HADITS DARI MASA KE MASA SERI 03
- Al-Hadîts periode tahun 40H-100H
Sejak tahun 40 H, kepemimpinan Islam dipegang oleh Mu’awiyah Bin Abi Sofyan, terjadi berbagai perubahan dalam bidang politik. Kaum muslimin saat itu semakin tersebar ke berbagai pelosok. Al-Hadîts pun semakin menyebar, sehingga dinamakan عصر انتشار الرواية إلى الأمصار masa penyebaran riwayat al-Hadîts ke berbagai daerah.
- Tersebarnya Al-Hadîts ke berbagai pelosok
Selama kekhalifahan al-Khulafâ al-Râsyidûn, perkembangan al-Hadîts berada pada pemerintahan, karena khilâfah pada saat itu secara bergantian dipegang rawi al-Hadîts, walau pusat pemerintah pndah dari madinah ke Kuffah pada jaman Ali bin Abi Thalib. Setelah era tersebut berakhir dengan terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib, kondisinya menjadi berubah. Kondisi umat pada saat itu terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu khawarij, syi’ah, dan pendukung Mu’awiyah. Kaum muslimin di Kuffah sebenarnya sudah mengangkat al-Hasan Bin Ali menjadi khalifah, tapi pada tahun 41 beliau menyerahkan tahtanya kepada kekuasaan Mu’awiyah. Sikap al-Hasan ini diambil guna mencegah perpecahan umat berlarut-larut. Oleh karena itu pecinta Ali menjadi bersatu dengan pecinta Mu’awiyah dan tahun tersebut dinamakan ‘Am al-Jamâ’ah. Sejak tahun ini khilafah dipegang oleh Mu’awiyah, Sejak itu pula Mu’awiyah mengubah sistem pemerintahan menjadi berbentuk dinasti, pusat pemerintahan pun berpindah dari Kuffah ke Damaskus.
Perpindahan ibu kota itu mengandung nilai postif dan negatif. Positufnya antara lain, al-Hadîts bisa tersebar ke berbagai pelosok karena dibawa oleh kaum muslimin yang menyebar tempat berda’wahnya. Negatifnya antara lain, agak menjauhnya estapeta al-Hadîts dari sumbernya, sehingga memerlukan penelitian sanad secara kritis dan teliti.
- Terwujudnya lembaga Al-Hadîts
Setelah tersebarnya kaum muslimin ke berbagai tempat, semakin dirasakan pentingnya kelembagaan al-Hadîts. Pusat studi al-Hadîts sebenarnya telah berwujud di Madinah sejak khalifah yang pertama Abu Bakr al-Shiddiq hingga kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib, dan di tempat lainnya. Secara rinci kelembagaan al-Hadîts sejak Abu Bakr hingga akhir abad pertama hijriyah dapat dilihat pada bagan berikut:
PUSAT AL-HADÎTS DAN MUHADDITSIN ABAD 1 H
No | KOTA | SHAHÂBAT | TABI’IN |
01 | Madinah | Abu Bakr, Umar, Ali, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar, Zaid Bin Tsabit, | Urwah, Sa’id, al-Zuhri, Nafi’, al-Qasim ibn Muhamad ibn Abu Bakr, Abu Bakr Bin Abd al-Rahman, Abu Zinad. |
02 | Makkah | Mu’adz, Ibn Abbas | Mujahid, Ikrimah, Atha Ibn Abi Rabah, Abu Zubair Muhammad Bin Muslim |
03 | Kuffah | Ali Ibn Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas, Sa’id Ibn Zaid, Khabbah ibn al-Arat, Salman al-Farisi, Abu Juhaifah | Masruq, Ubaidah al-Aswad, Syuraih, Ibrahim, Sa’id bin Jubair, Amir bin Syurail, al-Sy’abi |
04 | Bashrah | Anas Bin Malik, Utbah, Imran Ibn Husain Abu Barzah, Ma’qil Ibn Yasar, Abu Bakrah, Abd al-Rahman Ibn Samurah, Abd Allâh Ibn Syikhkhir, Jariah | Abu al-Aliyah, Rafi’ bin Mihram, al-Hasan al-Bashri, Muhammad Ibn Sirin, Abu Tsa’tsa, Jabir Ibn Zaid, Qatadah, Mutaharraf Ibn Abd Allâh, Abu Bardah |
