ALI IMRAN: 05-09 (LUASNYA PENGETAHUAN ALLAH SWT TERBATASNYA PENGETAHUAN MANUSIA)
LUASNYA PENGETAHUAN ALLAH SWT TERBATASNYA PENGETAHUN MANUSIA
(kajian tafsir ali imran: 05-09)
A. Teks Ayat dan Tarjamahnya
إِنَّ اللهَ لاَ يَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ(*)هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ لاَ إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ(*)هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ(*) رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ(*)رَبَّنَا إِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لاَ رَيْبَ فِيهِ إِنَّ اللهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ(*)
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit. Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya”. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. Qs.3:5-9
B. Kaitan dengan Ayat Sebelumnya
1. Pada ayat 2 ditegaskan tentang kekuasaan Allah SWT yang Maha Esa, Maha Hidup, Maha Menentukan. Ayat 5 dan 6 mengungkap bukti kekuasaan Allah yang lainnya yaitu Maha Tahu, Maha Pencipta, Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
2. Ayat 3 dan 4 menginformasikan bahwa kitab yang diturunkan Allah, baik al-Qur`an, Taurat maupun Injil merupakan pedoman hidup yang mesti ditaati manusia. Ayat 5, seakan menegaskan bahwa Allah sebagai pengawasnya, apakah manusia itu menaati segala ketentuan kitab-Nya ataukah tidak, karena tidak ada yang tersemubyi bagi-Nya.
3. Pada ayat 4 tersirat, bahwa ada manusia yang tidak menaati kitab Allah, dengan cara mendustakannya. Ayat 7 mengungkap manusia yang baik dan yang buruk. Yang baik adalah yang tunduk pada ayat Muhkamat, yang buruk adalah yang mencari-cari kesamaran dalam al-Qur`an.
4. Pada ayat 3 dan 4 dikemukakan fungsi al-Qur`an diturunkan sebagai hudan, Furqan, dan mushaddiqan. Pada ayat 7 dikemukakan bahwa al-Qur`an yang menjadi petunjuk dan Furqan itu ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat.
5. Pada penghujung ayat 4 diungkap nasib orang yang mendustakan ayat, bakal terjerumus pada siksa yang sangat menyakitkan. Pada ayat 7 diterangkan sifat dan derajat yang beriman kepada ayat dan faham akan isi kandungannya, sebagai ulu al-Albab.
C. Tafsir Sekilas
1. إِنَّ اللهَ لاَ يَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.
Seperti telah dikemukakan pada ayat sebelumnya bahwa Allah menurunkan kitab sebagai pedoman hidup bagi manusia. Manusia yang taat atau pun yang mendustakan ayat bakal diketahui betul oleh Allah SWT, karena tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Mungkin di antara manusia ada yang tidak jujur, hingga pura-pura beriman. Boleh jadi ada manusia yang kufur, tapi menampakkan iman, mereka merasa tidak diawasi. Mungkin juga ada yang mu`min, tapi karena terpaksa menyembunyikan keimanannya, semua itu diketahui Allah SWT. Pengetahun Allah menembus segala sesuatu, termasuk pada bagian yang terkecil yang tidak bisa dipecahkan lagi, baik yang lahir maupun yang ghaib.[1]
2. هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ لاَ إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dialah Allah yang يُصَوِّرُكُمْ (membentuk). Perkataan صَوَّر – يُصّوِّر- تَصْوِير adalah جَعَلَ الشَّيْء عَلَى صُوْرَةٍ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا (menjadikan sesuatu pada suatu bentuk yang beda dengan aslinya). الأرْحَام merupakan bentuk jama dari رَحِم yaitu tempat janin dari anggota tubuh perempuan.[2] كَيْفَ يَشَاءُ (sesuai kehendak-Nya), karena tidak ada satu pun yang bisa ikut campur, apakah yang di rahim ibu itu akan dijadikan perempuan, laki-laki, bagus, jelek, besar atau pun kecil. Semua itu hanya atas ketetapan Allah SWT. Bahkan bisa saja di awal kejadian pertemuan sperma laki-laki dengan sel telur perempuan, berjenis kelamin wanita, kemudian di hari selanjutnya dijadikan Allah sebagai laki-laki. Siapa pun tidak akan bisa menghalanginya. لاَ إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ tiada tuhan selain-Nya yang maha perkasa lagi Bijaksana. Semua kehendak Allah sesuai dengan kekuasaan keperkasaan dan kebijaksanaan-Nya.
3. هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Dalam pangkal ayat ini digunakan istilah al-Kitab pada al-Qur`an, karena sudah tertulis, baik al-Lauh al-Mahfuzh, maupun di jaman rasul SAW hingga akhir zaman. Wahyu yang diturunkan pada awal kerasulan Nabi Muhammad SAW biasanya menyebut kitab ini dengan al-Qur`an. Namun ayat-ayat yang diturunkan mendekati peristiwa hijrah banyak menyebut al-Qur`an dengan nama al-Kitab, utamanya setelah surat al-A’raf, sampai wahyu yang diturunkan mendekati Rasul SAW wafat. Al-Qur`an sudah dicatat sejak awal kenabian Rasul SAW, utamanya setalah Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah masuk Islam.
4. مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an
Perkataan مِنْهُ (darinya), menunjukkan tidak semua ayat al-Qur`an melainkan hanya sebagiannya saja yang muhkamat. Namun tidak mengisyaratkan apakah sebagian kecil atau sebagian besar dari al-Qur`an, yang muhkamat itu. Menurut al-Shabuni, ayat مُحْكَمَات ialah آيَات وَاضِحَات الدِّلاَلَة لا التِبَاس فِيْهَا وَلاَ غمُوض كآيَات الحَلال و الحَرَام (ayat yang jelas ma’na dan petunjuknya, mudah difahami, tidak samar).[3] Ayat yang demikian itu, merupakan أُمُّ الكِتَاب (induk kitab).
5. وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Kalimat ini menunjukkan bahwa ayat yang tidak muhkam, berarti matasyabih. Menurut al-Jaza`iri, مُتَشَابِهَات ialah ayat yang غَيْر ظَاهِرة الدِّلاَلَة مُحْتَمَلَة لِمَعَانٍ يَصْعُب عَلَى غَيْرِ الرَّاسِخِيْن فِي العِلْمِ القَول فِيْهَا ( yang tidak nampak ma’na dan petunjukknya, mencakup berbagai arti yang sulit difahami oleh orang awam yang tidak cerdas dalam keilmuan untuk menguraikannya).[4] Mana yang mutasyabihat, mana pula yang muhkamat, tidak ditemukan pembagiannya baik dalam al-Qur`an maupun al-Sunnah. Namun dalam al-Qur`an sendiri, terkadang dikemukakan bahwa ayat itu semuanya muhkamat, sebagaimana ditegaskan oleh firman-Nya, كتاب أحكمت آياته (Qs.11:1), terkadang disebut bahwa semua ayat itu Mutasyabihat, seperti tersirat pada firman-Nya, نزل أحسن الحديث كتابا متشابها (Qs.39:23), dan pada ayat ini (Qs.3:7) dikemukan bahwa ayat itu ada yang mutasyabihat ada pula yang muhkamat.[5] Mungkinkah suatu ayat itu dianggap mutasyabihat, karena kurang memahami, oleh seseorang, dan dianggap muhkamat oleh yang lain, karena sudah memahaminya? Mungkinkah suatu ayat itu dianggap mutasyabihat pada jaman tertentu, karena bukti pengetahuan belum ditemukan, dan dianggap muhkamat pada suatu saat, karena penyelidikan sudah menemukan penjelasnya?[6]
6. فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya,
Setelah Allah SWT menjelaskan tentang sifat al-Qur`an, maka pada kalimat ini dijelaskan sikap manusia terhadap ayat. Ada di antara manusia yang sengaja mencari ayat yang kurang jelas artinya supaya bisa mereka selewengkan dan samarkan ma’nanya. Orang yang demikian itu sudah menderita penyakit زَيْغ dalam hatinya, yaitu مَيْل عَنِ الحَقِّ إلَى الأَهْواء البَاطِلَةِ (mempunyai kecenderungan menyimpang dari kebenaran dan senang pada kesesatan).[7] Yang dikejar mereka hanyalah kegoncangan di kalangan umat.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَلاَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمْ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ
Dari A`isyah diriwiyatkan bahwa Rasul SAW membaca هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ dan setersunya (Qs.3:7) ini, kemudian bersabda: Jika kalian melihat orang yang sengaja mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, itulah yang dinamakan Allah pada ayat ini, maka waspadailah mereka! Hr. Muslim.
