KRITIK TERHADAP UCAPAN PASCA LEBARAN
KRITIK TERHADAP UCAPAN TAHNI`AH PASCA IED AL-FITHRI
- Latar Belakang
Aneka ragam ucapan kaum muslimin yang disampaikan kepada sesamanya pasca iedul-Fithri, seperti (1) minal aidin wal-Fa`izin, (2) mohon maaf lahir bathin, (3) selamat hari raya, (4) kembali pada fithrah, (5) kita kembali kepada kesucian, (6) kullu amin wa antum bi khairin, (7) selamat lebaran, (8) taqabbal Allah Minna wa minkum; (9) ied Mubarak, (10) happy ied, bahkan akhir-akhir ini terpampang spanduk bertuliskan (11) turut berduka cita atas kepergian ramadlan 1437H.
Sebagai muslim, seyogyanya ucap, sikap dan tindakan itu selalu berusaha yang bemanfaat, baik dalam kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Jika ucapan yang disampaikan kepada sesame muslim itu mengandung manfaat dan sangat berarti, maka akan bernilai ibadah. Sebaliknya jika hanya berisi basa-basi dan tidak mengandung arti, maka akan sias-a. Salah satu sifat orang mu`min yang baik adalah yang meninggalkan ucap, sikap dan tindakan yang tidak berarti.
وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, Qs.23:3. Rasul SAW bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
Di antara tanda keungulan islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat. Hr. Ahmad, al-Tirmidzi, dan Ibn Majah.[1]
Tentu saja ucapan-ucapan itu walau bukan merupakan ibadah ritual, perlu dikritisi sebenarnya yang mana yang paling pantas dan tepat disampaikan kepada sesame muslim agar bernilai ibadah. Kritik tersebut bisa dari sudut syari’ah ataupun ilmiyah mu’amalah. Tulisan kecil ini mencoba menganalisis dari kedua pendekatan tersebut. Moga bermanfaat.
- Contoh ucapan yang dikritisi
- Minal aidin wal-Fa`izin,
Tulisan aslinya adalah من العَائدين والفائزين yang berarti “semoga kita termasuk yang kembali dan meraih kemenangan“. Perkataan العَائدين berasal dari kata عاد – يَعُود – عوْدا = عِيَادَة yang berarti kembali atau mengunjungi. Kemudian العَائد masuk isim fa’il berarti “yang kembali” atau “yang berkunjung”, maka dalam bentuk jama adalah العائدون kemudian karena diawali مِن menjadi من العَائدين yang dapat ima’nai “kita termasuk yang kembali” atau “semoga kita atau anda semoga termasuk yang kembali atau berkunjung”. Sedangkan والفائزين berasal dari kata فاَزَ – يفوز – فوزا – فائز yang berarti menang, atau sukses. Jadi bisa dimaknai “semoga termasuk yang menang”. Kalimat ini sudah popular, sejak masa silam, yang belum diketahui sapai saat ini siapa yang pertama memopulerkan dan berasal dari mana? Jika ucapan ini diungkapkan para isteri shahabat di tahun ke 2 Hijri, mungkin dapat difahami dan dimengerti, karena pada bulan ramadlan saat itu terjadi perang Badar. Pada hari raya iedul-Fithri syuhada Badar kembali ke keluarga masing-masing dengan meraih kemenangan. Namun sampai saat ini belum ditemukan hadits yang menyatakan adanya ucapan tersebut disampaikan pada tahun itu. Apakah iedul-Fithri 2 Hijri itu adala keluarga menyampaikan tahni`ah tersebut kepada para syuhada Badar yang pulang dari peperangan dan meraih kemenangan? Persolannya tahun ini, ucapan من العَائدين والفائزين disampaikan setelah kembali dari mana, dan meraih menang dari apa? Bukankah tahun ini tidak ada peperangan di bulan ramadlan? Kalau disampaikan ketika mudik pulang kampung, mungkin selamat kembali ke kampung, tapi meraih menang dari peperangan apa?
