ali-Imran:79-80: JADILAH GENERASI RABBANI
JADILAH GENERASI RABBANI
(kajian tafsir ali-imran:79-80)
A. Teks Ayat & Tarjamahnya
مَا كَانَ Ù„ÙØ¨ÙŽØ´ÙŽØ±Ù أَنْ ÙŠÙØ¤Ù’تÙÙŠÙŽÙ‡Ù Ø§Ù„Ù„Ù‘ÙŽÙ‡Ù Ø§Ù„Ù’ÙƒÙØªÙŽØ§Ø¨ÙŽ ÙˆÙŽØ§Ù„Ù’ØÙكْمَ ÙˆÙŽØ§Ù„Ù†Ù‘ÙØ¨Ùوَّةَ Ø«Ùمَّ ÙŠÙŽÙ‚Ùولَ Ù„Ùلنَّاس٠كÙونÙوا Ø¹ÙØ¨ÙŽØ§Ø¯Ù‹Ø§ Ù„ÙÙŠ Ù…Ùنْ دÙون٠اللَّه٠وَلَكÙنْ ÙƒÙونÙوا رَبَّانÙيّÙينَ بÙمَا ÙƒÙنْتÙمْ ØªÙØ¹ÙŽÙ„Ù‘ÙÙ…Ùونَ Ø§Ù„Ù’ÙƒÙØªÙŽØ§Ø¨ÙŽ ÙˆÙŽØ¨Ùمَا ÙƒÙنْتÙمْ ØªÙŽØ¯Ù’Ø±ÙØ³Ùونَ(*) وَلَا ÙŠÙŽØ£Ù’Ù…ÙØ±ÙŽÙƒÙمْ أَنْ ØªÙŽØªÙ‘ÙŽØ®ÙØ°Ùوا الْمَلَائÙكَةَ وَالنَّبÙيّÙينَ أَرْبَابًا Ø£ÙŽÙŠÙŽØ£Ù’Ù…ÙØ±ÙÙƒÙمْ Ø¨ÙØ§Ù„ْكÙÙْر٠بَعْدَ Ø¥ÙØ°Ù’ أَنْتÙمْ Ù…ÙØ³Ù’Ù„ÙÙ…Ùونَ(*)
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” Qs.3:78-80
B.Tinjaun Historis
Ibn Abbas (3 sH – 68 H) menerangkan bahwa Rasul SAW mengajak para pembesar yahudi dan nashrani najran untuk menjadi muslim. Mereka bertanya: أتريد يا Ù…ØÙ…د أن نعبدكَ كما تعبد النصارى عيسى ابن مريم؟  Hai Muhammad! Apakah kami diajak olehmu agar menyembahmu seperti kristen menyembah Yesus? Rasul bersabda: مَعَاذَ الله٠أنْ Ù†ÙŽØ¹Ù’Ø¨ÙØ¯ÙŽ ØºÙŽÙŠÙ’Ø±ÙŽ Ø§Ù„Ù„Ù‡ÙØŒ أو أنْ Ù†ÙŽØ£Ù’Ù…ÙØ±ÙŽ Ø¨ÙØ¹Ùبَادَة٠غَيْرÙه، مَا Ø¨ÙØ°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ بَعَثَنÙÙŠØŒ ولا Ø¨ÙØ°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ أَمَرَنÙÙŠ Kami berlindung kepada Allah dari sikap yang demikian. Na’udzu billah untuk beribadah kepada selain Allah, atau menyruh ibadah kepada selain-Nya. Aku tidak diutus untuk itu. Tidak pula diperintah untuk berbuat seperti itu! Kemudian turunlah Qs.3:79 ini yang menandaskan bahwa tidak sepatutnya rasul memerintah ibadah pada selain Allah. Yang patut bagi mereka adalah mewujudkan umatnya menjadi generasi Rabbani, melalui ajaran kitab dan mengkajinya.[1]
C. Tafsir Kalimat
1. مَا كَانَ Ù„ÙØ¨ÙŽØ´ÙŽØ±Ù أَنْ ÙŠÙØ¤Ù’تÙÙŠÙŽÙ‡Ù Ø§Ù„Ù„Ù‘ÙŽÙ‡Ù Ø§Ù„Ù’ÙƒÙØªÙŽØ§Ø¨ÙŽ ÙˆÙŽØ§Ù„Ù’ØÙكْمَ ÙˆÙŽØ§Ù„Ù†Ù‘ÙØ¨Ùوَّةَ Ø«Ùمَّ ÙŠÙŽÙ‚Ùولَ Ù„Ùلنَّاس٠كÙونÙوا Ø¹ÙØ¨ÙŽØ§Ø¯Ù‹Ø§ Ù„ÙÙŠ Ù…Ùنْ دÙون٠اللَّه٠Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.”