05 | Syam | Mu’adz Ibn Jabal, Ubadah Ibn Shamit, Abu Darda | Abu Idri al-Khaulani, Qbisah Ibn Dzuaib, Makhul, Raja Ibn Haiwah |
06 | Mesir | Abd Allâh Ibn Amr, Uqbah bin Amir, Kharijah Ibn Khudaifah, Abd Allâh Ibn Sa’ad, , | Mahmiyah Ibn Jur, Abd Allâh Ibn Harits, Abu Bashrah, Martsad al-Yaziri, Yazid Bin Abi Habib |
Dari para tokoh tersebut al-Hadîts disebarluaskan oleh para muridnya kepada muridnya lagi, dan terus kepada generasi selanjutnya, hingga pada pertengahan abad pertama hijriah itu sudah melembaga. Adapun mual-Hadîtsin dari kalangan shahâbat yang terbanyak meriwayatkan al-Hadîts, menurut al-Thahhan berjumlah enam orang[1]. Rincian keenam shahâbat tersebut dapat dilihat pada bagan berikut:
SHAHÂBAT YANG BANYAK MERIWAYATKAN AL-HADÎTS
NAMA | LAHIR | WAFAT | JUMLAH |
Abu Hurairah | 19 sH | 59 H | 5374 al-Hadîts[2] |
Abd Allâh Ibn Umar | 10 sH | 73 H | 2630 al-Hadîts |
Anas Ibn Malik | 10 sH | 93 H | 2287 al-Hadîts |
Aisyah UmalMu’minin | 9 sH | 54 H | 2210 al-Hadîts |
Abd Allâh Ibn Abbas | 3 sH | 68 H | 1660 al-Hadîts |
Jabir Ibn Abd Allâh | 16 sH | 78 H | 1540 al-Hadîts |
Dengan demikian di pertengahan abad pertama hijriyah, para shahâbat dan tabi’in itulah yang menjadi sumber dan sekaligus lembaga al-Hadîts.
- Kendala perkembangan al-Hadîts pada era 40-100H
- Pergantian kepemimpinan umat
Tersisihnya Bani Hasyim dari tampuk pimpinan, terutama sejak terpilihnya Utsman Bin Affan r.a menjadi Khalifah. Usaha Abd Allâh bin Saba yang mengacaukan kesatuan umat juga berpengaruh pada pergolakan politik umat. Akhirnya perselisihan antara kedua kubu tersebut menimbulkan pertikaian dan mengakibatkan Utsman terbunuh. Kemudian Ali r.a. naik sebagai pengganti Ustman. Dengan naiknya Ali r.a. berarti posisi bani Hasyim dalam pemerintahan merupakan posisi kunci yang menentukan segala kebijaksanaaan. Namun pemerintahan Ali r.a ini tidak berjalan muslus, karena mendapat tantangan dari kelompok bani Umayah. Mu’awiyah yang berkuasa di Damascus ternyata tidak mau berbai’at kepada Ali. Perseteruanpun semakin panas sampai terjadi peristiwa tahkim dan berakhir dengan kematian Ali r.a. Setelah Ali r.a meninggal, Hasan bin Ali r.a menggantikan posisi bapaknya. Pada masa pemerintahan Hasan inilah Muawiyah berusaha menggolkan perseteruannya dengan bani Hasyim, maka dengan cara mengancam akan menumpahkan darah dan menjarah kekayaan ummat islam, Muawiyah memaksa Hasan untuk menyerahkan kekuasaaannya. Demi persatuan dan keselamatan ummat Hasan menyerahkan tongkat komando ummat kepada Muawiyah, dan resmi Daulah Umawiyah berdiri tahun 41 hijriah/661masehi. Berawal dari sini Muawiyah melakukan perombakan sistem politik yang bertujuan untuk mempertahankan status Qou, dengan “Wlayat al ‘Ahd” ( putra mahkota ) yang menghapus sistem musyawarah. Kepemimpinan umat pada saat itu diatur secara turun temurun oleh dinasti Umayah. Sejak tahun 41 hingga tahun 100H terjadi pergantian pemimpin senbagai berikut:
N | NAMA KHALIFAH | TAHUN | LAMA |
01 | Muawiyah bin Abi Sofyan | 41H/61M-60H/680M | 19 thn, 3 bln |
02 | Yazid I bin Muawiyah | 60/680M-64H/683M | 3 thn, 6 bln |
03 | Muawiyah II bin Yazid | 64/683M-64H/683M | sekitar 2 bln |
04 | Marwan I bin Hakam | 64H/683M-65/684 M | 9 bln 27 hari |
05 | Abd Malik bin Marwan | 65H/684M-86/705 M | 21 tahun |
06 | Walid I bin Abdul Malik | 86H/705M-96/714 M | 9 thn 7 bln |
