ISTRI IDEAL (kajian hadits dari Abi Hurairah)
ISTRI IDEAL
A. Teks dan Tarjamah hadits
Imam al-Nasa`iy meriwayatkan:
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Qutaibah telah memberi tahu kami, berkata al-Layts menyampaikan hadits dari Ibn Ijlan dari sa’id al-Maqburi, dari Abi Hurairah, berkata: rasul SAW ditanya: Wankita yang bagaimanakah yang terbaik? Beliau menjawab yang menyenangkan suami tatkala melihatnya, taat tatkala suami memerintah, tidak menyalahi suaminya dalam mengurus diri dan harta, hingga melakukan yang tidak disenangi. Hr. al-Nasa`iy
B. Syarah sekilas
1.Syarh Hadîts Ayy al-Nisâ` Khayr menurut al-Sindî(w.1138 H[1]
Al-Sindî berpendapat, yang dimaksud تسره إذا نظر ialah seorang isteri yang menyenangkan suaminya karena kecantikan lahiriyah berupa penampilan, dan kecantikan bâthiniyat berupa akhlâq, karena selalu taat pada Allâh SWT dan bertakwa. Sedangkan yang dimaksud في نفسها ialah pandai menjaga dirinya tatkala sendirian sehingga memungkinkan untuk berjauhan dengan suaminya. Dengan kata lain, walau sedang berjauhan dengan suaminya, isteri yang baik itu tetap menjaga dirinya dan tidak mencurigakan.
2.Syarh Ayy al-Nisâ` Khayr menurut al-Bannâ
al-Bannâ [2] dalam mengomentari Hadîts Ayy al-Nisâ` Khayr itu hanya pada kalimat لا تخالفه في ما يكره. Ia menerangkan tentang sifat isteri shâlih yaitu tidak pernah berbuat yang bertentangan dengan keinginan suaminya tatkala sendirian. Ia tidak melakukan sesuatu yang dibenci suaminya baik dalam dirinya seperti tabarruj[3] di depan laki-laki lain atau bergaul dengan mereka maupun dalam hal penggunaan harta sehingga hanya pada hal-hal yang sangat diperlukan saja.
3.Syarh Hadîts Ayy al-Nisâ` Khayr menurut Al-Munâwî(w. 1031H
Al-Munâwî memberikan gambaran tentang kriteria isteri yang baik yaitu (1) تسره yaitu menyenangkan pada pandangan suaminya, karena penampilannya dengan mempercantik diri, (2) تطيعه selalu setia atas perintah suaminya sepanjang tidak bertentangan dengan syarî’at, (3) لا تخالفه في نفسها yaitu tidak pernah menolak keinginan suaminya tatkala menghendaki sesuatu dalam bergaul suami isteri, (4) مالها yaitu memelihara hartanya sehingga tidak menggunakannya pada hal-hal yang berbau dosa, melainkan berusaha untuk membantu kebutuhan suaminya. Isteri shâlihat ialah yang selalu bergaul dengan suaminya secara baik dan tidak berbuat jelek, serta selalu memenuhi hak dan kewajibannya. Dalam alinea lain al-Munâwî juga berkomentar bahwa isteri shâlihat sebagaimana diungkap dalam al-Qur`ân adalah yang taat pada Allâh dan pada suaminya, serta pandai menjaga diri tatkala suaminya sedang tiada. Ia juga pandai menjaga rahasia suaminya dalam hal-hal yang perlu dirahasiakan. Seorang laki-laki yang mempunyai isteri shâlihat tak ubahnya dengan seorang raja yang memiliki mahkota dari emas, tatkala melihatnya ia selalu terpesona.
