BERSUCI UNTUK MENGHADAP ILAHI BERDASAR QS.5:6
- يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
Perkataan إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ menurut al-Alusi bermakna إذا أردتم القيام إليها والاشتغال بها jika kalian hendak berdiri untuk shalat dan sudah menyiapkannya.[1] Sedangkan menurut al-Suddi, sebagaimana dikuti al-Qurthubi, bermakna “jika bangkit dari tidur dan hendak melaksanakan shalat“.[2] Pengertian pertama berlaku umum, baik bagi yang hadits (batal wudlu) ataukah tidak, sedangkan pengertian kedua mengisyaratkan perintah bagi yang batal wudlu yang dilambangkan baru bangun tidur, dan hendak shalat. Awalnya memang wudlu itu mesti dilakukan setiap akan shalat, sedangkan pada periode berikutnya, hanya diwajibkan pada orang yang sudah bathal wudlunya. Diriwayatkan dari Sualaiman bin Buraidah dari ayahnya menyatakan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ فَتْحِ مَكَّةَ صَلَّى الصَّلَوَاتِ كُلَّهَا بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ
Seungguhnya Nabi Shalla Allah alaihi wa Sallam se;a;u wudlu setiap akan shalat, tapi ketika hari futuh Mekah, beliau shalat beberapa shalat dengan satu kali wudlu. Hr. Ibn Majah.[3]
Adapun kalimat إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ lebih menekankan keharusan wudlu itu hanya untuk shalat sebagaimana ditegaskan pula dalam hadits lainnya, bahwa Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam pernah ke luar dari tempat buang air kemudian mendekati makanan, lalu shahabat menawarkan air wudlu untuknya. Rasul bersabda:
إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلَاةِ
Aku diperintah wudlu hanya untuk shalat. Hr.al-Nasa`iy.[4]
Diriwayatkan dari Abi Hurairah, Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam bersabda:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ
Tidak sah shalat, orag yang tidak punya wuldu, dan tidak sah wudlu tapa menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala atasnya. Hr. Abu Dawud.[5]
Adapun cara berwudlu tersurat pada kalimat berikutnya:
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Kalimat ini memerintah berwudlu yang caranya telah dicontohkan Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam antara lain dipergakan oleh Utsman bin Affan seperti hadits berikut”
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَزِيدَ اللَّيْثِيَّ أَخْبَرَهُ أَنَّ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا
Dari Ibn Shihab, Atha bin Yazid al-Laitsi menerangkan bahwa Hamran Mawla Utsman meriwayatkan. Utsman bin Affan minta air, dan berwudlu sebagai berikut: (1) mencuci telapak tangan tiga kali, (2) berkumur disertai menghirup air ke hidung dan mengelaurkannya, (3) mencuci muka tiga kali, (4) mencuci tangan kanan hingga sikut tiga kali, (5) mencuci tangan kiri seperti pada tangan kanan, (6) menyapu kepala (dalam riwayat lain, berlanjut ke telinga), (7) mencuci kaki kanan hinga mata kaki, tiga kali, (8) mencuci kaki kiri seperti pada kaki kanan . Hr. Muslim.[6]
Cara menyapu kepala ketika wudlu diterangkan sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا حَتَّى رَجَعَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ
Dari Abd Allah bin Zaid diterangkan bahwa Rasul SAW menyapu kepala (ketika wudlu) dengan kedua tangannya. Beliau memulai dari depan ke belakang. Mulai dari bagian depan kemudian telapak tangannya menyapu kepala sampai ke kuduknya dan mengembalikannya lagi hingga mengenani tempat semula. Hr. al-Tumrmudi. Diterangkan pula dalam hadits berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا
Dari Ibn Abbas, diriwayatkan bahwa rasul ketika wudlu menyapu kepalanya langsung membersihkan telinga baik bagian luar maupun dalamnya. Hr. al-Turmudzi.
