ARTI DAN SEJARAH SHALAT

A. Pengertian Shalat
a. Arti shalat
Menurut Syihab al-Din Ahmad Ibn Hajar al-Asqalani (853H-915H), perkataan الصلاة shalat menurut bahasa, sekurang-kurangnya mengandung empat ma’na: (1) الدُّعاء do’a atau permohonan (2) الترحم rahmat kasih sayang (3) الإسْتِغفَار memohon ampunan atau taubat (4) الدِّيْن agama atau hari pembalasan.
Allâh SWT Shalat kepada hamba-Nya berarti mencurahkan rahmat. Mala`ikat shalat kepada nabi atau umat yang beriman berma’na memohonkan ampun dan mendo’akan. Hamba Allâh shalat kepada Allâh berma’na do’a dan ibadah kepada-Nya. Sedangkan jika perkataan shalat itu diterapkan kepada sesama manusia akan berarti saling mendo’akan. Perhatikan tabel berikut:
SHALAT PADA AYAT TARJAMAH DALAM ARTI
Allah SWT Manusia هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ Allah shalat padamu. Qs.33:43 Men-curahkan rahmat
Allah SWT Nabi إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ Seungguhnya Allah dan Mala`ikat shalat pada nabi. Qs.33:56 Men-curahkan rahmat
Malaikat Nabi وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ dan Mala`ikat shalat pada nabi. Qs.33:56 Mendao’akan memhon-kan rahmat
Malaikat Manusia هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
33:43 Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang).33:43 Memohon-kan ampun, meng-ilhami kebenar-an
Manusia Allah إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Qs.20:14 Ibadah, berbakti, dzikir
Manusia Nabi يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا Hai orang yang beriman shalatlah atas nabi dan sampaikanlah salam. Qs.33:56 Mendo’akan untu kesejah-teraan dan keselamatan nabi
Manusia Manusia خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Qs.9:103 Mendo’a-kan
Memperhatikan beberapa ayat di atas, dapat menyimpulkan bahwa shalat itu ada yang berkaitan dengan al-khaliq, ada pula yang berkaitan dengan makhluq. Shalat kepada Allah telah ditetapkan aturannya secara rinci oleh Rasul SAW. Demikian pula shalat kepada nabi, baik kalimat maupun tempat telah diatur oleh Rasul SAW. Tidak sepatutnya seseorang membuat aturan sendiri yang tidak berdasar aturan syari’ah. Inti dari shalat kepada Allah adalah ritual ibadah kontak langsung antara hamba dengan Khaliq.
Allâh Subhanahu Wa Ta’ala Shalat kepada hamba-Nya berarti mencurahkan rahmat. Mala`ikat shalat kepada nabi atau umat yang beriman berma’na memohonkan ampun dan mendo’akan. Hamba Allâh shalat kepada Allâh berma’na do’a dan ibadah kepada-Nya. Sedangkan jika perkataan shalat itu diterapkan kepada sesama manusia akan berarti saling mendo’akan. al-Shalat (الصَّلاَة), Menurut Al-Jurjani (740-816H):
وَالصَّلاةُ فِي الشَرِيْعَة عِبَارَةٌ عَنْ أرْكَان مَخْصُوْصَة وَأذْكَار مَعْلُوْمَة بِشَرَائِط مَحْصُورَة فِي أوْقَاتٍ مُقَدَّرَة
Perkataan shalat dalam syari’ah merupakan istilah tentang perbuatan dikhususkan, dzikir yang ditentukan, syarat-syarat yang dipastikan dalam waktu-waktu yang dipastikan.
Manshur Ali Nashif (1351H), menerangkan:
الصَّلاة لُغَةً الدُّعَاء بِخَيْرٍ وَشَرْعَا : أقْوَال وَأَفْعَالٌ مُفْتتَحَةٌ بِالتَّكْبِير مُخْتَتمَةٌ بِالتَّسْلِيم بِشَرَائِط مَخْصُوْصَة
Shalat menurut bahasa berarti do’a untuk kebaikan. Menurut istilah syari’ah ialah perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir diakhiri salam dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Al-Sayid Sabiq (1365H), menjelaskan:
الصَّلاة عِبَادَة تتَضَمَّن أقْوَالاً وَأفْعَالاً مَخْصُوْصَة مُفْتَتَحَة بِتَكْبِيْر الله تَعَالى مُخْتَتمَة بِالتَّسْلِيْم
Shalat ialah ibadah yang terdiri atas ucapan dan perbuatan tertenntu, yang diawali takbir dan diakhiri salam.
Perintah pada ayat ini bukan hanya melaksanakan, tapi juga menegakkan shalat. Menegakkan shalat berma’na melaksanakannya secra ritual dengan memenuhi syarat rukunnya secara khusyu, dan memanifestasikan ma’nanya dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian pelaksanaan shalât isya, boleh dikahirkan, tapi tidak dibenarkan tidur sebelumnya, karena tidak disenangi Rasûl SAW.
B. Sejarah diwajibkan Shalat
a. shalat para nabi terdahulu
Sejak kapan ibdah shalat difardlukan kepada umat, hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang mengetahuinya. Namun yang jelas para nabi dan rasul terdahulu pun diungkapkan dalam berbagai ayat al-Qur`an, sudah menerima perintah shalat.
(1) Nabi Ibrahim dalam salah satu do’anya bermunajat:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
Ya Tuhanku! Jadikanlah aku orang yang setia menegakkan shalat, demikian pula keturunanku. Ya Tuhan ! qabulkanlah do’a ini! Qs.14:40
Jika Nabi Ibrahim berdo’a untuk diri dan keturunannya agar setia menegakkan shalat, maka bisa difahami bahwa ibadah ini telah berada sejak para nabi terdahulu sebelumnya. Cara shalat Nabi Ibrahim dan keturunannya, jelas terdiri dari berdiri, ruku, sujud sebagaimana tersirat pada al-Qur`an:
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang berdiri, beribadat dan orang-orang yang ruku` dan sujud.Qs.22:26
2. Nabi Ismail, shalat dan mengajari keluarganya
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا () وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh ahlinya untuk melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya. Qs.19:54-55
3.. Nabi Musa, Harun dan umatnya diperintah
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآَ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: “Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu sebagai qiblat (tempat shalat) dan dirikanlah olehmu shalat serta gembirakanlah orang-orang yang beriman”.Qs.10:87
4. Nabi Zakariya menegakkan shalat di masjid
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ () فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ
Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.” Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.”.Qs.3:38-39
5. Siti Maryam
يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ
Hai Maryam, ta`atlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku`lah bersama orang-orang yang ruku`. Qs.3:43
6. Nabi Isa menyatakan sebagai berikut
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; Qs.19:31
Berdasar beberapa ayat di atas, jadi jelas bahwa ibadah shalat telah disyari’atkan sejak para nabi dan rasul terdahulu, sebelum Nabi Muhammad Shalla Allah alaihi wa Sallam diutus.
b. Sejarah shalat di era Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam
1. Shalat malam sejak wahyu ketiga
Ibadah shalât telah diperintahkan kepada Rasûl Shalla Allah alaihi wa Sallam sejak awal kenabian, dengan turunnya wahyu ketiga, yaitu Al-Qur`ân surat al-Muzammil. Shalât yang diperintah oleh ayat tersebut adalah shalât malam.
Perhatikan ayatnya:
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ () قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا () نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا () أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا () إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا () إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا () إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلًا () وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا
Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. Qs.73:1-8
2. Shalat lima waktu sejak peristiwa mi’raj dengan dua rakaat setiap waktunya kecuali maghrib
Shalât lima waktu baru diperintahkan ketika Rasûl SAW mi’raj, yang awalnya lima puluh waktu kemudian menjadi lima waktu. Sedangkan shalât malam, sebagaimana ditegaskan pada Qs.17:78-79, kedudukannya menjadi nâfilah atau tambahan. Perhatikan ayatnya:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا () وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. Qs.17:78-79
Ayat ini mengisyaratkan bahwa ibadah shalat yang difardlukan adalah لِدُلُوكِ الشَّمْسِ mengisyaratkan waktu zhuhur, إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ (hingga waktu malam gelap tiba), sebagai isyarat ashar, maghrib dan isya, serta وَقُرْآَنَ الْفَجْر waktu fajar yaitu shalat shubuh. Kemudian ditegaskan bahwa shalat tahajjud di waktu malam, masih tetap dikerjakan sebagai shalat nafilah atau atau tambahan yang difahami oleh mufassir menjadi anjuran.