وقال ابن٠عَبَّاس وجماعةٌ من Ø§Ù„Ù…ÙØ³Ù‘ÙØ±ÙŠÙ† : بل الإشارة٠إلى النبيّ٠صلى الله عليه وسلم Ø› وسبب٠نزول٠الآية٠أنَّ أبا راÙÙØ¹Ù Ø§Ù„Ù‚ÙØ±ÙŽØ¸Ùيَّ قال للنبيّ٠صلى الله عليه وسلم ØÙينَ اجتمعت Ø§Ù„Ø£ØØ¨Ø§Ø±Ù من يهودَ ØŒ والوَÙْد٠مÙنْ نصارى نَجْرَانَ : يَا Ù…ÙØÙŽÙ…Ù‘ÙŽØ¯Ù ØŒ إنَّمَا ØªÙØ±Ùيد٠أَنْ Ù†ÙŽØ¹Ù’Ø¨ÙØ¯ÙŽÙƒÙŽ ÙˆÙŽÙ†ÙŽØªÙ‘ÙŽØ®ÙØ°ÙŽÙƒÙŽ Ø¥Ù„ÙŽÙ‡Ø§Ù‹ ØŒ كَمَا عَبَدَت٠النصارى عيسى ØŒ Ùَقَالَ الرَّئÙيس٠مÙنْ نصارى نَجْرَانَ : Ø£ÙŽÙˆÙŽ ذَاكَ ØªÙØ±Ùيد٠يَا Ù…ÙØÙŽÙ…Ù‘ÙŽØ¯Ù ØŒ وَإلَيْه٠تَدْعÙونَا؟ Ùَقَالَ النَّبÙيّ٠صلى الله عليه وسلم : ” مَعَاذَ اللَّهÙ! مَا Ø¨ÙØ°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ Ø£ÙÙ…ÙØ±Ù’ت٠، وَلاَ إلَيْه٠دَعَوْت٠” ØŒ Ùنزلَت٠الآية
Ibn Abbas dan para mufasir lainnya menerangkan sebab turun ayat ini adalah ketika pendeta yahudi dan kelompok nshrani Najran berkumpul di hadapan Rasul SAW, Abu Rafi al-Qurazhi berkata: hai Muhammad kayanya engkau menghendki agar kami menyembahmu dan mempertuhankanmu seperti kaum nashara menyembah Isa? Pimpinan Nashrani Najran berkata: Ataukah anda berkehandak demikian? Kepada itukah engkau menyeru kami? Rasul SAW bersabda: Aku berlindung kepada Allah! Aku tidak diperintah untuk itu. Aku tidak menyeru untuh hal yang demikian! Tidak lama kemudian turunlah ayat ini. Demikian diriwayatkan oleh Ibn Athiyah, Abu Hayan dan al-Tsa’albi.[2]
Dengan demikian, secara historis ayat ini menegaskan bahwa seorang manusia yang mendapat kitab, ilmu dan kenabian tidak mungkin mengajak umat untuk mempertuhankan dirinya! Jika ada orang yang beranggapan demikian, itulah kebohongan besar!
