HADITS DLA’IF DAN MACAMNYA
Hadis Dla’if
- Definisi Hadis Dla’if
Pengertian hadis dla’if secara bahasa. Hadis dla’if berarti hadis yang lemah. Dipandang lemah karena dianggap kemungkinan kecil bahwa hadis tersebut berasal dari Rasulullah s.a.w.. diduga kuat oelah mereka hadis tersebut tidak berasal dari Rasulullah s.a.w.. Ibnu Katsir mendefinisikan hadits dla’if: وهو ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح، ولا صفات الحسن المذكورة كما تقدم “Hadis dha’if ialah hadis yang tidak terhimpun sifat-sifat hadis shahih, dan tidak pula terhimpun sifat-sifat hadis hasan sebagaimana yang diterangkan sebelumnya”.[1] Tegasnya jika suatu hadits setelah diteliti ditemukan berbagai kelemahan, baik dari sudut kualitas rawi, redaksi isi, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai hadits shahih atau hadits hasan, maka termasuk hadits dla’if yang diragukan sumbernya dari Rasul SAW.
- Macam-macam Hadis Dla’if
Hadis dha’if dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadis dha’if karena gugurnya ar-râwiy dalam matarantai atau sanadnya, dan hadis dha’if karena adanya cacat pada personal râwiy atau matn (matan/teks, redaksi / materi hadits).
- Hadis Dha’if Karena Gugurnya Râwiy (Periwayat)
Yang dimaksud dengan gugurnya ar-râwiy adalah tidak adanya satu atau beberapa râwiy, yang seharusnya ada dalam suatu matarantai aatau sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadis dha’if yang disebabkan karena gugurnya ar-râwiy, antara lain yaitu :
1) Hadis Mursal
Hadis mursal menurut bahasa, berarti hadis yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis mursal adalah hadis yang gugur ar-râwiy nya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan ar-râwiy di akhir sanad ialah ar-râwiy pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadis dari Rasulullah s.a.w.. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari ar-râwiy yang terdekat dengan imam yang membukukan hadis, seperti al-Bukhari, sampai kepada ar-râwiy yang terdekat dengan Rasulullah s.a.w.). Jadi, hadis mursal adalah hadis yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai ar-râwiy yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah s.a.w..
Contoh hadis mursal :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَرْمَلَةَ الأََسْلَمِيِّ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ :« بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُنَافِقِينَ شُهُودُ الْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ, لاَ يَسْتَطِيعُونَهُمَا ».
“Antara kita dan kaum munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman bin Harmalah al-Aslami, dan selanjutnya dari Sa’id bin Musayyab (salah seorang dari generasi tabi’in)). Siapa sahabat Nabi s.a.w. yang meriwayatkan hadis itu kepada Sa’id bin Musayyab, tidak disebutkan dalam sanad hadis di atas.
Kebanyakan ulama memandang hadis mursal ini sebagai hadis dha’if, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadis mursal menjadi hujjah asalkan para ar-râwiy bersifat ‘âdil.
2) Hadis Munqathi’
Hadis munqathi’ menurut etimologi ialah hadis yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadis munqathi’ adalah hadis yang gugur satu atau dua orang ar-râwiy tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila ar-râwiy di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka ar-râwiy menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadis munqathi’ bukanlah ar-râwiy di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua ar-râwiy yang gugur, maka kedua ar-râwiy tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua ar-râwiy yang gugur itu adalah tabi’in.
Contoh hadis munqathi’ :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ , وَأَبُو مُعَاوِيَةَ ، عَنْ لَيْثٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَسَنِ ، عَنْ أُمِّهِ ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ ، قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَقُولُ : بِسْمِ اللهِ ، وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي , وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ ، وَإِذَا خَرَجَ , قَالَ : بِسْمِ اللهِ ، وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي ، وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ.
