MATARANTAI HADITS BERDASAR THABAQAT RUWAT
Matarantai hadits berdasar Thabaqat al-Ruwat (Tingakatan yang Meriwayatkannya)
- Pengeratian
Thabaqat menurut bahasa adalah suatu generai yang memiliki kesamaan dalam suatu sifat. Secara istilah, adalah suatu generasi yang hidup dalam satu masa dan memiliki keserupaan dalam umur dan sanad, yakni pengambilan hadis dari para gurunya. Mahmud Thahan mengemukakan, bahwa Tabaqat adalah generasi yang berdekatan atau sebaya dalam usia dan dalam isnad. Dalam pengertian ini, tabaqat identik dengan generasi dari sisi kebersamaan dalam berguru. Kadangkala para muhaditsin (ahli hadis) menganggap bahwa kebersamaan dalam menimba ilmu hadis adalah cukup bisa dikatakan satu tabaqah, sebab pada umumnya mereka memiliki kesamaan generasi. Sedangkan kata Al-Ruwat jamak dari kata rawi, yaitu yang menerima, memelihara dan menyampaikan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan sumbernya serta mata rantai suatu hadits sejak Rasul SAW hingga dirinya. Dengan demikian, Tabaqat Al-Ruwat, adalah pengelompokan orang yang menerima, memelihara dan menyampaikan hadis yang hidup dalam satu generasi atau satu masa dalam periwayatan atau isnad yang sama.
- Tarikh al-Ruwat dalam thabaqat al-Ruwat
Di dalam pembahasan Thabaqat Al-Ruwat terdapat ilmu yang sangat penting yaitu Tarikh Al-Ruwat. Untuk mengetahui thabaqat meseti mengetahui sejarah para rawi. Oleh karena itu ilmu tarikh tidak bisa dipisahkan dalam meneliti thabaqat al-Riwat. Ilmu ini berkembang bersama berkembangnya ilmu Riwayah. Perhatian para ulama dalam membahas ilmu ini didorong oleh suatu maksud untuk mengetahui dengan sebenarnya hal ihwal para rawi hadits (rijal al-sanad). Dalam menelusuri thabaqat al-Riwat, ulama hadits menanyakan kepada para rawi mengenai umur dan tanggal kapan mereka menerima hadits dari guru-guru mereka, serta meneliti tentang identitas lainnya tentang rawi itu. Mengetahui tanggal lahir dan wafatnya para rawi sangat penting untuk menerima atau menolak pengakuan seorang rawi. Bila seorang rawai mengaku bertemu dengan seseorang, maka dapat diteliti tentang lahir dan wafat rawi lainnya. Dengan mengetahui tanggal kelahiran dan wafat seorang rawi, maka dapat dinilai apakah hadits yang diriwayatkannya itu muttasil (sambung menyambung) ataukah tidak. Dalam tarkh al-Riwat uga diteiti tentang kampong halaman rawi, kemana saja mereka berpergian, kepada siapa saja mereka berguru, dam di mana saja mereka bertemu. Hal ini pentinh untuk bisa menilia mata rantai haits yang diriwayatkannya, apakah layak dipercaya ataukah tidak. Mengetahui kampung halaman rawi pun besar faedahnya.
C Beberapa contoh kitab Tarikh al-Ruwat
Dalam menulis tarukh al-Ruwat, ulama muhaddits menggunakan metoda atau sistematika yangberbeda, diantaranya (1) yang mengutamakan nama asli, kemudian julukan, nama popular, kota keahiran, lama hidup dan tahun wafat, mereka susun secara alpahbetis; (2) ada yang mengutamakan nama kota kelahiran dan meneringkan keutamaan kota tersebut serta shahabat yang berperan daam kota itu; (3) ada pula yang mengutamakan nama laqab atau nama popular terlebih dahulu, baru identitasnyannya; (4) mengutamakan jumlah hadits yang diriwayatkannya baru menerangkan identitas lain serta penilaian ulama lain tentang kualtis rawi yang diterangkan. (5) ada pula yang mengutamakan thabqat atau genarasi rawi yang diungkap, kemudian iedentitas lainnya.
