MA’NA ISRA MI’RAJ DALAM MEMBANGUN NEGARA

MA’NA ISRA MI’RAJ DALAM MEMBANGUN NEGARA
- Ma’na Isra yang Terkandung dalam Qs.17:1
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Qs.17:1
- Isra mi’raj sebagai Tasbih
Nilai pertama yang terkandung dalam Isra mi’raj adalah tasbih, yang tersurat pada kalimat سُبْحَانَmahasuci. Kalimat ini dinamakan tasbih, yang menurut bahasa, kata سُبْحَانَ berarti تنزيه الله عز وجل عن السوء memahasucikan Allah yang Maha Perkasa dari kekurangan.[1] Pangkal ayat ini, memberikan bimbaingan agar setiap mu’min memahasucikan Allah dengan kata, rasio, raga dan rasa. Tasbih dengan kata adalah membaca سُبْحَان الله, yang terwujud dalam menjauhkan lisan dari ucapan yang kotor. Tasbih dalam rasa berprinsip ikhlash bersih dari ria. Tasbih dalam rasio dengan berfikir baik beraqidah benar, tauhid bersih dari syirik. Tasbih dalam raga dengan tunduk, ruku dan sujud hanya pada Allah SWT, menjauhi kelakukan bid’ah.
- Isra Miraj Sebagai Mu’jizat
Kalimat الَّذِي أَسْرَىDialah, Allah yang mengisrakan, mengisyaratkan bahwa peristiwa Isra, merupakan mu’jizat yang Allah berikan kepada Rasul SAW. Perkataan Mu’jizat berasal dari إعجاز yang asal kata أعجز – يعجز yang berarti “melemahkan, mengalahkan”. I’jaz al-Qur’an berarti “bukti al-Qur’an mengalahkan yang lain” atau “ bukti al-Qur’an tidak bisa dikalahkan dan tidak dapat dilemahkan oleh yang lainnya”. Dengan demikian إعْجَاز القرآن dapat diartikan “keunggulan, kehebatan, dan keistimewaan al-Qur’an yang tidak dapat dilemahkan oleh yang lainnya”, “tandangnya al-Qur’an tiada tanding”. Sesuatu yang dapat mengalahkan yang lain, dinamakan معجز . Kemudian dibubuhi ة (ta marbuthah) menjadi معجزة sebagai bentuk mubalaghah yang menunjukkan “amat sangat”. Oleh karena itu arti mu’jizat menurut bahasa adalah “yang mengalahkan dengan sangat” kemudian bentuk jamanya adalah معجزات Selanjutnya istilah mu’jizat hanya digunakan untuk sesuatu kejadian yang dialami nabi sebagai bukti kebenaran kenabiannya, hingga dapat mengalahkan lawannya. Mu’jizat juga merupakan sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia membuatnya karena hal itu adalah di luar kesanggupannya.[2] Menurut Al-Suyuthi Mu’jizat ialah:
أَمْرٌ خَارِقٌ لِلْعَادَة مَقْرُوْن بِالتَّحَدِّي سَالِمٌ عَنِ المُعَارَضَةِ وَهِيَ إِمَّا حِسِّيَّة وَإِمَّا عَقْلِيَّة
Sesuatau yang luar biasa yang mengandung tantangan yang tidak bisa tertandingi karena istimewanya, baik bersifat indrawi maupun aqli. [3]
Berdasar definisi ini, mu’jizat itu memiliki karakteristik antara lain (1) kadaannya sangat luar biasa, (2) mengandung tantangan bagi umat yang menerimanya, (3) umat yang menerimanya itu tidak mampu membuat tandingan karena terkalahkan, (4) keunggulan mu’jizat tetap tandang tiada tanding (5) keunggulannya itu bisa betrsifat indrawi, bisa juga bersifat aqli. Khalid Abdulrahman berpendapat bahwa pada dasarnya mu’jizat yang diberikan Allah SWT pada para Nabi itu terjadi dalam tiga cara: (1) إعدام الموجود menghilangkan yang ada, seperti yang diberikan kepada Nabi Isa mampu menghilangkan beberapa penyakit (2) إيجاد المعدوم memunculkan yang tidak ada, seperti Nabi Shalih dapat menghadirkan al-Naqah, dan (3) تَحْويل حال موجود mengubah keadaan yang telah ada, seperti Nabi Musa mengubah tongkat jadi ular.[4] Semua mu’jizat yang dimiliki para nabi itu bersifat khawariq-al-Adah, sehingga tidak terjangkau untuk diikuti dan dilawan atau ditandingi oleh manusia.[5]