“Rasulullah s.a.w. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim dan Abu Mu’awiyah, dari Laits, dari Abdullah bin al-Hasan, dari Ibunya (Fatimah binti al-Husain), dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadis di atas adalah hadis munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada ar-râwiy yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in.
3) Hadis Mu’dhal
Menurut bahasa, hadis mu’dhal adalah hadis yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dua orang ar-râwiy (periwayat)-nya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf (5/286), dan juga Ibnu Abi Dun-ya di dalam kitab Dzimmu al-Malahi (80), dari jalan Qatadah, ia berkata;
ذكر لنا أن نبي الله صلى الله عليه وسلم قال : « الكَعْبَتَانِ مِنْ مَيْسِرِ الْعَجَمِ »
Disebutkan kepada kami bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “kedua mata kaki adalah kemudahan Bangsa ‘Ajam (non-Arab)”. Qatadah yang dimaksud di sini adalah Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi. Riwayatnya dari tabi’in besar sangat agung, pendapat yang lebih kuat, dalam sanad ini beliau telah menghilangkan setidaknya dua orang ar-râwiy (periwayat), yaitu seorang tabi’in dan seorang shahabat. Maka hadis yang demikian ini dinamakan mu’dhal. Dan hadis mu’dhal (معضل) derajatnya di bawah mursal (مرسل) dan munqathi’ (منقطع), karena banyaknya ar-râwi (periwayat) yang hilang dari sanad secara berurutan.
4) Hadis Mu’allaq
Menurut bahasa, hadis mu’allaq berarti hadis yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadis ini ialah hadis yang gugur satu ar-râwiy (periwayat) atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua ar-râwiy (periwayat)-nya digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh :
Contoh; Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitabnya ash-Shahih, Kitab al-Iman, Bab: Husnu Islami al-Mar’i (1/17), ia mengatakan,
قَالَ مَالِكٌ: أَخْبَرَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ إِسْلاَمُهُ يُكَفِّرُ اللَّهُ عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلَفَهَا ، وَكَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصُ الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِئَةِ ضِعْفٍ وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا إِلاَّ أَنْ يَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهَا.
“Telah berkata Malik, telah memberitakan kepada kami Zaid bin Aslam, bahwa ‘Atha’ bin Yasar memberitahu kepadanya, bahwa Abu Sa’id al-Khudri memberitahu kepadanya, bahwasannya ia mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda; Apabila seseorang masuk Islam, dengan keislaman yang bagus maka Allah akan menghapuskan semua kejahatannya yang telah lalu. Setelah itu balasan terhadap suatu kebaikan sebanyak sepuluh kali sampai 700 kali lipat dari kebaikan itu, dan balasan kejahatan sebayak kejahatan itu sendiri, kecuali pelanggaran tehadap Allah.”
Al-Bukhari tidak menyebutkan nama gurunya, padahal ia meriwayatkan hadis dari Imam Malik melalui perantara seorang ar-râwiy (periwayat).
Contoh lain; dikeluarkan oleh al-Bukhari di dalam kitabnya al-Jâmi’ ash-Shahîh, Kitab ath-Thahârah, Bab Mâ Jâ’a fî Ghusli al-Baul, (1/51).
وَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِصَاحِبِ الْقَبْرِ كَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
“Rasulullah s.a.w. bersabda kepada penghuni kubur, dahulu dia tidak membersihkan kencingnya”.
Al-Bukhari menghilangkan semua sanadnya, dan hanya mengatakan, “Nabi s.a.w. bersabda”.
- Hadis Dha’if Karena Cacat pada Matn (Matan/Teks) atau ar-Râwiy (Periwayat)
Banyak macam cacat yang dapat menimpa ar-râwiy (periwayat) ataupun matan. Seperti pendusta, fâsiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat ‘adil pada ar-râwiy (periwayat). Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi ar-ruwât (para periwayat) yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada ar-râwiy (periwayat). Adapun cacat pada matan, misalnya terdapat sisipan di tengah-tengah lafazh hadis atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafazh yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadis dha’if karena cacat pada matn (matan/teks) atau ar-râwiy (periwayat):
1) Hadis Maudhu’
Menurut bahasa, hadis ini memiliki pengertian hadis palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadis yang bukan berasal dari Rasulullah s.a.w.. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadis palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, madzhabnya, atau kebangsaannya .
