ali-Imran:161 (RASUL ANTI KORUPSI)
KEJUJURAN NABI
(kajian tafisr ALi-Imran:161)
A. Teks Ayat dan Tarjamah
وَمَا كَانَ Ù„ÙنَبÙيّ٠أَنْ يَغÙلَّ وَمَنْ يَغْلÙلْ يَأْت٠بÙمَا غَلَّ يَوْمَ الْقÙيَامَة٠ثÙمَّ تÙÙˆÙŽÙÙ‘ÙŽÙ‰ ÙƒÙلّ٠نَÙْس٠مَا كَسَبَتْ ÙˆÙŽÙ‡Ùمْ لَا ÙŠÙØ¸Ù’Ù„ÙŽÙ…Ùونَ
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. Qs.3:161
B. Kaitan ayat dengan sebelumnya
Ayat 160 menandaskan bahwa jika Allah SWT memberi pertolongan kepada mu`min, maka siapa pun tidak akan ada yang mampu mengalahkannya. Namun demikian semua pertolongan itu diberikan Allah SWT ada alasannya. Oleh karena itu jika ingin memperoleh pertolongan Allah SWT hendaklah disiplin dan jujur menjaga amanah. Ayat 161 ini menunjukkan keteladanan rasul SAW dalam menjaga amanah, dan tidak pernah berkhianat.
C. Tinjauan Historis
- Menurut riwayat al-Kalabi dan Muqatil, pasca perang Uhud dipertanyakan kepada pasukan panah yang meninggalkan posisinya.:
Ù„ÙÙ…ÙŽ تَرَكْتÙÙ… أمَاكÙÙ†ÙŽÙƒÙم؟
“Mengapa kalian meninggalkan markas?”[1] Mereka menjawab: Kami khawatir akan keputusan Rasûl SAW yang menetapkan bahwa ghanimah itu merupakan milik yang merampasnya, seperti pada perang Badr. Dengan demikian kami tidak akan mendapat bagian apa pun hasil peperangan. Rasûl SAW menandaskan:
ألَمْ أعْهَد إلَيكÙÙ… أن لاَ تَتْرَكوا المَرْكَز ØØªÙ‘ÙŽÙ‰ يَأتÙÙŠÙŽÙƒÙÙ… أمْرÙÙŠ
Bukankah sudah aku janjikan kepada kalian agar jangan sekali-kali meninggalkan markas sehingga datang kepada kalian perintahku?
Mereka menjawab bahwa kami meninggalkan sebagian anggota kami yang tetap berada di tempat. Rasûl bersabda:
بَلْ ظَنَنْتÙÙ… أنَّا نَغÙلَّ وَلانَقْسم
Kalian menyangka bahwa kami akan korupsi tidak akan membagi ghanimah?
Tidak lama kemudian, turunlah Qs.3:161-163 ini.[2]
2. Diriwayatkan oleh Abu Ya’la (210H-307H) dan al-Thabarani (260H-360H),[3] bahwa ketika perang Badr, ada seseorang yang kehilangan ghanimahnya, rampasan dari musyrikin, kemudian menyangka disembunyikan Rasul SAW, maka turunlah ayat ini. Namun hadits ini dianggap hasan gharib (tidak shahih, tidak pula dla’if, tapi kurang populer) oleh al-Turmudzi, dan dianggap dla’if oleh Ahmad.[4]
3. Sebagian ahli sejarah menerangkan bahwa ghanimah yang hilang pada perang Badr adalah Ù‚Ø·ÙŠÙØ© ØÙ…رى sehelai permadani merah. Saat itu ada sebagian muslim yang menyangka berada di tangan Rasul SAW sebelum dibagikan. Ayat ini turun sebagai bantahan terhadap prasangka buruk yang tidak berdasar.[5]
Dengan demikian, secara historis, Qs.3:161-163 ini turun sebagai penegasan bahwa Rasul SAW itu tidak mungkin korupsi saperti apa yang dicurigakan sebagian muslim.
D. Tafsir Lafzhiyah
1) وَمَا كَانَ Ù„ÙنَبÙيّ٠أَنْ يَغÙلَّ Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.