07 | Sulaiman Bin Abd Malik | 86 H/714M- 99H | 3 tahun |
08 | Umar bin Abdul Aziz | 99H/717-101H/719M | 2 thn, 5 bln |
Pada awalnya, al-Hadîts itu hanya disampaikan melalui hafalan-hafalan para shahâbat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada saat generasi tabi’in mencari al-Hadîts itu. Sebelumnya pun sudah ada tulisan-tulisan al-Hadîts, tapi belum dilembagakan secara resmi. Penulisan al-Hadîts secara resmi baru terjadi pada akhir abad pertama hijriyah. ‘Umar bin ‘Abd al -‘Azis, khalifah ke-8 dari Dinasti Bani Umayyah, (99-101 H) sebagai pemilik inisiatif secara resmi untuk menulis dan membukukan al-Hadîts tersebut. Buku al-Hadîts yang masih ada pada saat itu antara lain: (1) Al-Shahifah oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib, (2) Al-Shadiqah oleh Imam ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, (3). Daftar oleh Imam Muhammad bin Muslim (50-124 H), (4) Kutub oleh Imam Abu Bakar bin Hazmin. Keempat-empatnya tidak sampai ke abad berikutnya, melainkan hanya berdasarkan keterangan sejarah saja yang dapat dipertanggungjawabkan. Gagasan penulisan al-Hadîts secara resmi sebenarnya sudah ada sejak Umar Bin Khathab jadi khalifah, tapi tidak terjadi karena berbagai faktor. Faktor yang paling utama adalah kekhawatiran bercampur baur dengan Al-Qur`ân, atau munculnya mushhaf kedua setelah Al-Qur`ân. Boleh jadi faktor pergolakan politik dan pergantian pemimpin pun ikut menghambat terwujudnya pembukuan al-Hadîts secara resmi. Alhamdulillah pada era kepimimpinan Umar Bin Abd al-Aziz itulah Al-Hadîts mulai dihimpun secara resmi oleh pemerintahan untuk dibukukan. Penulis utama dalam pembukuan al-Hadîts pada saat itu antara lain al-Rabi Bin Shabih, Sa’id bin Abi Urubah.[3] Faktor utama, yang menyebabkan al-Hadîts tidak dibukukan secara resmi, sejak jaman Rasûl hingga akhir abad pertama hijriyah, yaitu kekhawatiran bercampur baur dengan Al-Qur`ân dan kuatnya hafalan shahâbat yang tidak memerlukan buku. [4]
- Munculnya berbagai kelompok
Setelah Rasûl SAW wafat, maka wahyu tidak turun lagi, karena Al-Qur`ân dan sunnah telah lengkap dan tidak ada tambahan lagi(Qs.5:3). Pasca wafat Rasûl ullah SAW sebenarnya permasalahan yang dihadapi umat, masih dapat diatasi oleh shahâbatnya sebagai penerus risâlah. Namun karena shahâbat tersebut, jumlahnya sangat banyak, maka muncul penafsiran tentang ayat dan sunnah Rasûl secara berbeda. Ditambah lagi situasi dan kondisi masyarakatnya berubah, yang berdampak pada kehidupan sosial, politik, maupun pemikiran yang ikut berubah pula. Perubahan pemikiran di kalangan kaum muslimin semakin nampak terutama pada masa pemerintahan Utsman Bin Affan, kemudian masa Ali Bin Abi Thalib. Pada awalnya perbedaan pemikiran dipengaruhi oleh kepentingan politik, kemudian merambat kepada hukum, ilmu kalam dan pada periwayatan al-Hadîts. Dalam penilaian kaum khawarij, hanya Abu Bakar ash-Shidiq dan Umar bin Khaththab yang dapat dikatakan adil dan tidak menyeleweng dari ajaran Islam[5]. Doktrin tersebut berpengaruh pada periwayatan al-Hadîts. Kaum khawarij tidak mau menerima al-Hadîts dari orang yang dianggapnya telah berdosa. Di fihak lain, kaum muslimin yang tetap setia mendukung dan membela Ali Bin Abi Thalib juga bangkit dengan kelompok Syi’ahnya. Kaum Syi’ah tidak