4.Syarh Hadîts Ayy al-Nisâ` Khayr menurut Al-‘Azîzî
Al-‘Azîzî (w.1070 H) memberikan komentar terhadap Hadîts Ayy al-Nisâ` Khayr seperti dapat dilihat pada tabel berikut: Al-‘Azîzî memberi syarah tentang Hadîts Ayy al-Nisâ` Khayr, terutama pada: (1) تسره إذا نظر إليها yang menarik tatkala suami melihatnya karena kecantikannya. Kecantikan istri merupakan faktor pendukung suaminya hingga dapat menahan diri dari wanita lain dan dalam menjalankan agamanya. (2) تطيعه إذا أمر, selalu setia pada perintah suaminya sepanjang tidak mengandung unsur dosa. (3) ولا تخالفه في نفسها tidak bersikap atau bertindak yang bertentangan dengan suami tatkala mengehandaki sesuatu kebutuhannya, kecuali dalam keadaan ‘udzur seperti haidh. Kalimat ini merupakan penguat betapa pentingnya kesetiaan isteri terhadap suaminya. Jika isteri bersikap dan bertindak yang bertentangan dengan suaminya, berarti telah berbuat dosa. (4) ولا مالها بما يكره dalam penggunaan harta selalu sesuai kesepakatan dengan suaminya.
5. Syarh Hadîts Ayy al-Nisâ` Khayr menurut al-Hakîm al-Hifnî
Al-Hifnî (w. 1081 H) dalam syarhnya memberikan komentar ialah yang memiliki kriteria sebagai berikut: (1) Kecantikan dan kemanisan wajahnya sangat menyenangkan suami. (2) Kesetiaannya selalu dibuktikan dengan menaati perintah suami, baik yang wajib atau pun yang hukumnya sunah sepanjang tidak pada yang haram. Jika ia diperintah suami untuk melalukan yang haram, maka akan menolaknya. (3) Selalu memenuhi kebutuhan suaminya terutama dalam biologis, kecuali dalam keadaan terlarang seperti haidl. (4) Hemat dalam hal penggunaan harta dan tidak berkhianat dengan melakukan yang menimbulkan madarat rumah tangga. (5) Pandai menjaga diri dalam segala hal sehingga tidak bergaul dengan orang-orang yang tidak disenangi suaminya.
C. Kaitannya dengan hadits lain
Hadîts Ayy al-Nisâ` Khayr mempunyai kaitan dengan hadîts-hadîts lainnya, antara lain sebagai berikut:
1. Menurut al-‘Ajlûnî (w.1162 H), [4] Hadîts Ayy al-Nisâ` Khayr merupakan tafsîr dari sifat isteri shâlihat yang diterangkan dalam matan Hadîts:
الدُّنْيا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيا المَرْأةُ الصَّالِحَة
“Dunia itu penuh dengan kesenangan dan sebaik-baik kesenangan adalah isteri yang shâlihat“. Hr. Muslim (w.261 H)[5]
2. Ibn ‘Abbâs r.a (w.68 H), menerangkan bahwa tatkala turun Qs.9:34 tentang ancaman bagi yang menyimpan emas dan perak tanpa zakat bakal masuk neraka, kaum muslimin merasa sangat terancam dan berat. ‘Umar bin Al-Khaththâb (w.22H) mengatakan bahwa ia akan memberikan kebahagiaan bagi mereka. Ia menghadap Rasûl SAW dan menyampaikan keluhan para shahâbat. Rasûl SAW bersabda:
إنَّ الله لَم يفرض الزَّكاة إلا لِيُطَيِّبَ مَا بَقِي مِنْ أمْوَالِكُم وإنَّما فَرَّضَ المَوَاريث لِتَكُونَ لِمَن بَعْدَكم
“Sesungguhnya Allâh SWT tidak mewajibkan zakat kecuali untuk menyucikan sebagian harta kalian. Sesungguhnya Allâh menetapkan hukum warits untuk kepentingan harta yang kalian tinggalkan”. Kemudian ‘Umar bin Al-Khaththâb bertakbîr, dan Rasûl SAW bersabda:
ألا أخْبِرُك بِخَيْرِ مَا يكنزُ المَرْء المَرْأةُ الصَّالِحَة إذَا نَظَر إليْهَا سَرَّتْه وإذا أمَرَها أطَاعَتْه وإذا غَابَ عَنْهَا حَفظتْه في نَفْسِهَا وَمَالِه
“Ingatlah aku beritahukan kepada kamu tentang simpanan seseorang yang patut dipelihara, yaitu isteri yang shâlih; yang menyenangkan suami tatkala melihatnya, selalu taat tatkala suami memerintahnya, dan selalu menjaga dirinya dan harta suami tatkala jauh darinya”. Hr. Abû Dâwud (w.275 H), [6] Ibn Mâjah (w.275 H), [7] dan Abû Ya’la (w.307). [8]
3.Abû Umâmah (w. 86 H) menerangkan bahwa Rasûl SAW bersabda:
مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
“Tidak ada yang lebih baik manfaatnya yang diraih mu`min setelah taqwa kepada Allâh dibanding isteri yang shâlih; jika suaminya memerintah ia setia, jika melihatnya ia menyenangkan, jika memberi bagian ia tetap berbaikan, jika suami sedang tiada, ia tetap menjaga dirinya dan harta suaminya”. Hr. Ibn Mâjah (w.275 H).[9]
Berdasar ketiga Hadîts di atas, isteri yang baik itu menjadi (1) sumber kesenangan hidup di dunia, (2) simpanan atau saham yang sangat berharga, dan (3) bekal yang paling berharga dan bermanfaat setelah taqwâ kepada Allâh SWT.
D. Beberapa Ibrah
a. Isteri Ideal berdasar Hadîts Ayy al-Nisâ` Khayr
Hadîts Ayy al-Nisâ` Khayr ini secara tersurat sebagaimana dalam matannya, menjelaskan tentang sifat atau kriteria isteri yang baik terhadap suaminya. [10] Adapun kriteria isteri yang baik berdasar Hadîts Ayy al-Nisâ` Khayr adalah sebagai berikut:
1.Menjadikan Suami Terpesona
Kriteria pertama, isteri yang baik adalah mempesona, sebagaimana tersurat pada kalimat تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ yang membuat suami terpesona tatkala melihatnya. Terpesonanya suami oleh isteri terutama disebabkan kecantikan lahir dan bathin. Kecantikan lahir ialah berupa penampilan fisik, dan kecantikan bathin adalah akhlâq yang selalu taat pada Allâh SWT dan takwa pada-Nya.[11] Oleh karena itu kritera isteri yang mempesona adalah yang selalu mempercantik diri dengan keindahan penampilan dan keindahan akhlâq, sering juga disebut cantik jasmani dan ruhani.
(a) Pentingnya Cantik Lahir
Kecantikan lahiriah seorang isteri menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat bagi suaminya, karena akan memusatkan perhatian dan terhindar dari perselingkuhan. Rasûl SAW bersabda:
خَيْر فَائِدة اسْتَفَادَها المُسْلِم بَعْد الإسْلام امْرأة جَمِيْلة تَسُرُّه إذانَظَر إليْهَا وَتُطِيْعُه إذا أمَرَها وتَحْفَظُه إذا غَابَ عَنْها فِي مَالِه ونَفْسِهَا
“Sebaik-baik yang bermanfaat bagi kehidupan seorang muslim setelah keislaman adalah isteri yang cantik yang mempesonakan suaminya tatkala melihatnya, taat ketika memerintahnya, serta menjaga harta suaminya menjaga dirinya tatkala suami sedang tiada.” Hr. Ibn Abî Syaybat (w.235 H) dari Amr bin Yahyâ, [12] dan al-Thabarâni ( w.360) dan Abî Hurayrat. [13]
Berdasar Hadîts ini, syarat mempesona adalah جميلة yaitu cantik. Kecantikan isteri, sebagaimana disebutkan al-Azîzîi dalam syarahnya[14] merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan suami dalam menahan godaan wanita lain serta memberikan ketenangan dan kesenangan dalam ‘ibâdat. Dengan adanya seorang suami selalu terpesona oleh isterinya akan mampu mengendalikan diri dan menyalurkan gairahnya pada yang halal. Rasûl SAW bersabda:
إِنّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنّ ذَلِكَ يَرُدّ مَا فِي نَفْسِهِ
“Sesungguhnya perempuan itu (di mata pria) apabila berhadapan sangat menggoda, bila membelakangi juga dalam penampilan menggoda. Maka jika salah seorang diantaramu melihat seorang perempuan, hendaklah mendatangi isterinya. Sesungguhnya yang demikian itu dapat mengatasi apa yang ada dalam hatinya.” Hr. Muslim (W.261 H) dari Jâbir bin ‘Abd Allâh. [15]
Dalam Hadîts ini tersirat bahwa perempuan itu memiliki potensi untuk menggoda kaum pria. Isteri yang baik menggunakan potensi tersebut hanya untuk mempesonakan suaminya. Hadîts ini mengajarkan agar suami yang tergoda oleh wanita lain supaya segera kembali kepada istrinya. Dengan menggauli isteri, suami akan mampu mengendalikan nafsu birahi hingga tidak tergoda wanita lain. Namun pelaksanaan Hadîts ini tentu saja harus ditunjang oleh pihak isteri. Dengan demikian, isteri di rumah hendaknya berusaha agar memiliki penampilan yang amat mempesonakan suaminya.
(b) Pentingnya Cantik Batin
Pesona batin ialah kecantikan dalam, yang tentu saja mempengaruhi kecantikan luar. Manusia, secara fisik siapa pun semakin tua semakin berubah. Kecantikan fisik tidak akan utuh selamanya. Oleh karena itu, jika fisik telah berubah maka kecantikan hati yang dipelihara, karena itu sangat bermanfaat. Kecantikan hati akan berpengaruh besar pada penampilan seseorang. Bagaimana pun cantiknya seseorang, akan tetap tampak jelek bila hatinya murung dan mukanya muram. Hati yang bahagia, perasaan yang tawakal, yang penuh tasyakur dan shabar akan berpengaruh besar pada raut muka. Kecantikan akhlâq isteri akan menjadi pendukung utama dalam kesenangan dunia. Rasûl SAW bersabda:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا المَرْأةُ الصَّالِحَة
“Dunia itu penuh dengan kesenangan dan sebaik-baik kesenangan adalah istri yang shâlih.” Hr. Muslim (w.261 H)[16]
Isteri shâlihat juga merupakan salah satu faktor utama yang mendukung dalam mewujudkan kebahagiaan manusia. Rasûl SAW bersabda:
فَمِنْ سَعَادَةِ بْنِ آدَم المَرْأةُ الصَّالِحَة والمَسْكنُ الصَّالِح وَالمَرْكَبُ الصَّالِح
“Di antara faktor kebahagiaan anak Adam adalah isteri yang shâlihat, tempat tinggal yang indah, dan kendaraan yang baik.” Hr. al-Hakim (w.405H) dari Sa’d bin Mâlik.[17]
2. Setia pada Suaminya
Kriteria kedua, isteri yang baik adalah yang selalu setia pada suaminya, sebagaimana ditandaskan dalam matan Hadîts,وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ dan taat pada perintah suaminya. Allâh SWT berfirman:… فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ … “Isteri yang shâlih ialah yang taat dan patuh.” (Qs.4:34). Menurut Ibn ‘Abbâs, (w.68 H), قَانِتَاتٌ ialah مطيعات لله في أزواجهن taat pada Allâh SWT dalam memenuhi hak dan kewajiban terhadap suaminya.[18] Menurut al-Shâbûnî, قَانِتَاتٌ ialah taat pada Allâh SWT dan setia pada suaminya dengan memenuhi hak dan kewajiban sebagai isteri.[19] Diriwâyatkan dari Ibn Abî Awfâ bahwa Mu’âdz bin Jabal datang dari Syâm langsung sujud kepada Rasûl SAW. Rasûl menegurnya, mengapa Mu’âdz melakukan hal tersebut. Jawab Mu’âdz sebagai penghormatan pada Rasûl sebagaimana yang dilakukan orang Syâm menghormati para pembesarnya. Kemudian Rasûl bersabda:
فَلا تَفْعَلْ فَإنِّي لَوْ أمَرْتُ شَيْئًا انْ يَسْجُدَ لِشيئ لأمَرْتُ المَرْأةَ أنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا والذِي نَفْسِي بِيَدِه لا تُؤدي المَرْأةُ حَق رَبِّها حَتى تُؤَدِّي حَقَّ زَوْجِهَا حَتَّى لَوْ سَألَهَا نَفْسَها وَهِيَ عَلَى قتب لَمْ تَمْنَعْه
“Jangan kau lakukan itu! Jika aku berhak memerintah seseorang untuk sujud kepada manusia, tentu aku akan perintahkan seorang isteri sujud pada suaminya. Demi zat yang ditangan-Nya diriku, seorang isteri tidaklah memenuhi kewajiban terhadap Tuhannya, sebelum memenuhi kewajiban pada suaminya. Jika suami menginginkan diri isterinya, maka hendaklah memenuhinya, walau sedang berada di atas pelana.” Hr. al-Bayhaqî (w.458 H), [20]
Hadîts ini menunjukkan betapa tegas keharusan isteri menaati suaminya, sehingga ditandaskan bahwa seorang wanita belum sempurna memenuhi hak Allâh, sebelum memenuhi kewajiban terhadap suaminya. Kewajiban isteri taat pada suami bahkan melebihi kepada orang tuanya. Siti ‘Âisyat r.a. (w. 54 H) menerangkan:
سَألْتُ النبي صلى الله عليه وسلم أيُّ النَّاس أعْظَمُ حَقًّا عَلَى المَرْأةِ قالَ زَوْجُهَا قُلْتُ فَأيُّ النَّاس أعْظَمُ حَقًّا عَلى الرَّجُلِ قَال أمُّهُ حَق المَرْأة عَلىَ زَوْجِها
“Saya bertanya kepada Rasûl SAW.:’ Siapakah orang yang paling harus dipenuhi haknya oleh wanita? Rasûl SAW menjawab: Suaminya! Saya tanya lagi: Siapakah orang yang paling harus dipenuhi haknya oleh laki-laki? Rasûl menjawab: Ibunya, seperti isteri wajib memenuhi hak suaminya.” Hr. al-Nasâ`î (w.303).[21]
Kewajiban isteri menaati suaminya, berdasar Hadîts ini setara dengan kewajiban seorang laki-laki memenuhi hak ibunya. Sedangkan isteri yang tidak taat pada suaminya akan memikul resiko cukup berat sebagaimana disabdakan Rasûl SAW sebagai berikut:
إذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرأتَهُ إلىَ فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَان عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلائِكَةُ حَتَّى تُصْبح
“Jika seseorang mengajak istrinya ke tempat tidur, dan isterinya menolak, sehingga suaminya tidur dalam keadaan marah, maka Malâikat mengutuk perempuan tersebut hingga shubuh.” Hr. al-Bukhârî (w.256 H) dari Abî Hurayrat.[22]
Hadîts ini menunjukkan betapa berat akibat yang dipikul oleh isteri yang tidak setia pada suaminya. Isteri yang tidak setia pada suaminya mendapat kutukan dari Malâikat. Sedangkan isteri yang taat pada suami, mendapat jaminan surga. Rasûl SAW bersabda:
إذَا صَلَّت المَرْأةُ خَمْسَهَا وَصَاَمتْ شَهْرَهَا وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَأطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أي أبْوَابِ الجَنَّةِ شَاءَتْ
“Jika perempuan itu menegakkan shalat lima waktu, shaum bulan ramadhan, menjaga kehormatannya, dan taat pada suaminya, maka bakal masuk surga melalui pintu mana saja yang ia inginkan.” Hr. Ibn Hibbân (w. 354 H) dari Abî Hurayrat.[23]