Perkataan يَغÙلّ berasal dari غَلَّ – يَغÙÙ„ – غÙلاًّ – غÙÙ„Ùولا mengandung arti ‘masuk atau memasukan’ , غَلَّ juga berarti خَانَ ‘berkhianat’. غَلَّ يدَيه bererati membelenggu tangan, غَلَّ النظر menatap dengan tajam, غَلَّ صَدْره dendam.[6]
Menurut al-Nasafi, orang bisa disebut غَل:Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ أَخَذَه ÙÙÙŠ Ø®ÙÙْيَة apabila mengambil sesuatu dengan sembunyi-sembunyi.[7] Dengan kata lain segala macam bentuk pangambilan dan peyimpangan harta, seperti korupsi, manupulasi dan mencuri sebenranya termasuk perbuatan ghulûl. Wahbah al-Zuhayli mengartikan أن يَّغÙلَّ dengan :
ÙŠÙŽØ£Ø®ÙØ° شَيْئًا Ù…ÙÙ†ÙŽ الغَنÙيْمَة٠خÙÙْيَةً mengambil sesuatu dari ghanimah dengan sembunyi-sembunyi.[8] Ditandaskan pada ayat ini, seorang Nabi tidak mungkin berbuat ghulûl, khianat atau korupsi. Allah SWT telah menjaga para nabi dari pelanggaran, walau sekecil apa pun. Jika ada nabi tergelincir dari syari’ah, maka Allah SWT selalu langsung menegur dan meluruskannya dengan turun wahyu. Oleh karena itu tidak pantas bagi siapa pun menyangka seorang nabi berbuat korupsi. Rasul SAW memiliki kedudukan yang tinggi dan meraih derajat mulia dan selalu berakhlaq terpuji.[9]
2) وَمَنْ يَغْلÙلْ يَأْت٠بÙمَا غَلَّ يَوْمَ الْقÙيَامَة٠Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu;
Orang yang melakukan ghulûl akan disiksa oleh perbuatannya sendiri. Harta hasil ghulûl akan menjadi siksaan pada hari qiamat. Ghulûl juga diartikan oleh Abu Bakr al-Jazâ`iri:
السÙّرقَة Ù…ÙÙ†ÙŽ الغَنَائÙÙ… قَبْل Ù‚ÙØ³Ù’مَتÙهَا
Mencuri sebagian harta ghanimah sebelum dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya.[10]
Menurut al-Zuhayli, seorang pegawai yang telah mendapat gaji, kemudian mengerjakan sesuatu dan mendapat imbalan dari yang dibantu di luar gaji, adalah termasuk ghulûl.[11] Rasul SAW bersabda:
مَنْ اسْتَعْمَلْنَاه٠عَلَى عَمَل٠ÙÙŽØ±ÙŽØ²ÙŽÙ‚Ù’Ù†ÙŽØ§Ù‡Ù Ø±ÙØ²Ù’قًا Ùَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلÙÙƒÙŽ ÙÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ غÙÙ„Ùولٌ
Barang siapa yang kami minta suatu pekerjaan dan mengerjakannya, kemudian kami beri rejeki sebagai upah, maka yang menerima imbalan setelah itu termasuk ghulûl. Hr. Abu Dawud, Ibn Khuzaymah, [12]
Dengan demikian ghulûl juga bisa diartikan korupsi, baik yang bentuknya besar atau pun kecil, jumlah banyak atau pun sedikit.
Sedekah dari harta hasil ghulûl tidak diterima Allah SWT. Rasul SAW bersabda:
لا تÙقْبَل٠صَلاَةٌ Ø¨ÙØºÙŽÙŠÙ’ر٠طَهÙوْر٠وَلا َصَدَقَةٌ  مÙنْ غÙÙ„Ùول
Tidak diterima shalat tanpa bersuci, dan tidak diterima sedekah dari harta ghulûl . Hr. Muslim (206H-261H), al-Turmudzi (209H-279H), dan Ibn Khuzaimah (223H-311H).[13]
Sedangkan menurut riwayat lainnya, redaksi sabda Rasul SAW tersebut adalah:
لاَ يَقْبَل٠الله صَدَقَةً  مÙنْ غÙÙ„Ùوْل وَلاَ صَلاَةً Ø¨ÙØºÙŽÙŠÙ’ر Ø·ÙŽÙ‡Ùوْر
Allah SWT tidak menerima sdekah dari harta hasil ghulûl dan tidak menerima shalat tanpa bersuci. Hr. al-Darimi (181H-255H), Abu Dawud (202H-279H), , dan al-Bayhaqi (384H-458H)[14]
Menurut Abu Thayyib, sedekah dari ghulûl mencakup sedekah dari harta yang tidak halal sperti hasil khianat atau ketidakjujuran.[15] Dengan demikian sedekah dari harta haram tidak akan diterima oleh Allah SWT.[16]
Orang yang berbuat ghulûl, di akhiratnya akan terhina, karena harta yang dikorupsinya itu akan memberatkan siksa, dan perbuatanyya akan dipertontonkan hingga menjadi ‘aib dan tercela. Rasul SAW bersabda:
