ali-Imran:133-136 BERPACU MERAIH MAGHFIRAH
BERPACU MERAIH AMPUNAN
(kajian tafsir ali Imran: 133-136)
A. Teks Ayat dan Tarjamahnya
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ () الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ () وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ () أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.. Qs.3:133-136
B. Kaitan dengan Ayat Sebelumnya
1. Ayat sebelumnya menyerukan agar mu`min bertaqwa dengan menjauhi riba, menjaga diri dari segala hal yang menjerumuskan ke neraka serta disiplin manaati Allah dan Rasul-Nya. Ayat berikutnya memnyeru mu`min untuk berpacu meraih ampunan Allah SWT.
2. Ayat sebelumnya memerintahkan agar mu`min bertaqwa kepada Allah dan taqwa pada neraka, maka pada ayat berikutnya dikemukakan tentang bagaimana cara bertaqwa.
3. Ayat sebelumnya menjelaskan dosa yang masti dijauhi. Ayat berikut memberikan bimbingan tentang bagaimana cara bertaubatk kalau sudah terlanjur tergelincir pada perbuatan dosa.
C. Tinjauan Historis
1. Beberapa orang menghadap Nabi SAW mengatakan bahwa Bani Israel beruntung sekali di mata Tuhan. Jika mereka berdosa, terus mengutarakannya di tempat ibadah, langsung mendapat ampunan. Bagaimana nasib kita bila berdosa? Rasul SAW terdiam, tidak lama kemudian turun ayat ini.[1]
2. Ibn Mas’id menerangkan bahwa Bani Israil kalau berbuat dosa, ingin mendapat amupnan menuliskan dosanya di pintu masuk. Mereka juga menuliskan tentang apa yang mereka lakukan untuk menghapusnya. Kata Ibn Mas’ud, dengan menurunkan ayat ini, Allah SWT memberikan bimbingan kepada kita bagaimana cara taubat yang benar.
D. Tafsir Kalimat
1. وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu
Ayat ini menyerukan agar mu`min berpacu meraih ampunan dari segala dosa, dan menempuh jalan ke surga sebagai imbalan beribadah dan beramal shalih selama di dunia. Al-Razi berpendapat, tidak ada jalan untuk meraih maghfirah selain melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala yang dilarang. Para ahli ushul fiqih menykmpulkan bahwa bersegera meriah ampunan itu hukumnya wajib, karena tidak ada perintah secara paksa selain wajib segera dipenuhi. Setelah ayat sebelumnya memerintah agar pandai menjaga diri dari hal-hal yang menjerumuskan ke neraka, maka pada ayat ini diserukan agar memburu maghfirah dan surga. Dengan demikian jalan menuju keselamatan abadi adalah menjauhi segala yang dilarang dan menaati segala yang diperintahkan. Al-Razi mengutip beberapa pendapat dengan cara apa bersegera meih maghfirah dan surga itu; (a) menurut Ibn Abbas, maghfirah dan surga adalah al-Islam, karena aturannya mencakup segala aspek kehidupan, (b) menurut Ali bin Abi Thalib adalah dengan memenuhi segala perintah syari’ah, (c) menurut Utsman bin Affan meraih maghfirah adalah dengan ikhlash dalam menjalankan segala ibadah, (d) menurut Abu al-Aliah, dengan hijrah, (e) menurut al-Dlahak dan Muhammad bin Ishaq dengan jihad, (f) menurut Sa’id bin Jubair, mengerakan takbir al-Ihram untuk shalat, (g) menurut Utsman, bersegera dalam shalat lima waktu, (h) menurut Ikrimah bersegera dalam segala taat, (i) menurut al-Asham bersegera dalam taubat dari roba dan dosa lain, karena ayat ini masih satu rangkaian dengan ayat sebelumnya.[2] Meraih ampunan dari segala dosa, dan surga sebagai pahala amal dunia, merupakan merupakan kebahagiaan yang paripurna.