- Mohon maaf lahir bathin,
Setiap mu`min diperintahkan untuk memaafkan kesalahan sesame manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Qs.3:134
Persoalannya, jika mohon maaf dilembagakan pasca ibadah ramadlan, menimbulkan pertanyaan apakah selama ramadlan itu banyak melakukan kesalahan kepada sesame manusia? Memang minta maaf bukan hanya dilakukan setelah berbuat salah, tapi mengapa pasca ramadlan? Bukankah selama ramadlan itu banyak amal ibadah, baik yang sifatnya ritual seperti shaum, tilawah al-Qur`an dan tarawih, serta ibadah sosial seperti banyak memberi bantuan pada sesame? Lalu mengapa menjadi upacara permaafan pasca lebaran?
- Kembali pada fithrah, kembali kepada kesucian?
Ada juga ucapan di berbagai media dengan menyampaikan kata-kata “kembali pada Fithrah” atau “kembali kepada kesucian”. Ucapan tersebut mungkin memahami bahwa perkataan عيد berasal dari عاد يعود yang berarti “kembali” dan الفطر mempunyai arti yng sama dengan الفطرة. Kita ketahui bahwa perkataan عيد dalam al-Qur`an maupun hadits mengandung arti “hari raya” bukan hari kembali, sebagaimana tersurat pada kisa Nabi Isa:
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآَخِرِنَا وَآَيَةً مِنْكَ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Isa putera Maryam berdo`a: “Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah Pemberi rezki Yang Paling Utama“. Qs.5:114
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bahwa hidangan yang diminta oleh Nabi Isa adalah untuk dijadikan konsumsi ber hari raya. Tidak tersirat di dalamnya makna hari kembali. Sedangkan perkataan الفطر jelas tidak sama maknya dengan perkataan الفطرة . Perkataan الفطر dalam berbagai kamus mana pun mengandung arti “berbuka” atau dari فطور yang berarti “makan pagi”. Itulah sebabnya Rasul SAW tidak pernah pergi ke tempat shalat iedul-Fithri, kecuali setelah makan pagi. Anas bin Malik menerangkan
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ
adalah Rasul SAW tidak ke luar pada hari ied al-Fithri, sehingga memakan beberapa buah korma. Hr.al-Bukhari.[2]
Itulah pula salah satu maknanya mengapa pada hari iedul-Fithri diharamkan shaum, karena merupakan hari raya berbuka. Zakat pasca ramadlan juga, dalam berbagai hadits dinamakan زكاة الفطر atau صدقة الفطر yang berartai zakat berbuka dari shaum atau shadaqah karena berbuka. Tidak ditemukan dalam hadits istilah zakat fithrah, kecuali hanya di Indonesia.
4., Kullu amin wa antum bi khairin
Ada juga yang menyampaikan selamat iedul-Fithri dengan كُلُّ عَام و أنتُم بخيْرٍ (setiap tahun anda semua dalam keadaan baik). Ucapan semacam ini mungkin agak cocok disampaikan dalam pergantian tahun. Jika diasampaikan pada waktu ieul-fithri, nampaknya tidak berkaitan sama sekali. Namun yang jelas tidak ada ucapan khusus yang disampaikan pada pergantian tahun juga. Bahkan tidak ditemukan hadits apalagi ayat atau atsar shabat yang yang meraya pergantian tahun.
5., Ied Mubarak, happy ied, iedukum sa’iid, selamat lebaran
ied mubarak عيد مبارك (semoga hari raya ini diberkahi), atau عيدكم سعيد (hari raya mu dalam bahagia) nampaknya tidak ada ubahnya dengan ucapan selamat hari lebaran. Nampaknya kalimat ini masih mendingn di banding kalimat yang dikritik sebelumnya. Kalimat ini menunjukkan kebahagiaan dan do’a semoga mendapat berkah di hari raya.
