EMPAT KALIMAT DALAM RAHIM seri 03
7. ÙˆÙŽÙŠÙØ¤Ù’Ù…ÙŽØ±Ù Ø¨ÙØ£ÙŽØ±Ù’بَع٠كَلÙمَات٠Diperintahlah untuk menuliskan empat kalimat
Perkataan ÙŠÙØ¤Ù’مَر٠(diperintah) berbentuk kalimat pasif. Mala`ikat diperintah oleh Allah SWT Ø¨ÙØ£ÙŽØ±Ù’بَع٠كَلÙمَات٠untuk menuliskan empat kalimat. Menurut Ibn Rajab (736-795H), mala`ikat diperintah menuslikan kalimat masih satu priode dengan meniupkan ruh, sejak nuthfah mengalami empat tahap penciptaan. Keempat tahapan penciptaan itu adalah empat puluh hari pertama sebagai nuthfah, empat puluh hari kedua sebagai alaqah, dan empat hari ketiga sebagai mudhghah. Dengan demikian dituliskan kalimat itu setelah janin berusia empat bulan lebih.[1] Yang dimaksud empat puluh hari ketiga bukan berarti jatuh pada hari ke seratus duapuluh langsung ditiupkan ruh, melainkan terjadi secara bertahap juga. Ibn Abbas menjelaskan:ÙØ¥Ø°ÙŽØ§ وَقَعَتْ Ø§Ù„Ù†Ù‘ÙØ·Ù’ÙÙŽØ© ÙÙÙŠ الرَّØÙÙ… مَكَثَتْ أَرْبَعَة Ø£ÙŽØ´Ù’Ù‡ÙØ± وَعَشْرًا ØŒ Ø«Ùمَّ ÙŠÙنْÙÙŽØ® ÙÙيهَا الرّÙÙˆØ Jika nuthfah sudah mencapai usia empat bulan sepuluh hari dalam rahim, maka mala`kiat meniupkan ruh padanya.[2] Terdapat beberapa hadits yang menerangkan bahwa ketika setelah meniupkan ruh pada janin, mala`ikat itu berdialog dengan Allah menanyakan tentang jenis kelamin, usia, dan nasib bakal manusia itu, sebagaimana diriwayatkan Ahmad berikut:
Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ اسْتَقَرَّتْ Ø§Ù„Ù†Ù‘ÙØ·Ù’Ùَة٠ÙÙÙŠ الرَّØÙم٠أَرْبَعÙينَ يَوْمًا أَوْ أَرْبَعÙينَ لَيْلَةً بَعَثَ Ø¥Ùلَيْهَا مَلَكًا ÙÙŽÙŠÙŽÙ‚Ùول٠يَا رَبّ٠مَا Ø±ÙØ²Ù’Ù‚ÙÙ‡Ù ÙÙŽÙŠÙقَال٠لَه٠ÙÙŽÙŠÙŽÙ‚Ùول٠يَا رَبّ٠مَا أَجَلÙÙ‡Ù ÙÙŽÙŠÙقَال٠لَه٠ÙÙŽÙŠÙŽÙ‚Ùول٠يَا رَبّ٠ذَكَرٌ أَوْ Ø£Ùنْثَى ÙÙŽÙŠÙØ¹Ù’Ù„ÙŽÙ…Ù ÙÙŽÙŠÙŽÙ‚Ùول٠يَا رَبّ٠شَقÙيٌّ أَوْ سَعÙيدٌ ÙÙŽÙŠÙØ¹Ù’Ù„ÙŽÙ…Ù
