KUTUKAN BAGI YANG TERLIBAT RIBA (kajian hadits riwayat Muslim dari Jabir)
KUTUKAN BAGI YANG TERLIBAT RIBA
(kajian hadits riwayat Muslim dari Jabir)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Muhamad bin al-Shabah, Zubar bin Harb, dan Utsman bin Abi Syaibah menyampaikan hadits pada kami. Mereka mengatakan: Husyaim menyampaikan hadits; Abu al-Zubair mengebarkan dari Jabir yang menyatakan: Rasul SAW mela’nat orang yang makan riba, yang memberi makan, yang menuliskannya, dan yang menyaksikannya. Beliau bersabda semuanya sama saja.. Hr. Muslim.[1]
Shahabat yang meriwayatkan hadits ini antara lain Jabir bin Abd Allah, Ali bin Abi Thalib, al-Sya’by, Ibn Mas’ud, dengan redaksi ada yang berbeda ada pula yang sama. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahmad, al-Darimi, al-Bukhari, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa`iy, Ibn Majah, al-Hakim, al-Bayhaqi.[2] Mata rantai antara rawi hingga shahabatnya pun cukup banyak ada yang sama jalurnya ada pula yang berbeda. Dengan demikian hadits ini cukup populer, baik di kalangan shahabat, tabi’in, atba al-tabi’in, maupun para rawi hadits. Adapun yang dibahas dalam tulisan ini adalah redaksi yang diriwayatkan Muslim sebagaimana beliau nyatakan حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ dalam periwayatannya dapat digambarkan sebagai berikut:
Kalimat لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Rasul SAW mengutuk mengandung arti doa beliau kepada Allah SWT agar yang dikutuk itu dijauhkan dari rahmat-Nya. Tidak ada yang dikutuk Rasul SAW selain orang yang melakukan pelanggaran syari’ahnya. Perkataan لعن juga sering diartikan mencela, memaki, memurkai, membenci, memarahi. Jika Allah SWT yang mengutuk maka berarti طردهم وابعدهم من رحمته العاجلة والآجلة mengusir mereka, menjauhkan mereka dari rahmat-Nya, baik di dunia kini maupun di akhirat kelak.[3] Dengan demikian orang yang dikutuk Rasul SAW berarti yang dido’akan olehnya agar jauh dari rahmat Allah SWT.
Orang yang memakan riba dikutuk oleh Rasul SAW, akan dijauhkan dari rahmat Allah SWT. Ditinjau dari sudut kebahasaan, pengertian Riba adalah الزِّيَادة و النُّمُو azziyadah wan numuw yang berarti tambahan atau pertumbuhan. Pengertian ini digunakan antara lain dalam surat al-Haj ayat 5:…وَتَرَىالأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَاالمَآءَاهْتَزَّتْ وَرَبَتْ… ….Dan engkau melihat bumi dalam keadaan kering; kemudian jika Kami (Allah) telah menurunkan air (hujan) atasnya, gemburlah bumi itu dan bertambah (subur)….
Istilah riba digunakan untuk segala macam transaksi yang diharamkan baik tunai ataupun non tunai. Al-Shan’ani menandaskan وَيُطْلَق الرِّبا عَلَى كُلِّ بيْع مُحَرَّم riba mencakup segala transaksi yang diharamkan. Ulama telah sepakat haramnya segala bentuk riba. Namun mereka berbeda pendapat tentang batasannya secara rinci.[4] Istilah riba ini kemudian digunakan secara luas untuk suatu prilaku ekonomi tertentu, yakni pemberian tambahan nilai atas harta yang dipinjam, sehingga dirasa merugikan pihak peminjam. Praktik riba semacam ini sudah berlangsung sejak dahulu. Allah SWT mengharamkan riba dengan menurunkan ayat secara bertahap seperti berikut:
- Tahap pertama,
Pada periode Mekah, turun ayat riba berisi sindiran terhadap orang yang beranggapan bahwa sistem riba itu menguntungkan. Firman-Nya:وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). Qs.3 (ali-Imran):39
Dalam ayat ini nampak, bahwa riba yang biasa dilakukan oleh orang Arab tidaklah menguntungkan, secara kualitas ekonomi, maupun sosial. Usaha yang menguntungkan di sisi Allah adalah infaq, zakat dan shadaaqah. Dengan penjelasan semacam ini diharapkan agar umat lebih memilih sistem perniagaan yang halal dan menjauhi riba serta mengembangkan shadaqah.
