ali-Imran:103 KESATUAN MEMEGANG TALI ALLAH – bagian kedua
KESATUAN MEMEGANG TALI ALLAH
(kajian tafsir ali-Imran:103) bagian kedua
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
4. وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu
Secara histories, ayat ini berkaitan dengan peringatan terhadap kaum khazraj dan kaum Aus yang sempat terprofokasi hingga hamper bermusuhan lagi. Mereka yang sebelum Islam bermusuhan, kemudian menjadi bersaudara terikat oleh ukhuwah Islamiyah. Kesatuan aqidah di antara mereka menjadi ni’mat yang sangat penting. Dengan demikian ni’mat mesti diingat dalam ayat ini adalah ni’mat Islam. Namun tentu saja pengertiannya berlaku umum, agar setiap mu`min selalu mengingat ni’mat yang telah Allah SWT berikan. Menurut al-Baydlawi ni’mat yang paling utama adalah hidayah dan taufiq hingga bahagia ber-Islam, senang berada pada jalan yang terang, dan terbebas dari pengaruh jahilyah yang menyesatkan.[1] Setiap manusia, di samping memiliki kekurangan, juga mempunyai kelebihan, di samping mengalami kesulitan, juga sering memperoleh keni’matan. Untuk meraih kebahagiaan hendaklah banyak mengingat ni’mat, jangan terlalu sering meningat-ingat kesulitan. Dengan banyak mengingat ni’mat akan terdorong untuk bersyukur. Orang yang bersyukur akan mandapatkan kebahagiaan dan berbagai kebaikan. Rasul SAW bersabda:
عَجِبْتُ لِلْمُؤْمِنِ إِذَا أَصَابَهُ خَيْرٌ حَمِدَ اللَّهَ وَشَكَرَ وَإِنْ أَصَابَتْهُ مُصِيبَةٌ حَمِدَ اللهَ وَصَبَرَ فَالْمُؤْمِنُ يُؤْجَرُ فِي كُلِّ أَمْرِهِ حَتَّى يُؤْجَرَ فِي اللُّقْمَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِهِ
Aku sangat kagum atas sifat orang mu`min. Jika ia meraih kebaikan, memuji Allah dengan hamdalah dan bersyukur. Bila terkena mushibat memuji Allah (dengan istirja) dan shabar, maka semuanya jadi pahala; bahkan satu suap yang diberikan pada istrinya mendatangkan pahala. Hr. Ahmad (w.241H), Ibn Humaid (w.249H)[2]
Berdasar hadits ini, factor yang mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan, antara lain (1) syukur tatkala meraih ni’mat, (2) shabar tatkala terkena mushibat, (3) beramal sekecil apa pun bertujuan mengharapkan pahala atau imbalan hanya dari Allah.
Hikmah dari syukur berdasar hadits tersebut antara lain (1) iman meningkat, (2) pahala bertambah, (3) mendatangkan kebaikan yang banyak, (4) meraih bahagia paripurna. Dalam ayat lain ditandaskan :وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُم وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ Ingatlah ketika Tuhanmu mem-peringatkan: Jika kalian syukurAkau tambah, dan jika kalian kufur, sungguh siksa-Ku amat keras. Qs.14:7
Adapun cara bersyukur tersirat pada hadits berikut:
مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Barangsiapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, berarti tidak mensyukuri yang banyak. Barang siapa yang tidak berterima kasih pada manusia, berarti tidak bersyukur pada Allah. Menyebut ni’mat Allah, merupakan salah satu aspek sykur. Meninggalkan syukur, sama dengan kufur. Berjamaah itu mendatangkan rahmat. Bercerai berai mendatangkan adzab. Hr. Ahmad (w.241) [3]
Berdasar hadits ini cara bersykur antara lain (1) menerima apa adanya atas pemberian baik yang banyak atau pun yang sedikit, (2) berterima kasih kepada manusia, (3) memuji Allah, (4) tidak menyembunyikan ni’mat, (5) memanfaatkan ni’mat secara optimal dan berjamaah.
Kepada siapa semestinya bersyukur?
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Diriwayatkan dari al-Nu’man bin Basyir, Rasul SAW bersabda di atas mimbar:”Barangsiapa yang tidak mensyukuri yang kecil berarti tidak mensyukuri yang banyak. Barang siapa yang tidak berterima kasih pada manusia, maka berarti tidak bersyukur pada Allah. Menceritakan ni’amat merupakan bagian dari syukur meninggalkannya merupakan bagioan dari kufur. Berjamaah itu rahmat, dan bercarai berai adalah adzab. Hr. Ahmad.[4]
5. إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ maka Allah melunakan hatimu.
Menurut al-Thabari, kalimat ini merupakan tafsir dari kalimat نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ (ni’mat Allah).[5] Dengan kata lain ni’mat Allah SWT yang paling penting terhadap kaum muslimin khususnya di Madinah adalah terjalinnya persaudaraan, oleh kesatuan aqidah yang awalnya bermusuhan. Ingatlah dengan ni’mat Allah berupa diutusnya Nabi Muhammad SAW membawa al-Islam, permusuhan pun menjadi persaudaraan. Potongan ayat ini, juga mengisyaratkan kecaman terhadap orang yang bermusuhan. Al-Islam adalah agama perdamaian yang menghaluskan hati yang kasar, menyatukan yang berpecah belah. Oleh karena itu hendaknya menghindari sikap, ucap atau tindakan yang menimbulkan perselisihan. Caranya antara lain tersirat pada sabda Rasul SAW berikut.