2.. ÙˆÙŽÙ„ÙŽÙƒÙنْ ÙƒÙونÙوا رَبَّانÙيّÙينَ Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani,
Penggalan ayat ÙˆÙŽÙ„ÙŽÙƒÙنْ ÙƒÙونÙوا رَبَّانÙيّÙينَ berma’na ولكن يقول لهم كونوا ربانيين (yang layak mereka katakan kepada umatnya adalah: “jadilah kalian generasi rabbani“).[3] Menurut Ibn Zaid ma’na ayat ini لا أدعوكم إلى أن تكونوا عباداً لي ØŒ ولكن أدعوكم إلى أن تكونوا ملوكاً وعلماء باستعمالكم أمر الله تعالى ومواظبتكم على طاعته (aku tidak mengajak kalian menyembahku, tapi aku menyeru agar kalian menjadi pemimpin, ulama dengan bepegang pada aturan Allah dan tetap dalam menaati-Nya.) Perkataan رَبَّانÙيّÙينَ merupakan bentuk jama dari رَبَّانÙيّ٠(rabbani). Seorang yang bijak tidak akan mendorong umat mengultuskan dia apalagi mempertuhan dirinya, melainkan mendorong agar umatnya menjadi genarsi  رَبَّانÙيّ٠karena mengajarkan kitab dan terus menerus mempelajarinya. Fahr al-Din al-Razi (544-606H),[4] mengutip berbagai pendapat tentang pengertian رَبَّانÙيّÙينَ sebagai berikut:
(1) Imam Sibawaih berpendapat bahwa رَبَّانÙÙŠ merupakan bentuk kata jadian dari رَبّ (tuhan) بمعنى كونه عالماً به ØŒ ومواظباً على طاعته  (yang mengandung arti menjadi orang yang tahu tentang Tuhannya dan setia menaati-Nya). Terkadang diistilahkan رجل إلهي jika ia benar-benar mengenal Tuhannya secara tepat dan benar serta menaati-Nya dengan disiplin. Perkataan رب menjadi رَبَّانÙÙŠ huruf alif dan nun yang disisipkannya berfungsi penguat untuk menunjukkan kesempurnaan sifat.
(2) al-Mubarrid berpendapat bahwa رَبَّانÙÙŠ berma’na أرْبَاب العÙلْم (pemelihara, penguasa ilmu), وهو الذي يرب العلم ويرب الناس أي : يعلمهم ويصلØÙ‡Ù… ويقوم بأمرهم yang mengurus ilmu, dan yang mengurus manusia, yaitu yang mengajar, membina keshalihan dan yang bertanggung jawab tentang urusan manusia).Dengan demikian kalau pendapat Sibawaih menisbatkan رَبَّانÙÙŠ pada رَب yang mengenal Tuhan dan menaati-Nya secara disiplin, dan al-Mubarrid menisbatkannya pada التَّرْبÙية yang memelihara ilmu dan mendidik manusia.
(3) Ibn Zaid berpendapat رَبَّانÙÙŠ berma’na . هو الذي يرب الناس ØŒ ÙØ§Ù„ربانيون هم ولاة الأمة والعلماء orang yang mengurus manusia memimpin umat dan ulama. Ini berakitan dengan ayat lainnya: لَوْلَا يَنْهَاهÙم٠الرَّبَّانÙيّÙونَ وَالْأَØÙ’بَار٠عَنْ قَوْلÙÙ‡ÙÙ…Ù Ø§Ù„Ù’Ø¥ÙØ«Ù’Ù…ÙŽ وَأَكْلÙÙ‡ÙÙ…Ù Ø§Ù„Ø³Ù‘ÙØÙ’ØªÙŽ Ù„ÙŽØ¨ÙØ¦Ù’سَ مَا كَانÙوا يَصْنَعÙونَ Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.Qs.5:63.
Ayat ini mengecam keras pemimpin umat seperti pendeta yang membiarkan umatnya berbuat kebohongan dan memakan yang haram. Dalam ayat ini pemimpin umat disebut الرَّبَّانÙيّÙونَ, sebagai salah satu pengertiannya.