Al-Qurthubi berpendapat bahwa mu’jizat itu harus memenuhi lima syarat: (1) tidak ada yang mampu membuatnya selain Allah SWT, (2) bersifat luar biasa, atau tak terajangkau oleh akal fikiran manusia, (3) dapat disaksikan keberadaannya oleh manusia, (4) sesuai dengan apa yang dianggap unggul oleh umat pada jamannya sehingga menjadi hujah kebenaran pembawa risalah, (5) siapa pun tidak mampu untuk membuat sesuatu yang menyamai keunggulannya dengan mu’jizat tersebut.[6] Fungsi mu’jizat ialah meninggikan al-Islam di atas lainnya. Mu’jizat ialah suatu yang diberikan Allah SWT kepada Nabi, berfungsi membuktikan kebenaran dan keunggulan Islam dan menunjukkan kebatilan dan mengalahkan lawannya. Mu’jizat yang diberikan kepada satu Nabi berbeda dengan yang diberikan kepada nabi yang lainnya, karena tergantung pada keadaan umat yang dihadapinya. Namun kalau diperhatikan, seluruh mu’jizat itu fungsinya sama, yaitu membuktikan kebenaran dan keunggulan Islam. Tatkala umat manusia memuja dan mengagungkan sihir, seperti jaman Fir’aun, maka mu’jizat Nabi Musa mengalahkan sihir dan menampilkan kehebatan tongkat mu’jizat yang jauh lebih unggul dari tambang tukang sihir. Tatkala umat manusia memuja harta kekayaan dan kekuasaan, seperti pada jaman Ratu Balqis, maka diturunkan mu’jizat Nabi Sulaiman yang memiliki ilmu, kekuasaan, dan kekayaan jauh lebih hebat daripada yang dimiliki yang dipuja dan disanjung banyak manusia.
Isra mi’raj merupakan salah satu mu’jizat Rasul yang berfungsi sebagai bukti keunggulan Islam. Persoalannya sekarang bagaimana caranya agar mu’jizat Rasul itu dapat terus berfungsi. Tentu saja ini merupakan tanggung jawab umat sebagai penerusnya. Rasulullah pembawa risalah sebagai perintis, umat pengikut risalah harus menjadi penerus.
- Pesan ibadah hanya pada Allah
Rasul SAW disebut dalam ayat ini dengan nama عَبْد sebagaimana tersurat pada kalimat بِعَبْدِهِ لَيْلًا(hamba-Nya di waktu malam). Hal ini memberi isyarat bahwa isra mi’raj mengandung pesan ibadah. Ibadah yang paling utama diresmikan dalam peristiwa ini adalah shalat. Anas bin Malik, menerangkan:
فُرِضَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ الصَّلَوَاتُ خَمْسِينَ ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا ثُمَّ نُودِيَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّهُ لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَإِنَّ لَكَ بِهَذِهِ الْخَمْسِ خَمْسِينَ
Shalât difardlukan kepada Nabi SAW pada malam Isra mi’raj sebanyak lima puluh waktu kemudian dikurangi hingga menjadi lima waktu. Kemudian ditandaskan hai Muhammad, tidak ada perubahan ketentuan di sisi-Ku, sesungguhnya lima waktu ini bagimu sederajat dengan lima puluh waktu. Hr. Abd al-Razaq (126H-211H) Ahmad (164H-241H), dan al-Turmudzi (209H-279H).[7]
Ibadah shalât telah diperintahkan kepada Rasûl SAW sejak awal kenabian, dengan turunnya wahyu ketiga, yaitu al-Qur`an surat al-Muzammil. Shalât yang diperintah oleh ayat tersebut adalah shalât malam. Shalât lima waktu baru diperintahkan ketika Rasûl SAW mi’raj, yang awalnya lima puluh waktu kemudian menjadi lima waktu, sebagaimana diterangkan dalam hadits di atas. Sedangkan shalât malam, sebagaimana ditegaskan pada Qs.17:78-79, kedudukannya menjadi nâfilah atau tambahan. Jumlah raka’at shalât pada awal difardlukan adalah dua raka’at, kemudian setelah hijrah, berkiblat ke al-Aqsha selama delapan belas bulan. Setelah turun Qs.2:144, kemudian qiblatnya ke al-Haram Mekah. Setelah itu baru jumlah rakaatnya diubah hingga ada yang empat raka’at (zhuhur, ashar dan ‘isya) ada pula yang tiga raka’at (maghrib). ‘A`isyah isteri Nabi SAW menerangkan:
فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ هَاجَرَ النَّبِيُّ فَفُرِضَتْ أَرْبَعًا وَتُرِكَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ عَلَى الْأُولَى
Shalât difardlukan awalnya dua raka’at, kemudian Rasûl SAW hijrah, maka difardlukan ada yang empat raka’at. Sedangkan shalât diperjalanan tetap pada ketentuan semula. Hr. al-Bukhari, dan Muslim.[8]
Adapun yang jumlahnya empat raka’at, tetap menjadi dua raka’at sebagaimana tersirat dalam hadits ini adalah qashar tatkala shafar.