Dalam riwayat al-Bukhari terdapat hadits yang sangat panjang, Rasûl mengisahkan peristiwa mi’raj dan turun perintah shalât yang asalnya lima puluh waktu, kemudian setelah bertemu Mûsâ (pertemuan gha`ib), dikurangi menjadi lima waktu. Anas bin Malik (10sH-93H), menerangkan:
فُرِضَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَوَاتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ خَمْسِينَ ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا ثُمَّ نُودِيَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّهُ لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَإِنَّ لَكَ بِهَذِهِ الْخَمْسِ خَمْسِينَ
Shalât difardlukan kepada Nabi SAW pada malam Isra mi’raj sebanyak lima puluh waktu kemudian dikurangi hingga menjadi lima waktu. Kemudian ditandaskan hai Muhammad, tidak ada perubahan ketentuan di sisi-Ku, sesungguhnya lima waktu ini bagimu sederajat dengan lima puluh waktu. Hr. Abd al-Razaq (126H-211H) Ahmad (164H-241H), dan Al-Tirmidzi (209H-279H).
Kapan terjadi Isra mi’raj? Ulama tarikh berbeda pendapat. (1) Menurut al-Thabari, isra mi’raj terjadi pada tahun pertama kenabian. (2) Menurut al-Nawawi dan al-Qurthubi isra mi’raj terjadi pada tahun kelima kenabian. (3) menurut al-Mansurfuri, mi’raj terjadi pada 27 rajab tahun 10 dari kenabian. (4) Ada yang berpendapat mi’raj terjadi pada ramadlan tahun 12 kenabian. (5) ada yang mengatakan bahwa mi’raj terjadi pada empat belas bulan sebelum hijrah, atau bulan Muharram tahun 13 kenabian. (6) ada pula yang berpendapat bahwa isra mi’raj terjadi pada bulan Rabi’ ul-Awal tahun 13 dari kenabian. Al-Mubarakfuri, Guru Besar Universitas Salafiyah India, berpendapat bahwa pendapat kesatu, kedua dan ketiga, sulit dipertanggungjawabkan dasarnya, karena Siti Khadijah wafat pada bulan ramadlan tahun 10 dari kenabian, padahal saat itu belum ada kewajiban shalât lima waktu. Tidak ada ikhtilaf di kalangan ahli sejarah bahwa shalat lima waktu difardlukan ketika peristiwa mi’raj Rasûl SAW. Sedangkan ketiga pendapat terakhir di atas, tidak ditemukan mana yang paling kuat keabsahaannya. Namun yang jelas mayoritas ulama tarikh di Indonesia berpendapat bahwa peristiwa isra’ mi’rah terjadi pada 27 rajab, tahun 10 dari kenabian, atau ketika Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam berusia 50 tahun. Pendapat ini diabadikan pada setiap tanggal 27 rajab ditetapkan sebagai hari libur nasional. Jumlah raka’at shalât pada awal difardlukan adalah dua raka’at, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah:
الصَّلَاةُ أَوَّلُ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ
Shalat itu pertama kali difardlukan adalah dua raka’at, yang terus diberlakukan ketika shafar, dan dilaksanakan secara sempurna ketika berada di tempat. Hr. Al-Bukhari dan Muslim , redaksi yang dikutif riwayat al-Bukhari.
Dalam riwayat lain Aisyah menerangkan:
فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ إِلَّا الْمَغْرِبَ فُرِضَتْ ثَلَاثًا لِأَنَّهَا وِتْرٌ
Shalat difardukan semuanya dua-dua raka’at kecuali maghib telah difardlukan tiga ra’aat karena jumlah ganjil. Hr. Ahmad. pada awalnya
Pelaksanaan shalat lima waktu yang dua rakaat tersebut, selama di Mekah dengan berjamaah dilaksanakan di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam dekat bukit Shafa. Dari ruah tersebut bila menghadap ka’bah, arahnya sama dengan menghadap Bait al-Maqdis, berlangsung hingga hijrah.
Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam hijrah dari rumahnya di Mekah di hari kamis terakhir bulan shafar, kemudian transit di Jabal Tsur, dan hari senin awal bulan rabi’ul-awal berangkat menuju Yatsrib (yang kemudian dinamai Madinah). Hari senin tanggal 8 (ada pula yang berpendapat tanggal 12, tapi yang jelas bertepatan dengan tanggal 23 September 622 M) rab’ul-Awal sampai di kampung Quba transit di keluarga Bani Amr yang bernama Kultsum bin Hazim (Harim) dan menginap di Bani Amr bin Auf sejak hari Senin sampai Kamis, mendirikan masjid (yang kemudian bernama Masjid Quba).
3. Adanya kewajiban shalat jum’at di Bani Salim yang mulanya menghadap al-Aqsha
وَخَرَجَ مِنْ بني عَمْرِو بن عَوْفٍ ، فَأَدْرَكَتْهُ الْجُمُعَةُ فِي بني سَالِمِ بن عَوْفٍ ، فَصَلَّى الْجُمُعَةَ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي بِبَطْنِ الْوَادِي
Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam Meningalkan Bani Amr bin Auf, kemduan tiba waktu jum’at di Bani Salim bin Auf dan melaksanakan shalat jum’at di masjid yang berdekatan dengan lembah. Hr. Al-Thabarani.
Dalam riwayat al-Baihaqi diterangkan bahwa shalat jum’at ini yang pertama kali dilaksanakan dengan menghadap Bait al-Maqdis (masjid al-Aqsha). Semua shalat ketika sampai di Madinah menghadap masjid al-Aqsha, sebelum ada perintah menghadap ke al-Masjid al-Haram. Setelah shalat jum’at, Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam melanjutkan perjalanan ke Yatsrib. Tiba di sana menempati tanah waqaf dari Abu Ayub al-Anshari dan mendirikan masjid Nabawi. Kota Yatsrib diganti namanya dengan al-Madinah al-Munawwarah.
4. Sampai di Madinah bertambah rakaat
Diriwayatkan dari Aisyah:
قَدْ فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ بِمَكَّةَ فَلَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ زَادَ مَعَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ إِلَّا الْمَغْرِبَ فَإِنَّهَا وِتْرُ النَّهَارِ وَصَلَاةَ الْفَجْرِ لِطُولِ قِرَاءَتِهِمَا
Ibadah shalat difardlukan dua-dua raka’at sejak di Mekah. Ketika Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam sampai di Madinah setiap waktunya ditambah dua raka’aat kecuali maghrib sebagai witr siang, dan shalat shubuh karena panjang bacaan al-Qur`an pada keduanya raka’atnya. Hr. Ahmad.
Redaksi lainnya, ‘A`isyah menerangkan:
فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ هَاجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفُرِضَتْ أَرْبَعًا وَتُرِكَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ عَلَى الْأُولَى
Shalât difardlukan awalnya dua raka’at, kemudian Rasûl SAW hijrah, maka difardlukan ada yang empat raka’at. Sedangkan shalât diperjalanan tetap pada ketentuan semula. Hr. Al-Bukhari, dan Muslim.
Jadi jelas yang ditambah rakaat itu zhuhur, ashar dan isya. Sedangkan shalat yang tidak ada perubahan rakaatnya sejak di Makkah adalah shalat maghrib dan shubuh. Namun selama di perjalanan, yang empat rakaat itu tetap menjadi dua raka’at, kemudian dinamakan qashar.
