ALI-IMRAN:103 KESATUAN MEMEGANG TALI ALLAH – bagian pertama
KESATUAN MEMEGANG TALI ALLAH
(kajian tafsir ali-Imran:103) bagian pertama
A. Teks Ayat dan Tarjamahnya
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.Qs.3:103
1. Ayat sebelumnya menyerukan agar setiap orang mu`min bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa, serta jangan mati kecuali dalam keadaan muslim. Ayat selanjutnya memberikan bimbingan tentang cara menjadi mu`min sempurna antara lain berpegang pada tali Allah, menjalin persaudaraan, syukur ni’mat, membentuk umat yang terdiri dari berbagai satuan tugas.
2. Jika ayat 102 dikaji dari sudut langkah meraih kebahagiaan paripurna, maka ayat 103-104 merupakan rangkaian dari langkah iman, taqwa dan Islam.
C. Tinjauan Historis
Tatkala Rasul SAW serta shahabatnya tiba di Madinah, kaum Aus dan Kahzraj merupakan kedua kelompok saling bermusuhan di jaman jahiliyah dapat disatukan menjadi bersaudara. Namun pada suatu saat ada perselisihan di anatar kedua kelompk itu hingga hamper terjadi tawuran. Ayat ini menyeru mereka agar tetap berpegang teguh pada tali Allah dengan persatuan, jangan terus bertengkar seperti jaman jahiliyah.[1]
D. Tafsir Kalimat
1. وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, Pangkal ayat ini menyerukan agar setiap mu`min berpegang teguh pada حَبْلِ اللَّهِ tali Allah. Yang dimaksud dengan tali Allah menurut al-Baydlawi adalah agama Islam atau kitab-Nya.[2] Pengertian tersebut beralasan pada sabda Rasul SAW:إنِّي تَارِكٌ فِيْكُمْ كِتَابَ الله هُوَ حَبْلُ الله مَنِ اتَّبَعهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى الضَّلاَلَة Aku tinggalkan di antara kalian kitab Allah. Ia adalah Tali Allah. Barang siapa yang mengikutinya, niscaya berada atas petunjuk hidayah. Barangsiapa yang meningalkannya, niscaya tersesat. Hr. Ibn Abi Syaybah dan Ibn Hibban. [3] Dengan kata lain berpegang teguh pada tali Allah, berarti berpedoman hidup pada al-Qur`an.
Ibn al-Jauzi (508-597H) menerangkan bahwa بِحَبْلِ اللَّهِ memiliki beberapa pengertian antara lain: (1) kitab Allah, al-Qur`an sebagaimana diriwayat Syaqiq dari Ibn Mas’ud, yang disepekati Qatadah, al-Dlahak dan al-Suddi. (2) Jamaah semua muslimin sebagaimana dikemukakan oleh al-Sya’bi masih dari Ibn Mas’ud. (3) Agama Allah sebagaimana dikemukakan Ibn Abbas, Ibn Zaid yang menegaskan al-Islam, Muqatil, dan Ibn Qutaibah. (4) Janji dengan Allah, sebagaimana dikemukakan Mujahid, Atha. (5) al-Ikhlash, sebagaiman dikemukakan Abu al-Aliyah. (6) Perintah Allah dan kemestaian menaatinya, sebagaimana dikemuakan oleh Muqatil bin Hayan.[4]
2. جَمِيعًا bersama-sama secara keseluruhan
Menurut Abu al-S’ud, perkataan جَمِيْعًا berkedudukan sebagai keterangan keadaan yang diperintah oleh kalimat وَاعْتَصِمُوا, maka ma’nanya adalah مجتمعين في الاعتصام bersama-sama dalam berpegang teguh/ memegang teguh tali Allah secara berjamaah bersama-sama.[5]
Istilah جَمِيْعًا bisa berma’na secara keseluruhan atau total berpedoman pada al-Qur`an, bisa juga berma’na semuanya atau bersama-sama. Rasul SAW bersabda:فَعَلَيْكَ بِالجَمَاعَةِ فَإنَّمَا يَأكُلُ الذِّئْبُ القَاصِيَة hendaklah kamu berjamaah. Sesunguhnya serigala itu memakan hewan yang memisahkan diri. Hr. Ibn Hibban.[6]
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَة
Dari Abu Hurairah diriwayatkan dari Nabi SAW bersabda: Barangsiapa yang memisahkan diri dari taat dan dari jamaah maka mati seperti mati jahiliyah (Hr. Muslim ,)[7]
Yang dimaskud dengan ke luar dari jamaah dalam hadits ini adalah murtad atau menjadi kafir. Berpegag pada jamaah berarti memegang teguh Islam secara bersama dalam kepemimpinan muslim. Rasul SAW bersabda: مَنْ رَأى مِنْ أمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِر فَإنه لَيْسَ أحَد يُفَاِرقُ الجَمَاعَة شِبْرا فَيَمُوتُ إلا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِية Barangsiapa yang melihat pemimpin kurang disenangi bersabarlah. Sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal kemudian mati, maka seperti mati jahiliyah. Hr. al-Bukhari, [8]
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال السَّمْع والطَّاعَة عَلى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيْمَا أحَبَّ وَكَرِه مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإذا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلا سَمْعَ ولا طَاعَة
Rasul SAW bersabda: Taat dan patuhmerupakan kewajiban seorang muslim, baik dalam keadaan senang maupun tidak, sepanjang tidak diperintah ma’shiat. Jika diperintah ma’siat, maka tidak ada ketaatan dan kepatuhan baginya. Hr. al-Bukhari[9]
Adapun pengertian jamaah adalah berpegang pada kebenaran.