- Tahap Kedua
Setibanya di Madinah, kaum muslimin banyak menyaksikan kaum Yahudi yang mengembangkan sistem riba. Perekonomian mereka sangat melekat di kalangan yahudi, maka turun ayat yang mengisahkan hal tersebut dang menandaskan:فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Qs.4 (al-Nisa):160.وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. Qs.4 (al-Nisa):161
Ayat ini berisi kisah tentang kebiasaan yahudi yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Mereka juga tidak segan-segan memakan harta riba, padahal telah dilarang sejak lama. Essensinya tentu saja sebagai kecaman keras terhadap perbuatan riba. Namun pada ayat ini tidak begitu nampak haramnya riba, tidak pula terungkap seberapa jauh bahayanya di akhirat.
- Tahap Ketiga
Tsaqif pernah berutang kepada Bani Nazhir, salah satu suku bangsa di Madinah. Karena tidak mampu membayar tepat pada waktu yang dijanjikan, mereka berjanji semakin lama jangka pinjaman semakin bertambah jumlah yang mesti dikembalikan. Akhirnya jumlah utang Tsaqif menjadi berlipat-lipat dari pokok, dan semakin banyak,
maka turun ayat yang melarang riba yang berlipat:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Qs.3:130-131
Ayat ini berisi larangan memakan harta riba yang berlipat ganda. Boleh jadi, yang tidak berlipat ganda, oleh masyarakat dianggap tidak dilarang.
- Tahap Keempat
Tahap terakhir dari ayat larangan riba bersifat keras dan mengancam, bahkan menyatakan perang. Setiap muslim diwajibkan untuk menghapus sistem riba sama sekali, tidak boleh ada yang tersisa. Firman-Nya:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(*)يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ(*)
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Qs.2(al-baqarah):275-76
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله َذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Qs.2:278
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Qs.2:279
Kedua ayat ini sangat keras mengancam riba, bahkan menyatakan perang terhadapnya.
Dalam surat an-Nisa (sebagaimana dikutip di atas) dikisahkan bahwa Allah telah menurunkan adzab secara langsung kepada orang-orang yahudi yang suka melakukan riba seperti itu. Tatkala larangan itu dilanggar, maka berbagai ni’mat yang dianugerahkan kepada mereka dicabut, dan kemudian pelakunya menderita siksaan yang pedih. Perbuatan memakan riba itu juga dilakukan oleh orang-orang Arab Jahiliyah. Diriwayatkan bahwa orang-orang yang memiliki kelebihan harta sering kali meminjamkan uang untuk jangka waktu tertentu kepada orang yang pada suatu waktu memerlukannya, disertai dengan keharusan membayar tambahan yang tinggi. Ketika saat yang ditentukan peminjam tidak dapat membayar kepadanya dikenakan tambahan yang berlipat; demikian seterusnya sehingga orang yang berhutang akhirnya tidak bisa berbuat lain kecuali menyerahkan seluruh benda yang dimilikinya untuk disita oleh pemilik uang. Perlu dikemukakan bahwa pada saat itu pinjam meminjam dilakukan orang semata-mata karena kebutuhan konsumtif, terutama kebutuhan primer. Belum dikenal pinjam meminjam untuk kebutuhan produktif. Dalam hal kepentingan produktif, yang dilakukan orang pada saat itu adalah kerjasama dengan sistem bagi hasil (mudharabah) atau berserikat dalam suatu usaha (musyarakah). Dalam syirkah (berserikat) dikenal dua macam yaitu (1) syirkah inan yaitu berserikat dalam suatu pekerjaan yang kerugian ataupun keuntungan ditanggung bersama, dan modalnya pun miliki bersama, (2) syirkah Mudlarabah yaitu modal dari satu fihak, dikelola oleh fihak lain, dan keuntungan serta kerugian menjadi tanggung jawab bersama. Perbedaan antara syirkah dengan riba antara lain dapat dilihat pada tabel berikut:
NO | SISTEM RIBA | SISTEM SYIRKAH |
1 | Prosentase rente dari modal | Perosentase dari keuntungan |
2 | Kerugian ditanggung peminjam. Pemilik modal tidak mau rugi | Kerugian dan keuntungan ditanggung bersama |
3 | Prinsip pemilik modal mesti ada untung | Ta’awuniyah, saling tolong |
4 | Pemilik modal bisa merampas hak milik penghutang tanpa tolerans | Diperhatikan kesepakatan yang tidak merugikan fihak mana pun |
5 | Memunculkan iri orang miskin; membikin kaya orang kaya | Memberikan peluang maju dan menguntungkan semua fihak |
6 | Membuat jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin | Menjalin silaturrahim antara semua fihak |
7 | Meningkatkan kekuasaan Pemilik modal | Dalam setiap harta yang dimiliki ada hak orang lain yang dipenuhi |
8 | Mengembangkan rente | Menyuburkan shadaqah |
9 | Memberi tangguh dengan menguntungkan pemodal | Pemberian tangguh untuk keuntungan bersama |
Meminjam suatu benda maupun uang adalah masalah yang lazim di masyarakat dan tidak dapat dihindari, karena pada suatu waktu ada kepentingan yang mendesak. Rasulullah SAW pernah meminjam dan pernah pula meminjamkan harta. Jabir bin Abd Allah (16 sH- 78H) menerangkan:وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي Rasul SAW pernah punya hutang pada saya, kemudian beliau membayarnya dengan memberikan tambahan. Hr. al-Bukhari dan Muslim.[5]
Namun sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, Rasulullah selalu keras melarang terjadinya riba jahiliyah seperti yang di gambarkan di atas. Setelah terbukanya kota Mekkah tahun 8 H, pernah masyarakat Banu Amr mengajukan tuntutan kepada masyarakat Banu Mughirah, atas tambahan terhadap pengembalian pinjaman yang pernah diberikan oleh Banu Amr pada masa jahiliyah. Utang tersebut setelah bertahun-tahun menjadi besar sekali. Banu Amr menolak tuntutan itu, dengan alasan bahwa mereka semua telah menjadi muslim dan karena itu riba harus dihapuskan. Attab bin Usaid sebagai Amir di Mekkah melaporkan hal itu kepada Rasulullah SAW. Maka beliau menjawab: “Kalau Banu Amr dengan suka rela membebaskan Banu Mughirah dari hutang riba itu, maka mereka telah menaati hukum Allah. Namun apabila tidak, beritahukan bahwa mereka akan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya”.
Dalam hadits ini dengan tegas bahwa Rasul SAW mengutuk orang yang memakan riba, memberi makan, menjadi saksi dan yang menuliskannya. Dengan demikian siapa pun yang terlibat dalam usaha yang mengandung riba akan dikutuk Rasul SAW. Semoga Allah SWT membebaskan kita dari unsur riba. Amin
[1] Shahih Muslim, III h.1219
[2] Musnad ahmad, I h.393, Sunan al-Darimi, II h.321, Shahih al-Bukhari, V h.2223, Sunan Abi Dawud, III h.244, Sunan al-Tirmidzi, III h.512, Sunan l-Nasa`iy, V h.424, Sunan Ibn Majah, II h.764, Sunan al-Bayhaqi, V h.285
[3] Tafsir Abi al-Su’ud, VII h.116
[4] Subuls al-Salam, III h.36
[5] Shahih al-Bukhari, I h.170, Shahih Muslim, I h.495