Dari sekian banyak kitab tarihk al-Ruwat yang seleai disusun muhadditisin antara lain sebagai berikut:
1) At-Tarikhul Kabir, karya imam Muhammad bin Ismail al-Bukhary (tahun 194-252 H.). Dalam kitab tersebut imam Bukhari menerangkan biografi dari guru-gurunya yang pernah memberikan hadits kepadanya baik dari golongan tabi’in maupun sahabat sampai kurang lebih 40.000 orang. Baik merekaa itu laki-laki maupun perempuan, baik mereka yang tsiqah (dapat dipercaya) maupun yang gair tsiqah (kurang dipercauya) . Nama-nama rawi itu disusun secara alfabetis. akan tetapi nama yang pertama ditaruh pada bab pendahuluan adalah nama yang menggunakan Muhammad. Setiap nama dijadikan satu bab dan disusun secara alfabetis atau arabiyah dengan mengutamakan nama leluhurnya. Kitab tersebut terdiri dari 4 jilid besar-besar. Pada cetakan Haiderabad tahun 1362 H, kitab tersebut dijadikan 8 jilid.
2) Tarikh Nisabur, karya imam Muhammad bin Abdullah Al Hakim An Nisabury ( 321-405 H ). Kitab ini merupakan kitab Tarikh yang terbesar dan banyak faidahnya bagi para fuqoha’. Hanya saja kitab ini telah hilang. Ia hanya ditemukan dalam koleksi cuplikan yang terdiri dari beberapa lembar.
3) Tarikh Bagdad, karya Abu Bakar Ahmad Ali Al Bagdady, yang terkenal dengan nama Al khatib Al Bagdady ( 392-463 H ). Kitab yang besar faidahnya ini memuat biografi darri ulama-ulama besar dalam segala bidang ilmu pengetahuan sebanyak 7831 orang dan disusun secara alfabetis. Rawi yang tsiqah, lemah dan yang ditinggalkan haditsnya dimasukkan semuanya di dalam kitab ini. Ia terdiri dari 14 jilid dan dicetak di kairo pada tahun 1349 H ( 1931 M).
Selain kitab-kitab tersebut di atas masih banyak lagi kitab-kitab Tarikh Al Ruwat, antara lain Al Ikmal firaf’il-ibtiyab ‘anil mu’talif wal mukhtalif, karya Al Amir Al Hafidz Abi Nashr ‘Ali bin Hibatillah bin Ja’far yang terkenal dengan nama Ibnu Ma’kula Al Bagdady. Ada juga kitab Tahdzibul Kamal fi asmair-rijal, karya Al Hafidz Jamaludin Abil Hajjad Yusuf Al Mizay Ad-dimasyqy ( 654-742 H ).
- Sekilas tentag Thabaqat al-Ruwat
Ilmu thabaqah termasuk bagian dari ilmu rijal al-hadits, karena obyek yang dijadikan pembahasannya ialah rawi-rawi yang menjadi sanad atau mata rantai suatu hadits. Perbedaannya terletak pada focus peneletian dan penguraiannya. Dalam Ilmu rijal al-hadits para rawi dibicarakan secara umum tentang hal ihwal, biografi, cara-cara menerima dan memberikan al-hadits, sedangkan dalam ilmu thabaqah, menggolongkan para rawi tersebut dalam satu atau beberapa golongan, sesuai dengan tingkatan atau kesetaraan antara rawi yang satu dengan yang lainnya, sehingga nampak level atau tingkatanya.
Thabaqat dalam istilah Muhadditsin adalah pengelompokan para rawi hadits berdasar kedekatan dalam umur dan mata rantai penerimaan hadits dari gurunya dalam periode tertentu. Pengelompokan rawi berdasarkan thabaqat sangat penting untuk menilai sutua matarantai hadits sejak Rasul SAW sampai ulama yang menyebarkannya. Generasi Shahabat tentu saja yang paling tahu tentang Rasul SAW, kemudian generasi berikutnya. Diriwayatkan dari Imran bin Hushain ra., bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ “Sebaik-baik ummatku yang ada di zamanku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka…” Kata Imran radhiyallohu anhu, فَمَا أَدْرِي قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ قَوْلِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا “Saya tidak tahu apakah ia menyebut sesudah masanya dua masa atau tiga” (HR. Bukhari).[1]
Ilmu ini telah muncul dan berkembang di tangan para ulama hadits sejak abad ke-2 H. Ilmu ini tidak terbatas pada pembagian ruwaat atas thabaqat berdasarkan perjumpaan mereka dengan para guru hadits, tapi juga berkembang di kalangan muhadditsin kepada pembagian mereka berdasarkan فضل fadhl (keistimewaan) dan سبقة sabiqah (kesenioran) sebagaimana dalam hal sahabat, atau احوال hal (keadaan) dan منزلةmanzilah (kedudukan) seperti yang disebutkan oleh Abbas Ad Dauraqi (wafat 271 H), ada طبقة الفقهاء thabaqat fuqaha (ahli fiqih) , طبقة الرواة thabaqat ruwaat (rawi hadits) , طبقة المفسرين thabaqaat mufassirin (ahli tafsir al-Qur`an) dan seterusnya. Penyusunan kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu ini terus berlanjut dan berkembang hingga akhir abad-9 H. Bahkan muncul system pembagian thabaqat dalam bidang keilmuan yang lain. Misalnya thabaqat al qurra, thobaqat al fuqahaa, thobaqat ash shufiyah, thobaqat asy syu’ara dan sebagainya. Imam As Sakhawi mengatakan, “Faidah ilmu thabaqaat ini adalah keamanan dari bercampurnya al mutasyabihin (para tokoh hadits yang memiliki kesamaan); seperti yang sama namanya atau kuniyah (julukan)nya atau yang lain, terutama untuk menilai apakah matarantai hadits yang diteliti itu sambung menyambung ataukah terputus. Dengan thabaqat ini dapat diketahui pula nama seorang tokoh hadits di level mana, apakah shahabat, apakah pasca shabat atau generasi berikutnya.