قال ابن مسعود: إن الجَمَاعَةَ مَا وَافَقَ طَاعَة الله
Kata Ibn Mas’ud (w.32H) sesungguhnya jamaah itu adalah kesesuaian dengan taat pada Allah SWT. Al-Thabarani (w.360H)[10]
Ketepatan jamaah tidak ditentukan oleh banyaknya anggota, tapi tepat atau tidaknya menjalankan ajaran al-Islam. Dalam riwayat lain Ibn Mas’ud menandaskan: الجَمَاعَة مَا وَافَقَ طَاعَةَ الله وَإنْ كُنْتَ وَحْدَك Jamah ialah kesesuaian dalam mentaati Allah SWT walau anda sendirian. Hibat Allah (w.418H)[11]. Berdasar definisi ini, jelaslah bahwa jamaah yang benar bukan ditentukan oleh jumlah anggotanya, tapi ditentukan oleh sesuai atau tidaknya dengan syari’ah. Orang yang menentang kebenaran berarti meninggalkan jamaah, walau berjumlah banyak. Orang yang tetap berada pada jalan yang benar berarti termasuk berjamaah, walau sendirian.
3.وَلَا تَفَرَّقُوا janganlah bercerai berai
Setelah diserukan untuk berjamaah, maka pada kalimat ini ditegaskan larangan tafaruq, bercerai berai atau meninggalkan jamaah. Dalam memahami al-Qur`an, bisa saja berbeda, tapi jangan sampai bercerai berai sebagaimana terjadi pada kelompok yahudi dan nashrani.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَفَرَّقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ أَوْ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَالنَّصَارَى مِثْلَ ذَلِكَ وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
Diriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa rasul SAW bersabda: yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan atau tjuh puluh dua golongan, nashrani pun demikian. Sedangkan umatku menjadi tujuh puluh tiga kelompok. Hr. Abu Dawud dan al-Turmudzi.
Dalam hadits lain ditandaskan:
تَفْتَرِقُ هَذِهِ الأمَّة عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَة كُلُّهُم فِي النَّار إلا وَاحِدة قَالُوا وَمَا تِلْكَ الفِرْقَة قال مَا اَنَا عَلَيْه اليَوْم وَأصْحَابِي
Umatku ini terdiri atas tujuh puluh tiga firqah yang semuanya masuk neraka kecuali satu saja. Shabat bertanya siapakah yang selamat itu? Rasul bersabda: yang sesuai dengan aku hari ini dan para shabatku. Al-Thabrani (w.360),[12] dalam riwayat Ibn Umar:
كُلُّهُم فِي النَار إِلاَّ مِلَّة وَاحِدَة قَالوا مَا هِي قَالَ مَا أَنَا عَلَيْه وأصْحَابِي
Semua masuk neraka kecuali agama yang satu. Shabat bertanya yang mana? Rasul bersabda; Agama yang ku pegang atasnya dan para shahabatku. Hr.Al-Turmudzi (w.279 H) [13]
Dengan demikian yang dimaksud tujuh puluh tiga golongan bukan berupa organisasi atau jam’iyah, tapi kelompok berbeda agama. Umat saat ini, agamanya berbeda-beda, hanya satu yang masuk surga yaitu yang mengikuti Rasul SAW dan shahabatnya, yaitu yang berpedoman pada al-Qur`an dan al-Sunnah. Dengan kata lain, orang yang meninggalkan al-Qur`an, al-Sunnah dan tidak mengikuti shahabat Rasul berarti telah meninggalkan jamaah. Adapun perbedaan faham dalam masalah keagamaan tidak bisa disatukan, yang penting jangan sampai tafaruq.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ صَلَّى سُبْحَةَ الضُّحَى ثَمَانِ رَكَعَاتٍ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ إِنِّي صَلَّيْتُ صَلاةَ رَغْبَةٍ وَرَهْبَةٍ سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ ثَلاث فَأَعْطَانِي ثِنْتَيْنِ وَمَنَعَنِي وَاحِدَةً سَأَلْتُ أَنْ لاَ يَبْتَلِيَ أُمَّتِي بِالسِّنِينَ فَفَعَلَ وَسَأَلْتُ أَنْ لاَ يُظْهِرَ عَلَيْهِمْ عَدُوَّهُمْ فَفَعَلَ وَسَأَلْتُهُ أَنْ لاَ يَلْبِسَهُمْ شِيَعًا فَأَبَى عَلَيَّ