ÙˆÙŽØ¥ÙيَّاكÙمْ وَالْغÙÙ„Ùولَ ÙÙŽØ¥ÙÙ†Ù‘ÙŽÙ‡Ù Ø®ÙØ²Ù’ÙŠÙŒ عَلَى أَهْلÙه٠يَوْمَ الْقÙيَامَةÙ
Jauhilah ghulûl, karena akan menjadi beban berat dan kehinaan bagi pelakunya di hari qiamat. Hr. Ahmad (164H-241H), dan al-Thabarani (260H-360H).[17]
3) Ø«Ùمَّ تÙÙˆÙŽÙÙ‘ÙŽÙ‰ ÙƒÙلّ٠نَÙْس٠مَا كَسَبَتْ kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal,
Perkataan تÙÙˆÙŽÙÙ‘ÙŽÙ‰ berma’na:
ØªÙØ¬Ù’زَى ماَكَسَبَتْه٠ÙÙÙŠ الدّÙنْيَا وَاÙÙيًا تَامًّا ÙÙÙŠ يَوْم٠القÙيَامَة
Dibalas sesuai dengan apa yang diusahakan selama didunia, dengan balasan yang sempurna pada hari qiamat.[18]
Orang yang jujur akan mendapat balasan dari kejujurannya. Orang yang korupsi dan tidak jujur akan memikul akibat dari perbuatannya. Kalimat ini berkaitan pula dengan firman Allah SWT.:
أَلَّا ØªÙŽØ²ÙØ±Ù ÙˆÙŽØ§Ø²ÙØ±ÙŽØ©ÙŒ ÙˆÙØ²Ù’رَ Ø£ÙØ®Ù’رَى () وَأَنْ لَيْسَ Ù„ÙلْإÙنْسَان٠إÙلَّا مَا سَعَى () وَأَنَّ سَعْيَه٠سَوْÙÙŽ ÙŠÙØ±ÙŽÙ‰ () Ø«Ùمَّ ÙŠÙØ¬Ù’زَاه٠الْجَزَاءَ الْأَوْÙÙŽÙ‰
(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, Qs.53:38-41
Firman-Nya lagi:
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
seseorang mendapat pahala dari kebaikan yang diamalkannya, dan menderita siksa akibat kejahatan yang diperbuatnya. Qs.2:286
4) ÙˆÙŽÙ‡Ùمْ لَا ÙŠÙØ¸Ù’Ù„ÙŽÙ…Ùونَ sedang mereka tidak dianiaya.
Tidak ada manusia yang dizhalimi atau dirugikan pada hari kiamat, karena pahala maupun siksa sesuai dengan amal perbuatannya. Setiap individu memperoleh balasan yang adil, tanpa kurang tiada lebih. Siksaan akibat kejahatan tidak melebihi dosanya. Pahala yang diberikan pun tidak dikurangi dari hasil ketaatan yang patuh pada Allah SWT. [19]
Perhatikan firman Allah SWT:
وَاتَّقÙوا يَوْمًا ØªÙØ±Ù’جَعÙونَ ÙÙيه٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ اللَّه٠ثÙمَّ تÙÙˆÙŽÙÙ‘ÙŽÙ‰ ÙƒÙلّ٠نَÙْس٠مَا كَسَبَتْ ÙˆÙŽÙ‡Ùمْ لَا ÙŠÙØ¸Ù’Ù„ÙŽÙ…Ùونَ
Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). Qs.2:281
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa setiap individu akan bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Kata pepatah: Tangan menjinjing, bahu memikul. Oleh karena itu, jangan beranggapan bahwa kejahatan yang kecil tidak mendatangkan akibat buruk. Jangan pula merasa ragu untuk berbuat baik sekecil apa pun, sebab pasti mendapat balasan.
E. Beberapa Ibrah
1. Seorang nabi tidak mungkin berbuat ghulûl, karena telah dima’shum atau dijaga oleh Allah SWT dari perbuatan tercela. Tuduhan munafiq terhadap Nabi SAW adalah palsu dan tidak berdasar fakta.
2.Ghulûl, merupakan perbuatan dosa yang cukup berat akibatnya, karena bakal dipertontonkan ‘aibnya serta kehinaan di akhirat, dan harta hasilnya menjadi siksaan.
3. ghulûl mengandung arti menyembunyikan harta milik umum, untuk kepentingan pribadi. Segala bentuk ketidak jujuran dalam mendapatkan harta, juga, termasuk ghulûl, seperti pegawai yang menerima gaji kemudian mendapat imbalan lain di samping gajinya.
4. Dosa ghulûl tidak bisa ditebus dengan sedekah, karena Allah SWT tidak menerima infaq dari ghulûl. Menginfakkan harta dari hasil ghulul berfungsi sebagai pemisahan harta haram agar jangan sampai bercampur dengan milik sendiri. Oleh karena itu jika terdapat harta yang ducurigai hasil ghulul segera infakkan untuk kepentingan di jalan Allah SWT.
5. Di hari akhir, setiap individu akan mendapatkan imbalan sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Tidak ada suatu kejahatan yang tidak berakibat buruk. Tidak ada suatu kebaikan yang tidak mendatangkan pahala.
