ وَيُسَمَّى
Setiap bayi tergadai oleh aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya, kemudian menggunduli rambut kepalanya dan memberi nama. Hr. al-Nasa’iy (215-303 H), [15]
Abu al-Thayib menandaskan bahwa berdasar hadits ini aqiqah disyari’ahkan pada hari ketujuh, tidak disyari;ahkan sbelum atau sesudahnya, walau ada yang berpendapat diperbolehkan pada keempat belas, atau dua puluh satu.[16] Penyembelihan aqiqah dan penggundulan rambut bayi tatkala berusia tujuh hari berkaitan pula dengan pendidikan tasyakur untuk memberi manfaat pada orang lain serta kebersihan lahir dan batin.
- Anak usia tujuh tahun diperintah Shalat
مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاء لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْر سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِيْ المَضَاجِعِ
Perintahlah anak-anakmu untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukulah mereka bila tidak mau shalat ketika berusia sepuluh tahun, pisahkanlah di antara mereka tempat tidurnya. Hr. Ahmad, Abu Daud (I h. 133) dan Al-Baihaqi (2: 268) Majah dari Ibnu Umar. [17]
Implikasi hadits ini terhadap pendidikan pranikah antara lain:
(1) Pendidikan ibadah harus dilekukan sejak dini, agar ketika umur anak tujuh tahun, tinggal memerintah. Bagaimana mungkin pada usia tersebut bisa diperintah jika mereka belum bisa melakukannya. (2) Shalat yang sempurna harus memenuhi syarat dan rukunnya, seperti bersih dari hadats dan najis, menutup aurat, menghadap kiblat, membaca al-Qur’an. Semua itu harus telag diketahui sebelum berusia tujuh tahun. (3) Shaf shalat berjamaah pria berbeda dengan wanita, maka anak berusia tujuh tahun harus sudah mengetahui seks. (4) Dalam berjamaah ada tata tertib imamah, maka pendidikan kepemimpinan dilakukan sejak dini. (5) Anak yang berumur sepuluh tahun menurut hadits ini harus ditindak bila tidak disiplin dalam beribadah, serta dipisahkan tempat tidurnya. Dengan demikian pendidikan kedewasaan berkeluarga harus dilakukan sejak berusia sepuluh tahun. Implikasi hadits ini ada kaitan pula dengan Qs.4:6 yang lalu.
[1] Ibn Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan, IV h.269
[2] al-Jaza`iri, Aysar al-Tafasir, I h.439
[3] al-Tafsir al-Munir, IV h.260
[4] alaih al-salam: semoga Allah mencurahkan keselematan baginya, selanjutnya ditulis: a.s.
[5] al-Jazairi, Aysar al-Tafasir, (Madinah, 1993M, Nahr al-Khair), II h.260
[6] al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, (Damascus,1991M, Dar al-Fikr), IX h.160
[7] Shahih al-Bukhari, III h.1193; Shahih Muslim, II h.1058
[8] Muhammd bin Hibban, Shahih Ibn Hibban, (Muassasah al-Risalah, 1993), III h.263
[9] Mahmud Hijazi, al-Tafsir al-Wadlih, (Cairo, 1669 M, al-Istiqlal), IX h.50
[10] Musnad Ahmad, VI h.347, Shahih al-Bukhari, V h.2081, Shahih Muslim, III h.1691, dan Sunan al-Baihaqi, VI h.204
[11]ِAbu Daud Sulaiman bn al-Asy’as, Sunan Abi Daud, (Beirut, dar al-Fikr) IV h.235
[12] Abu al-Qasim al-Thabarani, al-Mu’jam al-Ausath, (Cairo, Dar al-Haramain) V h.101
[13] lihat Qs. 6:112 dan Qs. 114
[14] Muhammad Abd al-Rahman bin Abd al-Rahim al-Mubarakfuri, Tauhfat al-Ahwadzi, (Beirut, Dar al-Kutub) VI, h.184
[15] Ahmad bin Syi’ab al-Nasaiy, al-Sunan al-Kubra, (Beirut,1991 M, Dar al-Kutub), III h.77
[16] Muhammad Syams al-Haq, Abu Thayyib, ‘Aun al-Ma’bud, (Beirut, 1415H, Dar al-Kutub), VIII h.28
[17] Ahmad Bin Hanbal (124H-241H), Musnad Ahmad, (Mesir, Muassasah Qurthubah) j. 2 h. 187.