6., Turut berduka cita atas kepergian ramadan 1437H
Tahun 2016 ini muncul berbagai baligo, spanduk yang bertuliskan ucapan selamat lebaran dengan duka cita atar berakhirnya ramadhan tahun 1437H. Anehnya selain menyampaikan turun berduka cita, di bawahnya tercantum Happy Eid yang menyatakan kebahagiaan. Jadi berbahagia ketika berduka. Hal ini memang nampak rancu, pantaskah dengan berduka jadi bahagia? Namun yang jelas iedul-Fithri bukan hari berduka, tapi hari bahagia yang secara tersirat diperintahkan untuk bersyukur atas ni’mat yang Allah SWT berikan. Coba perhatikan pengunci perintah menyempurnakan ibadah ramadlan:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Hedaklah menyempurnakan perhitungan, mengagungkan Allah atas apa yang Ia tunjukkan, mudah-mudahan kalian bersyukur. Qs.2:184.
Pengunci ayat ini jelas memerintah umat agar bersyukur pada Allah atas segala ni’mat, baik sempurnanya bulan ramadlan maupun pasca ibadah setelahnya. Jadi iedul-fithri adalah hari berysukur bukan hari berduka. Itulah salah satu maknanya, maka Rasul SAW memerintah Abu Bakar agar membiarkan jariahnya ikut berbahagia dengan berkesenian. Diriwayatkan dari Aisyah r.a:
دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
Abu Bakar masuk rumah, di rumahku ada dua jariah wanita keturunan Anshar yang sedang bersenandung mengimgatkan peristiwa gugurnya kaum Anshar di perang Bu’ats, padahal kedua jariah tersebut kurang begitu ahli dalam bernyani. Kemudian Abu Bakar menegur, mengapa kalian nyanyikan sruling setan di rumah Rasul SAW, yang pada saat itu sebagai hari ied. Maka Rasul SAW bersabda: Wahai Abu Bakar sesungguhnya setiap kaum punya hari raya, sedangkan hari ini hari raya bagi kita. Hr. al-Bukhari.[3]
Dalam riwayat lain, masih dari Aisyah diterangkan:
أَنَّ أَبَا بَكْرٍ دَخَلَ عَلَيْهَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحًى وَعِنْدَهَا قَيْنَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاذَفَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثٍ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مِزْمَارُ الشَّيْطَانِ مَرَّتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمُ
Sesungghunya Abu Bakar masuk rumah Aisyah, yang saat itu Nabi SAW berada di sisinya pada hari raya fithri atau adlha. Di rumah Aisyah tersebut ada dua tawanan wanita yang sdang bernyanyi, yang keuanya sebagai tawanan anshar pada perang Bu’ats, maka Abu Bakar berkata itu seruling setan hingga dua kali. Kemudian Rasul SAW bersabda: biarkan mereka berdua wahai Abu Bakar! Sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, sedangkan hari raya kita adalah hari ini. Hr. al-Bukhari.[4]
Kedua hadits ini mengiyaratkan bahwa iedul-fithri dan iedul-Adlha adalah hari raya, hari bahagia, boleh berenyanyi untu mengekspresikan kebahagiaan. Jadi jelas iedul-fithri, bukan hari berdua, tapi harai bahagia untuk banyak bersyukur. Salah satu fungsi zakat fithri diserahkan menjelang iedul-Fithri juga untuk membahagiakan mustahiq supaya berkecukupan, sebagaimana ditegaskan dalam hadits:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ وَقَالَ « أَغْنُوهُمْ فِى هَذَا الْيَوْمِ ».
Diriwayatkan dari Ibn Umar, Rasul SAW memfardlukan zakat Fithri, dan beliiau menegaskan “cukupkanlah mereka di hari ini. Hr. al-Daruquthni.[5] Dalam riwayat lain ditegaskan
اغنوهم عن طواف هذا اليوم
Cukupkanlah mereka, jangan sampai berkeliling minta-minta di hari ini. Hr. al-Baihaqi.[6]
Jadi jelas, hari raya itu merupakan hari bahgia dan membahagiankan orang lain.
