HADITS MUTAWATIR

Macam-macam hadits ditinjau dari sudut kuantitas dan kualitas rawi
Hadits ditinjau dari sudut Kuantitas Rawi
Hadits dilihat dari segi kuantitas perawinya dibagi menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan hadis ahad.
1.Hadis mutawatir
a.Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti المتتابع(al-mutatabi) yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya. Menurut beberapa ulama’ salah satunya adalah Mahmud at-Tahhan dalam bukunya Tafsir fii Mustalah al-Hadits, menyatakan:مارواه عدد كثر تحيل العادة توا طؤهم على الكذب “Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang secara hokum adat, tidak memungkinkan untuk ramai-ramai berbohong. Sedangkan menurut Abuu Ya’laa al-Muusilli at-Tamimi, hadits mutawatir adalah:
هو خبر عن محسوس أخبر به جماعة بلغوا في الكثيرة مبلغا تحيل العا دة تواطؤهم على لكذب فيه
“Suatu hadits yang diberitakan secara indrawi yang diriwayatkan oleh banyak orang, kepada orang banyak yang menurut hokum adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta”
al-Jurjani menerangkan bahwa hadits mutawatir adalah
ما بلغت رواته في الكثرة مبلغاً أحالت العادة تواطأهم على الكذب Haditas yang diriwayatkan oleh orang banyak, mencapai jumlah yang tidak memungkinkan untuk berdusta secara bersama-sama.[1]
Jadi menurut istilah hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak pada tiap tingkatan (thabaqat) sehingga mustahil mereka sepakat untuk berbohong, dan proses tersebut dapat diakui panca indera. Oleh karena itu dapat dikatakan sebagai mutawatir memenuhi kriteria atau syarat-syarat :
(1).Diriwayatkan Oleh Banyak Perawi
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama hadis mempunyai perbedaan pendapat tentang menentukan seberapa banyak periwayat yang harus meriwayatkan sebuah hadis sehingga dikatakan sebagai hadis mutawatir. Ada yang berpendapat 3 orang, 4 orang, 5 orang, 10 orang, bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Dengan adanya jumlah perawi yang banyak inilah yang akan memungkinkan bahwa hadis yang disampaikan tidak memiliki keraguan terhadap kebenaran hadis tersebut.
(2).Adanya Keseimbangan antar periwayat sejak tingkat pertama hingga berikutnya.
Terdapat berbagai pendapat mengenai keseimbangan perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat berikutnya. Ada yang berpendapat bahwa, apabila jumlah perawi pada tingkatan awalnya tidak sama dengan tingkatan selanjutnya maka hadis tersebut tidak dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa adanya perbedaan perawi pada setiap Thabaqat bukanlah menjadi masalah karena pada dasarnya hadis yang disampaikan sama banyaknya. Dan hal tersebut bisa dikategorikan sebagai hadis mutawatir.
3.Mustahil Bersepakat Bohong
Berdasarkan jumlah perawi yang banyak, maka periwayatan suatu hadis ini secara logika sangat sulit untuk bersepakat berbohong dalam periwayatannya, karena mengingat bahwa hadis yang diriwayatkan tersebut dalam jumlah yang banyak. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kuantitas bukan merupakan suatu hal yang mutlak ketika hadis dikatakan mutawatir atau bukan, karena realitas yang ada sekarang ini para periwayat hadispun masih ada kemungkinan untuk berbohong dalam periwayatannya.
4.Berdasarkan Tanggapan Pancaindera
Maksudnya adalah berita yang disampaikan itu merupakan hasil dari sesuatu yang didengar dengan telinga, dilihat dengan mata, dan bukan merupakan hasil yang disandarkan pada logika atau akal belaka. Sehingga, apabila berita tersebut merupakan hasil dari pemikiran atau logika suatu peristiwa dan bukan merupakan hasil istinbath, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakatan sebagai hadis mutawatir. Hadis itu berdasarkan tanggapan pancaindera, misalnya ungkapan periwayatan :
سمعنا= Kami mendengar (dari Rasulullah bersabda begini)
راينا او لمسنا= Kami sentuh atau Kami melihat (Rasulullah melakukan begini dan seterusnya)
- Macam-macam Hadis Mutawatir
Sebagian ulama membagi hadis mutawatir menjadi dua, yakni mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada pula yang membaginya menjadi tiga, yakni dengan menambahkan hadis mutawatir ‘amali.
(1).Mutawatir Lafdzhi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzhi menurut Mahmud at-Tahhan ialah :
المتواتراللفظي هوماتواترلفظه ومعناه
“Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya”.
Maksudnya adalah bahwa hadis mutawatir Lafdzhi ini merupakan hadis yang periwayatannya masih dalam satu lafaz. Beberapa ulama ada yang berpendapat dan menetapkan bahwa hadis mutawatir lafdzhi itu tidak ada atau sedikit sekali, karena kurang mengetahui tentang perawinya, apakah dalam meriwayatkan tersebut telah bersepakat untuk tidak berdusta atau hanya kebetulan saja. Sedangkan menurut pendapat ulama yang menetapkan adanya hadis mutawatir lafdzhi ialah menilai dari segi sedikit atau banyak jumlahnya, atau melihat dari segi makna beberapa lafaz yang sama. Perbedaan pendapat tersebut dapat dimaklumi karena mengingat bahwa terdapat perbedaan pula dalam hal jumlah perawi hadis mutawatir. Berikut adalah contoh dari hadis mutawatir lafdzhi :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berbuat dusta terhadap diriku, hendaklah ia menempati neraka”.