- Pembagian Thabaqat al-Ruwat berdasar generasi
Ada empat thabaqat yang pokok bagi ruwat/rijaalul (para perawi) hadits, yaitu :
- Shahabat sebagai Thobaqat Pertama
- Pengertian shahabat
Al-Shahabah الصحابة merupakan jamak dari صحابي Shahabi, secara bahasa diambil dari kata الصحبة Ash- Shuhbah, dan ini digunakan atas setiap orang yang bershahabat dengan selainnya baik sedikit maupun banyak. Ash-Shahabi menurut para ahli hadits adalah كل مسلم رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم setiap muslim yang pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meskipun tidak lama pershahabatannya dengan beliau dan meskipun tidak meriwayatkan dari beliau sedikitpun.[2] Imam Bukhari berkata dalam Shahihnya, وَمَنْ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ رَآهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَهُوَ مِنْ أَصْحَابِهِ “Barangsiapa yang pernah menemani Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam atau melihatnya di antara kaum muslimin, maka dia termasuk dari shahabat-shahabat beliau“.[3]Adapula ulama hadits yang mengartrikan shabat dengan منْ لقِي النَّبي صلى الله عليه وسلم مسلما و مات مسلما (siapa saja yang beretemu dengan Rasul dalam keadaan muslim dan wafat sebagai muslim). Dengan demikian siapapun yang sempat bertemu Nabi SAW dalam keadaan musim dan wafat sebagai muslim adalah shahabat. Tidak terkecuali, apakah mereka itu sempat meriwayatkan hadits ataukah tidak.
- Tingkatan shahabat
Para muhaddits menggolongkan shahabat kepada beberapa macam tingkatan, ada yang menggolongkan berdasar usia ketika bertemu dengan Rasul. Ada yang menggolongkan pada masa masuk Islam sebelum dan sesuah hijrah. Ada yang mengolongkan bedasar keislaman mereka apakah sebelum atau sesudah futuh Mekkah. Ada pula yang menggolongkan pada banyak atau tidaknya meriwayatkan hadits dari Rasul SAW. Yang jelas jumlah shabat itu tidak kuran dari 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) orang. Sedangkan yang ditingal wafat leh Rasul SAW sekitar 114.000 (seratus empat belas ribu) orang.
Ditinjau dari sudut banyak atau tidaknya meriwayatkan hadits, tingakatan shabat antara lain sebagai berikut: Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits. Sahabat-sahabat yang banyak meriwayatkan hadis, (lebih dari 1000 buah)ialah: (1) Abu Hurairah r.a beliau meriwayatkan hadits sebanayk 5374. Diantara 325 buah hadits disepakati oleh al-Bukhary-Muslim, 93 buah diriwayatkan oleh al-Bukhary sendiri dan 93 buah diriwayatkan oleh muslim sendiri. (2) Abdullah bin ‘Umar r.a hadis yang diriwayatkan beliau sebnayak 2630 buah, diantar jumlah tersebut yang muttafaq ‘alaih, sebanayak 170 buah, yang infrada bihi al-Bukhari sebanyak 80 buah dan infrada bihi Muslim sebanyak 31 buah. (3) Anas bin Malik r.a hadits yang diriwayatkan sebnayak 2286 buah. diantar jumlah tersebut yang muttafaq ‘alaih sebanyak 168 buah, 8 infrada bihi al-Bukhari dan 70 buah infrada bihi muslim. (4) Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a beliau meriwayatkan hadits sebanyak 2210 buah dari jumlah tersebut yang muttafaq alaih 174 , 64 buah haya diriwayatkan al-Bukhari (tanpa muslim); sebanyak 28 buah dan yang hanya diriwayatkan Muslim (tanpa al-Bukhri). (5) Abdullah ibn Abas r.a beliau meriwayatkan hadits sebnyak 1660 buah, dari jumlah tersebut yang muttafaq alaih sebanyak 95 buah, yang infarada bihi al-Bukhari sebanyak 28 buah dan yang infarada bihi Muslim sebanyak 49 buah. (6) Jabir bin Abdullah r.a beliau meriwayatkan hadits sebanyak 1540 buah dari jumlah tersebut yang muttafaq alaih sebanyak 60 buah yang infarada bihi al-Bukhari sebanyak 16 buah dan yang infarada muslim sebanyak 126 buah. (7) Abu Sa’id al-Khudry r.a beliau meriwayatkan hadits sebanyak 1170 dari jumlah tersebut yang muttafaq alaih sebanyak 46 buah yang infarada bihi al bukhari sebanyak 16 buah dan infarada bihi Muslim sebanyak 52 buah.