mau menerima al-Hadîts yang diriwayatkan oleh kaum Sunni. Akibatnya munculah kelompok besar pada saat itu terdiri Khawarij, Syi’ah, dan Sunni[6] . Khawarij berpandangan bahwa Ali Bin Abi Thalib, Utsman dan Mu’awiyah sudah berbuat salah. Sedangkan syi’ah menganggap Ali Bertindak benar, yang salah adalah Mu’awiyah dan Utsman Bin Affan. Sedangkan kelompok ketiga beranggapan baik fihak Ali, Utsman maupun Mu’awiyah tidak bisa dipersalahkan. Perbedaan pandangan tersebut berpengaruh pada perkembangan al-Hadîts. Kaum Syi’ah tidak mau meriwayatkan al-Hadîts dari pendukung Mu’awiyah. Demikian pula pendukung Khawarij tidak menerima pandangan kelompok Mu’awiyah dan kelompok Ali. Di sisi lain Abd Allâh Bin Saba dari kalangan munafiq terus berusaha memperuncing perselisihan tersebut. Akibatnya tak sedikit umat pada saat itu yang berani membuat al-Hadîts palsu untuk mempertahankan pendapatnya dan membela idolanya.
- Munculnya al-Hadîts palsu
Perlu diyakini bahwa al-Hadîts palsu tidak terjadi di kalangan shahâbat. Seluruh shahâbat Rasûl SAW adalah adil dan tidak mungkin membuat kepalsuan[7]. Pemalsuan al-Hadîts hanya terdapat dari umat yang dipengaruhi oleh kepentingan, baik pribadi, politik, kelompok atau pun bermotif lainnya. Al-Hadîts palsu yang dibuat bermotif politik seperti: Pendukung Ali yang menentang Mu’awiyah:
إذَا رَأَيْتُم مُعَاوِيةَ عَلَى مِنْبَرهِ فَاقتُلُوه
Jika kalian melihat Mu’awiyah berpidato di atas Mimbar maka bunuhlah.
Sedangkan pembela Mu’awiyah membuat al-Hadîts palsu seperti:
اَلأُمَنَاء ثَلاَثَةٌ أَنَا وَجِبْرِيل وَمُعَاوِيَة
Yang dapat dipercaya itu hanya tiga yaitu Aku (Rasul), Jibril dan Mu’awiyah [8]. Karena antara kelompok yang satu menyerang yang lain, maka semakin bertambahlah hadits palsu, untuk kepentingan membela idola masing-masing.
- Al-Hadîts periode Abad 2 H
Ditinjau dari sudut pembukuan, abad inilah yang sangat penting dalam priode perekambangan hadits. Oleh karena itu periode ini dinamakanعصر الكِتَاب والتدْوين
Seperti telah dijelaskan di atas, sebenarnya penulisan hadits telah dilakaukan sejak masa Rasul SAW, tamun saat itu belum melembaga. Sejak akhir abad pertama hijri dan awal abad kedua inilah, penulisan hadits dikelola secara resmi, atas instruksi Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Beliau mengirim surat perintah kepada gubernur di seluruh negri. Di antara tokoh yang paling penting mendapat surat perintah menuliskan hadits secara resmi adalah Abu Bakr Ibn Hazm gubenur Madinah. Isi surat perintah tersebut antara lain:
أُنْظر مَا كانَ مِن حَدِيْث رَسول الله صلى الله عليه وسلم أوْ سُنَّة مَاضية فَاكْتُبْه فَإنِّي قَدْ خِفْتُ دُرُسَ العِلْم وَذهَاب أهْلِه
Telitilah apa yang merupakan hadits dari rasul SAW atau sunnahnya, kemudian tulislah, karena aku khawatir hilangnya ilmu dan ulama.[9]
Sejak keputusan Khalifah dikeluarkan, maka segala pembiayaan yang berkaitan dengan penelitian dan pembukuan hadits ditanggung pemerintah. Pada saat itu muncul para muhaddits yang cukup terkenal seperti al-Zuhri, al-Awzâ’î, Syu’bah, Abû Yûsuf, Ibn Juraij, Mâlik Bin Anas. Adapun kitab hadits yang dibukukan secara resmi dan beredar secara luas pada periode ini antara lain sebagai berikut:
Nama Penyusun | Wafat | Nama Kitab |
‘Abd al-Rahmân Bin ‘Amr al-Awzâ’î | 157H | Sunan al-Awzâ’î |