- Ucapan selamat lebaran yang paling tepat
Kalau berbagai ucapan di atas telah dikritik, maka timbul pertanyaan, apa yang pantas diucapkan ketika bertemu sesame muslim di hari raya Idul Fitri? Perlu diketahui bahwa telah terdapat berbagai riwayat dari beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka biasa mengucapkan selamat di hari raya di antara mereka dengan ucapan تَقَبَّل الله منا و منكم“Taqobbalallahu minna wa minkum” (Semoga Allah menerima amal kami dan amal kalian). Diriwayatkan dari Jubair bin Nufair:
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqobbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Imam Ahmad rahimahullah berkata,
وَلَا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُل لِلرَّجُلِ يَوْمَ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك
“Tidak mengapa (artinya: boleh-boleh saja) satu sama lain di hari raya ‘ied mengucapkan: Taqobbalallahu minna wa minka”.
Salah seorang ulama, Harb mengatakan, “Imam Ahmad pernah ditanya mengenai apa yang mesti diucapkan di hari raya ‘ied (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha), apakah dengan ucapan, ‘Taqobbalallahu minna wa minkum’?” Imam Ahmad menjawab, “Tidak mengapa mengucapkan seperti itu.” Kisah tadi diriwayatkan oleh penduduk Syam dari Abu Umamah.
Ada pula yang mengatakan, “Apakah Watsilah bin Al Asqo’ juga berpendapat demikian?” Imam Ahmad berkata, “Betul demikian.” Ada pula yang mengatakan, “Mengucapkan semacam tadi tidaklah dimakruhkan pada hari raya ‘ied.” Imam Ahmad mengatakan, “Iya betul sekali, tidak dimakruhkan.”
Ibnu ‘Aqil menceritakan beberapa hadits mengenai ucapan selamat di hari raya ‘ied. Di antara hadits tersebut adalah dari Muhammad bin Ziyad, ia berkata, “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya. Jika mereka kembali dari ‘ied (yakni shalat ‘ied, pen), satu sama lain di antara mereka mengucapkan, ‘Taqobbalallahu minna wa minka” Imam Ahmad mengatakan bahwa sanad riwayat Abu Umamah ini jayyid. ‘ Timbul pertanyaan, apa jawaban tahni`ah itu yang paling tepat?
عن حَبِيب بن عُمَرَ الأَنْصَارِيُّ، أَخْبَرَنِي أَبِي، قَالَ:لَقِيتُ وَاثِلَةَ يَوْمَ عِيدٍ، فَقُلْتُ: تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ، فَقَالَ: نَعَمْ، تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ.
Diriwayatkan dari Habib bin Umar al-Anshari, ayahku telahmengabarkan : aku bertemu dengan Watsulah pada hari ied, maka aku ucapkan selamat تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ maka beliau menjawab نَعَمْ، تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ yah semoga Allah SWT menerima amal kami dan amal anda. Hr. al-Thabarani.[7]
Ucapan تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكم dianggap paling tepat, karma selain ada dasar hukumnya pada hadits hasan, juga merupakan do’a yang pantas dipanjatkan setelah ibadah. Bukankah selama bulan ramadlan itu setiap muslim beribadah ada lebohnya di banding bulan yang lain, karena ada shaum wajib selama satu bulan dan zakat fithri? Sepentasnya sesame muslim saling mendo’akan agar segala ibadah tersebut diterima oleh Allah SWT. Dengan diterima dan dikabulkannya ibadah, maka otomatis janji Alah pun akan diberikan.