Hadis maudhû’ merupakan seburuk-buruk hadis dha’if. Peringatan Rasulullah s.a.w. terhadap orang yang berdusta dengan hadis dha’if serta menjadikan Rasululullah s.a.w. sebagai sandarannya.
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan beberapa contoh hadis maudhu’:
- a) Hadis yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakan bahwa hadis itu diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari Rasulullah s.a.w.. berbunyi: “Sesungguhnya bahtera Nuh berthawaf mengelilingi ka’bah, tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat”. (Muhammad Nashiruddin al-Albani, Irwâ’ al-Ghalîl fî Takhrîji Ahâdîts Manâr as-Sabîl, Juz V, Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1985, h. 222)[2] Makna hadis tersebut tidak masuk akal”.
- b) Adapun hadis lainnya : “anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan”. (Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah wa al-Maudhû’ah wa Atsaruhâ as-Sayyi’ fi al-Ummah, Juz I, Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1992, h. 447)[3] Hadis tersebut bertentangan dengan al-Quran. ” Pemikul dosa itu tidaklah memikul dosa yang lain”. (QS al-An’âm/6: 164 )
- c) “Siapa yang memeroleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu masuk surga”. (As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Lâlî al-Mashnû’ah fi al-Ahâdîts al-Maudhû’ah, Juz I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., h. 97)[4] “Orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku (Muhammad), Jibril, dan Muawiyah”. (As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Lâlî al-Mashnû’ah fi al-Ahâdîts al-Maudhû’ah, Juz I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., h. 282)[5]
Demikianlah sedikit uraian mengenai hadis maudhu’. Masih banyak hadis-hadis lainnya yang sengaja dibuat oleh pihak kufar. Sedikit sejarah, berdasarkan pengakuan dari mereka yang memalsukan, seperti Maisarah bin Abdi Rabbin Al-Farisi, ia mengaku telah membuat beberapa hadis tentang keutamaan al-Quran dan 70 buah hadis tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib. Abdul Karim, seorang ’zindiq’, sebelum dihukum pancung ia telah memalsukan hadis dan mengatakan : “aku telah membuat 3000 hadis; aku halalkan barang yang haram dan aku haramkan barang yang halal”.
2) Hadis matrûk atau hadis mathrûh
Hadis ini, menurut bahasa berarti hadis yang ditinggalkan/dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis matrûk adalah hadis yang diriwayatkan oleh ”orang-orang yang pernah dituduh berdusta (baik berkenaan dengan hadis ataupun mengenai urusan lain), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya”.Contoh hadis matrûk:
أخبرنا القاضى أبو القاسم نا أبو علي نا عبدالله بن محمد ذكر عبدالرحمن بن صالح الأزدى نا عمرو بن هاشم الجنى عن جوبير عن الضحاك عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال عَلَيْكُمْ بِاصْطَنَاعِ المَعْرُوفِ فَإِنَّهُ يَمْنَعُ مَصَارِعَ السُّوءِ وَعَلَيْكُمْ بِصَدَقَةِ السِّرِّ فَإِنَّهَا تُطْفِىءُ غَضَبَ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ
أخرجه ابن أبى الدنيا فى قضاء الحوائج (ص ٢٥ ، رقم ٦)
“Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia dapat menolak kematian yang buruk, dan hendaklah kamu bersedekah secara tersembunyi, karena sedekah tersembunyi akan memadamkan murka Allah SWT”.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dari Ibnu Abbas. Di dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy. An-Nasa’i, ad-Daruquthni, dan lain-lain mengatakan bahwa hadisnya ditinggalkan (matrûk). Ibnu Ma’in berkata, “لاَ بَأْسَ بِهِ (Ia tidak ada apa-apanya)”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya), ini berarti ia “الْمُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ (tertuduh berdusta)”.
