HALALNYA YANG BAIK-BAIK (kajian Tafir al-Ma`idah:05)
HALALNYA YANG BAIK-BAIK
(kajian Tafir al-Ma`idah:05)
A.. Teks Ayat dan Tarjamahnya
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (5)
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.”.Qs.5:05
B. Kaitan dengan ayat sebelumnya
1. Pada Ayat 3 yang lalu ditegaskan bahwa hewan ternak yang dihalalkan itu yang disembelih secara baik, benar dan tepat sesuai aturan syari’ah, atas nama Allah. Ayat 4 menegaskan bahwa binatang buruan yang halal adalah yang baik zatnya serta baik pula cara memburunya. Ayat berikut menjelaskan tentang hukum makanan ahlul-Kitab, termasuk semeblihannya.
2. Ayat ke 3 dan 4 menjelaskan tentang makanan yang halal dikonsumsi, maka ayat berikutnya menjelaskan tentang wanita yang halal untuk dinikahi.
3. Ayat ke 4 menjelaskan tentang cara mendapatkan hewan buruan dengan cara yang halal, maka ayat berikutnya menjelaskan cara mendapatkan istri secara halal, dan menghindari cara yang diharamkan.
C. Tafsir Kalimat
1. الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Seperti dikemukakan pada bahasan terdahulu, perkataan الْيَوْمَ walau biasanya bermakna “hari ini”. Namun di kalangan ulama terdapat beberapa pemahaman antara lain (1) mengisyaratkan hari atau peristiwa ayat ini diturunkan; (2) mengisyaratkan hari yang telah disebutkan sebelumnya; (3) tidak terikat oleh peristiwa, melainkan mencakup segala hari.[1] Namun yang jelas makna ayat al-Qur`an tidak terikat oleh suatu peristiwa tertentu atau saat kejadian, karena berlaku sepanjang masa.
Kalimat أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ merupakan penegasan kembali bahwa yang dihalalkan untuk umat manusia adalah yang الطَّيِّبَاتُ “baik” apakah ditinjau dari zat, sifat maupun akibatnya. Zatnya baik, karena menarik untuk dikonsumsi tidak menjijikan. Sifatnya baik, karena dapat dii’mati dengan lezat. Akibatnya baik, karena tidak berbahaya bila dikonsumsi. Pengolahannya juga dengan cara yang baik, agar tidak berubah nutrisinya. Cara mendapatkannya juga mesti baik, karena tidak merugikan fihak mana pun. Makanan seperti itulah yang dipersilakan dini’mati, sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Qs.2:168
Berdasar ayat ini, setiap manusia dipersilakan agar meni’mati apapun yang halal dan baik, yang ada di muka bumi. Namun jangan mengikuti keinginan setan yang senantiasa menjdi musuh membahayakan. Dengan demikian, segala yang halal dan baik boleh dini’mati, tapi jangan sampai kesetanan, sehingga melebihi kebutuhan.
2. وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu,
Pada ayat sebelumya ditegaskan bahwa hewan yang halal dimakan itu mesti melalui proses penyembelihan menurut ketentuan syari’ah yang bertujuan mengharap ridlo Allah. Timbul pertanyaan tentang bagaimana hukumnya hewan yang disembelih oleh bukan muslim, yang tentu saja tidak berdasar syari’at Islam. Kalimat وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ berfungsi penjelasan dan sekaligus pembatasan yang tegas. Ayat ini sebagai penjelas bahwa ada hewan yang disembelih oleh non muslim, yang halal hukumnya dikonsumsi muslim, tapi hanya sembelihan ahlul-kitab. Walau pada ayat ini digunakan perkataan طَعَامُ yang mencakup segala makanan, tapi difahami oleh mufassir sebagai binatang sembelihan, karena yang lainnya tidak perlu ditegaskan lagi. Dengan dikhususkan الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ maka hanya pemeluk yahudi dan nashrani, tidak mencakup pemeluk agama lain seperti majusi, hindu dan budha, atau penyembah berhala.
3. وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
Semblihan orang mu`min juga tidak boleh dilarang untuk dikonsumsi oleh ahl al-Kitab, karena halal bagi mereka. Mu`min boleh memakan makanan ahlul-kitab, mereka pun boleh memakan makanan mu`min.
4. وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,
Perkataan َالْمُحْصَنَاتُ yang tercantum ayat ini ada yang mengartikan الْحَرَائر (wanita merdeka, bukan hamba sahaya), [2] ada pula yang mengartikan العَفَائِف (wanita yang menjaga diri, bukan pezina).[3] Ulama yang mengartikan َالْمُحْصَنَاتُ dengan wanita merdeka tentu saja bukan bermakna mengkhususkan, tapi penegasan bahwa yang merdeka pun dihalakan untuk dinikah. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa َالْمُحْصَنَاتُ yang halal dinikah itu terdiri dari مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ (kalangan wanita yang telah beriman) dan مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ (dari kalangan orang-orang yang menerima kitab, atau yang diistilahkan ahl al-Kitab). Semua perkataan ahlul-kitab yang tercantum dalam al-Qur`an menunjuk kepada yahudi dan nashrani. Yahudi mengaku beriman kepada Taurat dan Zabur, tapi tidak beriman pada Injil dan al-Qur`an, maka dijuliki ahlul-kitab. Kaum nashrani mengaku beriman kepada Taurat, Zabur dan Injil, tapi tidak beriman kepada al-Qur`an, maka dijuluki ahlul-Kitab. Kedua kelompok tersebut tidak digolongan pada mu`min, karena syaratnya harus beriman kepada seluruh kitab yang diturunkan kepada para Rasul.
Ternyata yang dihalalkan, bukan hanya memakan sembelihan ahlul-kitab. Wanita ahlul-kitab juga boleh dinikah oleh laki-laki mu`min. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini dikecualikan oleh surat al-Baqarah:221 yang mengharamkan menikahi wanita musyrik. Menurut pendapat pertama ini, hanya wanita ahlul-kitab yang tidak musyrik yang boleh dinikah. Sedangkan yang musyrik, baik ahlul-kitab maupun lainnya, tetap dilarang oleh ayat:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allâh mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. Qs.2:221
Pangkal ayat ini tegas melarang untuk nikah dengan wanita musyrik. Secara tersurat larangan ini bersifat mutlak tanpa kecuali. Artinya segala wanita yang musyrik haram dinikah; apakah mereka itu termasuk penyembah berhala ataukah ahlul-kitab[4]. Namun dalam surat al-Ma’idah: 5 yang sedang dibahas, terungkap bahwa kaum pria muslim dihalalkan untuk menikahi wanita ahlul-kitab. Inilah yang menyebabkan munculnya perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum menikahi wanita ahl al-Kitab yang musyrik.
Sebagian ulama, seperti al-Qasimi (1283 H, – 1332 H) berpendapat bahwa Qs.2:221 ditakhshîsh (dikecualikan) oleh surat al-Ma’idah (Qs.5:5). Artinya muslim dilarang menikahi wanita musyrik kecuali ahli-kitab. Dengan demikian wanita yang haram dinikah itu adalah penyembah berhala.[5] Ada lagi ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan musyrikat pada ayat ini mutlak baik penyembah berhala ataupun ahli kitab. Wanita yahudi dilarang dinikah karena menganggap bahwa Uzair putra Allâh. Wanita nashrani pun haram dinikah karena beranggapan bahwa Yesus putra Allâh. Dengan demikian ayat 221 ini merupakan pentakhsis ayat dalam surat al-Ma’idah:5. Namun terhadap pendapat ini ada yang menolak, karena surat al-Ma’idah lebih akhir daripada surat al-Baqarah 221. Dia tegaskan, tidak mungkin yang akhir ditakhsis oleh yang awal. Ulama lain berpendapat bahwa perkataan مُشْرِكَات tidak mencakup ahlul-kitab, sebab beberapa ayat dalam al-Qur’an memisahkan istilah musyrik dengan ahlul-kitab seperti Qs.98:6 [6] Al-Nafi’ menerangkan bahwa Abdullah Bin Umar ketika ditanya tentang hukum seorang muslim menikah dengan wanita yahudi dan nashrani, menjawab:
حَرَّمَ اللهُ المُشْرِكَاتِ عَلَى المُؤْمِنِيْنَ وَلاَ أَعْرِفُ شَيْئًامِنَ الإِشْرَاكِ أَعْظَم مِنْ أَنْ تَقُوْلَ المَرْأَة رَبُّهَا عِيْسَى أَوْ عَبْدٌمِنْ عِبَادِ اللهِ .