2.وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi
Surga pada ayat ini digambarkan seluas langit dan bumi. Luas langit dan bumi tidak bisa diukur oleh jangkauan manusia. Abu Muslim menandaskan bahwa ukuran langit dan bumi memberikan gambaran bahwa surga itu tidak bisa diukur oleh jangkauan manusia. Luasnya tidak terbatas, ni’matnya tiada terhingga. Raja Heraqlius menanggapi ayat ini dengan mengirim surat isinya bertanya: دَعَوْتَنِي إِلَى جَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ فَأَيْنَ النَّارُ anda mengajak ku untuk menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, lalu kalau begitu di mana neraka? Rasul SAW menjawab: إِذَا جَاءَ اللَّيْلُ فَأَيْنَ النَّهَارُ kalau waktu malam tiba, lalu kemana perginya siang? Hr. Ahmad.[3]
Soal jawab tersebut kelihatan sekali ketinggian isi dialognya. Rasul SAW tahu bahwa pertanyaan Heraqlius itu hanya mengetes, maka dijawab dengan pertanyaan yang mengtes pula. Ditanya tentang letaknya neraka, karena surga seluas langit dan bumi, bagaikan pertanyaan tentang di mana letaknya siang tatkala malam tiba? Bukankah siang dan malam itu tidak sama? Oleh karena itu tak perlu timbul tanda Tanya tentang luasnya surga yang melebihi langit dan bumi. Surga berada bukan di langit atau di bumi.
Menurut al-Razi, terdapat beberapa masalah tentang pengertian bahwa surga seluas langit dan bumi itu yang patut disoroti antara lain: (1) bumi diciptakan Allah SWT berlapis-lapis, juga langit yang luasnya tidak terjangkau manusia. Perumpamaan ini mengisyaratkan bahwa ;uas surgaa seluas berbagai bumi, dan berbagai langit, maka tidak diketahui selebar apa luasnya. Hanya Allah SWT yang tahu. (2) Apa yang disebut suga seluas langit dan bumi itu adalah untuk satu orang. Tegasnya setiap penghuni surga menguasai seluruh kawasan surga, dan tidak ada yang membatasinya. Setiap penghuni surga merasakan berkuasa atas seluruh surga. (3) menurut Abu Muslim, perumpamaan surga seluas langit dan bumi ini menggunakan istilah perniagaan. Dengan kata lain surga itu yang diberikan kepada muttaqin senilai harga seluas langit dan bumi. Siapa pun tidak akan memapu membeli surga dengan nilai transaksi duniawi. (4) Luas surga itu tidak terbatas, tapi supaya ada banyangan di masyarakat awam, maka digambarkan seperti luasnya langit dan bumi. Manusia membayangkan luasnya bumi saja tidak akan yang bisa menjangkau apalagi ditambah dengan tujuh langit.[4]
2. أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
Perkataan أُعِدَّتْ menggunakan kata kerja lampau memberi isyarat (a) kepastian bahwa surga itu benar-benar disedikan untuk orang yang bertaqwa, (b) surga telah tersedia sejak diciptakan langit dan bumi. Surga yang luas itu sudah disedikan bagi orang yang bertaqwa. Kalimat ini juga memberi isyarat bahwa untuk mencapai maghfirah dan surga, mesti menempuh jalan taqwa, mesti menjadi muttaqin, serta segera meraih maghfirah. Perhatikan hadits berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ قَبْلَ أَنْ تَمُوتُوا وَبَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ قَبْلَ أَنْ تُشْغَلُوا وَصِلُوا الَّذِي بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ بِكَثْرَةِ ذِكْرِكُمْ لَهُ وَكَثْرَةِ الصَّدَقَةِ فِي السِّرِّ وَالْعَلَانِيَةِ تُرْزَقُوا وَتُنْصَرُوا وَتُجْبَرُوا
Dari Jabir bin Abd Allah diriwayatkan bahwa Rasul SAW pernah khuthbah yang menyerukan: Wahai manusia, taubatlah kepada Allah semelum mati. Bersegeralah amal shalih sebelum disibukkan. Jalinlah hubungan baik antaramu dan Tuhanmu dengan dzikir dan banyak bersedekah, baik di kala rahasia ataupun terang-terangan, nisaya kamu mendapat rejeki, mendapat pertolongan dan diberi kecukupan. Hr. Ibn Majah, al-Bayhaqi (384-458H)[5]
Al-Baydlawi menyimpulkan bahwa kalimat أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ menjadi dalil bahwa surga itu telah diciptakan Allah SWT, yang letaknya di luar alam ini.
3. الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
Menurut Abu al-Su’ud, awal ayat ini bisa berfungsi sebegai penjelas dari al-Muttaqin, menerangkan sifat orang yang bertaqwa yang mendapat jaminan surga.[6] Namun bisa juga sebagai awal pembicaraan sifat orang yang disebutkan pada kelanjutannya. Orang yang bertaqwa memiliki sifat yang baik, bukan hanya terhadap Allah SWT dengan banyak beribadah ritual, tapi juga dalam sosial, bukan hanya ibadah badani tapi juga dengan harta. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa mereka berinfak di jalan Allah, baik di kala sempit maupun luas, di kala suka maupun duka. Al-Baidlawi menerangkan bahwa فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ mengandung arti sepanjang hayat, karena manusia tidak pernah lepas dari kedua hal antara suka dan duka, antara kelapangan dan kesempitan.[7] Namun tentu saja infaq yang dikeluarkan juga mengikuti kondisi, besar tatkala kaya, infaq kecil tatkala kekurangan. Jangan malas infaq tatkala leluasa, jangan malu infaq yang kecil tatkala kekurangan. Nilai infaq sangat dipengaruhi oleh keikhlasan. Adapun jumlahnya bukan ditentukan oleh berapa nominal, tapi berepa prosen dari apa yang dimiliki. Dengan demikian, orang kaya maupun miskin, pasti mampu berinfaq.
4. وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ dan orang-orang yang menahan amarahnya
Al-kazhimin ialah orang yang menahan amarah tatkala melihat orang yang kurang ia senangi, padah dia memiliki kekuasaan untuk memarahinya. Rasul SAW bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ فِي أَيِّ الْحُورِ شَاءَ
Barangsiapa yang menahan amarah, padahal dia memiliki kekuatan untuk memarahinya, maka Allah akan memanggilnya di hari kiamat sebagai pembesar makhluq sehingga dipiluhkan baginya para bidarari yang diinginkannya. Hr. Ahmad, Abu Daud dan al-Turmidzi.[8] Menurut Nashiruddin al-Bani, kualitas hadits ini sebagai hadits hasan.
Jadi yang memiliki derajat tinggi itu menahan marah tatkala mampu memarahinya. Kalau menahan marah, karena tidak bisa marah, bukanlah sesuatu yang diunggulkan. Menahan amarah lebih mengarah pada pengendalian diri dalam berucap, sikap dan tindakan. Rasul SAW bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Orang kuat, bukanlah yang berani bertindak pada manusia hinga bikin orang lain takut, tapi yang kuat adalah yang mampu mengendalikian dirinya tatkala marah. Hr.al-Bukhari dan Muslim.[9]
5. وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ dan mema`afkan (kesalahan) orang.
Orang yang mampu menahan amarah belum tentu bebas dari rasa sakit hati, bahkan dendam. Mu`min yang baik, bukan hanya menahan amarah, tapi mampu memaafkan orang yang bersalah, sebagaimana mana ditegaskan pada kalimat ini. Memberi maaf paling berat pada manusia yang berdosa, adalah tatkala marah. Oleh karena itu, sifat mu`min yang baik, bukan hanya mampu menahan amarah, tapi juga memberi maaf ketika marah. Allah SWT memuji orang yang demikian sebagai manusia yang memiliki derajat tinggi Qs.42:37:
وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ
dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi ma`af. Qs.42:37
menurut al-Baydlawi, memafkan manusia utamanya pada orang yang berbuat salah, padah sebenarnya berhak untuk menghukum atau membalas kesalahannya. Bila memeafkan orang yang demikian, maka ampuan Allah akan tercurah pada mereka. Ayat ini bukan berarti melarang malawan pada yang berbuat zhalim, tapi kalau memberi maaf bisa lebih bermanfaat, maka nilainya jauh lebih baik, karena termasuk kategori shabar. Allah SWT berfirman Qs.16:126:
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Qs.16:126
6. وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَAllah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Allah SWT sangat mencintai orang yang berbuat ihsan. Kalimat ini dilertakan sebagai pengunci ayat yang menerangkan sifat manusia pada manusia. Dengan demikian ihsan itu ada yang berkaitan dengan kewajiban pada Allah ada pula yang berkaitan dengan sesama manusia.
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ ثِنْتَانِ حَفِظْتُهُمَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
Dari Syaddad bin Aws. Ia mengatakan: dua hal yang saya pelihara dari Rasul SAW. Beliau bersabda: Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan berlaku ihsan (baik) dalam segala hal. Jika kamu membunuh sesuatu, maka hendaklah berlaku baik ketika membunuhnya. Jika kamu menyembelih, hendaklah belaku baik ketika menyembelihnya. Tajamkanlah mata pisaumu, agar tidak terlalu menyakitkan yang disembelih. Hr. Muslim (206-261H).[10]
Kalimat إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ dalam Hadits ini mengisyaratkan bahwa kita diperintah Allah SWT untuk ihsan. Sedangkan perkataan عَلَى كُلِّ شَيْءٍ mengandung ma’na bahwa ihsan itu mesti diterapkan dalam segala kehidupan dan diberlakukan kepada siapa pun, baik kepada Allah SWT maupun kepada sesama makhluq-Nya. Ihsan kepada Allah SWT telah disabdakan Rasul SAW ketika mendapat pertanyaan dari Mali`ikat Jibril:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Ihsan’ ialah: menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Hr.Muslim[11]
Ihsan kepada sesama manusia diperintahkan langsung dalam berbagai ayat al-Qur`an antara lain Qs.4:36:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat Ihsan (berlaku baikbaiklah) kepada ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, Qs.4:36
6. وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji
Perkataan وَالَّذِينَ pada pangkal ayat ini menurut sebagiann ulama merupakan poko kalimat, tapi menurut yang lainnya sebagai sambungan dari ayat sebelumnya. Jika dianggap sebagai pokok kalimat berarti keterangannya yang tercantum pada ayat 136.[12] Jika perkatan ini difahami sebagai satu kesatuan dengan ayat sebelumnya berati sebagai keterangan الْمُحْسِنِينَ (orang yang ihsan) atau لِلْمُتَّقِينَ (yang bertaqwa). Sedangkan فَعَلُوا فَاحِشَةً mengandung arti segala perbuatan yang sangat buruk, terkadang berma’na zina.[13] Ibnu Asyur menerangkan bahwa فَعَلُوا فَاحِشَةً mengandung arti antara lain (1) dosa besar seperti zina, (2) perbuatan dosa yang berdampak negatif pada orang lain, (3) perbuatan ma’shiat yang amat dimurkai Allah SWT.[14] Rasul SAW bersabda:إِنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ الْفُحْشَ وَالتَّفَحُّشَ Rasul SAW bersabda: sesungguhnya Allah SWT membenci keburukan dan yang mengakibatkan buruk. Hr. Ahmad (164-241H).[15] Al-Nawawi (631-678H);[16] berpendapat وَأَمَّا الْفُحْش فَهُوَ الْقَبِيح مِنْ الْقَوْل وَالْفِعْل bahwa al-Fuhsy ialah kejelekan dalam perkataan maupun perbuatan. Kata al-Qadli أَصْل الْفُحْش الزِّيَادَة وَالْخُرُوج عَنْ الْحَدّ arti asal dari al-Fuhsy adalah melebihi, melampaui batas. Adapun التَّفَحُّشَ terkadang berarti orang yang berbuat kejahatan, terkadang berma’na yang berbuat kerusakan. Segala yang buruk dalam istilah Arab disebut al-Fuhsy. Menurut Al-Asqalani (773-852H), الْفُحْشَialah الزِّيَادَة عَلَى الْحَدّ فِي الْكَلَام السَّيِّئ melampaui batas kewajaran dalam kata-kata yang buruk. Sedangkan َالتَّفَحُّشَ adalah kesengajaan berbuat buruk yang mengakibatkan orang lain merasa terhina. Al-Kusymihani berpendapat bahwa َالْفُحْشَ adalah كُلّ مَا خَرَجَ عَنْ مِقْدَاره حَتَّى يُسْتَقْبَح ، وَيَدْخُل فِي الْقَوْل وَالْفِعْل segala yang melampaui ukuran kewajaran sehingga berakibat buruk, baik berupa perkataan ataupun tindakan. Al-Daudi berpendapat bahhwa الْفَاحِش adalah الَّذِي يَقُول الْفُحْش yang berkata buruk, sedangkan التَّفَحُّشَ adalah يَسْتَعْمِل الْفُحْش لِيُضْحِك النَّاس berkata buruk atau jorok supaya orang lain tertawa.