Anas bin Malik menerangkan: Saya melihat rasul SAW pada sutau perjalanan melakukan shalat dluha delapan raaka’at. Tatkala selesai beliau bersabda: Sesungguhnya aku shalat dengan penuh harap dan cemas. Saya bermohon pada Tuhanku yang Maha Agung dengan tiga permohonan, tapi Ia hanya mengabulkan dua dan menolak satu. Aku mohon agar umatku jangan dilanda penderitaan oleh penyakit tua, Ia mengabulkannya. Aku mohon agar umatku tidak dikalahkan oleh musuhnya, Allah mengebulkan. Namun aku bermohon agar umatku berada pada satu pandangan tidak dilanda pengelompokan, Allah SWT menolaknya. Hr. Ahmad (w.241H)dan al-Hakim [14]
Hadits ini memberi isyarat bahwa perbedaan pendapat tidak akanm bisa dihilangkan. Adapun yang dilarang adalah tafarruq, bukan ikhtilaf. Iktilaf boleh, jangan menimbulkan tafarruq, tapi tetap berjamaah. Rasul SAW bersabda: وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ Jamaah itu mendatangkan rahmat, dan perpecahan mendatangkan siksa. Hr. Ahmad (w.241)[15] Antara jamaah dan tafarruq dapat digambarkan seperti berikut:
4. وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu
Secara histories, ayat ini berkaitan dengan peringatan terhadap kaum khazraj dan kaum Aus yang sempat terprofokasi hingga hamper bermusuhan lagi. Mereka yang sebelum Islam bermusuhan, kemudian menjadi bersaudara terikat oleh ukhuwah Islamiyah. Kesatuan aqidah di antara mereka menjadi ni’mat yang sangat penting. Dengan demikian ni’mat mesti diingat dalam ayat ini adalah ni’mat Islam. Namun tentu saja pengertiannya berlaku umum, agar setiap mu`min selalu mengingat ni’mat yang telah Allah SWT berikan. Menurut al-Baydlawi ni’mat yang paling utama adalah hidayah dan taufiq hingga bahagia ber-Islam, senang berada pada jalan yang terang, dan terbebas dari pengaruh jahilyah yang menyesatkan.[16] Setiap manusia, di samping memiliki kekurangan, juga mempunyai kelebihan, di samping mengalami kesulitan, juga sering memperoleh keni’matan. Untuk meraih kebahagiaan hendaklah banyak mengingat ni’mat, jangan terlalu sering meningat-ingat kesulitan. Dengan banyak mengingat ni’mat akan terdorong untuk bersyukur. Orang yang bersyukur akan mandapatkan kebahagiaan dan berbagai kebaikan. Rasul SAW bersabda:
عَجِبْتُ لِلْمُؤْمِنِ إِذَا أَصَابَهُ خَيْرٌ حَمِدَ اللَّهَ وَشَكَرَ وَإِنْ أَصَابَتْهُ مُصِيبَةٌ حَمِدَ اللهَ وَصَبَرَ فَالْمُؤْمِنُ يُؤْجَرُ فِي كُلِّ أَمْرِهِ حَتَّى يُؤْجَرَ فِي اللُّقْمَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِهِ
Aku sangat kagum atas sifat orang mu`min. Jika ia meraih kebaikan, memuji Allah dengan hamdalah dan bersyukur. Bila terkena mushibat memuji Allah (dengan istirja) dan shabar, maka semuanya jadi pahala; bahkan satu suap yang diberikan pada istrinya mendatangkan pahala. Hr. Ahmad (w.241H), Ibn Humaid (w.249H)[17]
Berdasar hadits ini, factor yang mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan, antara lain (1) syukur tatkala meraih ni’mat, (2) shabar tatkala terkena mushibat, (3) beramal sekecil apa pun bertujuan mengharapkan pahala atau imbalan hanya dari Allah.