“Allâh telah mengharamkan wanita musyrik atas orang mu’min, saya tidak mendapatkan kemusyrikan yang paling besar melebihi kemusyrikan wanita yang beranggapan bahwa Isa atau hamba Allâh lainnya sebagai tuhan” [7]
Namun Al-Nuhas menandaskan bahwa pendapat Ibn Umar itu berbeda dengan shahabat lain seperti Utsman, Thalhah, Ibn Abbas, Jabir dan Hudzaifah yang menghalalkan nikah dengan wanita ahlul-kitab. Namun seperti halnya dalam urusan makanan, milih calon isteri juga bukan hanya yang halal dinikah, tapi juga yang baik. Oleh karena itu pertimbangan dalam memilih mesti meninjau dari berbagai aspek. Pasangan seiman akan lebih mudah memimpinnya di banding dengan yang beda keimanannya. Rasulullah saw. menandaskan:
تُنْكَحُ المَرْأَةُ بِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ .
“Wanita dinikah karena empat faktor; karena harta, karena turunan; karena kecantikan dan karena agamanya. Hendak lah memilih karena Agama, maka kamu akan memperoleh kemenangan”. Hr. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.([8])
Menurut Hadits ini, ada empat faktor yang mendorong pria memilih wanita; kecantikan, kekayaan, turunan dan Agama. Namun dalam hadits tersebut juga ditandaskan bahwa hanya yang dilatarbelakangi agama yang akan memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian wanita yang baik menurut hadits ini adalah wanita yang baik agamanya. Wanita yang halal dinikah yang tercantum dalam surat al-Ma’idah itu, memang sudah jelas. Namun Wanita Ahlul-Kitab yang mana, yang menurut ayat itu halal?. Bukankah pada ayat tersebut dikatakan yang المحصنات Muhshanat? Muhshanat itu banyak artinya antara lain: Suci, Islam, pandai menjaga diri, bahkan bisa yang dijaga kesuciannya. Kalau pada ayat itu maksudnya suci, wanita yang bagaimana ahlul-kitab yang suci itu? Mu`min juga harus memperhatikan bahwa dalam memilih jodoh tidak hanya yang halal saja, tapi juga harus memilih yang baik. Salah satu fungsi pernikahan, sebagaimana dikemukakan dalam surat Al-Rum:21 adalah mewujudkan keluarga sakinah. Sedangkan yang dimaksud dengan sakinah, sebagaimana diterangkan dalam surat al-Fath ayat 4, adalah yang meningkatkan iman pada orang mu’min.
Dengan demikian, jika pernikahan itu ingin mencapai sakinah, maka harus iman. Oleh karena itu istri ataupun suami harus mu’min. Itulah mungkin salah satu makna dari kalimat
وَلأََمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
bahwa hamba sahaya mu’min tetap lebih baik daripada musyrik walau merdeka atau menarik hati. Qs.2:221
Dalam ayat lain bahkan bukan hanya orang musyrik penyembah berhala saja yang mengajak kekufuran itu, tapi juga ahlul-kitab. Perhatikan ayat berikut:
وَدَّ كَثِيْرٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا
“Kebanyakan ahlul-Kitab itu menginginkan agar kamu menjadi kafir setelah beriman”. (Qs.2:109).
