MENJAGA SYI’AR ALLAH (kajian Tafir al-Ma`idah:02) bagian keempat
MENJAGA SYI’AR ALLAH
(kajian Tafir al-Ma`idah:02) bagian keempat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آَمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
lanjutan tafsir kalimat
- وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.
Setelah manasik haji dilaksanakan secara tuntas, yang ditutup dengan tahalul yaitu menghalalkan apa yang diharamkan bagi yang ihram, serta meninggalkan tanah haram, maka berburu hewan diperbolehkan kembali. Penekanan dibolehkannya memburu, karena pada ayat sebelumnya dilarang selama ihram. Penggalan ayat ini memberi isyarat bahwa, apabila ibadah ritual seperti manasik haji telah usai dilaksanakan, maka hendaklah segera kembali ke tugas semula. Pelaksanaan ibadah ritual tidak menghalangi aktifitas social. Syari’ah mengajarkan keseimbangan antara kehidupan spiritual dengan kehidupan social. Perintah semacam ini tidak ada bedanya dengan larangan berniaga ketika adzan jum’at dikumandangkan. Namun setelah shalat jum’ah selesai dilakukan perintah berniaga berlaku kembali, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan ibadah shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. Qs.62(al-Jumu’ah):10.
Oleh karena itu, jika shlat jum’at telah usai dilaksanakan tidak perlu berlam-alama di masjid, melainkan segera kembali ke aktifitas semula. Demikian pula usai ibadah haji dan umrah, tidak perlu berlama-lama berada di Makkah, melainkan segera kembali ke kampong halannya masing-masing. Bahkan Rasul SAW setelah selesai melaksakan jumrah terakhir pada tanggal 13 dzl-Hijjah 10H, langsung menuju Mekah untuika thawaf wada dan langsung pulang ke Madinah, tidak bermalam satu malam pun di Mekah.
Adapun kaum muhajirin yang menginginkan lama di Makkah setelah melaksakan ibadah, hanya diizinkan Rasul selama tiga hari, sebagaimana sabdanya:
يُقِيمُ الْمُهَاجِرُ بِمَكَّةَ بَعْدَ قَضَاءِ نُسُكِهِ ثَلَاثًا
Kaum muhajirin muqim di Makkah, usai menunaikan manasik haji selama tiga hari saja. Hr. