IBRAH AL-FATIHAH 2-3
E.Beberapa Ibrah
1. Terdapat dua asma al-Husna pada Kalimah الْحِمْد ِللهِ رَبِّ العَالَميْن yaitu الله dan ربّ. lafzh al-Jalalah dan lafazh Rabb. Nama الله Allâh merupakan lambang kebesaran, kegagahan, kekuasaan, dan keperkasaan Allâh SWT. Sedangkan Rabb, melambangkan nama pembesar, pengurus, pengatur dan pemelihara makhluq-Nya. Kaum muslimin setiap membaca hamdalah, berikrar bahwa hanya Allâh yang berhak dipuji dan dipuja, karena Dia-lah satu-satunya yang memiliki pujian dan sanjungan. Jika seorang muslim membaca kalimah ini, setelah bekerja, menunjukkan kesadaran bahwa selesainya pekerjaan itu atas anugrah Allâh SWT. Jika ia mengucapkan hamdalah ini, tatkala mendapat keni’matan, berarti menunjukkan kesadaran bahwa ni’mat itu hanya datang dari Allâh SWT. Jika ucapan ini diungkapkan tatkala sukses, berarti ia telah sadar bahwa kesukesan itu atas bantuan Allâh SWT. Maka dia tidak akan mengharapkan pujian atau sanjungan manusia, karena yang berhak dipuji dan disanjung hanyalah Allâh SWT.
Dengan demikian ucapan hamdalah, bukan hanya penghias bibir pembasah lisan, tapi sebagai ungkapan kesadaran yang mendalam yang disampaikan seorang hamba, kepada Tuhannya yang Maha agung dan terpuji. Kesadaran semacam ini, akan mewujudkan keikhlasan dalam bekerja. Dia bekerja bukan untuk mendapat pujian, bukan mengharapkan sanjungan manusia. Bekerja hanya untuk mencari dan mengharap ridla Ilahi.
2. رب العالمين Rabb al-‘Âlamîn, disambungkan dengan kalimah pujian kepada Allâh. Ini merupakan pendidikan tauhid rububiyah. Setiap muslim beranggapan hanya satu, tuhan, pengurus, pemelihara dan pengatur manusia. Pantang bagi muslim untuk mempertuhankan selain Allâh; pantang pula bagi muslim untuk menaati aturan yang tidak bersumber dari aturan Allâh SWT. Seorang muslim hanya mau diatur oleh aturan Allâh SWT. Keteraturan hidup, hanya mengikuti aturan yang mutlak benar. Tidak ada aturan yang mutlak benar, selain yang datang dari pengatur alam semesta.
Allâh Swt bukan hanya mengatur manusia, tapi juga mengatur alam semesta. Jika ada manusia tidak menaati aturan Allâh, maka hidupnya bukan hanya bertentangan dengan Allâh SWT, tapi juga bertentangan dengan keteraturan alam semesta.
Kalimah Rabb al-A’lamin, terus menerus diucapkan setiap muslim, maka akan tertanam dalam jiwa, kesadaran tentang masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang, karena alam yang ditempuh manusia terdiri (1) alam yang telah dilewati seperti arwah, dan arham, (2) yang sedang ditempuh yaitu dunia, (3) alam yang bakal ditempuh seperti kematian, qubur, ba’ts, qiamat, mizan, hisab dan al-Jaza .
3. al-Fatihah yang diawali dengan Basmalah dan dirangkaikan dengan hamdalah, memberikan bimbingan pentingnya tekad tatkala mengawali pekerjaan, dan bersyukur tatkala meraih kesuksesan. Ungkapan syukur tidak hanya di lisan, tapi juga dalam sikap dan perbuatan. Al-Raghib al-Ashfahani (w.503H) meng-ungkapkan:
الشُّكْرُ ثَلاَثَةُ أَضْرَب : شُكْرُ القَلْبِ وَهُوَ تَصَوُّر النِّعْمِةِ وَ شُكْرُاللِّسَانِ وَهُوَ الثَّنَاء عَلَى المُنْعِمِ وَشُكْرُ سَائِرِ الجَوَارِحِ وَهُوَ مُكَافَأَةُ النِّعْمَةِ بِقَدْرِ اسْتِحْقَاقِهِ
Syukur mencakup tiga aspek (1) dengan hati yaitu menyadari dan merasa puas atas ni’mat yang diterima, (2) lisan dengan mengucapkan pujian terhadap pemberi nei’mat, (3) anggota badan dengan cara memanfaatkan ni’mat sesuai dengan proporsinya.[1]
Adapun sasaran syukur mencakup dua jalur; kepada Allâh dan kepada manusia. Rasûl SAW bersabda:
مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Barangsiapa yang tidak mensyukuri yang kecil, tidak termasuk syukur yang banyak. Barangsiapa yang tidak syukur pada manusia, tidak bersykur pada Allâh. Mengungkapkan keni’matan dari Allâh, merupakan salah satu bentuk syukur. Menyembunyikannya termasuk bentuk kufur. Hidup berjamaah mendatangkan rahmat. Hidup berpecah mendatangkan siksa. Hr. Ahmad (w.241)[2]
Hadits ini meberi isyarat antara lain (1) ni’mat yang besar maupun kecil mesti disyukuri, (2) bersyukur mesti kepada Allâh dan kepada sesama manusia, (3) ni’mat jangan disembunyikan, (4) mempererat persaudaraan menjauhi perselisihan sebagai salah satu bentuk syukur.Adapun cara bersyukur berdasar beberapa ayat antara lain sebgai berikut:
TEKS AYAT |
TARJAMAH DAN NOMOR AYAT |
CARA SYUKUR |
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ |
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). Qs.55:60 |
Membalas dengan yg lebih baik |
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا |
maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. Qs.110:3 |
Sujud syukur, tasbih, tahmid dan istigfar |
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ |
Dan terhadap ni’mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur) .Qs.93:11 |
Mengungkap, menyebut, mengingat ni’mat dan memuji pemberi |
اعْمَلُوا ءَالَ دَاوُدَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ |
Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allâh). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih. 34:13 |
Menggunakan pemberian pada yang sesuai kehendak pemberi |
4. Allâh SWT bernama الرحمن Al-Rahmân yang dirangkaikan dengan nama الرحيم Al-Rahîm, menggambarkan Maha Pengasih maha Penyayang, juga Maha Adil yang menegakkan hukumnya di akhirat. Ditinjau dari sudut ilmu tasauf, ayat ini mengisyaratkan agar umat manusia, jangan hanya beranggapan bahwa Allâh itu pengasih saja tanpa meminta tanggung jawab. Al-Rahîm ini selalu bergandengan dengan al-Rahmân, agar manusia meyakini bahwa Allâh SWT, dicintai, sekaligus ditakuti. Keseimbangan rasa cinta dan rasa takut, memunculkan sikap الخوف khawf dan الرجاء roja, optimis atas rahmat Allâh, dan cemas akan murka-Nya.
5. Ditinjau dari pendidikan Tauhîd yang berma’na mengkhususkan Allâh SWT dengan hal-hal yang mesti dikhususkan pada-Nya, terdiri (1) tauhîd uluhiyah, berkeyakinan hanya satu yang berhak dipertuhankan, dipuji dan disanjung, tersirat pada الحمد لله , (2) tauhîd rububiyah, berkeyakinan bahwa hanya Allâh yang berhak mengatur dan menetapkan aturan mutlak, baik dalam kehidupan pribadi, antara manusia maupun yang hubungannya dengan alam semesta, tersirat pada kalimat ربِ العَالمين
6. Ditinjau dari sudut ma’rifatullah, ayat ini memberi isyarat tentang mengenal Allâh dalam (1) Dzat yang mempunyai kedudukan tertinggi, maha terpuji yang tersirat lafazh الحمد لله, (2) asma dan sifat Allâh tarsurat pada الرحمن الرحيم, (3) af’al Allâh, tersirat pada kalimat رب العالمين
7. Ditinjau dari sudut ilmu alam ayat ini memberikan dorongan untuk mengenal alam luas, bukan hanya yang dialami di dunia, tapi juga alam yang lainnya, bukan hanya alam lahir, tapi juga alam ghaib, tersirat pada kalimat العالمين dalam bentuk jama bahwa alam itu jumlahnya banyak.