- Mengenang Sejarah Masa silam, menyapa masa kini, dan menggapai masa depan.
Peristiwa Isra yang dijalani Rasul SAW مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى (dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha). Kedua masjid ini mengandung nilai sejarah masa silam, gambaran masa kini, dan harapan masa depan.
- Mengenang Masa Silam
Sejarah masa silam, karena Masjid al-Haram merupakan rumah pertama yang dibangun untuk ibadah kepada Allah SWT. Firman-Nya:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Qs.3:96
Setelah tertimbun tanah menjadi gersang tanpa penduduk, kemudian ditemukan sumber air zam-zam oleh Siti Hajar, dan dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim bersama anaknya yang bernama Isma’il.
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i`tikaaf, yang ruku` dan yang sujud”. Qs.2:125
Adapun al-Aqsha sebagai prasasti sejarah nabi Ibrahim dengan istri pertama yang bernama Sarah dan putra keduanya bernama Ishaq yang kemudian menjadi bangsa besar bani Isra`il. Dalam seluruh kitab yang diturunkan kepada bani isra`il pun diperintahkan bahwa bila datang nabi terakhir, maka mesti diimani. Allah SWT berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا ءَاتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ ءَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu“. Qs.3:81
Dengan demikian seluruh umat manusia di dunia, termasuk bani isra`il,[9] mesti ingat pada perjanjian para leluhurnya yang menyatakan akan mengimani rasul yang datang kemudian.
- Mengkaji Masa Kini
Saat Rasul SAW disrami’rajkan, dunia berada di bawah kekuasaan dua Adikuasa Romawi dan Farsi. Mekah di bawah kekuasaan Farsi, dan al-Aqsha di bawah kekuasaan Romawi. Saat itu Rasul SAW minganjakkan kakinya di dua kawasan memberi isyarat kajian situasi dan kondisi yang mesti diperbaiki. Isra juga memberi isyarat bahwa Rasul SAW diutus bukan hanya untuk satu bangsa tapi untuk seluruh manusia, baik barat maupun timur, utara maupun selatan. Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. Qs.34:28
Rasul SAW, bukan hanya diutus kepada manusia, melainkan menjadi rahmat bagi alam semesta;
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. Qs.21:107
Itulah salah satu ma’na miraj ke luar angkasa. Jika Nabi Ibrahim sebagai Bapa para Nabi berkuasa atas dua kawasan al-Haram dan al-Aqsha, maka Rasul SAW menjangkau seluruh dunia.
- Menggapai Masa Depan
Isra mi’raj juga memberi isyarat tentang tugas dan tanggung jawab rasul dan umatnya di masa depan. Kaum muslimin mesti meraih masa depan yang lebih cerah. Peristiwa Rasul menginjakkan kakinya di dua kawasan (Makkah & al-Aqsha) memberi isyarat bahwa dunia mesti dikuasai kaum muslimin. Kerajaan adikuasa Parsi ditaklukan pada jaman Abu Bakr al-Shidiq, dan kekuasaan Romawi ditaklukan jaman Umar bin al-Khathab.