Jika nuthfah berada di rahim selama empat puluh hari atau empat puluh malam, Allah mengutus Mala`ikat padanya. Mala`ikat bertanya: Ya Tuhan apa rezekinya, maka dijawabnya. Ya Tuhan apa ajalnya? Maka dijawabnya. Bertanya lagi ya Tuhan laki-laki atau perempuan, maka diberitahu. Kemudian bertanya lagi: Ya Tuhan apakah susah ataukah bahagia? Maka diberitahunya. Hr. Ahmad.[3]
Menurut al-Albani, kedudukan hadits-hadits tersebut lemah, tidak bisa dijadikan dasar hukum.[4] Namun ada hadits lain yang menguatkan hadits ini antara lain:
Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ مَرَّ Ø¨ÙØ§Ù„Ù†Ù‘ÙØ·Ù’Ùَة٠ثÙنْتَان٠وَأَرْبَعÙونَ لَيْلَةً بَعَثَ اللَّه٠إÙلَيْهَا مَلَكًا Ùَصَوَّرَهَا وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا وَجÙلْدَهَا ÙˆÙŽÙ„ÙŽØÙ’مَهَا ÙˆÙŽØ¹ÙØ¸ÙŽØ§Ù…َهَا Ø«Ùمَّ قَالَ يَا رَبّ٠أَذَكَرٌ أَمْ Ø£Ùنْثَى ÙَيَقْضÙÙŠ رَبّÙÙƒÙŽ مَا شَاءَ ÙˆÙŽÙŠÙŽÙƒÙ’ØªÙØ¨Ù الْمَلَك٠ثÙمَّ ÙŠÙŽÙ‚Ùول٠يَا رَبّ٠أَجَلÙÙ‡Ù ÙÙŽÙŠÙŽÙ‚Ùول٠رَبّÙÙƒÙŽ مَا شَاءَ ÙˆÙŽÙŠÙŽÙƒÙ’ØªÙØ¨Ù الْمَلَك٠ثÙمَّ ÙŠÙŽÙ‚Ùول٠يَا Ø±ÙŽØ¨Ù‘Ù Ø±ÙØ²Ù’Ù‚ÙÙ‡Ù ÙَيَقْضÙÙŠ رَبّÙÙƒÙŽ مَا شَاءَ ÙˆÙŽÙŠÙŽÙƒÙ’ØªÙØ¨Ù الْمَلَك٠ثÙمَّ ÙŠÙŽØ®Ù’Ø±ÙØ¬Ù Ø§Ù„Ù’Ù…ÙŽÙ„ÙŽÙƒÙ Ø¨ÙØ§Ù„صَّØÙÙŠÙَة٠ÙÙÙŠ يَدÙÙ‡Ù Ùَلَا يَزÙيد٠عَلَى مَا Ø£ÙÙ…ÙØ±ÙŽ ÙˆÙŽÙ„ÙŽØ§ ÙŠÙŽÙ†Ù’Ù‚ÙØµÙ
Jika masa penciptaan dengan nuthfah telah melewati empat puluh dua hari, Allah SWT mengutus Mala`ikat padanya, menyempurnakan bentuknya, menciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian bertanya: Ya Allah apakah laki-laki atau wanita, maka Tuhanmu menetapkan sesuai kehendak-Nya, dan Mala`ikat menuliskannya. Mala`ikat bertanya tentang ajalnya, maka Tuhanmu berfirman sesuai kehendak-Nya. Mala`ikat menuliskannya. Mala`ikat bertanya ya Tuhan bagaimana rejekinya. Tuhanmu menetapkan sesuai kehendak-Nya. Mala`ikat menuliskannya. Kemudian Mala`ikat keluar membawa lembaran catatan di tangannya, tidak bertambah dan tidak berkurang atas apa yang telah diperintahkan.  Hr. Muslim (206-261H), Ibn Hibban (270-354H), al-Bayhaqi (384-458H).[5]
8. بÙÙƒÙŽØªÙ’Ø¨Ù Ø±ÙØ²Ù’Ù‚Ùه٠وَأَجَلÙه٠وَعَمَلÙÙ‡Ù yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya .
Redaksi ini diambil dari riwayat Muslim[6] yang redaksinya sama dengan riwayat al-Tirmidzi[7] yaitu بÙÙƒÙŽØªÙ’Ø¨Ù Ø±ÙØ²Ù’Ù‚Ùه٠وَأَجَلÙه٠وَعَمَلÙÙ‡Ù ÙˆÙŽØ´ÙŽÙ‚Ùيٌّ أَوْ سَعÙيدٌ   Menurut riwayat Ahmad[8] Ø¨ÙØ£ÙŽØ±Ù’بَع٠كَلÙÙ…ÙŽØ§ØªÙ Ø±ÙØ²Ù’Ù‚Ùه٠وَأَجَلÙه٠وَعَمَلÙÙ‡Ù ÙˆÙŽØ´ÙŽÙ‚Ùيٌّ أَمْ سَعÙيدٌ tidak menggunakan perkataan بÙكَتْب dan menurut riwayat Al-Bukhari[9] ÙÙŽÙŠÙكْتَب٠عَمَلÙه٠وَأَجَلÙÙ‡Ù ÙˆÙŽØ±ÙØ²Ù’Ù‚ÙÙ‡Ù ÙˆÙŽØ´ÙŽÙ‚Ùيٌّ أَوْ سَعÙيدٌ Ø«Ùمَّ ÙŠÙنْÙَخ٠ÙÙيه٠الرّÙÙˆØÙ kalimat Ø«Ùمَّ ÙŠÙنْÙَخ٠ÙÙيه٠الرّÙÙˆØÙ (ditiupkan ruh padanya) diletakan setelah dituliskan emoat kalimat dan isinya. Dengan susunan redaksi yang berbeda tersebut muncul perbedaan pemahaman di kalangan ulama, apakah penulisan empat kalimat itu setelah dituipkan ruh, ataukah sebelumnya?. Al-Asqalani berpendapat bahwa urutan kalimat yang menggunakan kata sambung ÙˆÙŽ tidak otomatis menunjukkan sistematikan peristiwa. Bisa saja yang disebut lebih awal terjadinya di akhir.
Dalam hadits ini ditegaskan bahwa ada empat ketetapan Allah yang dituliskan yaitu (1) rejeki, (2) ajal, (3) amal, dan (4) bahagia atau sengsara. Rejeki ialah apa yang dianugrahkan Allah kepada manusia yang dapat dimanfaatkan selama hidup di dunia, baik yang bersifat materi ataupun immateri. Rejeki yang bersfiat materi seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kesehatan fisik. Rejeki yang bersifat immateri seperti keimanan, kesempatan, ketenangan, dan ketentraman. Ajal adalah kesempatan hidup di dunia sejak lahir hingga wafat. Amal ialah apa yang diperbuatan manusia, baik berupa ucapan, sikap, maupun tindakan.
Dalam memahami kalimat بÙÙƒÙŽØªÙ’Ø¨Ù Ø±ÙØ²Ù’Ù‚Ùه٠وَأَجَلÙه٠وَعَمَلÙÙ‡Ù (menuslkikan rejeki, ajal dan amal) muncul beberapa pertanyaan antra lain apakah yang ditulis mala`ikat itu (1) ketetapan Allah tentang rejeki, ajal, nasib dan amal, sehingga hidup dunia itu sudah ditentukan segalanya? (2) ataukah rancangannya yang bisa saja diubah pada suatu saat?, (3) ataukah aturan Allah berupa hukum sebab akibat tentang siapa yang berusaha bakal meraih rejeki, amal, dan ajal yang disesuaikan dengan apa yang diusahakannya?. (4) ataukah Allah SWT telah membuat ketetapan tertulis (suratan) pada janin tentang nasib, amal, rejeki, dan ajal, tapi oleh-Nya bisa diubah setiap saat, sesuai dengan kehendak-Nya? Namun yang jelas Allah SWT selalu mencurahkan rahmat dan ni’mat-Nya kepada hamba-Nya, hingga hamba-Nya itu mengubahnya. Firman-Nya:
وَلَوْ تَرَى Ø¥ÙØ°Ù’ يَتَوَÙÙ‘ÙŽÙ‰ الَّذÙينَ ÙƒÙŽÙَرÙوا الْمَلَائÙÙƒÙŽØ©Ù ÙŠÙŽØ¶Ù’Ø±ÙØ¨Ùونَ ÙˆÙØ¬ÙوهَهÙمْ وَأَدْبَارَهÙمْ وَذÙوقÙوا عَذَابَ الْØÙŽØ±ÙيقÙ(*)ذَلÙÙƒÙŽ بÙمَا قَدَّمَتْ أَيْدÙيكÙمْ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ Ø¨ÙØ¸ÙŽÙ„َّام٠لÙلْعَبÙيدÙ(*)كَدَأْب٠ءَال٠ÙÙØ±Ù’عَوْنَ وَالَّذÙينَ Ù…Ùنْ قَبْلÙÙ‡Ùمْ ÙƒÙŽÙَرÙوا Ø¨ÙØ¢ÙŠÙŽØ§ØªÙ اللَّه٠ÙَأَخَذَهÙÙ…Ù Ø§Ù„Ù„Ù‘ÙŽÙ‡Ù Ø¨ÙØ°ÙÙ†ÙوبÙÙ‡Ùمْ Ø¥Ùنَّ اللَّهَ Ù‚ÙŽÙˆÙيٌّ شَدÙيد٠الْعÙقَابÙ(*)ذَلÙÙƒÙŽ Ø¨ÙØ£ÙŽÙ†Ù‘ÙŽ اللَّهَ لَمْ ÙŠÙŽÙƒÙ Ù…ÙØºÙŽÙŠÙ‘ÙØ±Ù‹Ø§ Ù†ÙØ¹Ù’مَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْم٠ØÙŽØªÙ‘ÙŽÙ‰ ÙŠÙØºÙŽÙŠÙ‘ÙØ±Ùوا مَا Ø¨ÙØ£ÙŽÙ†Ù’ÙÙØ³ÙÙ‡Ùمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمÙيعٌ عَلÙيمٌ(*)
 Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): “Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri). Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya, (keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir`aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Amat Keras siksaan-Nya. Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni`mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, Qs.8:50-52
Ayat ini mengisyaratkan bahwa pada dasarnya Allah SWT itu mencurahkan rahmat dan ni’mat kepada hamba-Nya. Kehandak Allah SWT itu tidak diubah kecuali kalau manusianya yang berusaha mengubah dari ni’mat menjadi siksa dengan perbuatan dosa. Pada ayat-ayat tersebut juga dicontohkan fir’aun yang mendapat ni’mat tapi karena kufur maka mendapat siksa. Dala ayat lain ditandaskan pula Ù„ÙŽÙ‡Ù Ù…ÙØ¹ÙŽÙ‚Ù‘ÙØ¨ÙŽØ§ØªÙŒ Ù…Ùنْ بَيْن٠يَدَيْه٠وَمÙنْ خَلْÙÙÙ‡Ù ÙŠÙŽØÙ’ÙَظÙونَه٠مÙنْ أَمْر٠اللَّه٠إÙنَّ اللَّهَ لَا ÙŠÙØºÙŽÙŠÙ‘ÙØ±Ù مَا بÙقَوْم٠ØÙŽØªÙ‘ÙŽÙ‰ ÙŠÙØºÙŽÙŠÙ‘ÙØ±Ùوا مَا Ø¨ÙØ£ÙŽÙ†Ù’ÙÙØ³ÙÙ‡Ùمْ ÙˆÙŽØ¥ÙØ°ÙŽØ§ أَرَادَ اللَّه٠بÙقَوْم٠سÙوءًا Ùَلَا مَرَدَّ لَه٠وَمَا Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ Ù…Ùنْ   دÙونÙÙ‡Ù Ù…Ùنْ وَالÙ(*)Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. Qs.13:11
Ayat ini mengisyaratkan, bila Allah mengehandaki untuk menetatpkan tanpa ada perubahan, maka siapa pun tidak ada yang bisa menghalanginya. Demikian pula bila Allah SWT menghendaki mengubah segala putusannya, termasuk suratan yang telah ditulis mala`ikat di alam rahim, siapa pun tidak akan ada yang bisa menghalanginya. Namun dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah tidak akan mengubah ketetapan-Nya untuk manusia, selama manusia itu tidak brusaha mengubahnya. Bila dikaitkan dengan Qs.8:50-52 di atas, jelaslah bahwa Allah SWT selalu memberi ni’mat dan tidak akan menghentikannya, kecuali kalau manusia yang berubah. Tegasnya jika manusia kufur dari asalnya iman, maka Allah SWT akan mengganti ni’mat yang Ia berikan menjadi siksan. Manusia akan selalu mendapat ni’mat dan rejeki, kecuali jika mereka mengubah nasibnya, maka akan Allah SWT mengubahnya juga.