Hikmah dari syukur berdasar hadits tersebut antara lain (1) iman meningkat, (2) pahala bertambah, (3) mendatangkan kebaikan yang banyak, (4) meraih bahagia paripurna. Dalam ayat lain ditandaskan :وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُم وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ Ingatlah ketika Tuhanmu mem-peringatkan: Jika kalian syukurAkau tambah, dan jika kalian kufur, sungguh siksa-Ku amat keras. Qs.14:7
Adapun cara bersyukur tersirat pada hadits berikut:
مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Barangsiapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, berarti tidak mensyukuri yang banyak. Barang siapa yang tidak berterima kasih pada manusia, berarti tidak bersyukur pada Allah. Menyebut ni’mat Allah, merupakan salah satu aspek sykur. Meninggalkan syukur, sama dengan kufur. Berjamaah itu mendatangkan rahmat. Bercerai berai mendatangkan adzab. Hr. Ahmad (w.241) [18]
Berdasar hadits ini cara bersykur antara lain (1) menerima apa adanya atas pemberian baik yang banyak atau pun yang sedikit, (2) berterima kasih kepada manusia, (3) memuji Allah, (4) tidak menyembunyikan ni’mat, (5) memanfaatkan ni’mat secara optimal dan berjamaah.
5. إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ maka Allah melunakan hatimu.
Menurut al-Thabari, kalimat ini merupakan tafsir dari kalimat نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ (ni’mat Allah).[19] Dengan kata lain ni’mat Allah SWT yang paling penting terhadap kaum muslimin khususnya di Madinah adalah terjalinnya persaudaraan, oleh kesatuan aqidah yang awalnya bermusuhan. Ingatlah dengan ni’mat Allah berupa diutusnya Nabi Muhammad SAW membawa al-Islam, permusuhan pun menjadi persaudaraan. Potongan ayat ini, juga mengisyaratkan kecaman terhadap orang yang bermusuhan. Al-Islam adalah agama perdamaian yang menghaluskan hati yang kasar, menyatukan yang berpecah belah. Oleh karena itu hendaknya menghindari sikap, ucap atau tindakan yang menimbulkan perselisihan. Caranya antara lain tersirat pada sabda Rasul SAW berikut.
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَأذن أَوْ يَتْرُكَ
Jauhilah olehmu buruk sangka, karena termasuk kebohongan. Janganlah mencari-cari informasi tentang kesalahan orang, jangan pula mencari-cari kesalahan orang, dan jangan saling membenci. Jadilah kalian bersaudara, dan jangan meminang yang telah dilamar orang lain hingga mengizinkan atau meninggalkannya. Hr. al-Bukhari.[20] Dalam riwayat lainnya, Rasul SAW bersabda:
لا تَبَاغَضُوا وَلا تَحَاسَدُوا وَلا تَدَابَرُوا وَكُوْنُوْا عِبَادَ الله إخْوَانًا وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلم أنْ يهْجرَ أخَاهُ فَوْقَ ثَلاثَة أيَّام
Jangan saling benci, jangan iri hati, jangan saling membelakangi. Jadilah kalian yang bersaudara. Tidak halal seorang muslim menghindari sesamanya karena marah melebihgi tiga hari. Hr. al-Bukhari dan Muslim.[21]
Berdasar kedua hadits ini, setiap muslim hendaklah menjauhi sikap atau perbuatan yang memicu permusuhan seperti (1) buruk sangka, (2) mencari-cari kesalahan, (3) mengungkit keburukan orang, (4) rasa dendam dan benci, (5) iri hati dan dengki, (6) merebut hak orang lain, (7) saling menghindar atau membelakangi, (8) rasa permusuhan.
6. فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا karena ni`mat Allah, lalu kamu menjadilah orang-orang yang bersaudara;
Dengan keni’matan yang Allah SWT anugerahkan pada setiap mu`min, maka mereka menjadi bersaudara. Persaudaraan sesame muslim tidak terbatas oleh jauhnya hubungan nasab, tidak terhalang oleh dinding batas Negara, tidak terpengaruh perbedaan bangsa. Sesama muslim memiliki kesatuan aqidah, ikatan ukhuwah, bahkan mempunyai bahasa pemersatu bahasa al-Qur`an. Inilah suatu ni’mat besar persaudaraan yang tidak dimiliki oleh agama lainnya. Persaudaraan sesama muslim tak ubahnya satu bangunan yang kokoh, setiap komponennya saling menguatkan. Rasul SAW bersabda:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ثُمَّ شَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
Sesama mu’min itu bagaikan satu bangunan yang setiap komponen menguatkan komponen lainnya. Rasul mencontohkan dengan mengepalkan jari-jemarinya. Hr. al-Bukhari, Muslim, al-Turmudzi . [22]Bahkan bagaikan satu tubuh yang tatkala terkena askit salah satu angota tubuh, maka yang lainnya ikut merasakan dan mengobati. Rasul SAW bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى الرَّجُلُ رَأْسَهُ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ
Perumpamaan orang mu`min seperti satu tubuh, jika seseorang terkena penyakit di kepala maka anggota tubuh lainnya ikut merasakan. Hr. Ahmad.[23]
7. وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya.
Perkataan شَفَاحُفْرَةٍ mengandung arti tepi jurang seperti orang yang hampr terjatuh ke sumur yang dalam. Orang yang kumur atau musyrik hingga mendekati kematian, tak ubahnya hampr saja mereka terjerumus pada kehancuran, atau sumur yang di dalamnya penuh siksaan. Al-Islam menyelamatkan orang yang hampr terjerumus pada siksaan.[24] Menurut al-Tsa’alibi, kalimat حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ ini mengumpamakan kekufuran dan kemusyrikan sama dengan berada di jurang neraka.[25] Al-Islam membebasakan manusia dari kemusyrikan dan kekufuran, sama dengan menyelamatkan mereka dari jurang neraka menuju surga. Dengan demikian salah satu fungsi syari`ah ditetapkan adalah untuk menyelamatkan umat dari tepi jurang neraka. Oleh karena itu, setiap muslim yang berda’wah sama dengan berusaha saling menyelamatkan sesamanya. Prinsip Islam adalah membawa keselamatan dan perdamaian. Rasul SAW pernah ditanya oleh Abu Musa al-Asy’ari tentang muslim yang paling baik. Beliau bersabda:مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ Orang yang mejaga keselmatan sesama muslim, dari ucapan dan tindakannya. Hr. Muslim,[26]
8. كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Oleh karena itu hendaklah selalu berusaha mengkaji ayat-ayat Allah secara mendalam agar meraih hidayah dari-Nya. Dengan hidup mengikuti hidayah Allah akan selamat di dunia dan di akhirat. Secara ringkas hidayah yang terkandung dalam Qs.3:103 ini dapat digambarkan seperti berikut:
[1] Abu al-Hasan Al-Wahidi(w.468H),Tafsir al-Wahidi, I h.225
[2] Tafsir al-Baydlawi, II h.73
[3] Ibn Abi Syaibah (w.235) j. VI h.133 dan Shahih Ibn Hibban (w.354) j. I h.339
[4] Zad al-Masir, I h.431-432
[5] Tafsir abi al-Su’ud, II h.66
[6] Shahih Ibn hibban (w.311 H) II h.371
[7] Shahih Muslim, III h.1476
[8] Shahih al-Bukhari, j. VI h.2612
[9] Shahih al-Bukhari, j. VI h.2612
[10] Musnad al-Syamiyin, j. I h.138
[11] ) I’tiqad ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, j. I h.109
[12] al-mu’jam, V h.137
[13] Sunan al-Turmudzi, j. V h.26
[14] Musnad Ahmad III h.146 dan al-Hakim (w.405 H) I h.459
[15] Musnad Ahmad, j.IV h.375
[16] Tafsir al-Baydlawi, II h.74
[17] Musnad Ahmad, j.I h.173; Musnad ibn humaid j. I h.77 dari Sa’d
[18] Musnad Ahmad, j.IV h.375
[19] Tafsir al-Thabari, IV h.33
[20] Shahih al-Bukhari (w.256H) V h.2253
[21] Shahih Al-Bukhari (w.256H) V h.2253, Shahih Muslim Muslim (261) IV h.1983
[22] Hr. Al-Bukhari, I h.182, Muslim, IV h.199, al-Turmudzi, IV h.325
[23] Musnad Ahmad, hadits no.17632, bab Hadits al-Nu’man bin Basyir.
[24] Tafsir al-Baghawi, I h.338
[25] Tafsir al-Tsa’alibi, I h.296
[26] Shahih Muslim, I h.66