Ditinjau dari sudut kemasyhurannya, tingakatan shabat itu terdiri dari (a). Thabaqat Pertama (Shahabat). Thabaqat pertama adalah kalangan shahabat, dengan perbedaan kualitas di antara mereka. Nama-nama shahabat yang banyak meriwayatkan hadits atau yang paling masyhur di antaranya adalah: (1) Abu Bakr ash-Shiddiq (w. 13 H). (2) ‘Umar ibn al-Khaththab (w. 23 H). (3) ‘Utsman ibn ‘Affan (w. 35 H). (4). ‘Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H). (5) Anas ibn Malik (w. 93 H). (6) al-Bara ibn ‘Azib (w. 72 H). (7) Jabir ibn ‘Abdillah (w. 78 H). (8) Abu Sa’id al-Khudri (w. 74 H). (9) ‘Abdullah ibn ‘Abbas (w. 68 H). (10) ‘Abdullah ibn ‘Umar (w. 73 H). (11) ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-’Ash (w. 63 H). (12) Abu Musa al-Asy’ari (w. 50 H). (13) ‘Abdullah ibn Mas’ud (w. 32 H). (14) Abu Hurairah (w. 57 H). (15) ‘Aisyah Ummul Mu’minin (w. 57 H). (16) Ummu Salamah Ummul Mu’minin (w. 62 H)
- Tabi’in sebagai Thobaqat Kedua
a.Pengertian Tabi’in
Tabi’un atau Tabi’in (التَّابعُون atau التابعين) menurut bahasa, merupakan bentuk jama dari تابع atau تابعي (Tabi’ atau Tabi’iy) berarti yang mengikuti jejak atau yang melanjutkan. Sedangkan dalam istilah Ilmu hadits adalah orang yang bertemu dengan shahabat dalam keadaan muslim dan wafat sebagai muslim. Al-Khathib sebagaimana dikutip Ibn Shalah mendefinisikan dengan من صحب الصحابي (orang yang bersahabat dengan shahabat Nabi SAW).[4] Jadi Tabi’in itu tidak bertemu dengan Rasul, melainkan bertemu dengan shahabat. Al-Hakim Abd Alah menegaskan syarat Tabiin بأنه يكفي فيه أن يسمع من الصحابي أو يلقاه dengan mendengar riwayat dari shahabat secara langsu atau bertemu dengannya. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Tabi’in ialah من لقي الصحابي وروى عنه وإن لم يصحبه orang yang bertemu dengan shahabat Rasul SAW dan meriwayatkan hadits darinya, walau tidak sempat bergaul lama dengan shahabat.[5]
Jika ada yang sudah masuk Islam sejak jaman Rasul SAW masih ada, tapi tidak sempat bertemu dengan Rasul maka statusnya bukan shahabat melainkan Mukhodhrom (المخضرم), demikian pula bila ada orag yang hidup sejaman dengan Rasul tapi belum menyatakan diri sebagai muslim, baru masuk Islam setelah Rasul wafat. Orang yang demikian tidak bisa dimasukan pada golongan shahabat karena tidak sempet bertemu dengan Rasul dalam keadaan muslim. Banyak yang sudah menyatakan diri sebagai muslim di jaman rasul, tapi tidak sempat bertemu dengan Rasul SAW seperti (1) Abu Amr al-Syaibani, (2) Suwaid bin Gaflah al-Kindi, (3)Amr bin Maimun al-Audi, (4) Abd Khair bin Yazid al-Haiwani, (5) Abu Utsman al-Nahdy, (6) Abd al-Rahman bin Mull, (7) abu al-Halal al-Itki, (8) Au Muslim al-Khaulani, (9) Rabi’ah bin Zararah, (10) Abd Alah bin Tsaub, (11) al-Ahnaf bin Qais.