Dalam riwayat lain, diterangkan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَلا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ إِلَى قَوْلِهِ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُوا الْأَلْبَابِ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِذَا رَأَيْتُمْ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِيهِ فَهُمْ الَّذِينَ عَنَاهُمْ اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ
Dari Aisyah diriwayatkan, rasul SAW membaca ayat ini (Qs.3:7), lalu bersabda: Hai Aisyah jika kamu melihat orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat itu, mereka itulah yang disebutkan Allah, maka waspadailah! Hr. Ibn Majah
7. وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إلاَّا اللهُ padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah.
Yang tahu betul ta`wil yang sebenarnya hanyalah Allah SWT. Kalimat apa pun, yang paling tahu maksudnya hanyalah yang menyusunnya. Al-Qur`an adalah firman Allah, maka tentu saja hanya Dia yang maha tahu ma’nanya.
8. وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat,
Ada mufasir yang beranggapan bahwa huruf وَ (dan), pada kalimat ini masih sambungan dengan kalimat sebelumnya. Artinya yang mengetahui ta`wil ayat adalah Allah SWT dan orang-orang yang berilmu. Namun ada pula huruf و pada kalimat ini berfungsi isti`naf (awal kalimat), artinya yang tahu ta`wil hanya Allah, sedangkan yang berilmu hanya beriman. Secara historis, menurut Ibn hajar, pujian ayat ini tertuju kepada Abd Allah bin Salam, walau keturunan yahudi, dia langsung menyatakan iman kepada ayat yang diturunkan. Namun Ibn Abbas juga diterangkan sebagai shahabat yang faham tentang ta`wil ayat dan masuk pada al-Rasikhun,[8] juga Zaid bin Tsabit.[9] Rasul SAW, sebagai mana diriwayatkan oleh Maimunah mendo’akan Ibn Abbas dengan اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأوِيْل (ya Allah jadikanlah Ibn Abbas yang faham agama dan ajarilah dia tahu tentang ta`wil).[10] Dengan demikian al-Rasikhun akan mengetahui ta`wil.
9. كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”
Orang yang cerdas dan memndalam ilmunya, yang mengetahui ta`wil akan semakin yakin pada kebenaran ayat mana pun baik yang muhkamat maupunmutasyabihat, maka mereka mengatakan كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا (semua itu datang dari Allah tuhan kami). Ucapan ini muncul dari lubuk hati yang mendalam, orang yang cerdik dan mendalam imunya, sebagai bukti keimanan dengan pengertian, bukan karena ikut-ikutan. Oleh karena itu setiap muslim dituntut berusaha untuk memahami segala isi al-Qur`an secara mendalam. Namun jika ada yang belum difahami, jangan mencari-cari ta`wil dengan menduga-duga, tapi amalkan yang sudah difahami. Diriwayatkan dari Abd Allah bin Amr bin Ash (w. 63H), bahwa di antara shahabat ada yang berdebat mempertentangkan antara satu ayat dengan ayat yang lain, sehingga meninggikan suaranya dan terdengar oleh Rasul SAW yang menandaskan bahwa umat terdahulu pun banyak celaka diakibatkan bertentangan dengan nabi. selanjutnya Rasul SAW bersabda:
إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضًا بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ فَاعْمَلُوا بِهِ وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ فَرُدُّوهُ إِلَى عَالِمِهِ
Sesungguhnya al-Qur`an tida turun untuk mendustakan yang satu dengan yang lainnya, tapi untuk membenarkan satu sama lain. Apa yang kalian ketahui darinya amalkanlah, dan apa yang belum kalian ketahui darinya kembalikan kepada yang tahu. Hr. Ahmad dan ibn Hibban.[11]
اِنَّ القُرْآن لَمْ يَنْزِلْ لِيُكَذِّبَ بَعْضُهُ بَعْضًا وَلكِنْ نَزَل لِيُصَدِّقَ بَعْضُهُ بَعْضًا فَمَا كَانَ مِنْ مُحْكَمِهِ فَأعْمَلُوْا بِهِ وَمَا كَان مِنْ مُتَشَابِهِهِ فَآمِنُوْا بِه
Sesungguhnya al-Qur`an tidak turun untuk mendustakan yang satu pada yang lain, tapi untuk membenarkan yang satu pada yang lainnya. Maka apa yang sudah jelas darinya amalkanlah, dan yang mutasyabihat imanilah. Hr. al-Harits bin Usamah (186-282H), al-Haytsami[12]
10.وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Oleh karena itu hanya orang yang berakal yang pat mengambil pelajaran. Orang yang tidak berfikir, yang tidak berusaha untuk cerdas, tidak akan mampu mengambil pelajaran.
11. رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ(Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” رَبَّنَا إِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لاَ رَيْبَ فِيهِ إِنَّ اللهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ”Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya”. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. Qs.3:5-9
Orang yang al-rasikhun, selalu berusaha meningkatkan keimanannya dan mengikuti petunjuk Allah SWT, baik dengan dzikir maupun berfikir. Karena kesadaran tersebut mereka bermohon agar tetap berada pada petunjuk-Nya, dan meraih rahmat dari-Nya.
Inti do’a ini antara lain memohon (1) dijauhkan dari kesesatan, (2) tetap dalam petunjuk Allah, (3) rahmat dan kasih sayang-Nya. Sifat al-rasikhun yang tersirat pada ungkapan doa ini antara lain (1) selalu sadar akan kelemahan dirinya, (2) khawatir menyimpang dari hidayah, karena memahami betul isi dan kepentingannya, (3) damba akan rahmat Allah, (4) menyadari akan kemurahan Allah, (5) sadar akan adanya pertanguangan jawab di akhirat, (6) tidak ragu akan hari akhir, (7) yakin betul akan janji Allah, bakal terjadi.
[1] Al-Margahi, tafsir al-Qur`an al-Azhiim, III h.98
[2] Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, III h.145
[3] Muhhamd Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir, I h.184
[4] Abu Bakr al-Jaza`iri, Aysar al-Tafasir, I h.286
[5] Muhammad Abd al-Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan, II h.194
[6] baca kembali uraian kami terdahulu pada Percikan Mutiara al-Qur`an seri al-fatihah bab beberapa Faktor yang menimbulkan perbedaan dalam memahami al-Qur`an.
[7] Al-tafsir al-Munir, III h.150
[8] Muhammad al-Zuhri (168-230H), al-Thabaqat al-Kubra, II h.370
[9] Ibn Hazm (383-456H), al-Muhalla, IX h.270
[10] al-Hakim, al-Mustadrak, III h.615, al-Thabrani (260-360H), al-Mujam al-Awsath, II h.113
[11] Musnad Ahmad, I h.181, Shahih ibn Hibban, I h.275
[12] Musnad al-Harits, / Zawaid al-Haytsami, II h.270