[17] Pendapat semacam ini dikutip pula oleh Abu Tayib, [18]. Al-Mubarakfuri, (1283-1353H) Berkomentar قَالَ فِي النِّهَايَةِ : الْفُحْشُ هُوَ كُلُّ مَا يَشْتَدُّ قُبْحُهُ مِنْ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي ، وَكَثِيرًا مَا تَرِدُ الْفَاحِشَةُ بِمَعْنَى الزِّنَا ، وَكُلُّ خَصْلَةٍ قَبِيحَةٍ مِنْ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ . وَقَالَ فِي الْقَامُوسِ : الْفَاحِشَةُ الزِّنَا وَمَا يَشْتَدُّ قُبْحُهُ مِنْ الذُّنُوبِ وَكُلُّ مَا نَهَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ ، Diterangkan dalam kitab al-Nihayah bahwa al-Fuhsy intu mencakup segala sesuatu yang amat buruk berupa dosa dan kema’siatan. Namun istilah tersebut sering digunakan untuyk perbautan zina. Yang jelas segala yang buruk, baik perkataan maupun perbuatan termasuk al-Fuhsy. Dalam kamus sering diistilahkan pada perbuatan zina dan pada segala yang sangat buruk dan segala yang dilarang Allah SWT. [19]
Istilah al-Fuhsy dan al-Tafahusy digunakan untuk perkataan buruk, sebagaimana dalam hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: دَخلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَهُودُ، فَقَالُواالسَّامُ عَلَيْكَ يَا أَبَا الْقَاسِمِ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: وَعَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ، فَقَالَ:”يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْفُحْشَ وَلا التَّفَحُّشَ”، قُلْتُ: أَلا تَسْمَعُهُمْ يَقُولُونَ السَّامُ عَلَيْكَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”أَوَمَا سَمِعْتِ مَا أَقُولُ: وَعَلَيْكُمْ”، فَأَنْزَلَ اللَّهُ وَإِذَا جَاءُوكَ حَيَّوْكَ بِمَا لَمْ يُحَيِّكَ بِهِ اللَّهُ
Diriwayatkan dari Aisyah: seorang yahudi datang kepada Rasul SAW, dengan mengatakan السَّامُ عَلَيْكَ يَا أَبَا الْقَاسِمِ (mampuslah kau abu al-Qasim). Kemudian Aisyah mengatakan وَعَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ (mampuslah kamu dan terkutuk!). Rasul SAW bersabda: :”يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْفُحْشَ وَلا التَّفَحُّشَ (wahai Aisyah, Allah tidak mencintai al-Fuhsy, tidak pula mencintai al-Tafahusy. Aisyah berkata: bukankah dia mengatakan السَّامُ عَلَيْكَ؟? Rasul bersabda bukankah sudah aku katakan kepadanya وَعَلَيْكُمْ ?. tidak lama kemudian turunlah ayat أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نُهُوا عَنِ النَّجْوَى ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَيَتَنَاجَوْنَ بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَةِ الرَّسُولِ وَإِذَا جَاءُوكَ حَيَّوْكَ بِمَا لَمْ يُحَيِّكَ بِهِ اللَّهُ وَيَقُولُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ لَوْلَا يُعَذِّبُنَا اللَّهُ بِمَا نَقُولُ حَسْبُهُمْ جَهَنَّمُ يَصْلَوْنَهَا فَبِئْسَ الْمَصِيرُ Apakah tiada kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan sebagai yang ditentukan Allah untukmu. Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tiada menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” Cukuplah bagi mereka neraka Jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. Qs.58(al-Mujadilah):8. Hr. Muslim.[20]
Berdasar beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa الفحش – التفحش – الفاحشة mencakup (1) ucapan buruk seperti mengutuk, mencerca, mencela, menghina; (2) tindakan atau perbuatan seperti zina.