9 ÙˆÙŽØ´ÙŽÙ‚Ùيٌّ أَوْ سَعÙيدٌ dan susah atau bahagia
Ditinjau dari sudut kedudukan kalimat, perkataan ÙˆÙŽØ´ÙŽÙ‚Ùيٌّ أَوْ سَعÙيدٌ adalah marfu sebagai Ø®ÙŽØ¨ÙŽØ±Ù…ÙØ¨ØªØ¯Ø§Ø¡ berita dari pokok kalimat yang dihilangkan, lengkapnya adalah يكتب هو شقي أو سعيد dituliskan padanya apakah dia itu sengsara ataukah bahagia.[10] Kalimat ini pun sama dengan yang sebelumnya apakah yang dimaksud bahagia dan derita yang dituliskan itu kepastiannya bahwa manuisa itu sebelum dilahirkan sudah ditetapkan akan bahagia atau menderita? Ataukah ketetapan hukumnya bahwa manusia ada yang bahagia ada yang menderita sesuai dengan apa yang diusahakannya. Dalam berbagai ayat al-Qur`an telah ditegaskan bahwa orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapatkan bahagia. Perhatikan firman-Nya:
الَّذÙينَ ءَامَنÙوا وَعَمÙÙ„Ùوا Ø§Ù„ØµÙ‘ÙŽØ§Ù„ÙØÙŽØ§ØªÙ ÙˆÙŽØ£ÙŽÙ‚ÙŽØ§Ù…Ùوا الصَّلَاةَ ÙˆÙŽØ¡ÙŽØ§ØªÙŽÙˆÙØ§ الزَّكَاةَ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ أَجْرÙÙ‡Ùمْ عÙنْدَ رَبّÙÙ‡Ùمْ وَلَا خَوْÙÙŒ عَلَيْهÙمْ وَلَا Ù‡Ùمْ ÙŠÙŽØÙ’زَنÙونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Qs.2:277
Sedangkan orang yang kufur dan jahat akan menderita.
ÙÙŽÙ„ÙŽÙ†ÙØ°Ùيقَنَّ الَّذÙينَ ÙƒÙŽÙَرÙوا عَذَابًا شَدÙيدًا وَلَنَجْزÙيَنَّهÙمْ أَسْوَأَ الَّذÙÙŠ كَانÙوا يَعْمَلÙونَ
Maka sesungguhnya Kami akan merasakan azab yang keras kepada orang-orang kafir dan Kami akan memberi balasan kepada mereka dengan seburuk-buruk pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan. Qs.41:27
Allah SWT juga telah menetapkan bahwa manusi mendapat ni’mat dari-Nya. Keni’matan yang telah diberikan itu akan tetap abadi bahkan terus bertambah, kecuali bagi yang tidak bersyukur. Perhatikan firman-Nya:
ÙˆÙŽØ¥ÙØ°Ù’ تَأَذَّنَ رَبّÙÙƒÙمْ لَئÙنْ شَكَرْتÙمْ لَأَزÙيدَنَّكÙمْ وَلَئÙنْ ÙƒÙŽÙَرْتÙمْ Ø¥Ùنَّ عَذَابÙÙŠ لَشَدÙيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“. Qs.14:7
Dalam ayat ini tersirat bahwa kebahagiaan itu akan tetap ada kecuali orang yang tidak bersyukur. Dengan demikian kebahagiaan diperoleh dengan cara syukur, penderitaan akan dialami oleh orang yang kufur. Orang yang bersyukur bukan hanya bakal meraih kebahagian di dunia, tapi juga di akhirat kelak. Dengan demikian menuliskan kebahagiaan dan penderitaan manusia di alam rahim ada pengaruhnya oleh sikap manusia di alam dunia. Ayat ini merupakan jaminan kebahagiaan bagi yang mau bersyukur. Tegasnya ni’amat itu diberikan Allah kepada seluruh manusia. Keni’amatan tersebut akan tetap abadi diberikan Allah, kecuali bagi yang tidak bersyukur. Orang yang kufur alias tidak bersykur akan dicabut ni’matnya, dan diganti dengan siksa. Bukankah ketetapan ayat itu mengandung arti bahwa Allah SWT pada dasarnya menjadikan mansuia itu sebagai ahli surga? Rasul SAW bersabda:
ÙƒÙلّ٠أÙمَّتÙÙŠ يَدْخÙÙ„Ùونَ الْجَنَّةَ Ø¥Ùلَّا مَنْ أَبَى قَالÙوا يَا رَسÙولَ اللَّه٠وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنÙÙŠ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانÙÙŠ Ùَقَدْ أَبَى
Seluruh umatku masuk surga, kecuali yang enggan. Shabat bertanya siapa yang enggan masuk surga ya Rasu? Beliau bersbda: barangsiapa yang menaatiku, pasti masuk surga. Barangsiapa yang mendurhakaiku, berarti telah enggan masuk surga. Hr.al-Bukhari (194-256H), [11]
Berdasar hadits ini, setiap umat Rasul akan masuk surga, maka siapa pun jang menyangka dirinya telah dicatat ahli neraka. Ahli neraka hanyalah orang yang tidak mau masuk surga yaitu yang tidak menaati Rasul SAW.
10. ÙَوَالَّذÙÙŠ لَا Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‡ÙŽ غَيْرÙÙ‡Ù . Demi Dzat yang tiada Tuhan selain-Nya,
Huruf Ùˆ pada potongan hadits ini berfungsi sumpah. Yang dimaksud الَّذÙÙŠ لَا Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‡ÙŽ غَيْرÙÙ‡Ù (yang tiada tuhan selain-Nya) ialah nama dan sifat Allah SWT, yang berfungsi untuk menguatkan pernyataan yang disampaikan. Dalam riwayat lain sebagaimana dikutip Muslim dan al-Tirmidzi terdapat redaksi ÙÙŽÙˆ َالله الَّذÙÙŠ لَا Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‡ÙŽ غَيْرÙÙ‡Ù Rasul SAW hanya membolehkan sumpah dengan nama Allah SWT.
عَنْ عَبْد٠اللَّه٠عَنْ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ أَنَّه٠أَدْرَكَ عÙمَرَ بْنَ الْخَطَّاب٠ÙÙÙŠ رَكْب٠وَعÙمَر٠يَØÙ’Ù„ÙÙÙ Ø¨ÙØ£ÙŽØ¨Ùيه٠ÙَنَادَاهÙمْ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ أَلَا Ø¥Ùنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْهَاكÙمْ أَنْ تَØÙ’Ù„ÙÙÙوا Ø¨ÙØ¢Ø¨ÙŽØ§Ø¦ÙÙƒÙمْ Ùَمَنْ كَانَ ØÙŽØ§Ù„ÙÙًا ÙَلْيَØÙ’Ù„ÙÙÙ’ Ø¨ÙØ§Ù„لَّه٠أَوْ Ù„ÙÙŠÙŽØµÙ’Ù…ÙØªÙ’
Diriwayatkan dari Abd Allah bin Umar, Rasul SAW mendapati Umar bin al-Khathab di atas kendaraan dan bersumpah dengan menggunakan nama ayahnya. Rasul SAW berseru: Sesungguhnya Allah SWT telah melarang kamu bersumpah dengan nama ayah-ayahmu:مَنْ كَانَ ØÙŽØ§Ù„ÙÙًا ÙَلْيَØÙ’Ù„ÙÙÙ’ Ø¨ÙØ§Ù„لَّه٠أَوْ Ù„ÙÙŠÙŽØµÙ’Ù…ÙØªBarangsiapa yang bersumpah, hendaklah dengan nama Allah atau diamlah. Hr. al-Bukhari (194-256H), Muslim (206-261H).[12]
Konsekuensi bersumpah dengan nama selain Allah SWT menjurus pada kemusyrikan.