Dalam riwayat lain, Ibn Abbas menerangkan sifat wudlu Rasul SAW ketika manyapu kepala sebagai berikut:
وَمَسَحَ بِرَأسِهِ وَأُذُنَيْه مسْحَةً وَاحِدَةً
Rasul SAW ketika berwudlu menyapu kepala dan membersihkan kedua telinganya hanya satu kali. Hr. Abu dawud.[7]
Dengan demikian cara wudlu berdasar hadits tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) membaca basmalah, (2) mencuci telapak tangan, (3) berkumur dan menghirup air ke hidung dan mengeluarkannya, (4) mencuci muka tiga kali, (5) mencuci tangan kanan hingga sikut tiga kali, (6) mencuci tangan kiri sampai sikut tiga kali, (7) menyapu kepala dengan kedua telapak tangan yang basah dari depan ke belakang (hingga kuduk) yang dilanjutkan membersihkan telinga bagian luar dan dalamnya, (8) mencuci kaki kanan hingga mata kaki tiga kali, (9) mencuci kaki kiri hingga mata kaki tiga kali.
- وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا dan jika kamu junub maka mandilah,
Kalimat ini merupakan kelanjutan setelah perintah berwudlu, maka bisa difahami jika dalam keadaan junub, maka setelah berwudlu lenjutkan mandi. Memang di kalangan ulama timbul perbedaan faham tentang hokum wudlu sebelum mandi. Namun jika membaca urutan ayat, maka jelas mandi itu merupakan kelanjutan wudlu bagi yang mengalami junub. Perkataan جُنُبًا menurut bahasa جنب mengandung arti بعد menjauh atau mengasingkan. Selanjutnya menjadi istilah bagi yang mengalami hadats yang menimbulkan wajib mandi.
Macam-macam junub
Seseorang menjadi junub apabila mengalami hal-hal sebagai berikut:
(a) Jima atau bergaul suami istri.
Diriwayatkan dari Abi Hurairah, Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam bersabda
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ
Jika seseorang menduduki empat cabang, kemudian menghendakinya, maka wajib mandi. Hr. al-Bukhari.[8]
Menduduki empat cabang yaitu dua tangan plus dua kaki, merupakan bahasa kinayah atau kiasan dari melakukan jima (hubungan suami istri).
Diriwayatkan dari Abi Burdah dari abi Musa, sempat terjadi perbedaan faham antara kaum Anshar dengan kaum Muhajirin tentang bergaul suami istri tanpa ejakulasi (tanpa mengeluarkan mani). Kaum Anshar berpendapat tidak ada kewajiban mandi kalau tidak keluar mani. Semantara muhajir berpendapat wajib mandi. Akhirya mereka berdua menghadap ke Aisyah dengan mengatakan bau bertanya tapi mau. Kemudian Aisyah menandaskan tidak perlu malu bertanya ke seorang ibu. Akhirnya kedua shabat mennyakan yang diperdebatkan tersebut, maka Aisyah menjawab, bahwa Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Jika seseorang duduk antara empat cabang (dua tangan plus dua kaki), kemudian kelaminnya bersentuhan dengan kelamin istrinya, maka wajib mandi. Hr. Muslim.[9]
Dalam riwayat Ahmad dari Abu Hurairah terdapat redaksi tambahan:
فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ أَنْزَلَ أَوْ لَمْ يُنْزِلْ
Wajib mandi, apakah mengeluarkan mansi ataukah tidak keluar mani (karena jima). Hr. Ahmad.[10]
Dalam riwayat lain ditandaskan:
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَجَبَ الْغُسْلُ
Jika dua kelamin bersentuhan, maka wajib mandi. Hr. Ahmad.[11]
Tegaslah bahwa persentuhan antara kelamin suami dengan kelamin isteri menimbulkan wajib mandi, baik mengeluarkan mani ataupun tidak.