الم(*)غُلِبَتِ الرُّومُ(*) فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ(*)فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ(*)بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ
Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Qs.30:1-5
- Meraih Berkah
Dalam Isra mi’raj terkandung dorongan untuk meraih berkah dalam segala aspek kehidupan. Nilai ini diisyaratkan dengan الْمَسْجِدِ الْأَقْصَىyang karakteristiknya الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ (kami berkahi daerah sekitarnya). Inilah yang membedakannya dengan kawasan al-masjid al-Haram di Mekah. Ada bebarapa karakteristik antar al-Haram di Mekah dengan al-Aqsha di Syam antara lain: (1) al-Aqsha secara geografis di dataran tinggi puncak gunung, sedangkan al-Haram di lembah dataran rendah di kelilingi gunung. (2) al-Aqsha di kawasan daerah shubur dan disebut negeri yang diberkati hingga sejak jaman Nabi musa menjadi rebutan berbagai bangsa, sedangkan al-Haram negeri yang gersang tapi aman sejahtera sehingga disebut Baladun Amin. (3) Al-Haram sejak jaman nabi Adam dan dilanjutkan jaman Nabi Ibrahim hingga akhir jaman sebagai pusat ibadah secara rukun, sedangkan al-Aqsha lebih menonjol tentang rebutan kekuasaan dalam politik dan ekonomi. Dengan demikian kedua kawasan ini mesti dikaji dan diambil pelajaran antara lain: (1) ibadah, kemanan, persatuan bercermin ke al-Masjid al-Haram. (2) meraih keberkahan kema’muran bercermin pada al-aqsha.
Bani Isra`il yang berada di kawasan al-aqsha seharusnya berpegang pada agama yang diajarkan dalam Taurat untuk beriman pada al-Qur`an. Namun mereka telah menyalahi janji, melanggar ajaran nabi Musa, yang akibntanya sampai sekarang terus menerus dilanda berbagai persoalan. Pelanggaran bani Isra`il telah berlangsung sejak jaman nabi Musa yang memerintah mereka masuk ke Bait al-Maqdis itu dengan tunduk pada allah dan hormat pada penduduk asli. Namun mereka keras kepala ingin mengusir penduduk aslinya. Perhatikan firman Allah SWT:
وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ(*)فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنْزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ(*)
Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: “Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa”, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik”.Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu siksa dari langit, karena mereka berbuat fasik. Qs.2:58-59
Bani isra`il malah menyuruh Nabi Musa mengusir penduduk asli Palestina sebelum memasukinya.
قَالُوا يَامُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ
Mereka berkata: “Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. Jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya.” Qs.5:22
Akibat ulah bani isra`il yang tidak taat pada Nabi dan tidak hormat pada bangsa lain, maka keberkahan al-Quds tidak dirasakan mereka. Inilah yang patut diambil pekajaran oleh segenap generasi penerusnya. Fakta sejarah membuktikan bahwa ketika penduduknya beriman keberkahan dapat diraih oleh bangsanya. Keberkahan al-Quds dan sekitarnya dini’mati pada beberapa generasi sebagaimana dilukiskan dalam al-Qur`an antara lain (1) jaman nabi Ibrahim dan nabi Luth, dilukiskan dalam Qs.21:69-71, (2) Bani isra`il yang taat pada Nabi Musa, seperti tersurat pada Qs.7:137, (3) jaman nabi Sulaiman seperti diterangkan pada Qs.21:81.
- Mengkaji ayat Allah dengan Tafakur
Isra dan mi’raj memberikan bimbingan kepada Rasul dan umatnya agar mau bertafakur tentang ayat Allah SWT, sebagai mana tersurat pada لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا(agar kami memperlihatkan sebagian ayat Kami). Ayat yang ditampilkan pada rasul saat Isra dan mi’raj terdiri atas ayat kauniyah yaitu berbagai kejadian yang diperlihat padanya, dan ayat qur`aniyah yaitu perintah shalat sebagaimana diuraikan di atas. Dengan demikian seluruh umat mesti menguasai kedua ayat (1) syar’iyah yang bersumber dari wahyu; al-Qur`an dan al-Sunnah, (2) ilmiyah, yang tersirat pada kejadian alam semesta. Allah SWT berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ(*)الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Qs.3:190-191
- Mengingat asma Allah dengan Berdzikir
Setelah ditekankan pada kalimat seblumnya bahwa peristiwa Isra berfungsi menampilkan ayat, maka pada penguncinya ditandaskan إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ-(seungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat). Kedua nama ini termasuk al-asma al-Husna. Dengan demikian setiap umat bukan hanya pandai berfikir, tapi juga berdzikir. Dzikir dalam pengunci ayat ini dilambangkan dengan menyebut السَّميْع (yang Maha mendengar) dan البَصِيْر (yang Maha Melihat). Oleh karena itu dzikir bukan hanya dalam ucapan yang bisa didengar, tapi juga dalam perakstik yang bisa dilihat. Inilah pentingnya dzikir qalbi (dalam hati), dizkir Qauli (dalam ucapan), dan dzikir amali (dalam perbuatan).