عَنْ Ø³ÙŽØ¹Ù’Ø¯Ù Ø¨Ù’Ù†Ù Ø¹ÙØ¨ÙŽÙŠÙ’دَةَ قَالَ Ø³ÙŽÙ…ÙØ¹ÙŽ Ø§Ø¨Ù’Ù†Ù Ø¹Ùمَرَ رَجÙلًا ÙŠÙŽØÙ’Ù„ÙÙ٠لَا وَالْكَعْبَة٠Ùَقَالَ لَه٠ابْن٠عÙمَرَ Ø¥ÙنّÙÙŠ Ø³ÙŽÙ…ÙØ¹Ù’ت٠رَسÙولَ اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙŠÙŽÙ‚Ùول٠مَنْ ØÙŽÙ„ÙŽÙÙŽ Ø¨ÙØºÙŽÙŠÙ’ر٠اللَّه٠Ùَقَدْ ÙƒÙŽÙَر أو أَشْرَكَ
Diriwayatkan dari Sa’d bin Ubaidah yang menerangkan bahwa Ibn Umar mendengar seseorang bersumpah dengan mengatakan لَا وَالْكَعْبَة٠(tidak, demi Ka’bah). Ibnu Umar menegurnya: Sesungguhnya aku mendengar Rasul SAW bersabda: مَنْ ØÙŽÙ„ÙŽÙÙŽ Ø¨ÙØºÙŽÙŠÙ’ر٠اللَّه٠Ùَقَدْ ÙƒÙŽÙَر أو أَشْرَكَ (barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka kufur atau musyriklah dia). Hr. Abu Dawud (202-275H), al-Tirmidzi (209-279H), dan al-Hakim (321-405H).[13]
Kalimat ÙَوَالَّذÙÙŠ لَا Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‡ÙŽ غَيْرÙÙ‡Ù ini dan seterusnya, menurut sebagian ulama merupakan sabda Rasul SAW yang dikutip Ibn Ma’sud. Namun ada yang berpendapat bahwa kalimat ini dan berikutnya itu sebagai ucapan Ibn Mas’ud terhadap apa yang diriwayatkan bukan kutipan langsung dari Rasul SAW.[14] Jika pernyataan ini dan berikutnya itu sebagai ucapan ibnu Mas’ud maka berarti pemahaman beliau terhadap sabda Rasul SAW. Namun jika termasuk ucapan Nabi SAW, maka berarti ketetapannya berdasar wahyu Allah SWT.
[1] Jami al-Ulum, I h.52
[2] Abu al-Qasim Hubat Allah (w.418H), I’tiqad Ahl al-Sunnah, IV h.597, al-Asqalani (773-852H), Fath al-Bary, XI h.486
[3] Â Musnad Ahmad, III h.397
[4] Â al-Silsilah al-Dla’ifah, I h.346
[5] Shahih Muslim, IV h.2037, Shahih Ibn Hibban, XIV h.52, Sunan al-Bayhaqi, VII h.422
[6] Shahih Muslim, IV h.2036
[7] Sunan al-Tirmidzi, IV h.446
[8] Musnad Ahmad, I h.382
[9] Shahih al-Bukhari, III h.1374
[10] Abu al-Ala al-Mubarahfuri, Tuhfat al-Ahwadzi, VI h.286
[11] Shahih al-Bukhari, VI h.2655
[12] Shahih al-Bukhari, II h.951, Shahih Muslim, III h.1267
[13] Sunan Abi Dawud,II h.223, Sunan al-Tirmidzi, IV h.110, al-Mustadrak, IV h.330
[14] Fath al-Bari, XI h.486