5. Perubahan arah qiblat
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ { قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ } فَتَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ وَقَالَ السُّفَهَاءُ مِنْ النَّاسِ وَهُمْ الْيَهُودُ{ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمْ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ } فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ مَا صَلَّى فَمَرَّ عَلَى قَوْمٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فِي صَلَاةِ الْعَصْرِ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ هُوَ يَشْهَدُ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ تَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ فَتَحَرَّفَ الْقَوْمُ حَتَّى تَوَجَّهُوا نَحْوَ الْكَعْبَة
Diriwayatkan dari al-Barra bin Azib yang menerangkan: Adalah Rasul SAW melaksanakan shalat berqiblat ke Bait al-Maqdis antara enam belas hingga tujuh belas bulan lamanya. Beliau menginginkan sekali berqiblat ke Ka’bah, maka turun قدنرى تَقَلُّب (Qs.2:144), kemudian menghadap ke Ka’bah. Kebanyakan yahudi mempertanyakan) مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمْ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Qs.2:142). Seseorang shalat bersama Nabi SAW, kemudian ke luar dan melewati kaum anshar sedang shalat ashar ke arah Bait al-Maqdis. Orang itu bersaksi sesungguhnya dia shalat bersama Rasul SAW menghadap Ka’bah. Kaum anshar pun mengarahkan qiblatnya menjadi ke Ka’bah. Hr. al-Bukhari (194-256H), Muslim (206-261H).
Dalam riwayat lain diterangkan bahwa Rasul SAW sejak di Mekah, sahalatnya berqiblat ke Bait al-Maqdis, tapi tidak diketahui orang banyak, karena arahnya sama. Rasul SAW melaksanakan shalat dari arah selatan Ka’bah, sehingga Bait al-Maqdis pun di hadapan beliau. Tatkala sampai di Madinah, arah Ka’bah dengan Bait al-Maqdis adalah berlawanan. Orang yahudi menuduh Rasul SAW shalatnya tidak tentu arah dan plin-plan. Menurut mereka di Mekah menghadap Ka’bah, di Madinah menghadap Bait-al-Maqdis, yang kemudian berubah ke al-Masjid al-Haram yang di dalamnya terdapat Ka’bah. Ayat ini turun mengungkapkan kebodohan yahudi yang tidak mengetahui kedudukan sebenarnya. Ka’bah merupakan qiblat bagi nabi Ibrahim, pasca beliau bangun kembali, sebagaimana ditegaskan pada ayat (Qs.2:125) yang lalu. Dengan demikian Nabi Muhammad SAW sebagai pelanjut millah Ibrahim, sangat wajar dalam shalatnya, mendambakan agar Ka’bah dijadikan qiblatnya.
عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا }فَوُجِّهَ نَحْوَ الْكَعْبَة
Diriwayatkan dari al-Barra bin Azib , Rasul SAW tiba di Madinah melaksanakan shalat berkiblat ke Bait al-Maqdis antara enam belas hingga tuuuh belas bulan. Beliau menginginkan untuk berkiblat ke Ka’bah. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا , maka beliau menghadap ke arah al-Ka’bah. Hr. al-Bukhari (194-256H), Muslim (206-261H), Abu Dawud (202-275H), Ibn Majah (207-275), al-Tirmidzi (209-279H), al-Nasa`iy (215-303).
Diriwayatkan, masih dari al-Barra bon Azib:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَوَّلَ مَا قَدِمَ الْمَدِينَةَ نَزَلَ عَلَى أَجْدَادِهِ أَوْ قَالَ أَخْوَالِهِ مِنْ الْأَنْصَارِ وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلَاةٍ صَلَّاهَا صَلَاةَ الْعَصْرِ وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ مَكَّةَ فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ
Sesunguhnya Nabi Shalla Allah alaihi wa Sallam sesampainya di Madinah bertempat tingal di sekitar kakek atau paman kaum anshar, beliau shalat menghadap Bait al-Maqdis sekitar enam belas atau tujuh belas bulan. Beiau menginginkan berkiblat ke Bait Allah (al-Haram). Sedangkan pertama kali shalat menghadap masjid al-Haram itu ketika shalat ashar, yang diikuti oleh jamaah. Kemudian seseorang yang ikut berjamaah itu pergi dan menemukan jamaah masjid sedang ruku. Dia mengatakan aku bersaksi atas nama Allah, saya sudah shalat bersama Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam menghadap Mekkah, maka mereke berputar arah untuk menghadap Bait Allah. Hr. Al-Bukhari.
Dengan demikian perpindahan arah qiblat itu sekiat bulan rajab tahun kedua hijriah.