(b) keluar mani
Di atas telah tegas bahwa hubungan suami istri, baik ejakulasi ( keluar mani) ataukah tidak, maka tetap wajib mandi bilamana akan shalat. Adapun yang berikutnya yang menyebabkan wajib mandi itu keluar mani atau ejakulasi, baik melalui gaul suami isteri ataukah tidak. Penyebab yang sering terjadi ejakulasi tanpa jima adalah mimpi, baik laki-laki maupun wanita. Namun bukan mimpinya yang mengharuskan mandi, tapi mengeluarkan mani atau ejakulasi. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, sebagai berikut:
سَأَلَتْ امْرَأَةٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمَرْأَةِ تَرَى فِي مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ فِي مَنَامِهِ فَقَالَ إِذَا كَانَ مِنْهَا مَا يَكُونُ مِنْ الرَّجُلِ فَلْتَغْتَسِلْ
Seorang wanita bertanya pada Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam tentang seorang wanita yang bermimpi indah ketika tidurnya seperti yang dialami seorang laki-laki mimpi di kala tidurnya. Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam bahwa jika terjadi darinya seperti dari laki-laki, maka hendaklah dia mandi. Hr. Muslim .[12]
Dengan kata lain jika seorang wanita bermimpi indah dan ejakulasi, seperti laki-laki mengeluarkan mani, maka wajib mandi. Jadi yang mewajibkan mandi bukan mimpinya, melainkan ejakulasi atau mengeluarkan mani baik laki-laki maupun wanita.
Adapun mimpi atau rangsangan lain yang tidak menimbulkan ejakulasi, kecuali hanya mengeluarkan madzi atau pelumas belaka, maka tidak mewajibkan mandi melainkan hanya berwudlu. Ali bin Abi Thalib menerangkan:
كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ فِي الْمَذْيِ الْوُضُوءُ وَفِي الْمَنِيِّ الْغُسْلُ
Saya termasuk laki-laki yang mudah mengeluarkan madzi, maka sayamenyanyakan hal tersebut kepada Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam, maka beliau bersabda: فِي الْمَذْيِ الْوُضُوءُ وَفِي الْمَنِيِّ الْغُسْلُ dalam urusan keluar madzi mengharuskan wudlu, sedangkan mengeluarkan mani mewajibkan mandi. Hr. Ahmad.[13]
(c) Suci dari haidl
Diriwayatkan dari Urwah dari Fathimah binti Qais, ada seorang wanita yang konsultasi tentang keluar darah haidl dan bukan haidl, maka Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam bersbada:
فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي
Jika darah haidl keluar, maka tinggalkan shalat, dan jika berhenti darah haidl darimu, maka mandilah kemudian lakukan shalat. Hr. al-Nasa`iy.[14]
(d) nifas
Nifas atau habis melahirkan juga menimbulkan wajibnya mandi. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah bahwa Asma binti Umais melahirkan di Dzul-Hulaifah, padahal dia hendak mengerjakan haji. Kemudian Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam menemui Abu bakar, dan bersabda:
مُرْهَا أَنْ تَغْتَسِلَ وَتُهِلَّ
Perintahlah istrimu untuk mandi, kemudian berihram ! Hr.al-Nasa`iy.[15]
Selama darah nifas itu ke luar, maka tidak boleh melakukan shalat, dan tidak perlu mengqadanya, walau berapa lama nifas tersebut terjadi. Sebaliknya jika darah nifas sudah berhenti, maka wajib mandi dan melakukan ibadah shalat Diriwayatkan dari Mussah al-Azdiyah bahwa ia pernah konsultasi tentang Samurah yang memerintah wanita untuk mengqadala shalat dari haidl, maka Umma Salam (istri Rasul) menandaskan:
لَا يَقْضِينَ كَانَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقْعُدُ فِي النِّفَاسِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً لَا يَأْمُرُهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَضَاءِ صَلَاةِ النِّفَاسِ
Mereka tidak perlu mengqadla shalat. Ada salah seorang istri Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam mengalami nifas selama empat puluh malam, Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam tidak memerintah untuk mengqadla shalat karena nifas. Hr. Abu Dawud.[16]
Dengan demikian, selama mereka mengalami keluar darah nifas, bebas dari kewajiban shalat, berapa pun lamanya. Jika darah mereka telah berhenti, walau baru beberapa hari nifas, maka wajib mandi dan melakukan ibadah shalat. Jadi yang menjadi batas nifas bukan jumlah hari, tapi ditentukan berhenti atau belum ke luar darah.
Cara mandi janabat.
