ali-Imran:149-151 (BAHAYA TUNDUK PADA KAFIRIN)
BAHAYA TUNDUK PADA KAFIRIN
(kajian tafsir ali Imran: 149-151)
A. Teks Ayat dan Tarjamahnya
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ () بَلِ اللَّهُ مَوْلَاكُمْ وَهُوَ خَيْرُ النَّاصِرِينَ* سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menta`ati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allahlah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong. Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim….. Qs.3:149-151
B. Kaitan dengan ayat sebelumnya
1. Ayat sebelumnya mengungkapkan bawa betapa banyak nabi dan pengikutnya berperang di jalah Allah. Mereka tidak merasa lemah tidak merasa hina tatkala menghadapi berbagai kendala, karena memegang prinsip syari’ah yang kokoh dan akidah yang kuat, tidak mudah tergoyahkan. Ayat selanjutnya menegaskan betapa bahaya kalau mu`min mengikuti keinginan orang kafir. Oleh karena itu jika ingin sukses dalam jihad seperti para nabi, jangan mau tunduk pada orang kafir.
2. Setelah pada ayat sebelumnya memberikan bimbingan agar kaum muslimin meniru umat terdahulu yang menaati Nabi dan berjihad bersamanya, maka pada ayat berikutnya mengungkap bahaya mengikuti umat yang kafir alias yang tidak mengikuti Nabi.[1]
.
C. Tinjuan Historis
1. Menurut Ibn Abbas, ayat ini turun berkaitan dengan celaan Ibn Ubay pada kaum muslimn pasca perang Uhud. Ibn Ubay mengajak muslimin mengikuti keinginannya dan mengatakan لو كان نبياً ما أصابه الذي أصابه kalau benar Muhammad itu Nabi tentu tidak akan terkena seperti yang dialami pada perang Uhud. [2]
2. Menurut riwayat dari Ai bin Abi Thalib, tatkala melihat mu`min menderita kerugian di perang Uhud, orang munafiq mengatakan ارجعوا إلى إخوانكم وادخلوا في دينهم kembalilah ke saudara kalian dan kembali keagama mereka.[3] Ayat ini turun sebagai bimbingan para orang mu`min agar jangan terkecoh oleh ulah kaum munafiq.
D. Tafsir Kalimat
1. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا َ Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menta`ati orang-orang yang kafir itu,
Menurut al-Thabari, ayat ini mengandung larangan menaati orang kafir. Yang dilarang oleh ayat ini mencakup mengikuti nasihat, menerima saran atau menerima jalan fikiran orang kafir. Adapun yang termasuk kafir berdasar hitoris ayat ini mencakup yahudi, nashrani dan munafiq.[4] Menurut riwayat al-Suddy yang mengajak pada kekufuran itu, ketika ayat ini turun, adalah Abu Sufyan pasca perang Uhud, sebelum dia masuk Isam. Namun tentu saja ayat ini berlaku umum, seperti dikemukakan oleh Abu Hayyan, sasarannya ke para mujahid Uhud dan yang lainnya.[5] Tegasnya orang mu`min yang mengikuti keinginan orang kafir, akan berdampak buruk terhadap keagamaannya. Demikian pula orang kafir yang tidak boleh ditati itu mencakup keseluruhan, bukan hanya musyrikin dan munafiqin tapi juga ahl al-Kitab sebagaimana ditegaskan pada ayat sebelumnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. Qs.3:100
2. يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran),
Jika mu`min mengikuti keinginan kafir, berarti mundur ke belakang. Kekukufuran merupakan lambang kemunduran. Taat al-Islam merupakan bukti kemajuan, karena syari’ahnya mendorong umat untuk meraih kemajuan dalam berbagai hal. Itulah sebabnya orang yang ke luar dari Islam disebut murtad, alias mengalami kemunduran. Setiap kafir merusaha menarik mu`min dari kemajuan Iman ke kemunduran. Jika mu`min mengikuti keinginan mereka, maka sama-sama mundur pada kukufuran. Dalam ayat lain diungkapkan:
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong, Qs.4:89
3. فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.
Bila mu`min mengikuti keinginn orang kafir, apalagi mengangkat mereka jadi pemimpin sehingga terseret murtad, maka akan menderita kerugian. Kerugian yang mengikuti kafir utamanya kehinaan dunia dan akhirat. Kehinaan di dunia, karena dikuasai orang kafir. Kehinaan di akhirat, karena terhapus amal yang disebabkan murtad. Oleh karena itu jika mu`min ingin meraih untung dunia akhirat, mesti memiliki kekuatan di dunia, mempunyai gagasan yang cemerlang hingga diikuti orang kafir. Jika mu`min memiliki ide atau pemikiran yang cemerlang, maka orang kafir akan tunduk dan mengikuti. Tegasnya secara tersurat ayat ini melarang mengikuti keinginan orang kafir, maka secara tersirat memerintah agar mu`min memiliki gagasan cemerlang, strategi yang canggih, ilmu yang luas, penemuan yng terbaru agar kaum kafir bisa tunduk. Bukan sebaliknya, hanya ikut-ikutan pada kafir, maka mu`min tidak memiliki kekuatan. Jika mu`min memiliki keungulan, maka llah lngsung akan memberikan pertolongan di dunia, maupun keselamatan di akhirat kelak, sebagaimana jaminan ayat berikutnya.
4. بَلِ اللَّهُ مَوْلَاكُمْ Tetapi (ikutilah Allah), Allahlah Pelindungmu,
Menurut al-Alusi, kalimat ini mengandung penegasan bahwa yang pantas diikuti dan diminta bantuan, buknlah kaum kafir, tapi Allah SWT sebagai pelindung.[6] Kalau mu`min ingin meraih kemenangan, janganlah mencri pendapat kafir apalagi mengikuti keinginan mereka, tapi taatilah petunjuk Allah sebagai penolong vdan pelindung mutlak. Dengan kata lain, seharusnya mu`min itu memiliki kemampuan untuk meneliti situasi, kondisi serta alam semasta ini atas dasar gagasan al-Qur`an. Kajian al-Qur`an mesti memunculkan teori yang dapat diterapkan dalam segala aspek kehidupan, sehingga terasa benar kemu’jizatannya. Persoalannya bagaimana mungkin mu`min bisa memunculkan teori baru dari al-Qur`an kalau mencari tafsirannya dari kaum kafirin. Bagaimana mungkin kaum non muslim bisa mengikuti gagasn mu`min, kalau al-Qur`an hanya dijadikan dalil penguat pendapat mereka. Larangan mengikuti kafir mestinya difahami sebagai perintah menundukkan mereka terhadap mu`min. Allah SWT bakal menolong mu`min, sepanjang tidak mengikuti keinginan kafirin.
5. وَهُوَ خَيْرُ النَّاصِرِين dan Dia-lah sebaik-baik Penolong
Pengunci ayat ini, di samping mengungkap asma Allah yang Maha penolong, juga merupakan jaminan bagi mu`min yang hanya bergantung pada Allah, mengikuti petunjuk-Nya bakal mendapat pertolongan utama dari-Nya. Secara historis, ayat ini masih berkitn dengan perang uhud yang mengalami kegagalan di fihak mu`min, lalu untuk apa Allah SWT tidak memberikan pertolongan langsung supaya menang? Bukankah pada pengunci ayat ini ditegaskan Allah itu penolong paling baik? Alah SWT bisa dan berkuasa menolong mu`min kapan pun di mana pun. Namun dengan kejadian perang uhud itu mu`min mesti befikir dan ikhtiar, supaya jangan hanya mengandalkan taqdir. Mu’min mesti berusaha, jangan hanya mengandalkan do’a.
6. سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu.
Ibn Jarir al-Thabari mengutip riwayat Ibn Abbas yang menerangkan bahwa ayat 151 turun setelah terjadi Perang Uhud. Orang musyrikin sepulangnya dari perang uhud ketika mendekati Mekah merasa menyesal mengapa tidak membunuh kaum muslimin dan menyisakannya yang miskinnya saja. Panglima perangnya mengintruksikan untuk kembali ke Uhud guna menggempur kaum muslimin. Namun ternyata, ketika mau kembali dilanda ketakutan. Ayat ini secara histories ayat ini merupakan janji Allah kepada hamba-Nya.[7]
Allah SWT menimpakan rasa takut pada hati orang kafir dengan mangatakan سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ sehingga mereka kalah sebelum bertanding. Perkataan الرُّعْبَ berma’na khawatir, gundah, resah dan merasa terancam. Dengan adanya kaum musyrikin merasa resah, takut dan gundah, maka rasul SAW tertolong mdalam mengalahkan orang kafir. Rasul SAW bersabda:
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنْ الأنْبِيَاءِ قَبْلِي : نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ ، وَجُعِلَتْ لِي الأرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا ، وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ ، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَة وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
Saya dianugerahi lima anugerah yang tidak diberikan pada para nabi sebelum diriku. Aku ditolong oleh perasaan takut yang ditimpakan pada kaum musrikin sebulan. Dijadikannya bumi sebagai masjid dan suci bagiku. Dihalalkannya ghanimah *rampasan perang) untuku ku. Dianugerahi aku syafaa’at, serta para nabi diutus hanya untuk kaumnya, sedangkn aku diutus untuk seluruh umat manusia. Hr. Al-Bukhari dan Muslim.[8]
Dengan demikian pertolongan Allah SWT yang dianugerahkan pada Nabi pun tetap ada jalannya sebab hukum sebab akibat. Dengan kata lain, Allah SWT tidak memberikan pertolongan dengan cara Instant, umpamanya ketika perang tiba-tiba musyrikin itu langsung mati tanpa sebab. Adapun yang menyebabkan mereka dilanda perasaan takut sedemikian rupa adalah بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ karena mempertuhankan selain Allah. Ada yang menyekutukan Allah itu dengan cara menyembah berhala seperti kebanyakan musyrik jahiliyah yang ada di mekah. Adapula yang menyekutukan syari’ahnya. Jaman dahulu kebanyakan musyrikin adalah penyembah berhala, tapi di akhir jaman lebih banyak yang menyekutukan Allah itu dengan bikin saingan dalam syari’ah. Kemusyrikan tipe kedua ini biasanya dilakukan oleh para intelek, orang yang berfikir hanya rasional. Kedua kelompok musyrikin itu akan tetap dilanda ketakutan dan kekhawatiran. Baik yang musyrik penyembah berhala atau pembuat syari’ah tandingan mempunyai kesamaan yaitu مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا tidak memiliki dasar hukum yang kuat, karena tidak berdasar pada apa yang diturunkan Allah SWT. Hujjah atau dasar hukum disebut سُلْطَانًا yang berarti kekuasaan atau kekuatan, karena argumentasi memiliki kekuatan mengalahkan yang lain.
Orang musyrik tidak mempunyai سُلْطَانًا dalam berhujjah. Penyembah berhala tidak memiliki dasar hukum atas apa yang mereka lakukan, sehinga selalu dilanda kekhawatiran. Demikian pula para pemikir yang membuat syari’ah atau tauran hidup berdasar keinginannya, tidak memiliki kekuatan sehingga setiap perbuahan waktu mereka ingi mengubahnya pula.
7. وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim.
Akhirnya tempat kembali meraka adalah neraka sebagai tempat yang paling buruk disediakan bagi yang zhalim. Musyrik penyembah termasuk zhalim, karena memposisikan Allah bukan pada selayaknya.[9] Musyrik pencipta hukum bid’ah pun termasuk zhalim, karena telah menjadikan hasil pemikirannya disamakan dengan syari’ah yang mutlak.
E. Beberapa Ibrah
1. Setiap muslim dituntut memiliki gagasan cemerlang daam segala aspek kehidupan yang bernafaskan syari’ah.
2. Al-Qur`an hendaknya menjadi sumber insfirasi hingga memunculkan teori terbarukan, sehingga non muslim bisa tunduk pada mu`min. Bukan mu`min tunduk pada keinginan kafir. Jika mu`min ikut keinginan kafir, maka akan terseret murtad.
3. Jika mu`min ingin mendapat pertolongan Alah, maka mesti tidak bergantung pada pertolongan selain-Nya. Untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada selain-Nya, mesti memiliki kemandirian dalam berbagai bidang.
4. Setiap mu`min mesti waspada terhadap tawaran atau gagasan non muslim, karena boleh jadi bisa menjebak pada kerendahan derajat, hingga mundur dan jauh dari kemajuan.
5. Jika mu`min memiliki kemandirian, maka Allah SWT memberikan pertolongan yang paling utama. Jika pada perang Uhud mu`min tidak mendapat pertolongan secara langsung mengalahkan kafir, mestiny jadi pelajaran. Mestui usaha, jangn hnya mengandalkan do’a. Mesti ikhtiar, jngn hanya mengandalkan taqdir. Mesti berfikir, jangan hanya mengandalkan dzikir.
6. Kafir selalu dilanda ketakutan. Walau mereka serperti tenang, sebenarnya ketakutan tidak pernah lepas dari ancamannya. Penyebab utama yang menimbulkan rasa takut melanda musyrik adalah karena dasar hukum yang mereka jadikan pedoman tidak memiliki argumen yang kuat.
7. Allah SWT memasukan rasa takut pada musuh Islam, demi memberi pertolongan pada kaum mu`minin. Pertolongan Allah pada mu`min tidak langsung secara instans, tapi melalui perantaraan kafir yang ketakutan, hingga mengundurkan diri dari peperangan.
8. Jika ketika perang Uhud, kaum muslimin tidak meraih kemenangan yang gemilang, itu merupakan bukti Allah selalu memenuhi janji-Nya. Allah SWT berjanji hanya akan memberikan pertolongan pada orang yang bertaqwa dan shabar. Ketika mu`min kurang shabar seperti saat perang Uhud, maka pertolongan Allah tidak memenuhi syarat untuk langsung diberikan.
9. Akibat yang dipikul oleh orang kafir adalah akan masuk neraka sebagai tempat yang paling buruk.
10. Orang kafir dan musyrikin termasuk orang zhalim, karena menempatkan Allah dan syari’ah-Nya tidak sesuai dengan proporsinya.
[1] Al-Jami li Ahkam al-Qur`an, IV h.232
[2] Zad al-Masir, I h.429
[3] Tafsir al-Baghawi, II h.117
[4] Tafsir al-Thabari, VII h.276
[5] al-Bahr al-Muhith, III h.413
[6] ruh al-Ma’ani, III h.261
[7] tafsir al-Thabri, VII h.279, Tafsir al-Baghawi, II h.118
[8] shahih al-Bukhari, no.335, Shahih Muslim, no.521
[9] al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, III h.262