3) Hadis Munkar
Hadis munkar, secara bahasa berarti hadis yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadis munkar ialah: hadis yang diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat) yang lemah dan menyalahi ar-râwiy (periwayat) yang kuat, contoh:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ ، نا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، نا مَعْمَرٌ ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ ، عَنِ الْعَيْزَارِ بْنِ حُرَيْثٍ ، أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ ، أَتَاهُ الْأَعْرَابُ , فَقَالَ : ” مَنْ أَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَحَجَّ الْبَيْتَ وَقَرَى الضَّيْفَ دَخَلَ الْجَنَّةَ “ *
“Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji dan menghormati tamu, niscaya masuk surga.” (HR Abu Ishaq dari Abdullah bin Abbas)”
Hadis di atas memiliki ar-ruwât (para periwayat) yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadis yang lebih kuat.
4) Hadis Mu’allal
Menurut bahasa, hadis mu’allal berarti hadis yang terkena ‘illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadis ini adalah hadis yang mengandung sebab-sebab tersembunyi, dan ‘illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya. Contoh:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu Umar. Matan hadis ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki ‘illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.
5) Hadis Mudraj
Hadis ini memiliki pengertian hadis yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadis itu. Contoh:
أَنَا زَعِيمٌ وَالزَّعِيمُ الْحَمِيلُ لِمَنْ آمَنَ بِي وَأَسْلَمَ وَهَاجَرَ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ …
“Saya adalah za’im (dan za’im itu adah penanggung jawab) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah, dengan tempat tinggal di taman surga …” (HR Al-Bazzar dari Fadhalah bin ‘Ubaid)
Kalimat akhir dari hadis tersebut (بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ) adalah sisipan, karena tidak termasuk sabda Rasulullah s.a.w..
6) Hadis Maqlûb
Menurut bahasa, berarti hadis yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama ar-râwiy (periwayat) dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain. Contoh:
فَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ مِنْ شَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَمَا نَهَيْتُكُمْ فَانْتَهُوْا
Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu”. (Hadis Riwayat ath-Thabrani dari al-Mughirah)
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, semestinya hadis tersebut berbunyi, Rasulullah s.a.w. bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang aku larang kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
7) Hadis Syadz
Secara bahasa, hadis ini berarti hadis yang ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat) yang dipercaya, tapi hadis itu berlainan dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah ar-râwiy (periwayat) yang juga dipercaya. Hadisnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadis-hadis lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya. Contoh :
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ الْفَاكِهِيُّ بِمَكَّةَ ثَنَا أَبُو يَحْيَى بْنُ أَبِي مَيْسَرَةَ ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِيُّ ثَنَا مُوسَى بْنُ عُلَىِّ بْنِ رَبَاحٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : يَوْمُ عَرَفَةَ وَ يَوْمُ النَّحْرِ وَ أَيَّامُ التَشْرِيْقِ عِيْدُنَا أَهْلُ الْإِسْلَامِ وَ هُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ
“Hari ‘Arafah, hari Nahr dan hari-hari Tasyriq adalah hari raya bagi umat Islam, dan hari-hari itu adalah hari-hari makan dan minum.” (HR al-Hakim dari Musa bin Ali bin Rabah)
Hadis di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari serentetan ar-ruwât (para periwayat) yang dipercaya, namun matn (matan/teks) hadis tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadis-hadis lain yang diriwayatkan oleh ar-ruwât (para periwayat) yang juga dipercaya. Pada hadis-hadis lain tidak dijumpai ungkapan tersebut. Keganjilan hadis di atas terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadis syadz pada matn (matan/teks)-nya. Lawan dari hadis ini adalah hadis mahfûzh.
[1] al-Bahits al-Hatsits fi ikhtashar ulum Hadits, I h.5