Abû Hanîfah | 159H | Al-Musnad |
Syu’bah Bin Hajâj | 160H | Al-Mushannaf |
Al-Layts Ibn Sa’d | 175H | Al-Mushannaf |
Mâlik Bin Anas | 179H | Al-Muwaththâ |
Abû Yûsuf al-Andhari | 182H | Kitâb al-Atsar |
Baqî Bin Makhlad | 196H | Musnad |
Sufyân Ibn ‘Uyaynah | 198H | Al-Mushannaf |
Karena gencarnya pembukuan hadits, muncul juga para pemalsu. Pemalsuan hadits terjadi dipengaruhi berbagai faktor seperti politik, ekonomi, maupun usaha munafiq untuk menjauhkan umat dari smber hukum yang asli. Perkembangan politik pada abad 2 H, ini terutama pergantian sistem pemerintahan dan pergantian dinasti antara dinasti Mu’awiyah ke Daulah Abbasiyah. Daulah Abasiah ialah sejarah tentang pemerintahan yang dipimpin oleh keturunan Abas. Nama Abasiah di ambil dari nama paman Rasulullah SAW yang bernama Abas Bin Abdl-Muthalib. Dalam buku sejarah sebutan bagi dinasti ini cukup beraneka ragam. Ada yang menyebutnya Daulah Abasiah, khilafah Abasiah, Khilafah bani Abas, ada pula yang menyebut Daulah Bani Abas.
Masa pmerintahan bani Abas cukup lama mencapai lima abad lebih yaitu dari tahun 132H (750M) sampai dengan tahun 656H (1258M). Karena rentang sejarahnya cukup panjang, maka para hali membaginya kepada beberapa priode. Ahmad Salabi[10], membagi sejarah Abasiah ini menjadi tiga priode yaitu (1) priode pertama, tahun 132H hingga 232H di bawah kekuasaan kekhalifahan Abasiah secara penuh, (2) priode kedua tahun 232H hingga 590H, kekhalifahan Abasiah di bawah kekuatan lain , dan (3) priode ketiga tahun 590H hingga 656H, sebagian berada di bawah sistem kekhalifan Abasiah, tapi hanya sekitar Baghdad, dan sebagiannya menggunakan istem lainnya.
Secara ringkas priodisasi tersebut dapat di lihat pada matrik berikut:
PRIODE | KRITERIA | |||
Pertama tahun
132H-232H (750M-847M) |
1. Berdiri dan berkuasa penuh
2. Mengalami kemajuan pesat 3. Banyak muncul tokoh ilmuan dan madzhab baik bidang fikih, kalam, maupun ilmu yang lain. 4. Semua wilayah Islam, ditangan Abasiah kecuali Andalusia yang masih di kuasai Bani Umayah 5.Pengaruh Persia sangat dominan 6. Sistem imam seperti syi’ah, tapi suksesi gaya Bani Umayah |
|||
Kedua, tahun 232H- 590H (847M-1194M) | 1.Kekuasaan banyak dipegang orang Turki, Bani Buwaih dan bani Saljuk
2.Mengalami kemunduran |
|||
Ketiga tahun 590H-656H
(1194M-1258M) |
1. Kekuasaan dipegang kembali oleh Abasiah secara penuh tapi tidak semua kawasan Islam, melainkan hanya baghdad dan Sekitarnya.
2. Banyak kawasan yang memerdekakan diri dan berpisah dari kekuasaan Abasiah. |
|||
Ada pula ahli sejarah yang memabginya pada lima priode yaitu (1) priode pertama, tahun 132H hingga 232H (750M-847M), sebagi priode pemerintahan di bawah pengaruh Persia I, oleh Muayid Fadhil dinamakan العصر الفارسي [11] ( 2) priode kedua tahun 232H hingga 334H (847M-945M), disebut masa kekuasan di bawah pengaruh Turki I, (3) priode ketiga, tahun 334H hingga 447H (945M-1055M) di bawah kekuasaan dinasti Buwaih, masa khilafah Abasiah di bawah pengaruh Persia II, (4) priode keempat, tahun 447H hingga 590H (1055M-1194M), masa kekuasaan bani Saljuk, biasdanya disebut Khilafah Abasiah di bawah pengaruh Turki II, dan (5) priode kelima, tahun 590H hingga 656H (1194M-1258M), Daulah Absiah bebas dari pengaruh lain tapi pemerintahan yang efektif hanya di Baghdad[12].