- Adanya silaturahim lebaran
Dengan tercantumnya do’a tahni`ah pasca iedul-Fithri memberi isyarat bahwa adanya pertemuan dan saing sapa sesame muslim. Walau sebenarnya silaturahim itu tidak terbatas waktu, kapanpun diperintah oleh Allah SWT untuk menjalis silaturrahim. Pentingnya shilaturrahim, tidak diragukan lagi. Dengan shilaturrahim kaum muslimin bisa menjalin hubungan baik dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluq. Hubungan baik kedua jalur tersebut, mewariskan keharmonisan intern dan ekstern makhluq hingga menjadikan alam semesta damai dan terhindar dari malapetaka. Rasul SAW bersabda:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللهُ
Dari Aisyah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Ikatan kekeluargaan tergantung di ‘Arsy, dia mengatakan barang siapa yang menghubungkan jalinanku, maka Allah akan menjalin hubungan dengannya. Barang siapa yang memutuskan jalinanku, maka Allah pun akan memutuskan hubungan dengannya”. Hr. Ahmad (164-241H), Muslim (206-261H), al-Bayhaqi (384-458H)[8]
Orang yang mampu shilaturrahim secara baik bakal mendapat keberkahan dalam rezeki dan usianya. Rasul SAW bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ أَوْ يُنْسَأَ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Anas Bin Malik berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:“Barangsiapa yang menginginkan diperluas rezekinya, dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah menjalin shilaturrahim”. Hr. Muslim (206-261H), Abu Daud (202-275H), al-Nasa`iy (215-303H), al-Thabarani (260-360), al-Bayhaqi (384-458H). [9]
Banyak langkah yang mesti ditempuh dalam menjalin shilaturrahim dengan sesama manusia. Antara lain tersirat pada ayat dan hadits berikut:
- firman Allah Qs.3:159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Qs.3:159
Silaturahim berdasar isyarat ayat ini antara lain: (1) saling saying menyangi berdasar rahmat Ilahi tersirat pada فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ (2) bersikap, berucap dan bertindak lemah lembut pada sesame muslim, tersirat pada kalimat لِنْتَ لَهُمْ (3) jangan keras kepala, dan menjauhi sikap yang menjauhkan orang, tersirat pada kalimat وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ, (4) memberi maaf kepada orang yang melakukan kesalahan serta memohonkan ampunan فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ, (5) banyak musyawarah وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ , (6) berpegang teguh atas kesepakatan yang diojanjikan فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ, (7) mengembangkan tawakkal pada Allah SWT, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
- berdasar hadits
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu‘alaihi wasallam bersabda,
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا
“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.” Hr. al-Thabarni.[10]
Menjalin silaturrahim berdasar hadits ini antara lain (1) memberi manfaat pada sesame manusia, tersirat pada أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , (2) memberikan kebahagiaan pada sesame muslim, tersirat pada وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , (3) mengatasi kesulitan dan membebaskan kesusahan orang lain, أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , (4) membayarkan orang yang berutang أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا, (5) memberi makanan bagi yang lapar, أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , (6) memberi kan bantuan pada orang yang membutiuhkan bantuan وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ .
[1] Sunan al-Tirmidzi, 2279
[2] Shahih al-Bukhari, I h.325
[3] shaih al-Bukhari, no.899
[4] shahih al-Bukhari, no.3638
[5] sunan al-Daruquthni, juz V h.391
[6] sunan al-Baihaqi, IV h.175
[7] al-Mu’jam al-Kabir al-Thabarani, juz XV h.430
[8] Musnad Ahmad, II h.163, Shahih Muslim, IV h.1981, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, VII h.27
[9] Shahih al-Bukhari, II h.728, Shahih Muslim, IV h.1982, Sunan Abi Daud, II h.132, Sunan al-Nasa`iy, VI h.438, al-Mu’jam al-Awsath, V h.382, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, VII h.27
[10] Hadits ini ada dalam kitab Al-Mu’jam Al-Awsath no. 6204, Al-Mu’jam Ash-Shaghir no. 862, dan Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13472 karangan imam at Thabrani dan Ibnu Abi Ad-Dunya dalam Qadha-u Hawaij nomor hadits 36. Hadits ini berkualitas Hasan (baik).