Adapun cara mandi untuk bersuci dari junub adalah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ
Dari Aisyah isti Nabi SAW diriwayatkan bahwa Rasul SAW bila mandi janabat (1) memulainya, (2) mencuci kedua tangan, (3) berwudlu seperti wudlu untuk shalat, (4) memasukan jari jemarinya ke air, dan mengosokkannya ke pangkal rambut, (5) menyiram kepalanya tiga kali dengan kedua tangannya, (6) meratakan air ke seluruh tubuhnya. Hr. al-Bukhari, Ibn Hibban.[17]
عَنْ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ وَغَسَلَ فَرْجَهُ وَمَا أَصَابَهُ مِنْ الْأَذَى ثُمَّ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثُمَّ نَحَّى رِجْلَيْهِ فَغَسَلَهُمَا هَذِهِ غُسْلُهُ مِنْ الْجَنَابَةِ
Dari Mimunah istri Nabi SAW berkata: Rasul SAW berwudlu seperti wudlu shalat kecuali dua kakinya, mencuci farji, membersihkan sesuatu yang menganggunya, kemudian meratakan air ke seluruh tubuh dan dia khiri mencuci kedua kakinya. Demikian cara belaiau mandi jinabat. Hr. al-Bukhari, al-Nasa`iy, al-Bayhaqi.[18]
عَنْ مَيْمُونَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ فَغَسَلَ فَرْجَهُ بِيَدِهِ ثُمَّ دَلَكَ بِهَا الْحَائِطَ ثُمَّ غَسَلَهَا ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
Dari Maimunah (istri nabi SAW), diruiwayatkan bahwa rasul SAW mandi janabat dengan cara mencuci farji dengan tangan, mengenakan telapak tangan ke lantai kemudian berwudlu seperti akan shalat. Setelah selesai mandi secara merata kemudian mencuci kedua kakinya. Hr. al-Bukhari. [19]
Berdasar ketiga hadits di atas, dapat dirumuskan bahwa cara mandi janabat itu sebagai berikut: (1) memulainya dengan membaca basmalah, (2) mencuci tangan hingga bersih, (3) mencuci farji, (4) membersihkan tubuh yang diperkirakan terkena sesuatu yang mengahalangi air, (5) berwudlu secara sempurna, (6) menyiram kepala tiga kali, (7) mandi secara sempurna dengan meratakan air ke seluruh tubuh, (8) mencuci kaki. Dengan demikian, dalam mandi janabat, pelaksanaan wudlu didahulukan sebelum meratakan air ke seluruh tubuh.
Hikmah mandi janabat setelah jima.
Dilihat dari segi biologi, ilmu kesehatan, bahwa setiap selesai berhubungan, juga dianjurkan untuk mandi junub, kenapa? dipahami bahwa semua bagian tubuh dibentuk dari sel-sel epitel atau disebut dengan jaringan epithelium. Jaringan epitelium ini merupakan jaringan yang menutupi semua bagian tubuh yang berfungsi untuk melindungi sel-sel dibawahnya dari luka-luka mekanis, bahan kimiawi berbahaya, bakteri dan terhadap kekeringan. Jaringan epitel merupakan jaringan penutup tubuh, oleh sebab itu semua rangsangan dan kerja baik berupa rangsangan indera harus melalui jaringan epitel ini, yang kemudian akan menyampaikan rangsangannnya melalui reseptor yang ada pada bagian jaringan yang lain. Jaringan epitel dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian diantaranya; (1) epitel pipih terdapat dipermukaan kulit, lapisan dalam mulut, esophagus; (2) epitel kuboid terdapat di bagian ginjal, (3) epitel kolumnar terdapat pada bagian lambung dan usus. Mandi “junub”merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia dewasa yang telah melakukan hubungan intim (badan), baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, ini dimungkinkan karena pada saat melakukan “hubungan” semua sistem organ melakukan sekresi dan absorpsi. Sekresi merupakan pengeluaran sisa-sisa kotoran yang ada pada setiap lapisan tubuh, yang ditandai dengan pengeluaran kelenjar tyroid. Kelenjar ini merupakan toksin bagi sel-sel penyusun tubuh, dari pengeluran kelenjar ini maka tubuh juga perlu diimbangi dengan absorpsi dari luar tubuh dengan cara penurunan tingkat relaksasi bagi organ-organ tubuh terutama organ jaringan epitel tersebut. Absorpsi yang paling cepat untuk membantu penurunan relaksasi dengan cara pemberian cairan ke sekujur tubuh yang dikenal dengan “mandi”. Dengan mandi ini maka seluruh tubuh akan kembali segar dan kerja organ-organ akan normal, sebab semua sistem organ yang mengatur kerja jaringan terutama jaringan epitel telah mengalami absorpsi dengan cepat. Tubuh manusi disusun oleh berjuta sel-sel, dari berjuta sel-sel ini membentuk suatu jaringan. Dari jaringan ini membentuk suatu organ, dari organ membentuk sistem organ. Semua sistem organ dilindungi oleh jaringan-jaringan tubuh terutama jaringan epitel yang menutupi semua bagian kulit tubuh. Untuk itu Islam sangat tepat mengajarkan kepada umatnya bahwa setelah selesai “berhubungan” diwajibkan mandi junub. Inilah hikmah atau manfaat mandi janabat yang bernilai ibadah serta barokah.
- وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan permukaan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
Penggalan ayat ini berkaitan dengan hukum sebelumnya yang memerintah wudlu dan mandi sebelum shalat bagi yang junub. Timbul pertanyaan, bagaimana jika tidak bisa mandi jinabat, baik diakibatkan sakit atau karena tidak ada air? Pada ayat ini diberikan bimbingan mengatasi hal tersebut yaitu dengan dengan malakukan tayamum. Namun timbul perbedaan pendapat di kalangan ulama, tentang apa saja yang menyebabkan boleh tayamum sebagai pengganti wudlu dan mandi tersabut apakah hanya karena kesulitan air atau ada penyebab lainnya. a. Huruf فَ yang disambung َأو yang diawali إِن menimbulkan implikasi yang berbeda. Perkataan فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً setelah وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ pada ayat ini. Apakah فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً itu hanya merupakan sambungan dari أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ ataukah dari keseluruhan? Jika dari keseluruhan maka ma’nanya yang boleh tayamum itu jika sakit, perjalanan, kemudian sulit air. Artinya walau sakit atau perjalanan, selama mudah mendapatkan air, tetap wudlu bagi hadas kecil dan mandi bagi hadas besar. Namun jika فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً itu hanya sambungan أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ, maka penyebab boleh tayamum itu (1) sakit walau ada air, (2) di perjalanan walau ada air, (3) tidak ada air, walau tidak sakit, tidak di perjalanan. Penggunaan kata sambung pada potongan ayat ini, sebagaimana dikemukakan al-Qurthubi,[20] dapat difahami berbeda yang menimbulkan implikasinya beda pula;
(1)ma’na pertama:
Jika kamu dalam keadaan sakit tapi sulit air maka tayamamum. jika di perjalanan, kemudian sulit air, maka tayamum. Jika habis buang air, kemudian sulit air maka tayamum. Ma’na ini mengandung implikasi bahwa tayamum itu hanya boleh dilkukan ketika kesulitan air, baik karena sakit, perjalanan, atau krena memang tidak ada air.
(2)makna kedua:
Jika kamu sakit, maka tayamumlah. Jika kamu di perjalanan, maka tayamumlah. Jika habis buang air atau bersentuhan dengan wanita kemudian sulit air, maka tayamumlah.
Ma’na ini mengandung implikasi bahwa yang membolehkan tayamum adalah (1) sakit walau ada air, (2) perjalanan walau tersedia air, dan (3) tidak ada air.