- Tingkatan Tabi’in
- Kibar al-Tabi’in
Kibar al-Tabi’in (كبار التابعين), seperti sa’id bin al-musayyib, adalah tabi’in senior yang banyak meriwayatkan hadits dari shabat Rasul SAW secara langsung, karena mereka sempat bertemu sampai dewasa. Mereka antara lain (1). al-Aswad ibn Yazid an-Nakha’i (w. 74 H). (2). Sa’id ibn al-Musayyib (w. 94 H). (3) Abu Wail al-Kufi (w. 82 H). (4) ’Abdurrahman ibn Abi Laila (w. 83 H). (5) ‘Atha ibn Yasar (w. 94 H). (6) ‘Alqamah (w. 61 H). (7) Masruq (w. 63 H). Sedangkan dalam riwayat lain dikemukakan bahwa yang termasuk tabi’in senior atau كبار التابعين penduduk Madinah antara lain سعيد بن المسيب: والقاسم بن محمد، وعروة بن الزبير، وخارجة بن زيد، وأبو سلمة بن عبد الرحمن، وعبيد الله بيع عبد الله بن عتبة، وسليمان بن يسار. Sedangkan di Kufah ada Uwes al-Qarni, Alqamah, al-Aswad, dan di Mekah ada senior tabi’in antara lain Atha’ bin Abi Robah. Menurut Imam Ahmad, yang termasuk Tabi’in senior juga adalah Alqamah dan al-Aswad. Adapun tokoh wanita yang termasuk Tabi’in senior antara lain Hafshah binti Sirin, Amrah binti Abd al-Rahman, dan Um al-Darda al-Shughra.
- al-Wustha min al-Tabi’in
Tabi’in pertengahan (الطبقة الوسطى من التابعين), seperti ibnu sirin, berada pada thobaqot yang meriwayatkan hadits mengutip dari sejumlah shahabat nabi yang panjang usia, mereka tidak sempat bertemu dengan shahabat yang wafat sebeum pertengahan abad petama hijri. Di antaranya adalah: (1) Hasan al-Bashri (w. 110 H). (2) Dzakwan al-Madani (w. 101 H). (3) Zaid ibn Aslam (w. 136 H). (4) Salim ibn ‘Abdillah ibn ‘Umar (w. 106 H). (5) Sa’id ibn Jubair (w. 95 H).(6) Sa’id ibn Abi Sa’id Kaisan (w. 120 H). (7) Syu’aib ibn Muhammad . (8) Thawus ibn Kaisan (w. 106 H). (9) asy-Sya’bi (w. 109 H). (10) ‘Abdullah ibn Buraidah (w. 115). (11) Abu Qilabah al-Bashri (w. 104 H). (12) ‘Abdullah ibn ‘Ubaidillah ibn Abi Mulaikah (w. 117 H). (13) ‘Abdurrahman ibn Hurmuz al-A’raj (w. 117 H). (14) ‘Ubaidullah ibn ‘Abdillah ibn ‘Utbah (w. 94 H). (15) ‘Urwah ibn Zubair (w. 94 H) (16) ‘Atha ibn Abi Rabah (w. 114 H). (17) ‘Ikrimah (w. 104 H). (18) ‘Amr ibn ‘Abdillah ibn ‘Ubaid (w. 129 H). (19) al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr (w. 106 H). (20) Mujahid ibn Jabr (w. Setelah 100 H). (21) Muhammad ibn Sirin (w. 110 H). (22) Muhammad ibn al-Munkadir (w. 130 H). (23) Nafi’ (w. 117 H). (24) Abu Burdah ibn Abi Musa al-Asy’ari (w. 104 H). (25) Abu Salamah ibn ‘Abdirrahman ibn ‘Auf (w. 94 H). (26) ‘Amrah bintu ‘Abdirrahman ibn Sa’d (w. Sebelum 100 H).