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَأذن أَوْ يَتْرُكَ
Jauhilah olehmu buruk sangka, karena termasuk kebohongan. Janganlah mencari-cari informasi tentang kesalahan orang, jangan pula mencari-cari kesalahan orang, dan jangan saling membenci. Jadilah kalian bersaudara, dan jangan meminang yang telah dilamar orang lain hingga mengizinkan atau meninggalkannya. Hr. al-Bukhari.[6] Dalam riwayat lainnya, Rasul SAW bersabda:
لا تَبَاغَضُوا وَلا تَحَاسَدُوا وَلا تَدَابَرُوا وَكُوْنُوْا عِبَادَ الله إخْوَانًا وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلم أنْ يهْجرَ أخَاهُ فَوْقَ ثَلاثَة أيَّام
Jangan saling benci, jangan iri hati, jangan saling membelakangi. Jadilah kalian yang bersaudara. Tidak halal seorang muslim menghindari sesamanya karena marah melebihgi tiga hari. Hr. al-Bukhari dan Muslim.[7]
Berdasar kedua hadits ini, setiap muslim hendaklah menjauhi sikap atau perbuatan yang memicu permusuhan seperti (1) buruk sangka, (2) mencari-cari kesalahan, (3) mengungkit keburukan orang, (4) rasa dendam dan benci, (5) iri hati dan dengki, (6) merebut hak orang lain, (7) saling menghindar atau membelakangi, (8) rasa permusuhan.
6. فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا karena ni`mat Allah, lalu kamu menjadilah orang-orang yang bersaudara;
Dengan keni’matan yang Allah SWT anugerahkan pada setiap mu`min, maka mereka menjadi bersaudara. Persaudaraan sesame muslim tidak terbatas oleh jauhnya hubungan nasab, tidak terhalang oleh dinding batas Negara, tidak terpengaruh perbedaan bangsa. Sesama muslim memiliki kesatuan aqidah, ikatan ukhuwah, bahkan mempunyai bahasa pemersatu bahasa al-Qur`an. Inilah suatu ni’mat besar persaudaraan yang tidak dimiliki oleh agama lainnya. Persaudaraan sesama muslim tak ubahnya satu bangunan yang kokoh, setiap komponennya saling menguatkan. Rasul SAW bersabda:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ثُمَّ شَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
Sesama mu’min itu bagaikan satu bangunan yang setiap komponen menguatkan komponen lainnya. Rasul mencontohkan dengan mengepalkan jari-jemarinya. Hr. al-Bukhari, Muslim, al-Turmudzi . [8]Bahkan bagaikan satu tubuh yang tatkala terkena askit salah satu angota tubuh, maka yang lainnya ikut merasakan dan mengobati. Rasul SAW bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى الرَّجُلُ رَأْسَهُ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ
Perumpamaan orang mu`min seperti satu tubuh, jika seseorang terkena penyakit di kepala maka anggota tubuh lainnya ikut merasakan. Hr. Ahmad.[9]
7. وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya.
Perkataan شَفَاحُفْرَةٍ mengandung arti tepi jurang seperti orang yang hampr terjatuh ke sumur yang dalam. Orang yang kumur atau musyrik hingga mendekati kematian, tak ubahnya hampr saja mereka terjerumus pada kehancuran, atau sumur yang di dalamnya penuh siksaan. Al-Islam menyelamatkan orang yang hampr terjerumus pada siksaan.[10] Menurut al-Tsa’alibi, kalimat حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ ini mengumpamakan kekufuran dan kemusyrikan sama dengan berada di jurang neraka.[11] Al-Islam membebasakan manusia dari kemusyrikan dan kekufuran, sama dengan menyelamatkan mereka dari jurang neraka menuju surga. Dengan demikian salah satu fungsi syari`ah ditetapkan adalah untuk menyelamatkan umat dari tepi jurang neraka. Oleh karena itu, setiap muslim yang berda’wah sama dengan berusaha saling menyelamatkan sesamanya. Prinsip Islam adalah membawa keselamatan dan perdamaian. Rasul SAW pernah ditanya oleh Abu Musa al-Asy’ari tentang muslim yang paling baik. Beliau bersabda:مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ Orang yang mejaga keselmatan sesama muslim, dari ucapan dan tindakannya. Hr. Muslim,[12]
8. كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Oleh karena itu hendaklah selalu berusaha mengkaji ayat-ayat Allah secara mendalam agar meraih hidayah dari-Nya. Dengan hidup mengikuti hidayah Allah akan selamat di dunia dan di akhirat.
E. Ibrah ayat
Secara ringkas hidayah yang terkandung dalam Qs.3:103 ini dapat digambarkan seperti berikut:
[1] Tafsir al-Baydlawi, II h.74
[2] Musnad Ahmad, j.I h.173; Musnad ibn humaid j. I h.77 dari Sa’d
[3] Musnad Ahmad, j.IV h.375
[4] musnad ahmad, no.17721
[5] Tafsir al-Thabari, IV h.33
[6] Shahih al-Bukhari (w.256H) V h.2253
[7] Shahih Al-Bukhari (w.256H) V h.2253, Shahih Muslim Muslim (261) IV h.1983
[8] Hr. Al-Bukhari, I h.182, Muslim, IV h.199, al-Turmudzi, IV h.325
[9] Musnad Ahmad, hadits no.17632, bab Hadits al-Nu’man bin Basyir.
[10] Tafsir al-Baghawi, I h.338
[11] Tafsir al-Tsa’alibi, I h.296
[12] Shahih Muslim, I h.66