ARTI DAN KEDUDUKAN HADITS
ARTI DAN KEDUDUKAN AL-HADÎTS
A. Arti Hadîts dan al-Sunnah
1. Arti Hadîts
Perkataan Hadîts diambil dari bahasa Arab حدث يحْدُث حُدوْثا حَدَثَة terkadang dibaca حَدَثَ terkadang dibaca حَدُثَ berarti “baru” sebagai lawan kata dari قَدُمَ. Kata حديث juga terkadang berarti خبر kabar, berita. الحديث: الجديد : الخبر [1] al-Hadîts berati baru atau kabar, berita.
Jika disambungkan dengan perkataan lain, maka akan lain pula artinya seperti: حَدَثَ الاَمْرُ berati وَقَعَ “terjadi sesuatu”, َحَدَّث عن “menceritrakan”. Perkataan حَدِيْث juga bisa berarti peristiwa, atau kejadian[2].
Dalam al-Qur`ân banyak ditemukan istilah hadits baik dalam bentuk mufrad, حديث (disebut 18 kali) atau حديثا (disebut lima kali) atau dalam bentuk jama أَحَاديْث (tercantum lima kali). Sedangkan artinya sangat beragam.
Arti Perkataan Hadits dalam al-Qur`ân menurut du penerjemah Indonesia dapat dilihat pada bagan berikut ini:
QS |
DEPAG RI |
M SAID |
4 140 |
Pembicaraan |
Omongan |
6 : 68 |
Pembicara-an |
Soal |
7:185 |
Berita |
Keterangan |
18:6 |
keterang-an |
– |
20:9 |
Kisah |
ceritra |
31:6 |
Perkataan |
cerita |
33:53 |
percakap-an |
mengobrol |
39:23 |
perkataan |
perkataan |
45:6 |
perkataan |
omongan |
51:24 |
Cerita |
ceritra |
52:34 |
Kalimat |
gubahan |
53:59 |
pembicaraan |
berita |
56:81 |
al-Qur`ân |
pernyataan |
68:44 |
Perkataan (al-Qur`ân |
omongan (al Qur’an) |
77:50 |
perktaan |
omongan |
79:15 |
kisah |
ceritra |
85:17 |
berita |
ceritra |
88:1 |
berita |
Cerita suatu kejadian |
4:42 |
kejadian |
perkataan |
4:78 |
pembicara-an |
perkataan |
4:87 |
perkataan |
omongan |
12: 111 |
cerita |
ceritra |
Memperhatikan bagan di atas, nampaklah bahwa istilah hadîts itu terkadang bermakna al-Qur`ân. Rasûl SAW juga pernah menyebut al-Qur`ân dengan أَحسن الحديث seperti diriwayatkan dalam beberapa kitab al-Sunan, dan terkadang menyebut hadîts pada apa yang disabdakannya[3]
Husayn Muhmamad Al-Damaghani berpendapat bahwa perkataan حدث yang tercantum dalam al-Qur`ân mempunyai lima ma’na : القول perkataan, yaitu pada Qs.2: 76 الخبر berita Qs.4:87 القران al-Qur`ân Qs.52:34والقصص kisah-kisah Qs.39:23 والعبرة, , pelajaran Qs.34:19. [4]
Lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut:
MAKNA PERKATAAN HADÎTS DALAM AL-QUR`ÂN
الخبر |
أَتُحَدِّثُونَهُمْ بِمَا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ) البقرة (Qs.2:75) |
القول |
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا) النساءQs.4:87)) |
القرآن |
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ( الطور34) |
القصص |
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا (Qs.3923) |
العبرة |
فَجَعَلْنَاهُمْ أَحَادِيثَ وَمَزَّقْنَاهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ ) سباء (19) |
Sedangkan menurut istilah ilmu hadits, arti hadîts akan beraneka ragam, tergantung pada pendekatan dan ilmu yang menjadi sorotannya, antara lain sebagai berikut:
Menurut Ibnu Hajar al-`Asqalani sebagaimana dikutip Ash-Shiddiqie, hadits ialah
ما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم من أقواله وأفعاله وتقريره
Segala yang datang dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan dan sikap Rasulullah SAW. [5]
Menurut Muhammad Ajaj al-Khathib, sebagaimana dikutip Endang Soetari, Hadits ialah
كُلُّ مَا أثِرَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مِنْ قَوْلٍ أوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّة أَوْ خُلُقِيَّة
.Segala sesuatu yang diberikan dari Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwalnya.[6]
Secara sepintas, memperhatikan kedua definisi ini tampaknya tidak ada batasan antara perkataan, sikap dan perbuatan Nabi yang terjadi setelah diutus ataukah sebelumnya. Persoalannya apakah hal ihwal Nabi SAW sebelum diutus termasuk hadîts? Secara umum pengertian hadits mencakup segala prilaku Rasul SAW sejak kelahirannya sampai wafat. Namun yang berlaku bagi syari’ah atau yang dijadikan sumber hukum adalah setelah Nabi diutus sebagai Raslul SAW.[7]
Walau tanpa dibatasi oleh waktu dan peristiwa, sebenarnya dengan menggunakan istilah مَا أثِر عَن النبِي secara tersirat sudah menunjukkan bahwa yang termasuk hadits itu adalah prilaku setelah kenabian. Sebelum Muhammad diutus jadi Nabi tidak bisa disebut Nabi.