Banyak faktor yang menyebabkan munculnya Daulah Abasiah antara lain sebagai berikut:
- Bani Umayah berdiri dengan jalan kurang mulus, sehingga menimbulkan ketidak puasan berbagai kalangan yang dirugikan terutama fihak keturunan Rasulullah SAW dan Bani Hasyim pada umumnya.
- Latar belakang berdiri bani Umayah juga tidak terlepas dari konflik politik yang terjadi di masa Ali Bin Abi Thalib.
- Sistem pergantian kepemimpinan di bani Umayah juga kurang transfaran, karena hanya mementingkan garis keturunan.
- sikap Hidup bani Umayah juga dinlai berbagai kalangan sebegai pemerintahan yang kurang baik terutama akhlaqnya.
- Kelompok-kelompok yang tidak puas pada pemerintahan bani umayah akhirnya bersatu menentang pemerintah.
- Kelompok tersebut mulai menyusun kekuatan di bawah tanah. Akhirnya Keturunan al-Abas Bin Abd al-Muthalib mendapat dukungan kuat dari Bani hasyim, Mawali rasul dan Kaum Syi’ah.
- Bani Abas aktif menghimpun kekuatan terutama dari daerah yang agak jauh dari pengawasan bani Umayah seperti al-Khurasan, Humaimah (ada juga yang membaca Hamimah, dan Kuffah.
- Pemerintahan Bani Umayah dapat digulingkan oleh Bani Abas. Abdullah al-Saffah Bin Muhammad Bin Ali Bin Abd Allah Bin Abbas, akhirnya dapat mendirikan dinasti Abasiah
Sistem pemerintahan Abasiah adalah kerajaan, walau pun pemimpinnya disebut khalifah. Oleh karena itu suksesi kepemimpinannya melalui pengangkatan putra mahkota, kemudian memangku jabatan menggantikan yang mengangkatnya. Adapun urutan khalifah Abasiyah yang berkuasa pada abad 2 H dapat dilihat pada bagan berikut:
No | NAMA KHALIFAH YANG BERKUASA | SEJAK TAHUN |
1 | Abu al-Abas al-Saffah | 132 H |
2 | Abu Ja’far al-Mansur | 136 H |
3 | Abu Abd Allah Muhammad al-Mahdi bin al-Mansur | 158 H |
4 | Abu Musa al-Hadi | 169 H |
5 | Abu Ja’far Harun al-Rasyid | 170 H |
6 | Abu Musa Muhammad al-Amin | 193 H |
7 | Abu Ja’far Abd Allah al-Ma’mun | 198 H |
Pergantian pemerintahan semacam ini, berpengaruh pula pada perkembangan hadits, langsung atau pun tidak langsung.
- Al-Hadîts periode Abad 3 H
Gencarnya penulisan hadits pada abad kedua, memunculkan pula usaha orang yang tidak bertanggung jawab untuk membuat kepalsuan dalam hadits. Ulama hadits berusaha keras, pada saat itu, untuk menjaga kemurnian syariat Islam. Pada abad inilah muncul ulama yang berkonsentrasi menyeleksi hadits. Oleh karena itu abad ini dikenal dengan istilah عَصْر التَّجْرِيْد و التَّصْحيح والتَّنْقِيح (masa penyaringan, penyeleksian, pemilihan dan pelengkapan hadits). Perintis usaha ini antara lain Ishaq bin Ruhawaih, yang dusempurnakan oleh al-Bukhari dan Muslim. Kitab-kitab yang terbit pada abad ini antara lain sebagai berikut:
Muhammad Idrîs al-Syâfi’î | 204H | Musnad al-Syâfi’î |
Sulaymân Bin Dâwud al-Thayâlisî | 206H | Musnad Al-Thayâlisî |
Abû Bakr ‘Abd al-Razzâq al-Shan’ânî | 211H | Mushanaf ‘Abd al-Razzâq |
Al-Baghawî | 214H | Al-Musnad |
‘Abd Allâh Bin Zubayr al-Humaydî | 219H | Musnad al-Humaydî |
Ibn al-Manshûr al-Kharasâni | 227H | Sunan Ibn Manshûr |