(4) Abu Ubaidah mengira bahwa رَبَّانÙÙŠ bukan bahasa Arab asli, tapi Ibrani atau Suryani. Namun baik bahasa Arab atau pun Ibrani merupakan istilah Ùهي تدل على الإنسان الذي علم وعمل بما علم ØŒ واشتغل بتعليم طرق الخير (yang menunjukkan pada orang yang berilmu dan mengamalkannya serta sibuk mengajarkan jalan kebaikan). Di samping itu terdapat pula ulama lain yang menafsirkan  رَبَّانÙيّÙينَ dengan ulama (orang berilmu dan mengamalkannya) hukama (yang bijaksana) seperti dikemukakan oleh Abu Razim, al-Tsauri.[5]  Al-Hasan dan sa’id bin Zubair mengartikannya dengan  ÙÙقَهَاء عÙلَماء (orang berilmu dan faham tentang keilmuaannya).[6] Al-Biqa’iy (809-885H) mengartikannya dengan تابعين طريق الرب منسوبين إليه بكمال العلم المزين بالعمل (yang mengikuti petunjuk Tuhan, maka dinisbatkan kepada-Nya karena kesempurnaan ilmu dan terhiasi amal). [7] Sedangkan dalam kitab ma’ani al-Qur`an diartikan dengan العالم بدين الرب الذي يعمل بعلمه لانه إذا لم يعمل بعلمه Ùليس بعالم (yang faham tentang agama Tuhan, yang mengamalkan ilmunya. Orang yang tidak mengamalkan ilmu sama dengan tidak berilmu).[8] Ibn Abbas menandaskan:
ÙƒÙونÙوا رَبَّانÙيّÙينَ ØÙلَمَاءَ ÙÙقَهَاءَ ÙˆÙŽÙŠÙقَال٠الرَّبَّانÙيّ٠الَّذÙÙŠ ÙŠÙØ±ÙŽØ¨Ù‘ÙÙŠ النَّاسَ Ø¨ÙØµÙغَار٠الْعÙلْم٠قَبْلَ ÙƒÙØ¨ÙŽØ§Ø±ÙÙ‡Ù
Ibn Abbas berkata: Jadilah rabbaniyin yaitu orang-orang yang penyantun, bijaksana, dan faham betul tentang agama. Rabbani adalah yang mengurus dan mendidik manusia dengan berbagai ilmu sejak dini.[9]
3. بÙمَا ÙƒÙنْتÙمْ ØªÙØ¹ÙŽÙ„Ù‘ÙÙ…Ùونَ Ø§Ù„Ù’ÙƒÙØªÙŽØ§Ø¨ÙŽ ÙˆÙŽØ¨Ùمَا ÙƒÙنْتÙمْ ØªÙŽØ¯Ù’Ø±ÙØ³Ùونَ karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
Orang yang mengajarkan al-Qur`an dan mempelajarinya secara mendalam tidak akan membiarkan umatnya untuk kultus idividu padanya, apalagi memerintah untuk menyembahnya. Dengan demikian ayat ini memberi isyarat bahwa orang yang senang dikultuskan itu sebenarnya tidak memahami isi al-Qur`an.
4. وَلَا ÙŠÙŽØ£Ù’Ù…ÙØ±ÙŽÙƒÙمْ أَنْ ØªÙŽØªÙ‘ÙŽØ®ÙØ°Ùوا الْمَلَائÙكَةَ وَالنَّبÙيّÙينَ أَرْبَابًا Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan.
Dalam catatan sejarah, tatkala ayat ini turun masyarakat Arab terbagi pada toga golongan (1) penyembah Uzair yaitu kaum yahudi, (2) penyembah Yesus yaitu Nashrani, dan (3) penyembah Mala`ikat. Ayat ini sebagai oenegas tentang kebatilan mereka, karena tidak ada nabi atau pun manusia yang berilmu yang mengajarkan hal tersebut. Orang yang menyembah selain Allah, di akhirat bakal dipaksa minta pahala kepada yang mereka pertuhankan. Rasul SAW bersabda:
Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ جَمَعَ اللَّه٠عَزَّ وَجَلَّ الْأَوَّلÙينَ ÙˆÙŽØ§Ù„Ù’Ø¢Ø®ÙØ±Ùينَ Ù„Ùيَوْم٠لَا رَيْبَ ÙÙيه٠نَادَى Ù…Ùنَاد٠مَنْ كَانَ أَشْرَكَ ÙÙÙŠ عَمَل٠عَمÙÙ„ÙŽÙ‡Ù Ù„Ùلَّه٠تَبَارَكَ وَتَعَالَى Ø£ÙŽØÙŽØ¯Ù‹Ø§ ÙÙŽÙ„Ù’ÙŠÙŽØ·Ù’Ù„ÙØ¨Ù’ ثَوَابَه٠مÙنْ عÙنْد٠غَيْر٠اللَّه٠عَزَّ وَجَلَّ ÙÙŽØ¥Ùنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَغْنَى Ø§Ù„Ø´Ù‘ÙØ±ÙŽÙƒÙŽØ§Ø¡Ù عَنْ Ø§Ù„Ø´Ù‘ÙØ±Ù’ÙƒÙ
Tatakala Allah SWT mengumpulkan orang yang awal dan akhir pada hari yang tidak diragukan lagi kejadiannya, penyeru memanggil mereka “siapa yang beramal dengan tujuan ganda antara Allah dan yang lainnya, maka mintalah pahala kepada selain Allah. Sesungguhnya Allah Maha kaya dari sekutu-sekutu“. Hr. Ahmad.[10]
5. Ø£ÙŽÙŠÙŽØ£Ù’Ù…ÙØ±ÙÙƒÙمْ Ø¨ÙØ§Ù„ْكÙÙْر٠بَعْدَ Ø¥ÙØ°Ù’ أَنْتÙمْ Ù…ÙØ³Ù’Ù„ÙÙ…Ùونَ Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?”