Hadîts ini berisi jaminan bagi isteri yang taat pada suami, bila ia menegakkan shalât, shaum, dan menjaga kehormatannya, akan masuk surga. Dengan demikian isteri yang setia pada suaminya, bukan hanya meraih derajat sebagai wanita terbaik di dunia, tapi juga menjadi ahli surga di akhirat kelak. Perintah suami yang mesti ditaati isteri, tentu saja yang tidak bertentangan dengan syarî’at Islam. Jika perintahnya itu bertentangan dengan syarî’at, maka yang mesti ditaati adalah Allâh SWT dan Rasûl-Nya. Siapa pun tidak dibenarkan mentaati suatu perintah yang bertentangan dengan perintah Allâh SWT. Rasûl bersabda:لا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَة الخَالِق “Tidak ada ketaatan pada makhluq dalam berbuat ma’shiat terhadap Khâliq.” Hr. Ibn Abî Syaybat (w.235) dari al-Hasan.[24]
3. Tidak Bertentangan dengan Suami
Kriteria ketiga, isteri yang baik adalah tidak bertentangan dengan suami, sebagaimana tersirat pada kalimat وَلاَ تُخَالِفُهُ . Isteri yang baik tidak bersikap, berucap dan bertindak yang kurang disenangi suaminya. Hal ini merupakan tanggung jawab isteri yang sangat penting dalam rangka menjaga keharmonisan keluarga. Rasûl SAW bersabda:
وإن لَكُم عَلَيْهِنَّ أن لا يُوَطِّئْن فَرْشَكُمْ أحَدًا تَكْرَهُوْنَه فَإن فَعَلْنَ ذلِك فاضْربُوهُن ضَربًا غَيْر مُبَرِّح
“Ingatlah di antara yang menjadi hakmu sebagai tanggung jawab isteri; jangan sampai mereka memasukan orang, yang tidak kamu senangi ke rumahmu. Jika mereka melakukannya, maka pukulah dengan pukulan yang tidak melukai.” Hr. al-Dârimî (w.255 H), dari Jâbir bin ‘Abd Allâh.[25])
Hadîts ini menunjukkan perlunya seorang isteri minta izin suami dalam melakukan sesuatu hal. Jangan sampai seorang isteri, berbuat sesuatu yang tidak disetujui suaminya. Persetujuan suami sangat diperlukan, walau dalam masalah ibadah shaum. Rasûl SAW bersabda:
لا يَحِل لِلْمَرْأة أنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِد إلا بِإِذْنِهِ ولا تَأذَن فِي بَيْتِه إلا بإذْنِه وَما أنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْر أمْرِه
“Tidak halal seorang isteri melakukan shaum padahal suaminya hadir, kecuali atas izinnya. Seorang isteri juga tidak berhak memberikan izin pada orang untuk masuk rumah tanpa izin suaminya. Tidak pula layak bagi seorang isteri membelanjakan harta tanpa perintah suaminya.” (Hr. al-Bukhârî (w. 256 H ) dari Abû Hurayrah.[26])
Berdasar Hadîts ini, apa yang dilakukan isteri seyogyanya atas persetujuan suami, walau dalam masalah ibadah seperti shaum sunnah, infaq dan menerima tamu. Isteri yang melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan suaminya, akan memikul resiko yang berat sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasûl SAW berikut:إذا بَاتَتْ المَرْأةُ هَاجِرَةَ فرَاشَ زَوْجِها لَعَنَتْها المَلائِكَة حَتَّى تُصْبح “Jika seorang isteri tidur berpisah dengan suaminya karena menghindar, maka Malaikat mengutuknya hingga shubuh.” (Hr. Muslim, (w. 261 H) dari Abî Hurayrah.[27]). Oleh karena itu, isteri yang baik selalu bersikap, dan bertindak yang tidak menyalahi suaminya.