- Shighar al-Tabi’in
Tabi’in kecil صغار التابعين tingkatan ini adalah tabi’in yunior di banding thabt sebelumnya, karena lebih banyak meriwayatkn hdits dari Tabi’in senior di banding dari shahabat. Mereka hanya sempat bertemu dengan shahabat dalam jumlah sedikit saja conothnya al-Zuhri dan Qatadah. Thabaqat yang banyak meriwayatkan hadits dari kibarut tabi’in. Di antaranya adalah: (1) Ismail ibn Abi Khalid (w. 146 H). (2) Tsabit ibn Aslam (w. 127 H). (3) Sulaiman ibn Tharkhan at-Taimi (w. 143 H). 4. Simak ibn Harb (w. 123 H). (5) Shalih ibn Kaisan al-Madani (w. Setelah 130 H). 6. ‘Ashim ibn Sulaiman al-Ahwal (w. Setelah 140 H). (7) ‘Abdullah ibn Dinar (w. 127 H). 8. ‘Amr ibn Dinar (w. 126 H). 9. Qatadah (w. 117 H). 10. Muhammad ibn Muslim ibn Tadrus (w. 126 H). 11. Ibn Syihab az-Zuhri (w. 125 H). 12. Hammam ibn Munabbih (w. 132 H).
- al-Shughra min al-Tabi’in
Tingkatan الصُّغْرى من التَّابعين merupakan kelompok lebih yunior di banding tingkatan sebelumnya. Tingkatan ini merupakan generasi terakhir dari kalangan tabi’in, seperti Musa bin Uqbah dan al-A’masy. Kebanyakan mereka hanya bertemu dengan shahabat yang usianya panjang hingga akhir abad pertama. Shahabat yang wafat pada pertengahan abad pertama tidak bertemu dengan generasi ini. Hadits yang diriwayatkan oleh generasi ini lebih banyak dikutip dari kalangan tabi’in, sedikit sekali yang dikutip langsung dari shahabat. Thabaqat ini adalah generasi tabi’in junior, yaitu yang melihat 1 atau 2 orang shahabat, tapi tidak pernah mendengar riwayat hadits dari mereka. Di antaranya adalah: (1) Ibrahim an-Nakha’i (w. 96 H). (2) Ayyub ibn Abi Taimiyyah (w. 131 H). (3) al-Hakam ibn ‘Utaibah (w. 113 H). (4) Humaid ibn Abi Humaid (w. 142 H). (5) Khalid ibn Mihran (w. 141 H). (6) Salamah ibn Dinar (w. 140 H). (7) al-A’Masy (w. 147 H). (8) Abu az-Zinad (w. 130 H). (9) ‘Ubaidullah ibn ‘Umar al-’Umari (w. 147 H). (10) ‘Amr ibn Syu’aib (w. 118 H). (11) ‘Amr ibn Murrah (w. 116 H). (12) Muhammad ibn Ishaq (w. 150 H). (13) Muhammad ibn ‘Ajlan (w. 148 H). (14) Manshur ibn al-Mu’tamir (w. 132 H). (15) Musa ibn ‘Uqbah (w. 141 H). (16) Hisyam ibn ‘Urwah ibn Zubair (w. 145 H). (17) Yahya ibn Sa’id (w. 144 H). (18) Yahya ibn Abi Katsir (w. 132 H). (19) Yazid ibn Abi Habib (w. 128 H).
Ada juga Thabaqat yang hidup sezaman dengan rawi thabaqat tabi’in junior, namun tidak pernah bertemu dengan shahabat. Di antaranya adalah: (1) Jarir ibn Hazim (w. 170 H). (2) Sa’id ibn Abi ‘Arubah (w. 156 H). (3) Suhail ibn Abi Shalih (w. 138 H). (4) ‘Abdullah ibn ‘Aun ibn Arthaban (w. 150 H). (5) Ibn Juraij (w. 150 H). (6) ‘Uqail ibn Khalid (w. 144 H). (7) Muhammad ibn ‘Amr ibn ‘Alqamah (w. 145 H). (8) Hisyam ibn Hissan al-Azdi (w. 147 H)
- Tingkatan Atba al-Tabi’in
Atba al-Tabi’in أتْباع التَّابعِين sebagai generasi ketiga yang meriwayatkan hadits. Mereka menerima hadits dari kalangan al-Tabi’in, karena tidak semapat bertemu dengan shahabat. Thabat ini juga terdiri dari:
- Kibar Atba al-Tabi’in, كبار أتاع التابعين sebagai senior yang berguru pada Tabi’in, Di antaranya adalah: (1) Israil ibn Yunus (w. 160 H). (2) Zaidah ibn Qudamah (w. 161 H). (3) Zuhair ibn Mu’awiyah ibn Hudaij (w. 172 H). (4) Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H). (5) Salam ibn Sulaim (w. 179 H). (6) Syu’bah ibn al-Hajjaj (w. 160 H). (7) Syu’aib ibn Abi Hamzah (w. 162 H). (8) Syaiban ibn ‘Abdirrahman (w. 164 H). (9) ‘Abdullah ibn Lahi’ah (w. 174 H). (10) al-Auza’i (w. 157 H). (11) ‘Amr ibn al-Harits (w. Sebelum 150 H). (12) al-Laits ibn Sa’d (w. 175 H). (13) Malik ibn Anas (w. 179 H). (14) Muhammad ibn ‘Abdirrahman (w. 158 H). (15) Mis’ar ibn Kidam (w. 153 H). (16) Ma’mar ibn Rasyid (w. 154 H). (17) Hisyam ibn Abi ‘Abdillah Sanbar (w. 154 H). (18) Husyaim ibn Basyir (w. 183 H). (19) Hammam ibn Yahya (w. 164 H). (20) Abu ‘Awanah (w. 175 H). (21) Wuhaib ibn Khalid (w. 165 H). (22) Yunus ibn Yazid (w. 159 H)
- al-wustha min Atba al-Tabi’in, الوسطى من أتباع التابعين pengikut pertengahan, karena berguru atau meriuwayatkan hadits dari Tabi’in pertengahan pula. Thabaqat ini bisa disebut generasi pertengahan dari pengikut atau murid Tabi’in. Generasi pertengahan dari para pengikut tabi’in. Di antaranya adalah(1) Ibrahim ibn Sa’d (w. 185 H). (2) Ibn ‘Ulayyah (w. 193 H). (3) Isma’il ibn Ja’far (w. 180 H). (4) Jarir ibn ‘Abdil Hamid (w. 188 H). (5) Hafsh ibn Ghiyats (w. 194 H). (6) Hammad ibn Zaid (w. 179 H).(7) Hammad ibn Salamah (w. 167 H). (8) Khalid ibn al-Harits (w. 186 H). (9) Khalid ibn ‘Abdillah (w. 182 H). (10) Sufyan ibn ‘Uyainah (w. 198 H). (11) Sulaiman ibn Bilal (w. 172 H). (12) Syarik ibn ‘Abdillah (w. 177 H). (13) ‘Abdullah ibn Idris (w. 192 H). (14) ‘Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H). (15) ‘Abdul ‘Aziz ibn Muhammad (w. 186 H). (16) ‘Abdul Warits ibn Sa’id (w. 180 H). (17) ‘Abdul Wahhab ibn ‘Abdil Majid (w. 194 H). (18) ‘Abdah ibn Sulaiman (w. 187 H). (19) ‘Ali ibn Mushir (w. 189 H). (20) ‘Isa ibn Yunus (w. 187 H). (21) al-Walid ibn Muslim (w. 194 H). (22) Yazid ibn Zurai’ (w. 182 H).
- al-Shughra min Atba al-Tabi’in الصغرى من أتباع التابعين generasi yunior dari kalangan pengikut atau murid tabi’in. Di antaranya adalah: (1) Adam ibn Abi Iyas (w. 220 H). (2) Bahz ibn Asad (w. Setelah 200 H). (3) Hajjaj ibn Muhammad (w. 206 H). (4) Hammad ibn Usamah (w. 201 H). (5) Rauh ibn ‘Ubadah (w. 205 H). (6) Sulaiman ibn Harb (w. 224 H). (7) Abu Dawud ath-Thayalisi (w. 204 H). (8) adh-Dhahhak ibn Mukhallad (w. 212 H). (9) ‘Abdullah ibn Maslamah (w. 221 H). (10) ‘Abdullah ibn Numair (w. 199 H). (11) ‘Abdullah ibn Wahb (w. 197 H). (12) ‘Abdurrahman ibn Mahdi (w. 198 H). (13) ‘Abdurrazzaq ibn Hammam (w. 211 H). (14) ‘Abdush Shamad ibn ‘Abdil Warits (w. 207 H). (15) ‘Ubaidullah ibn Musa (w. 213 H). (16) ‘Ali ibn Hujr (w. 244 H). (17) Abu Nu’aim al-Mulai (w. 218 H). (18) Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w. 204 H). (19) Muhammad ibn Ja’far al-Hudzali (w. 193 H). (20) Muhammad ibn Khazim (w. 195 H). (21) Muhammad ibn Fudhail (w. 195 H). (22) Muhammad ibn Yusuf (w. 212 H). (23) Muslim ibn Ibrahim (w. 222 H). (24) Mu’adz ibn Mu’adz (w. 196 H). (25) Mu’tamir ibn Sulaiman (w. 187 H). (26) Muhammad ibn Isma’il al-Minqari (w. 223 H). (27) Hisyam ibn ‘Abdil Malik (w. 227 H). (28) Waki’ ibn al-Jarrah (w. 196 H). (29) Yahya ibn Adam (w. 203 H). (30) Yahya ibn Sa’id (w. 198 H). (31) Yazid ibn Harun (w. 206 H)