6. Bahaya ghulul bukan hanya membikin dserita di akhirat, kelak, tapi juga akan dirasakan di dunia. Ketika seseorang mengkonsumsi makanan yang dibeli dengan uang hasil menipu atau korupsi, sama saja dengan memakan â€kadal†yaitu makanan-makanan yang memperkuat dan memperbesar daerah di otak yang disebut otak kadal. Pada bagian otak manusia ada yang dinamakan otak kadal, letaknya dibagian bawah, sedangkan ditengah ada otak emosi yang bertugas menyambungkan otak kadal dengan otak cerdas. Makanan kadal ini meliputi semua makanan enak, namun apabila memakannya menimbulkan orang yang sakit hati dan merasa teraniaya, maka akan memunculkan berbagai penyakit. Dalam psikologi persuasif ada yang disebut hukum resiprositas, yaitu munculnya perasaan bersalah dan takut di dalam hati saat melihat orang lain terzalimi, meskipun sudah berusaha disembunyikan. Perasaan inilah yang akan menjadi boomerang mematikan. Biasanya, rasa bersalah dan ketakutan yang direpresi (ditekan) di alam sadar akan mengkristal dan melekat di alam bawah sadar (unconsciousness), yang menurut Sandy McGregor merupakan 88 persen bagian dari struktur kesadaran seorang manusia. Rasa takut telah menzalimi orang dan menikmati uang haram dapat mencetuskan respons fisiologis yang berdampak sangat panjang.Pada saat seseorang terbenam dalam ketakutan, sekurangnya terdapat liam respons fisiologis yang terjadi di dalam tubuh. Pertama, terjadi penurunan kadar hormonserotonin. Padahal, hormon serotonin dalam jumlah yang memadai (tidakkurang dan juga tidak lebih) akan menghadirkan kedamaian, ketenangan, dan kelembutan perasaan. Kedua, terjadi penurunan kadar endorfin atau hormon kegembiraan dan kesenangan. Ketiga, terjadi penurunan kadar hormon oksitosin dan vasopresin atau hormon cinta. Keempat, terjadi peningkatan kadar hormon kortisol atau hormon kecemasan dan kegelisahan, disebut juga dengan hormon stress. Kelima, terjadi peningkatan hormon adrenalin dan hormon-hormon sejenisnya. Dengan kondisi fisiologis seperti itu, ia akan selalu merasa resah dan gelisah, sulit merasakan kegembiraan, sulit berempati dan menyayangi orang lain, selalu merasa tertekan, mudah sakit-sakitan, sering tergesa-gesa, dan acap kali melakukan perbuatan yang melampaui batas.[20] Dengan demikian mengkonsumsi sesuatu yang dihasilkan secara tidak halal, seperti korupsi, akan mendatangkan penyakit jasmani dan ruhani, bahkan ekonomi.
- [20] http://spiritualhealinghpa.blogspot.com/2012/05/pengaruh-makanan-haram-pada-kesehatan.html
[1] Mahum Hijazi, al-Tafsir al-Wadlih, IV h.44
[2] Muhammad Syams al-Haq, ‘Awn al-Ma’bûd, XI h.5
[3]ÙAhmad bin Ali Abu Ya’la, Musnad Abi Ya’la, IV h.427, al-Thabarani, al-Mu’jam al-Kubra, XI h.362
[4] al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Qur`an, Tahqiq ‘Abd al-Razaq al-Mahdi, IV h.247
[5] Muhammad Sulayman al-Asyqar, Zubdah al-Tafsir (selesai ditulis tahun 1417H), h.170
[6] Kamus al-Munawir, h.1089
[7] ‘Abd Allah bin Ahmad, Tafsir al-Nasafi, h.191
[8] al-Tafsir al-Munir, IV h.145
[9] Mahmud Hijzi, al-Tafsir al-Wadlih, IV h.44
[10] Abu Bakr al-Jaza`iri, Aysar al-Tafâsir, I h.403
[11] Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, IV h.151
[12] Sunan Abi Dawud, III h.134, Shahih Ibn Khuzaymah, IV h.70
[13] Shahih Muslim, I h.204, Shahih Ibn Khuzaymah, I h.8, Sunan al-Turmudzi, I h.5, Shahih Ibn Hibban, VIII h.52
[14]Sunan al-Darimi, I h.185, Sunan Abi Dawud, I h.16, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, I h.42,
[15] Muhmmad Syams al-Haq, Abu Thayib, ‘Awn al-Ma’bud, I h.58
[16] al-Mubarakfuri (1283H-1353H), Tuhfat al-Ahwadzi, I h.22
[17] Musnad Ahmad, V h.330, al-Mu’jam al-Awsath, VI h.15
[18]Aysar al-Tafâsir, I h.403