Ahmad Bin Hanbal | 241 H | Musnad Ahmad |
‘Abdu al-Rahmân al-Dârimî | 255H | Sunan al-Dârimî |
Muhammad Bin Ismâ’îl al-Bukhârî | 256H | Shahîh al-Bukhârî, al-Adab al-Mufrad |
Muslim Bin Hajâj al-Naysabûrî | 261H | Shahîh Muslim |
Abû Dâwud al-Asy’asy | 275H | Sunan Abî Dâwud |
Muhammad Bin Zaid Ibn Mâjah | 275H | Sunan Ibn Mâjah |
Abû ‘Îsâ al-Turmudzî | 279H | Sunan al-Turmudzî |
Adapun kepemimpinan Dunia Islam pada abad ini, masih berada di tangan Dinasti Abbasiah yang urutannya bisa dilihat pada bagan di abawah ini:
No | NAMA KHALIFAH YANG BERKUASA | SEJAK TAHUN |
8 | Abu Ishaq Muhammad al-Mu’tashim | 218 H |
9 | Abu Ja’far Harun al-Watsiq | 227 H |
10 | Abu al-Fadhl Ja’far al-Mutawakkil | 232 H |
11 | Abu Ja’far Muhammad al-Muntasir | 247 H |
12 | Abu al-Abbas Ahmad al-Musta’in | 248 H |
13 | Abu Abd Allah Muhammad al-Mu’taz | 252 H |
14 | Abu Ishaq Muhammad al-Muhtadi | 255 H |
15 | Ab al-Abbas Ahmad al-Mu’tamid | 256 H |
16 | Abu al-Abbas Ahmad al-Mu’tadhid | 279 H |
17 | Abu Muhammad Ali al-Muktafi | 289 H |
18 | abu al-fadhl Ja’far al-Muqtadir | 295 H |
Pada periode abad ini, hadits disleksi hingga terpisah antara hadits shahih, hasan dan yang dla’if. Walau masih disadari terdapat hadits yang dianggap shahih oleh satu ulama, dianggap dla’if oleh ulama lain, tapi setidaknya memberikan kemudahan untuk menyelidiki keabsahan hadits. Di samping itu, terdapat pula kumpulan hadits shahih yang mayoritas ulama meyakininya sebagai kitab hadits terpercaya, yaitu Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Hal ini bukan berarti hadits yang tidak tercantum dalam kedua kitab ini dianggap tidak shahih, sebab masih banyak yang shahih tapi tidak terdapat dalam kedua kitab tersebut. Semua hadits yang terdapat dalam shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, telah diakui kesahihahannya oleh mayorotas ulama. Namun bukan pula berarti semua hadits shahih terdapat pada kedua kitab tersebut.
[1] Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadîts, (Riayadl, 1996, Maktabah al-Ma’arif) h.199
[2] menurut al-Kirmani, sebagai dikutip Endang Soetari, Ilmu Hadits, (Bandung 2000) h.37, Abu Hurairah meriwayatkan hadits sebanyak 5364
[3] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari ( Beirut, Dar al-Fikir) j.I h. 6
[4] Hasbi Ashshiddeqiy, Sejarah Perkembangan Hadits, (Jakarta, 1973, Bulan Bintang) h.60
[5] Ensiklopedi Islam, Ikhtiar, jakarta 1993, j. 3, h. 49
[6] Abd al-Wahab Khalaf, Khulashah Tarikh al-Tasyri al-Islami, (Kairo, 1971) h.46
[7] Abd al-Muhdi Bin Abd al-Qadir, al-Sunnah al-Nabawiyah, (Kairo, Dar al-I’tisham) h.68
[8] Endang Soetari, Ilmu hadits, h. 39
[9] Abu Amr Ibn Abd al-Barr (368H-463H), al-Tamhîd, XVII, h.51
[10] Ahmad salabi, Mausu’at al-tarikh al-Islami wa al-hadlarat al-islamiyah, Jld III< Maktabah al-Nahddah al Misriyah, Kairo 1978 ahalama 20-21
[11] Muayid Fadhil, Syubhat Haul al-ashr al-Abbasi al-Awal, Dar al-Wafa, Kairo1986, halaman 21
[12] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, Rajawali press, Jakarta, 2000 halaman 49-50.