- Ma’na Isra Mi’raj dalam membangun Negara
Seperti telah dikemukan di atas bahwa Isra dari al-haram di mekah ke al-Aqsha di Bait al-Maqdis memberikan pelajaran sejarah dalam membangun negeri. Kedua kawasan tersebut tidak terpisahkan dengan sejarah nabi Ibrahim yang membangun kedunya dalam bentuk negara. Oleh karena itu dalam membangun negara mesti mengikuti millah Ibrahim sebagaimana diperintahkan dalam qs.3:95. Adapun langkah membangun negeri bedasar millah ibrahim tersirat pada Qs.14:35-37 berikut:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ ءَامِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ(*)رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ(*)رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ((*)
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Ya Tuhan-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
Langkah yang ditempuh dalam membangun negara dan membina moral bangsanya berdasar ayat tersebut adalah:
- membangun negara atas dasar tauhid dan membina bangsa agar bersih unsur kemusyrikan, sebagai mana tersirat pada وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ (ya Allah jauhkan aku dan keturunanku darai penyembahan berhala) yang diawali dari pembinaan keluarga
- Membimbing masyarakat agar berakhlaq mulia dan membentengi mereka dari pengaruh negatif orang yang berakhlaq buruk, seperti tersirat pada ayat فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (barangsiapa mengikuti jaranku, dia dalah golonganku, barangsiapa yang menduruhakaiku, Engkau Maha Pengampun lagi penyayang). Doa ini mengisyaratkan pentingnya benteng pemisah antara yang baik dan yang buruk.
- Meningkatkan kedisiplinan beribadah, baik yang bersifat ritual seperti shalat maupun yang bersifat sosial seperti meningkatkan kebersamaan di kalangan bangsa, sebagaimana tersirat pada kalimat رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ (ya Tuhanku, hendaklah mereka setia menegaakan shalat)
ibadah sosial tergambar dalam bacaan dan gerakan solat. Sedangkan kebersamaan yang bersifat sosial tergambar dalam kepemimpinan shalat berjamaah.
- Menjalin kasih sayang antara sesama umat, membina kerjasama sesuai dengan kedudukan masing-masing, sebagaimana tersirat pada kalimat فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ(jadikanlah hati manusia saling mencintai)
- Meningkatkan kualitas kesejahteraan ekonomi, dengan menggunakan sumber daya alam untuk bisa dini’mati oleh segenap lapisan masyarakat, seperti tersirat pada kalimat وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ (ya Allah berilah mereka rejeki dari berbagai buah-buahan)
- Meningkatkan kemampuan bangsa dalam bersykur pada Allah, dan menggunakan ni’mat sesuai dengan ketentuan syari’ah-Nya, sebagaimana tersirat pada kalimat لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ(mudah-mudahan mereka selalu bersyukur)
- Mewujudkan generasi penerus yang berkualitas, seperti yang ditempuh Nabi ibrahim membina kedua putranya bernama Isma’il dan Ishaq sehingga terwujud dalam do’a tasyakur: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ (segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan pada ku di masa tua ini, Isma’il dan Ishaq. Sesungguhnya tuhanku mendengar segala doa). Qs.14:39
itulah tujuh langkah membangun negara berdasar teladan Nabi Ibrahim ketika membangun Baladun Amin di Makkah. Tentu saja uraian di atas hanya intisarinya saja masih memerlukan kajian lebih luas dan mendalam. Uraian luas mudah-mudahan di lain kesemptanan. Semoga bermanfaat.
[1] Ibn Manzhur (630-711H), Lisan al-Arab, II h.471
[2] Depag RI, al-Qur’an dan Tarjamahnya, halaman 89.
[3] Jalal al-Din al-Suyuthi,al-Itqan fi Ulum al-Qur`an, II, h 116
[4] Khalid abd al-Rahman al-Ak, Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduh, h. 307
[5] Jalal al-Din al-Suyuthi,al-Itqan, juz II, halaman 116
[6] al-Qurthubi, Juz I halaman 70-71
[7] Mushannaf Abd al-Razaq, I h.452, Musnad Ahmad, III h.161, Sunan al-Turmudzi, I h.417
[8] Shahih al-Bukhari, III h.1431, Shahih Muslim, I h.478
[9] perhatikan pula lanjutan surat al-Isra ini, sejak ayat 2 hingga 6 berbicara tentang bani Isra`il. Bahkan surat ini selain bernama al-Isra, dinamakan pula surat Bani Isra`il