Seperti telah diungkapkan di atas, arti dari al-Fuhsy dan al-Tafahusy itu antara lain perkataan kotor, ungkapan menyakitkan, sesuatu yang membawa akibat buruk dan terkadang berma’na zina. Bila semua yang buruk-buruk itu telah dianggap biasa di masyarakat maka kehancuran akan segera tiba. Dalam hadits lain disebutkan bahwa perzinahan merajalela merupakan pertanda mendekati kehancuran. Rasul SAW bersabda: مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا di antara pertanda mendekati saat (kiamat / kehancuran) adalah ilmu telah diangkat, kebodohan merajalela, banyaknya yang minum khamr, dan tersebarnya perzinahan. Hr. Musim.[21]
Rasul SAW bersabda: وَلاَ ظَهَرَتْ فِيْهِمُ الفَاخِشَةُ إِلاَّ فَشَا فِيْهِمُ المَوتُ tidaklah merajalela perzinaan pada mereka, kecuali kematian melanda mereka. Hr. al-Thabrani (260-360H), al-Hakim (321-425H), al-Bayhaqi (384-458H), al-Dailami (445-509H). [22]
Ada juga ulama yang membedakan antara pengertian الفحش dengan الفَاحِشَة. Istilah الفُحش berma’na umum mencakup segala keburukan, baik perkataan, sikap, maupun tindakan, baik yang bobotnya ringan maupun berat. Sedangkan الفَاحِشَة lebih banyak digunakan pada perbuatan yang sangat buruk seperti: (1) zinah sebagaimana pada firman Allah SWT وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. Qs.17:32. (2) menikahi janda ayah; وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Qs.4:22. Dalam al-Qur`an dikemukakan bahwa الفواحش sebagai bentuk jama dari فاحشة itu ada yang bersifat lahir ada pula yang batin, sebagaimana tersurat pada firman-Nya: قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui“. Qs.7:33
7. أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ atau menganiaya diri sendiri,
Sebagian ulama berpendapat bahwa ظَلَمُوا أَنْفُسَهُم adalah dosa yang hanya berakibat pada diri sendiri dan tidak menimbulkan kerugian pada orang lain. Ada pula yang berpendapat sebagai dosa kecil, tidakl termasuk dosa besar berbeda dengan فاحشة sebagaimana disebutkan di atas. Bila dikaitakan dengan kalimat sebelumnya, pengertian ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ merupakan dosa yang dilakukan tapi tidak terkait dengan orang lain. Nampaklah bahwa dosa itu terdiri فاحشة yang berkaitan dengan orang lain, dan ظلْم النفس yaitu dosa yang tidak terkait dengan orang lain. Itulah sebabnya zina, perkataan buruk, menghina, mengumpat, menggunjing, menyakiti orang lain termasuk فاحشة sedangkan minum khamr, memakan makan yang haram, memboroskan harta, menyia-nyiakan waktu, ceroboh, masuk ke kategori ظلْم النفس atau dosa menyangkut diri sendiri.
8. ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
Orang yang bertaqwa, atau orang yang bakal meraih maghfirah akan segera ذَكَرُوا اللَّهَ mengingat Allah juga dalam arti sadar akan kesalahan yang terlanjur dilakukan, فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ pada saat itu pula mohon ampun pada Allah dengan bertaubat. Perlu disadari bahwa tidak ada manusia yang bebas dari dosa, disadari ataukah tidak, kecil ataukah besar. Seorang mu`min bukan berarti tidak pernah berbuat salah, tapi yang segera bertaubat tatkala terlanjur melakukan kesalahan. Itulah sebabnya dalam meraih ampunan Allah dan surga, seoranmg mu`min mesti mema’lumi kesalahan orang lain dengan memberi maaf, dan menyadari akan kesalahan diri sendiri dengan segera taubat.
9. وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?
Kalimat tanya seperti merupakan berita gembira bagi yang mau bertaubat. Kalau mereka bertaubat, siapa lagi yang bakal mencurahkan ampunan selain Allah. Ini juga merupakan jaminan dari Allah SWT yang memiliki ampunan yang sangat luas tidak terbatas.
10. وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.
Setelah diberi kabar gembira bahwa Allah SWT yang memiliki ampunan yang luas, maka pada penghunjung ayat ini ditekankan syarat dan ketentua tetap berlaku. Ampunan bakal tercurah bagi yang berbuat dosa sebesar apapun, apabila وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا mereka tidak meneriskan perbuatannya, alias segera menghentikan kesalahan yang sudah terlanjur dilakukan. Dengan demikian ampuan Allah Maha Luas, bakal diberikan kepada yang baertaubat dengan syarat dan ketentuan tidak mengulangi lagi dosa yang pernah dilakukan. Kemudian dikunci dengan kalimat وَهُمْ يَعْلَمُونَ padahal mereka dalam keadaan mengetahui atau dalam keadaan sadar.
11. أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya;
Inilah jaminan bagi yang berusaha keras meraih maghfirah dan surga, maka pahalanya akan diberikan sesuai yang diinginkan. Ampunan Allah dan surga merupakan ganjaran yang nilainya tiada terhingga. Keni’matan surga tidak pernah terputus atau terhenti sejenakpun. Keni’matan surga bagaikan air mengalir yang tidak pernah berhenti, sebagai وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal
E. Beberapa Ibrah:
1. Untuk meraih surga dan ampunan mesti ditempuh langkah dengan segera melakukan segala perintah syari’ah dan menjauhi segala yang dilarangnya. Jangan menunda untuk beramal baik apa pun.
2. Luas surga yang seluas langut dan bumi, berarti tidak bisa diukur oleh manusia. Manusia tidak bisa mengukur berapa luas langit dan bumi, seperti itulah luasnya surga.
3. Surga telah tersedia yang diperuntukkan bagi orang yang bertaqwa dan yang meraih ampunan dengan segera. Orang yang berpacu meraih surga antara lain meningkatkan taqwa, menginfakkan harta, memberi maaf kepada sesame.
4. Orang yang meraih surga memang bukan hanya yang tidak pernah berbuat dosa, tapi juga yang pernah melakukan kesalahan baik yang berakibat pada orang lain ataupun diri sendiri, tapi dengan segera bertaubat dan tanpa mengulangi lagi kesalahannya.
5. Tiada manusia yang bebas dari dosa dan kesalahan, maka janganlah berhenti dari taubat serta membina kesadaran, serta mema’lumi kesalahan orang lain dengan memaafkan.
6. Dosa terdiri atas berbagai macam ada yang termasuk fakhisyah ada pula yang termasuk zhalmun-Nafs. Jika ingin meraih maghfirah hendaklah menjauhi segala perbuatan dosa tersebut. Jika terlanjur melakukannya, segeralah bertaubat dengan (1) menyesali kekeliruan, (2) memohon ampun secepatnya, (3) menghentikan perbuatan yang salah, (4) mengganti kesalahan dengan berbagai kebaikan.
7. Allah SWT Maha pemberi maghfirah dan surga, maka untuk meraihnya mesti memenuhi syarat serta ketentuan yang berlaku. Penuhilah syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SAW dan Rasul-Nya, kalau ingin meraih surga dan maghfirah.
[1] Ibn hajar al-Asqalani, al-Ijab Fi Bayan al-Asbab, II h.754
[2] Tafsir al-Razi, juz IV
[3] Musnad Ahmad, no.16097
[4] disadur bebas dari kitab Tafsir al-Razi
[5] Sunan Ibn Majah, I h.343, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, III h.171
[6] Tafsir Abi al-Su’ud, II h.85
[7] tafsir al-Baydlawi, II h.93
[8] Musnad Ahmad, no.15084, Sunan Abi Daud, 4147, Sunan al-Tirmidzi, no.2417
[9] Shahih al-Bukhari, no.5649, Shahih Muslim, no.4723
[10] Shahih Muslim, III h.1548, dalam bab al-Amr bi al-Ihsan fi al-Dzibh wa al-Qatl, no.3615
[11] Muslim bin Hajaj al-Naysaburi (206-261H), Shahih Muslim, I h.37-38
[12] Tafsir Abi al-Su’ud, II h.86,
[13] Tafsir al-Baydlawi, II h.93
[14] Tafsir Ibn Asyur
[15] Musnad Ahmad, II h.199
[16] Syarh al-Nawawi ala Shahih Muslim, XV h.78
[17] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bary, VI h.575 dan X h.473
[18] Awn al-Ma’bud, XII h.104
[19] Tuhfat al-Ahwadzi, VI h.94
[20] Shahih Muslim, IV h.1707
[21] Shahih Muslim, no.4824,
[22] Al-Thabarani (260-360H), Sulaiman ibn Ahmad Abu al-Qasim, al-Mu’jam al-Kabir, XI h.45, al-Hakim (321-405H), al-Mustadrak, II h.136, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, III h.346, Abu Syuja al-Daylami, al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab, II h.197