وَدَّتْ طَّائِفةٌ مِنْ أَهْل الْكِتَابِ لَوْ يَضُلُّوكُم
“Banyak golongan ahlul-kitab yang berkeinginan untuk menyesat kanmu” (Qs.3:69).
Keinginan mereka itu tidak pernah berhenti sehingga kaum muslimin mengikuti keinginan mereka sebagaimana ditandaskan firman Allâh SWT:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ اليَهُوْدُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تّتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Orang yahudi dan nashrani tidak akan merasa rela kepada mu sebelum kamu mengikuti millah mereka”. (Qs.2:120).
Bukti-bukti usaha yahudi dan nashara menyesatkan umat Islam telah berlangsung sejak lama, dan saat ini pun masih tetap tidak berhenti. Ayat di atas mengingatkan kaum muslimin agar senantiasa waspada terhadap yahudi dan nashara yang tidak pernah putus asa mempengaruhi kaum muslimin. Itulah pula hikmahnya mengapa kaum muslimin dilarang menikahkan muslimah kepada non muslim. Tegasnya yang dihalalkan oleh surat al-Ma`idah:5 ini hanya laki-laki mu`min menikahi wanita ahlul-kitab, dan tidak sebaliknya. Ditegaskan pula pada lanjutan ayat;
5. إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Dihalalkannya menikahi wanita dengan ketentuan: (1) آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ membayar mahar atau maskawin; (2) ُمحْصِنِينَ aqad menjadi suami, yang mendatang hak dan kewajiban; (3) غَيْرَ مُسَافِحِينَ bukan untuk jadi pezina, bukan pula cara zina; (4) وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَان bukan pula menjadikan hanya sebagai gundik atau wanita simpanan belaka. Tegasnya dihalalkannya menikahi wanita itu dengan cara yang sah, baik, serta memenuhi hak dan kewajiban suami istri. Penggalan ayat ini merupakan konsekuensi yang mesti dipenuhi ketika menikah, baik yang diikah itu mu`minat ataupun ahlul-kitab. Penggalan ayat ini juga merupakan penegassan bahwa dihalalkan menikah itu, agar laki mu`min menjadi محْصِنِينَ sebagai suami yang menjaga kehormatan, kemerdekaan dan kesucian. Nikah merupakan aqad yang suci, yang mesti dijaga kesuciannya, tidak sama dengan مُسَافِحِينَ yang hanya kepentingan nafsu birahi belaka. Istrinya juga menjadi الْمُحْصَنَاتُ yang salah satu pengertiannya adalah “yang dijaga kesuciannya, diangkat derajatnya, dimerdekakan”. Istri tidak boleh diperlakukan sebagai أَخْدَان simpanan untuk pelampiasan nafsu belaka. Larangan menjadikan wanita sebagai أَخْدَان dan larangan مُسَافِحِينَ juga mengisyaratkan penghapusan nikah mut’ah atau nikah kontrak.[9] Oleh karena itu proses pernikahannya juga dilakukan secara jelas, terang-terangan, terbuka dan diketahui orang banyak, bahkan diperintah untuk melakukan walima atau resepsi pernikahan. Pada suatu hari, Rasul SAW mendapat laporan dari Abdurrahman bin Auf yang beru menikahi wanita Anshar. Kemudian Rasul SAW menanyakan tentang berapa nilai mahar yang diberikan. Abdurrahman menjawab bahwa mahar yang diberikannya وَزْنَ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ (setimbang emas) yang difahami oleh ulama secara berbeda ukurannya ada yang mengatakan sebesar buah kurma, ada yang mengatakan dua dinar, seperempat dinar, lima dirham, ada pula yang berpendapat lainnya.[10] Kemudian Rasul bersabda:
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Semoga Allah mencurahkan barokah untukmu, berwalimahlah kamu walau dengan menyembelih seekor kambing. Hr. al-Bukhari.[11]
Perintah Rasul SAW pada Abdurrahman tersebut menunjukkan betapa penting mengumumkan pernikahan dengan resepsinya. Hikmah dari resepsi, selain untuk diketahui orang banyak, dan tasyakkur ni’mat, juga memperlihatkan kebanggaan dalam kehidupan suami istri.
6. وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya, dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.
Pengunci ayat ini jika difahami secara mandiri, merupakan ancaman hokum bagi orang yang kufur setelah beriman, alias murtad. Jika dikaitkan dengan kalimat sebelumnya yang menghalalkan nikah dengan ahlul-kitab yang berbeda iman, maka merupakan peringatan agar mewaspadai pegaruh negatifnya. Hati-hatilah berumah tangga dengan yang beda keimanan, jangan sampai membawa murtad. Jika murtad, maka musnahlah segala nilai amal kebaikan. Sebagaimana di ungkapkan dalam berbegai ayat di atas, orang yang kufur akan selalu menghambat keimanan. Bahkan kalau yang murtad itu langsung memisahkan diri, hingga menjadi musuh Islam, boleh dihukum mati.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْفَارِقُ مِنْ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ
dari Abd Allah yang menyatakan: Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam bersabda: Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa aku utusan Allah kecuali dengan melakukan salah satu dari tiga dosa; jiwa bayar jiwa, yang sudah menikah tapi berzina, dan yang meninggalkan agama meninggalkan karena jamaah. Hr. al-Bukhari [12] (194-256H).[13]
Pada Qs.2:221 juga ditegaskan bahwa orang musyrik selalu mengajak pada kekufuran dan jalan ke neraka. Jika pengaruh kafir itu menimbulkan murtad, maka hilanglah nilai amal kebaikan, dan rugilah di akhirat kelak. Na’udzu billah.
F. Beberapa Ibrah
1. Pangkal ayat ini menegaskan kembali bahwa yang dihalalkan itu hanyalah yang baik-baik. Oleh karena itu setiap mu`min diserukan untuk memilih yang halal, baik zatnya, sifatnya, cara mendapatkannya, maupun dampaknya.
2. Makanan atau sembelihan ahlul-kitab dihalalalkan untuk dikonsumsi muslim. Makanan kaum muslimin juga dihalalkan bagi kaum ahul-kitab.
3. Wanita ahlul kitab yang menjaga kesucian dirinya, halal dinikah oleh laki-laki yang muslim. Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita ahlul-kitab yang halal dinikah itu, hanyalah yang tidak musyrik, karena terdapat dalam Qs.2:221 yang melarang menikahi musyrik.
4. Syarat pernikahan yang dihalalkan adalah (1) membayar mahar; (2) aqadnya pernikahan secara baik dan benar; (3) tidak menjadikan istri sebagai gundik atau hanya pelampiasan nafsu seperti mut’`ah; (4) memenuhi hak dan tangug jawab sebagai suami istri; (5) saling menjaga martabat dan kesucian. Pernikahan yang tidak memenuhi aturan syari’ah, maka tidak dihalalkan.
5. Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam ketika mendapat informasi tentang pernikahan Abdurrahman bin Auf, langsung menanyakan tentang apa dan berapa maskawin. Ketika Abdurrahman menyebut akdar makawin, Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam tidak menertikinya. Ini memberi isyarat bahwa maskawin itu mesti dibayar oleh suami pada istrinya, tapi tidak ditentukan kadar dan nilainya. Namun maskawin yang disunnahkan oleh Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam adalah berupa perhiasan emas. Benda yang paling pertama disebut Rasul sebagai alternatif untuk mahar yang tidak mampu dengan emas adalah خاتما من حديد cincin. Penyebutan ini memberi isyarat bahwa yang paling utama dijadikan mahar adalah perhiasan untuk wanita, atau yang bernilai uang, walau kualitasnya sesuai kemampuan mempelai pria. Abd al-Rahman bin Awuf menikahi seorang wanita Anshar dengan mahar berupa emas sebesar kurma. Beliau juga pernah bertanya kepada A`isyah, tentang apa saja yang diberikan Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam kepada isterinya untuk mahar, jawabnya:
كَانَ صَدَاقُهُ لِأَزْوَاجِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً وَنَشًّا
Rasul SAW memberikan mahar pada para isterinya sebanyak dubelas uwqiyah dan satu nasy (1/2 uwqiyah). Hr. Al-Syafi’iy (150-254H), Ahmad (164-241H), al-Darimi (181-255H), Muslim (206-261H).[14].