Dalam periwayatan hadis tersebut, muncul berbagai pendapat tentang jumlah periwayat yang meriwayatkannya, diantaranya adalah : (a).Abu Bakar al-Sairiy menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan secara marfu’ oleh 40 (empat puluh) sahabat. (b).Ibnu al-Shalkah berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh 62 (enam puluh dua) sahabat, dimana 10 (sepuluh) diantaranya dijamin masuk surga. (c).Ibrahim al-Harabi dan Abu Bakar al-Bazariy mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh 40 (empat puluh) sahabat. (d).Abu Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 80 (delapan puluh) sahabat. (e).Sebagian lagi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 100 (seratus) bahkan 200 (duaratus) sahabat.
(2).Mutawatir Ma’nawi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir ma’nawi adalah :
مَاتَوَاتَرَمَعْنَاهُ دُوْنَ لَفْظِهِ
“Hadis yang mutawatir maknanya, bukan lafalnya”.
Pendapat lain, hadis mutawatir ma’nawi ialah :
“Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berdusta atau karena kebetulan. Mereka menukilkan dalam berbagai bentuk, tetapi dalam satu masalah atau mempunyai titik persamaan”
Contoh dari hadis mutawatir ma’nawi :
“Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam shalat istisqa, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya” (H.R. Bukhari)[2]
Hadis-hadis yang semakna dengan hadis tersebut banyak sekali, lebih dari 100 (seratus) hadis.
c.Hadis Mutawatir ‘Amali
Perbuatan dan pengamalan syari’ah islamiyah yang dilakukan Nabi SAW secara terbuka atau terang-terangan yang kemudian disaksikan dan diikuti oleh para sahabat adalah pengertian dari mutawatir ‘amali, sebagaimana pendapat para ulama yang mengatakan bahwa:
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat muslim (orang islam) bahwa Nabi SAW mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain itu”.
Contoh hadis mutawatir ‘amali adalah hadits yang menjelaskan tentang shalat baik waktu maupun rakaatnya, tentang haji, tentang zakat dan lain-lain. Semua itu bersifat terbuka dan disaksikan oleh banyak sahabat dan kemudian diriwayatkan oleh sejumlah besar kaum muslim dari masa ke masa.
c.Kedudukan Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir itu mempunyai kedudukan sebagai ilmu dharuriy atau yang diyakini kebenarannya dari Rasul SAW. Sebagai suatu keharusan untuk diyakini kebenaran suatu berita dari Nabi SAW yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa ada keraguan sedikitpun. Para rawi hadis mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedhabitannya (kuatnya hafalan/ingatan), karena kuantitas para perawi hadis sudah menjamin tidak mungkin terjadi kesepakatan bohong. Namun menurut Ibnu Taimiyah, suatu hadis dianggap mutawatir oleh sebagian golongan, bisa saja tidak diyakini sebagai mutawatir oleh golongan lain. Barang siapa yang telah meyakini akan kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya mempercayai kebenarannya dan mengamalkan sesuai tuntutannya. Sedang bagi orang yang belum mengetahui dan meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan suatu hadis yang telah disepakati ulama sebagai hadits mutawatir.
d..Korelasi hadits mutawatir dengan kualitas hadits
Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits mutawatir hanya dikaji dari segi jumlah rawinya saja dan tidak tertuju pada kajian kualitas dari rawi tersebut. Hadits mutawatir tidak termasuk ke dalam pembahasan ilmu hadits, karena terfokus menilai shahih atau tidaknya suatu hadits dilihat dari para rawi dan cara penyampaian periwayatannya. Sedangkan dalam hadits mutawatir, kualitas pribadi para rawinya tidak dijadikan acuan atau sasaran pembahasan. Dengan demikian, maka hadits mutawatir tidak membutuhkan kajian tentang isnad dikarenakan yang dibutuhkan hadits mutawatir hanya jumlah atau kuantitas bukan kualitas rawinya. Hadits mutawatir bisa saja berstatus shahih, hasan, maupun dha’if dikarenakan kualitas dari hadits tersebut itu sendiri. Tegasnya hadits mutawatir dapat dipercaya dari sudut popularitas rawi yang banyak meriwayatkan yang secara kuantitas memenuhi syarat untuk dipercaya. Adapun dari sudut kualitasnya, mesti diteliti dari sudut lainnya. Ada beberapa riwayat yang ditunjukkan untuk membuktikan bahwa hadits mutawatir tidak berdasarkan pada kualitas rawi, yaitu riwayat tentang hadits berdusta atas nama Nabi :
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغُبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Imam Muslim menyatakan, telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode sama) dari Muhammad bin Ubaid al-Ghobiri, telah menyampaikan kepada kami dari Abu ‘Awanah dari Husain dari Abi Salih dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka bersiap-siaplah menduduki kedudukannya di dalam neraka” (HR. Muslim)[3]. Hadits ini merupakan hadits mutawatir dan berstatus shahih.
e.Kitab-kitab yang membahas tentang hadits mutawatir
Sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam kitab tersendiri, antara lain: (1).Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi. Dalam kitab tersebut, As Suyuthi menyusun bab demi bab dan setiap hadits diterangkan sanad-sanadnya yang dipakai oleh pentakhrijnya. (2).Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab diatas. (3).Al-La’ali’ Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi. (4).Nazm Al-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani. (5).Ithaf Dzawil Fadha’il al-Musythahirah bi Maa Waqaa’ min Ziyadah ‘Alaa al-AzharAl-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya ustadz Syeikh Abdul ‘Aziz al-Ghammari. (6).Luqt al-Liaalii Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abii al-Faidh Muhammad Murtadhaa al-Husainii az-Zubaidii al-Misri.
[1] Al- Mukhtashar fi Ushul al-Hadits, I h.1
[2] shahih al-Bukhari, no.973 juz IV h.136
[3] shahih Muslim, juz I h.12 no 4