Apakah segala prilaku Nabi menjadi hadîts? Ulama ushul-Fiqh membatasi bahwa yang namanya hadîts itu adalah yang berkaitan dengan syara‘ atau yang menjadi dalil syar’i. Sedangkan yang tidak berkaitan dengan syar’i tidak bisa dikategorikan hadîts. Perhatikan definisi hadîts sebagai berikut:
قَول الرسُول صلى الله عليه وسلم وَفِعْلُهُ وتَقْرِيْرُهُ مِمَّا يَصْلُح أَنْ يَكُوْنَ دَلِيْلاً لِحُكْمٍ شَرْعِي
Hadits ialah sabda, perbuatan, dan taqrir Rasulullah SAW yang tepat untuk dijadikan dasar hukum syara’[8].
Dengan demikian menurut definisi ini, prilaku Rasul yang tidak cocok untuk dijadikan dalil hukum, maka tidak bisa dikategorikan hadîts.
Ulama Fiqih mendefisikan hadîts dengan “ Segala sesuatu yang dicontohkan Rasulullah, tapi tidak tergolong pada wajib”.
Namun di fihak lain ada pula ulama yang berpendapat bahwa hadîts itu tidak hanya dari Nabi, melainkan dari shahâbat dan para tâbi’în. Dari situlah dikenal dengan istilah hadîts Marfû‘ (yang bernisbat pada Nabi), hadîts mawquf (bernisbat pada shahâbat) dan hadîts maqthu’ (bernisbat pada tâbi’în).[9]
2. Arti Sunnah
Sunnah سنّة menurut bahasa berarti سِيْرة[10] prilaku, cara, dan jalan hidup. Kadang-kadang sunnah berarti hukum atau ketetapan dan tradisi yang sudah berjalan.[11]
Dalam al-Qur`an terdapat perkataan sunnah, cukup banyak. Oleh Depag RI ada yang ditarjamahkan, dan ada pula yang tidak ditarjamahkan. Lebih jelas bisa dilihat pada bagan berikut:
SURAT: AYAT |
REDAKSI AYAT |
h |
TARJAMAH DEPAG RI |
8:38 |
فَقَد مَضَت سُنَّةُ الأَوَّلِيْن |
266 |
sunnah |
15:13 |
وَقَدْ خَلَت سُنَّةُ الأَوَّلِيْن |
391 |
sunnatullah |
17:77 |
سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا |
436 |
sebagai suatu ketetapan |
18:55 |
سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ |
452 |
hukum Allah yg berlaku |
33:38 |
سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ |
674 |
sunnah/ketetapan |
35:43 |
فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا |
703 |
sunnah Allah |
|
|
|
|
40:85 |
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ |
771 |
Sunnah Allah |
48:23 |
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ |
841 |
hukum Allah yg telah ditetapkan-Nya |
17:77 |
وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا |
436 |
ketetapan kami |
3:137 |
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ |
98 |
hukuman-hukuman Allah |
4:26 |
وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ |
121 |
jalan-jalan |
|
|
|
|
Dengan memperhatikan tarjamah di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah “Sunnah” yang terdapat dalam al-Qur`ân ada yang berarti hukum-hukum, ketettapan, syari’ah, dan ada pula yang berarti jalan hidup. Jika perkataan sunnah disambungkan dengan lafzh al-Jalalah, maka berarti ketetapan atau hukum-hukum. Jika disandarkan pada manusia atau para nabi, maka sunnah berarti cara atau jalan hidup. Dengan demikian Sunnah al-Rasul berarti cara hidup atau tradisi Rasul SAW.