4. Pandai Menjaga Diri
Kriteria keempat, isteri yang baik adalah yang pandai menjaga diri, seperti tersirat pada kalimat فِي نَفْسِهَا dalam dirinya. Dalam matan Hadîts riwâyat Al-Thayâlisî (w. 204 H) terdapat kalimat وإذا غبت عنها حفظتك في نفسها ومالك [28] “Jika engkau sedang berjauhan dengan isterimu, maka ia menjaga dirinya dan menjaga hartamu.” Dengan kata lain isteri yang baik itu pandai menjaga diri dan harta suami tatkala suaminya tidak di rumah. Dengan demikian, sifat keempat yang dimiliki isteri yang baik ialah menggunakan tenaga maupun hartanya pada hal-hal yang sesuai dengan kesepakatan suami isteri, baik di depan suami maupun di belakangnya. Dalam al-Qur`ân ditegaskan pula bahwa isteri shâlihat ialah:… حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ …“Yang senantiasa memelihara dirinya tatkala suaminya tiada, sebagaimana Allâh SWT telah menjaganya.” (Qs.4:34)
Isteri juga menjadi pengganti posisi suami yang sedang tidak di rumah dalam hal kepemimpinan dan menjaga ketenteraman rumah tangga. Rasûl SAW bersabda:
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
“Kaum wanita juga menjadi pemimpin atas rumah tangga dan anak suaminya. Dia akan dimintai tanggung jawab tentang mereka.” (HR. Bukhari, (w. 256 H) dan Muslim (w. 261 H). [29]
Hadîts ini juga mengisyaratkan, bahwa isteri yang baik adalah yang mampu memikul tanggung jawab kepemimpinan keluarga tatkala suaminya tidak ada di rumah.
5.Pandai menjaga harta
Kriteria kelima, isteri ideal adalah pandai menjaga harta, seperti tersirat pada kalimat وَمَالِهَا pada matan riwâyat al-Nasâ`î atau ماله pada matan riwâyat Ahmad. Menurut al-Hifnî (w.1081 H) isteri yang baik selalu menjaga hartanya dan harta suaminya. Oleh karena itu mereka tidak menggunakan harta pada hal-hal yang kurang bermanfaat apalagi menimbulkan madharat.[30] Wahbat al-Zuhaylî menandaskan bahwa menjaga harta suami merupakan tanggung jawab isteri.[31]
b. Kewajiban istri berdasar Hadits ini
Dengan diketahuinya kriteria isteri yang baik berdasar Hadîts Ayy al-Nisâ` Khayr sebagaimana diuraikan di atas, maka diketahui pula apa yang menjadi kewajiban isteri terhadap suaminya. Adapun kewajiban isteri terhadap suami berdasar Hadîts tersebut ialah: (1) mempercantik diri, baik lahir mapun batin, agar suaminya senantiasa tertarik, (2) memenuhi apa yang dibutuhkan suami dan melaksanakan perintahnya sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah Islam, (3) menjaga keharmonisan keluarga, sehingga tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan suami, (4) menjaga diri dan memimpin keluarga tatkala suami tidak di rumah, (5) menjaga harta suaminya sehingga tidak menggunakannya secara boros.