32. Ya’qub ibn Ibrahim (w. 208 H). - Para murid atba al-Tabi’in sering disebut تَبَع الأتبَاع terkadang disebut تبَع أتْباع التَّابعين ada juga yang mengistilahkan ألأخِذون من تَبَع الأتْباع (ulama yang mengambil hadits dari murid atba al-Tabi’in). Mereka tentu saja hanya bertemu dengan atba al-Tabi’in, tidal sempat bertemu dengan Tabi’in. mereka mengambil atau meriwayatkan hadits dari murid tabi’in. Generasi ini ini termasuk ulama yang secara ersmi menulis hadits dalam bentuk buku sumber yang sering disebut المَصَادر الأصليَّة (kitab sumber hadits primer). Dikatakan demikian karena buku kitab semacam ini berisi hadits yang diukumpulkan langsung olehnya yang bersumber dari gurunya dan matarantainya sambung menyambung hingga Rasul SAW. Seperti halnya generasi sebelumnya, thabaqat ini juga terdiri dari:
- Taba al-Atba yang senior كبار تبع الأتباع, Di antaranya adalah (1) Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H). (2) Ahmad ibn Mani’ (w. 244 H). (3) Ibn Rahuyah al-Marwazi (w. 237 H). (4) Ibn Abi Uwais al-Madani (w. 226 H). (5) Abul Yaman al-Himshi (w. 222 H). (6) Zuhair ibn Harb (w. 234 H). (7) Abu Bakr ibn Abi Syaibah (w. 235 H). (8)‘Abdullah ibn Yusuf at-Tinnisi (w. 218 H). (9) Abul Hasan ibn Abi Syaibah (w. 239 H). (10) ‘Affan ibn Muslim (w. 220 H). (11) Ibn al-Madini (w. 234 H). (12) ‘Amr ibn ‘Ali ash-Shairafi (w. 249 H). (13) Qutaibah ibn Sa’id (w. 240 H). (14) Muhammad ibn Basysyar (w. 252 H). (15) Muhammad ibn Rumh (w. 242 H). (16) Muhammad ibn ‘Abdillah al-Kharifi (w. 234 H). (17) Abu Kuraib (w. 248 H). (18) Muhammad ibn Katsir (w. 223 H). (19) Muhammad ibn al-Mutsanna (w. 252 H).(20) Muhammad ibn Yahya al-’Adani (w. 243 H). (21) Mahmud ibn Ghailan (w. 239 H). (22) Musaddad ibn Musarhad (w. 228 H). (23) Nashr ibn ‘Ali (w. 250 H). (24) Hannad ibn as-Sari (w. 243 H). (25) Yahya ibn ‘Abdillah ibn Bukair (w. 231 H). (26) Yahya ibn Ma’in (w. 233 H). (27) Yahya ibn Yahya ibn Bukair (w. 226 H). (28) Ya’qub ibn Ibrahim (w. 252 H).
- Generasi pertengahan dari Taba al-Atba. yang disebut الوسطى من تبع الأتبأع, juga merupakan generasi para peneliti dan sekaligus yang mempublikasikan hasil penelitiannya dalam berbagai kitab, Di antaranya: (1) Ishaq ibn Manshur (w. 251 H). (2) Abu Dawud as-Sijistani (w. 275 H).(3) Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari (w. 256 H). (4) Muhammad ibn Rafi’ al-Qusyairi (w. 245 H). (5) Muhammad ibn Yahya an-Naisaburi (w. 258 H). (6) Muslim ibn al-Hajjaj an-Naisaburi (w. 261 H).
- Yunior dari kalangan Tab al-Atba’ yang disebut ألصغرى من تبع الأتباع adalah yang hidup sekitar awal abad ke 4 hijri. Di antara tokoh yang berada di thabaqat ini adalah: (1) Ahmad ibn Syu’aib an-Nasai (w.303 H). (2)Muhammad ibn ‘Isa at-Tirmidzi (w.279 H). (3)Ibn Majah al-Qazwaini (w.273 H).
-=o0o=-
[1] Shahih al-Bukhari, juz XX h.54 no.5948
[2] Ibn Syarif al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir, I h.21
[3] shahih al-Bukhari, juz XI h.479
[4] muqaddimah Ibn Shlah, juz I h.67
[5] Ibn Katsir, الباعث الحثيث في اختصار علوم الحديث, juz I h.26