Muhammad Ajaj al-Khathib memberikan komentar tentang sunnah yang cukup luas maknanya antara lain sebagai berikut:
إِذا اطلق لفظ السنة في الشرع فانما يراد بها ما امر به الرسول صلى الله عليه وسلم ونهى عنه وندب إليه قولا وفعلا و لهذا يقال في أدلة الشرع الكتاب و السنة أي القرآن والحديث
Istilah Sunnah dalam syari’ah hanyalah bermakna segala perintah, larangan, dan anjuran Rasulullah SAW, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh karena itu telah dikenal bahwa dalil syara ialah al-Kitab dan Sunnah, yaitu al-Qur`ân dan Hadits. [12]
Memperhatikan komentar ini, jelas bahwa Muahmmad Ajaj menyamakan antara pengertian sunnah dengan pengertian Hadits. Beliau juga menandaskan bahwa sunnah dalam hal ini bermakna sama dengan makna hadits.[13]
Namun dalam istilah fiqih, sunnah itu merupakan salah satu dari hukum:
هي كل ما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ولم يكن من باب الفرض ولا الواجب
Sunnah ialah segala yang telah ditetapkan dari Nabi SAW, tapi tidak termasuk pada kategori fardu atau wajib. [14]
Dalam fiqih berbahasa Indonesia biasanya dibedakan antara sunnah yang bermakna contoh Rasulullah SAW dengan sunnah hukum. Perbedaan tersebut dengan menggunakan istilah Sunat, pada hukum yang bersifat anjuran, dan sunnah untuk contoh Rasulullah SAW. Namun kadang-kadang, istilah sunat diartikan khitanan. Sampai saat ini belum diketahui siapa yang memberikan ketentuan tersebut.
Di fihak lain ada juga ulama yang membedakan antara pengertian sunnah dangan hadits. Menurut sebagian mereka Sunnah itu lebih luas maknanya dari hadits, karena mencakup segala aspek kehidupan. Namun di lain fihak ada yang berpendirian bahwa hadits lebih luas maknanya dari sunnah. Sunnah terbatas pada hal-hal yang dilakuan oleh Rasulullah SAW secara tradisi terus menerus dan ada unsur kesengajaan.
Perlu juga mendapat perhatian, ternyata sunnah yang mesti ditaati bukan hanya sunnah Rasulullah SAW, seperti dalam riwayat Muslim[15] ditandaskan bahwa sunnah itu ada yang hasanah dan ada pula yang sayyi’ah. Sunnah hasanah سنة حسنة ialah contoh dan teladan baik, atau merintis segala kebajikan. Sedangkan سنة سيئة sunnah sayi’ah ialah teladan buruk atau seponsor keburukan.
Kaum muslimin juga diperintah untuk mengikuti sunnah Rasûl SAW dan sunnah Khulafâ al-Rasyidin, sabdanya:
عَلَيْكُم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاء المَهْدِيِّيْن
Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk. [16]
Namun menariknya tidak ditemukan hadits yang menyuruh agar mentaati hadits al-khulafa al-Rasyidun. Itulah mungkin salah satu alasannya mengapa dalam ilmu hadits, istilah “hadits” itu lebih khusus maknanya dibanding dengan sunnah.
[1] Ahmad al-Zawi, Tartib al-Qamus al-Muhith, Isa al-Babi, II, I : 600
[2] Ahmad Warson Munwair, Kamus Arab Indonesia, Pondok Pesantren Al-Munawir, Yogyakarta, 1994
[3] Shubkhi Salih, Ulumul-Hadits wa mushthalahuh, Dar-al-Ilmi, Bairut, 1977, hlm.5
[4] al-Husain Bin Muhammad al-Damaghani, Ishlah al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim, Dar al-Ilmi, Beirut 1980, h. 121.
[5] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII h.245
[6] Endang Soetari AD,, Ilmu Hadits kajian riwayah & Dirayah, Amal bakti Press, 2000 halaman (h.) 1
[7] Muhammad Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits ulumu wa mushthalahuh, Dr al-Fikri, beirut, 1989, h. 27
[8] Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits ulumuh wa mushthalahuh h. 27
[9] Endang Soetari, Ilmu hadits, h. 2
[10] Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h.17
[11] Warson Munawwar, Kamus, h. 716
[12] Muhammad Ajaz, Ushul al-hadits, halaman 18
[13] ibid 19
[14] ibid 19
[15] Al-Nawawi, h. 705
[16] Abu Daud, Sunan Abi Daud, IV halaman 287