c. Hak Isteri dari Suami berdasar Hadîts ini
Setelah diketahui bahwa dalam Hadîts Ayy al-Nisâ` Khayr terkandung kewajiban isteri terhadap suami, maka secara mafhûm mukhâlafat tersirat pula hak isteri yang dapat diperoleh dari suaminya. Setiap ada kewajiban pasti ada haq yang bisa diperoleh; bagaimana mungkin isteri dapat memenuhi kewajibannya tanpa dipenuhi hak dari suaminya. Haq isteri dari suami berdasar Hadîts tersebut antara lain (1) mendapat fasilitas yang baik untuk berpenampilan cantik, baik pakaian, kosmetik, maupun keindahan tubuh, (2) diperlakukan secara baik oleh suami supaya tetap setia dalam melayani dan manaati perintah, (3) memperoleh ketentraman dalam keluarga, (4) mendapat kepercayaan dari suami untuk memimpin keluarga, (5) diberi wewenang untuk mengelola harta suami dan memanfaatkan miliknya sendiri.
[1] Abû al-Hasan Nur al-Din bin ‘Abd al-Hâdî al-Sindî, Sunan al-Nasâ`î bi Syarh Jalal al-Dîn al-Suyûthî wa Hâsyiat al-Sindî, juz VI h.68
[2] ِِِِAhmad Abd al-Rahmân al-Banna, tahun wafatnya belum diketahui, tapi pada Kitâb al-Fath al-Rabânî, juz I h. 22 diterangkan bahwa Kitâb tersebut disusun sejak tahun 1340 H hingga tahun 1349 H.
[3] menurut al-Ashfahani, (h.39), tabarruj ialah memamerkan kecantikan diri di hadapan laki-laki bukan suaminya.
[4] Isma’il bin Ahmad al-Ajluni, I h.495
[5] Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, jz. II h.1090
[6] Abû Daud, Sunan Abi dawud., II h.126
[7] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah., I h.596
[8] Abû Ya’la, Ahmad bin ‘Alî, Musnad Abû Ya’lâ, jz. IV h.378
[9] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, I h.596
[10] Abd Allâh ‘Ulwân, Tarbiyat al-Aulâd fî al-Islâm, jz. I h.122
[11] al-Sindîi, , juz VI h.68
[12] Abû Bakr ‘Abd Allâh bin Muhammad bin Abî Syaibat, , jz. III h.559
[13] Abû al-Qâsim, Sulaymân bin Ahmad al-Thabarânî, al-Mu’jam al-Awsath, , II h.326
[14] al-Azîzîi, Faidl al-Qadir., juz II h.266
[15] Muslim bin Hajâj, Shahih Muslim.,jl. II h. 1021
[16] Muslim bin Hajâj,Shahih Muslim., jz. II h.1090
[17] al-Hakim al-Naysabûrî al-Mustadarak., juz II h.157
[18] Abû Thâhir bin Ya’qûb al-Fayrûz Abâdî, Tanwîr al-Miqbâs min tafsîr Ibn Abbâs, h.69
[19] Muhammad ‘Ali al-Shâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr, , jilid I h.274
[20] Abû Bakr al-Baihaqi, Ahmad bin Husayn, Sunan al-Bayhaqî al-Kubrâ, juz VII h.292
[21] Ahmad bin Syu’ayb Abû ‘Abd al-Rahmân al-Nasâî, Sunan al-Nasa`iy., juz V h.363
[22] al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî,, juz III h.1182
[23] Abû Hâtim Muhammad bin Hibban, Shahîh Ibn Hibbân, juz IX h.471
[24] Abû bakr bin Muhammad bin Abi Syaybat,, juz VI h.545
[25] Abd Allâh bin Abd al-Rahmân al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, , juz II h.69
[26] al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, ibid, Juz V h.1994
[27] Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim., juz II h.1049
[28] Al-Thayâlisî,Musnad al-Thayalisi., juz I h.306
[29] al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, juz II h.842, Muslim bin Hajaj, Shahîh Muslim, juz III h.1459
[30] Muhammad al-Hifnî, juz II h.266
[31] Wahbat al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa adillatuh, 1404, juz VII h.337