Dengan demikian mahar Rasul itu sebesar dua belas setengah uwqiyah. Satu uwqiyah senilai 40 dirham, artinya 12,5 awqiyah itu sebagaimana dalam riwayat muslim sekitar 500 dirham. Dalam nishab zakat dikemukan bahwa nishab perak 200 dirham dan nishab emas 20 dinar. Harga dinar di zaman Rasul SAW maupun al-Khulafa al-Rasyidun adalah 10 dirham. Jika kita melihat perhitungan zakat yang dikemukan oleh Yusuf Qardlawi, 20 dinar bernilai 85 gram emas,[15] harga 1 dinar sekitar 4,25 gram. Artinya, jika dihitung saat ini 50 dinar bernilai 212,5 gram emas. Itulah perkiraan nilai rata-rata mahar yang diberikan Rasul kepada para isterinya. Namun sebaiknya dipilih dari yang dianggap mudah didapat dan tidak saling memberatkan kedua belah pihak. Rasul SAW bersabda:
خَيْرُ الصَّدَاقِ أيْسَرُه
Sebaik-baik maskawin adalah yang paling mudah (didapat atau diberikan). Hr. Al-Hakim (321-405H), al-Bayhaqi (384-458H).[16]
6. Kaum msuslimin mesti tetap waspada, akibat pengaruh non muslim, jangan sampai terjerumus pada kemurtadan. Berkeluarga dengan non muslim akan menghambat ketenangan iman.
7. Orang yang murtad, amal baiknya hilang tanpa nilai, dan di akhirat bakal menderita kerugian. Oleh karena itu jauhilah hal-hal yang menjurus pada kemurtadan.
[1] Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir, juz II h.173
[2] a-Zuhailiy, al-Tafsir al-Munir, juz VI h.95
[3] al-Jaza`iry, Aysat al-Tafasir I h.595
[4] ahl al-Kitab ialah orang yang mengaku beriman kepada nabi dan kitab terdahulu, Taurat dan Injil, tapi tidak beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan al-Qur`an.
[5] Jamal al-Din al-Qâsimi, Mahâsin al-Ta`wîl, I h.218
[6]Asy-Syawkani, Fathul-Qadir, I h.224
[7] Al-Qurthubi, Al-Jami’-Li-Ahkam al-Qur`an, III: 68).
[8] Shahih al-Bukhari, II, h.129, Shahih Muslim, I, h. 623, Sunan Abi Daud, II, h.219
[9] lihat aysar al-Tafasir, I h.596
[10] Fath al-Bari, XIV h.448
[11] Shahih al-Bukhari, juz XIX h.489 no.5907
[12] Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari, lahir di Bujhara (Uzbekistan), tahun194H (810H), dan wafat di Hartank sebuah pedesaan di kawasan Samarkand tahun 256H(870M). sejarah lengkapnya telah diuraikan pada edisi yang lalu, lihat seri 01
[13] Shahih al-Bukhari, VI h.2521
[14] Musnad al-Syafi’iy, I h.246, Musnad Ahmad, VI h.93, Sunan al-Darimi, II h.189, Shahih Muslim, II h.1042, Sunan al-Daruquthni, III h.222
[15] Fiqh al-Zakat, I h.259
[16] al-Mustadrak, II h.198, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, VII h.232