Dengan nada bertanya pengunci ayat ini mengecam keras orang yang menyuruh kufur setelah menjadi muslim. Betapa buruknya perangai yang menyuruh kekufuran.
E. Beberapa ibrah
1. Kasum nashrani yang mengajak umatnya mempertuhankan yesus, dan yahudi yang mengajarkan umatnya menyembah Uzair, sebanrnya mereka itu  pemalsu kitab. Mereka tidak segan memutar balikan fakta dan kata, demi mengelabui umat manusia. Gagasan mereka dipromosikan sebagai ajaran kitab Allah, padahal samasekali tidak ada dasarnya. Ajaran mereka dipromosikan sebagai yang datang dari Allah, padahal bikinan mereka sendiri.
2. Seorang nabi dan rasul tidak mungkin mengajak umatnya untuk bertuhan pada selain Allah. Mereka juga tidak mengkin menyusuh umatnya untuk mengkultuskan individunya. Kalau ada yang mengaku nabi dan mengajak umat berkultus individu kepadanya, maka sudah pasti nabi palsu. Seluruh kitab yang diturunkan pada nabi berintikan ajaran tauhid yang memberantas syirik. Oleh karena itu seorang da’I, jangan sampai memberikan pengaruh pada jamaahnya untuk kultus individu. Bila murid atau santri atau jamaahnya sudah mulai mengkulutuskan, maka segeralah dicegah.
3. Nabi dan Rasul mengajak umatnya untuk menjadi generasi Rabbani, yaitu yang selalu mengkaji ayat Ilahi, mengajarkan, menegakkan hokum syari’ah dan membela kebenaran memberantas kebatilan. Oleh karena itu setiap pemuka agama mesti memberikan dorongan pada jamaahnya untuk bersikap kritis, jangan sekali-kali mengajarkan taqlid.
4. Para Nabi dan Rasul adalah pembawa risalah yang mengajarkan syari’ah Ilahiyah, tidak diizinkan untuk memberi peluang umatnya mengkultuskan mereka. Menaati Rasul bukan karena takut olehnya, tapi karena menaati perintah Allah.
5. Mala`ikat adalah makhluq yang berbuat hanya atas perintah Allah, maka tidak sepantasnya dipertuhankan atau dijadikan perantara pada Allah. Jika ingin mendapat bantuan maka mintalah pada Allah SWT secara langsung.
[1] Ibn Hisyam (w.213 H), al-Sirat al-Nabawiyah, III h.91-92, Ibn Katsir,
[2] al-Muharrar al-Wajiz, I h.449, Tafsir al-Tsa’alibi, I h.222 , al-bahr al-Muhith, III h.293,
[3] Abu al-Laits al-Samarqandi (w.375H), Bahr al-Ulum, I h.284
[4] Abu Abd Allah fahr al-Din al-Razi (1150-1210M), Mafatih al-Ghaib, IV h.272-274
[5] Tafsir Al-Tsauri , I h.78
[6] Sunan al-Darimi, I h.107
[7] Burhan al-Din al-Biqa’I, Nazhm al-Dur, II h.80
[8] Ma’ni al-Qur`an, I h.428
[9] Shahih al-Bukhari, I h.37
[10] Musand Ahmad, no.15278