- Perkataan أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ jika diartikan secara majazi, maka berma’na jima. Artinya jima itulah yang mewajibkn tayamum tatkala tidak ada air. Namun jika diartikan menyentuh perempuan, maka implikasinya bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang mewajibkan wudlu yang boleh diganti dengan tayamum, tatkala sakit, shafar atau tidak ada air. Ibn Abbas mengartikan kata أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ dengan جَامَعتُم النِّسَاء jima dengan isteri.[21] Dengan demikian beliau berpendapat bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita tidak membatalkan wudlu. Pendapat ini menjadi sandaran bagi madzhab al-Hanafi yang beranggapan tidak bathal wudlu karena bersentuhan. Pandangan ini juga menggunakan landasan hadits berikut:
عَنْ عرْوَة عَن عَائِشة ثُم َّأنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَبل بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إلَى الصَّلاة وَلَمْ يَتَوَضَّأ قَالَ قُلْتُ مَنْ هِيَ إلا أنْتَ قَالَ فَضَحِكَتْ
Diriwayatkan dari Urwah, dari ‘Aisyah yang mengetakan bahwa Rasul mencium salah seorang istrinya, kemudian ke luar untuk melakukan shalat, tanpa berwudlu lagi. Ketika dikatakan oleh Urwah: Siapa lagi selain engkau? Aisyah hanya tersenyum. Hr. al-Tirmidzi.[22]
Hadits ini dianggap memberi isyarat, mencium istri tidak membatalkan wudlu, apalagi kalau hanya bersentuhan kulit. Namun Ibn Umar berpendapat bahwa أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ berma’na bersentuhan, karena asal arti لمس itu menyentuh dengan tangan.[23] Pandangan ini menjadi dasar madzhab al-Syafi’iy, yang berenggapan bahwa bersentuhan kulit, antara pria dan wanita yang halal dinikah, membatalkan wudlu. Ditinjau dari susunan ayat, jelas bahwa perkataan لامستم النساء ini konteksnya dalam masalah mandi janabat, bukan masalah wudlu. Oleh karena itu wajar jika ulama lebih cenderung memahami sebagai kinayah dari jima.
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa ketentuan wudlu dan mandi yang bisa diganti dengan tayamum itu berfungsi sebagai kemudahan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Perhatikan hadits berikut:
عن عَمَّارٍقال بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ فَلَمْ أَجِدْ الْمَاءَ فَتَمَرَّغْتُ بِالصَّعِيدِ ثُمَّ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَقُولَ هَكَذَا وَضَرَبَ بِيَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ ضَرْبَةً فَمَسَحَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَضَهُمَا ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ عَلَى يَمِينِهِ وَبِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ عَلَى كَفَّيْهِ وَوَجْهِهِ
Dari Ammar, berkata Rasul SAW pernah mengutus saya dalam suatu tugas. Di tengah perjalanan saya mengalami junub, dan tidak menemukan air, kemudian saya berguling di tanah. Waktu pulang saya menghadap Rasul SAW dan saya terangkan hal tersebut. Kemudian Rasul bersabda: إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَقُولَ هَكَذَا (anda cukup begini). Lalu beliau mengenakan kedua tangannya ke tanah satu kali, lalu menyapukan telapak tangannnya yang kanan ke tangan yang kiri dan yang kiri diusapkan ke yang kanan dan menyapukan kedua telapak tangannya ke wajah. Hr.al-Nasa`iy.[24]
Caranya yang lain telah dicontohkan Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam sebagaimana tersurat dalam hadits berikut:
عن أَبِي الْجُهَيْمِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ الصِّمَّةِ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ r مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ رَسُولُ اللهِ r عَلَيْهِ حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ
Diriwaytkan dari Abu al-Juhaim bin al-Harits al-Anshari, Rasul SAW tiba sekitar Sumur Jamal, muncul seorang laki-laki yang menyampaikan salam. Beliau tidak langsung menjawabnya sebelum mendatangi dinding untuk bertayamum. Beliau mengusap wajahnya dan kedua tangannya. Setelah itu baru beliau menjawab salam. Hr.al-Bukhari dan Muslim.[25]
Adapun cara bertayamum berdasar kedua hadits tersebut dapat dirumuskan: (1) Berniat dalam hati dengan ikhlas karena Allah untuk melaksanakan ibadah tayamum. (2) Menepukkan kedua belah telapak tangan pada tanah kering, atau dinding, atau benda keras lainnya yang diperkirakan suci. (3) Mengusapkan kedua telapak tangan tersebut pada wajah. (4)Telapak tangan kiri diusapkan pada punggung telapak tangan kanan, dan telapak tangan kanan diusapkan pada punggung telapak tangan kiri, hingga pergelangan. Dengan demikian tayamum bisa dilakukan ketika di perjalanan, sakit, atau tatkala tidak menemukan air sebagai pengganti wudlu dan mandi.
- مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
Selain merinci aturan, al-qur`an juga mengungkap sebab-sebab mengapa aturan tersebut ditetapkan ada keringanan ada pula yang membebankan. Penggalan ayat ini menegaskan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatur sedemikian rupa lengkapnya, tidak menghendaki memberi beban yang berat pada hamba-Nya. Jadi jika ada perintah atau peraturan dirasakan berat, bukanlah syari’ah yang memberatkan, melainkan perasaan individu yang merasa dibebani. Aturan al-Islam sudah disesuaikan dengan kamampuan manusia, tidak akan ada yang memberatkan. Itulah sebabnya setiap aturan yang ketat, maka ada keringanananya yang meluaskan. Imam al-Syafi’I menandaskan tentang qaidah fiqih:
إذَا ضَاقَ الْأَمْرُ اتَّسَعَ
Jika terjadi kesempitan dalam urusan, maka menjadi leluasa.[26]
Contoh dari kaidah ini, ketika terjadi kesulitan mendapat air, maka menjadi leluasa tanpa menggunakan air. Aturan ibadah shalat sedemikian ketat, baik syarat maupun rukunnya, tapi ketika ada kesulitan, maka menjadi ringan, karena ada rukhshah yang bisa diambil alternatifnya. Aturan mandi sedemikian rinci tata tertibnya, tapi jida ada kesulitan disebabkan sakit atau perjalanan, maka bisa tayamum. Namun jika tidak ada factor yang menyebabkan dibolehkannya rukhsah, seperti dalam keadaan leluasa, maka aturannya menjadi ketat. Dalam kaidah ushul fiqih juga ditandaskan:
إذَا اتَّسَعَ الْأَمْرُ ضَاقَ
Jika dalam keadaan leluasa, maka aturan menjadi ketat, adanya.[27]
Oleh karena itu jangan mempersuit yang ada kerinangannya. Jangan pula mengentengkan yang sudah ketat aturannya. Semua ibadah sudah ada aturannya, baik ketika leluasa, maupun dalam kesempitan.
- وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Adapun aturan wudlu, mandi dan tayamum berfungsi menyucikan hamba-Nya. Aturan yang demikian lengkap, utamanya untuk menyempurnakan ni’mat yang dianugerahkan pada mada manusia. Oleh karena itu sepatutnya bersyukur atas ni’mat yang dianugerahkan tersebut. Pengunci ayat ini juga memberi isyarat bahwa salah satu fungsi ibadah adalah bersyukur atas ni’mat yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan. Salah satu cara bersyukur adalah menerima segala keni’amatan dengan merasa puas, serta menggunakan keni’amatan tersebut sesuai dengan kehendak pemberi.
[1] ruh al-Ma’ani, VI h.388
[2] al-Jamili Ahkam al-Qur`an, VI h.82
[3] Sunan Ibn Majah, no.503
[4] sunan al-Nasa`iy, no.132
[5] sunan Abi Dawud, no.92
[6] Shahih Muslim, I h.204
[7] Sunan Abi Dawud, I h.32
[8] shaih al-Bukhari, no. 282
[9] shahih Muslim, no. 526
[10] musnad Ahmad, no.8220
[11] musnad Ahmad, no. 24832
[12] shahih Muslim, no.470
[13] musnad Ahmad, no.851
[14] sunan al-Nasa`iy, no.201
[15] sunan al-Nasa`iy, no.214
[16] sunan Abi Dawud, no.268
[17] Shahih al-Bukhari, I h.99, Shahih Ibn Hibban, III h.468
[18] shahih al-Bukhari, I h.100, Sunan al-Nasaiy, I h.2004, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, I h.197
[19] Shahih al-Bukhari, I h.108
[20] al-Mai li Ahkam al-Qur`an, V h.19
[21] Tanwir al-Miqbas an tafsir Ibn Abbas, h.70
[22] Sunan al-Turmudzi, I h.133
[23] Tafsir al-Jalain, I h.108
[24] Sunan al-Nasa`iy, no.318
[25] Shahih Bukhari, I h.130 ; Shahih Muslim, I h.281
[26] al-Manshur fi al-Qaea’id, jux III h.381
[27] al-Asybah wa al-Nazha`ir, juz I h.153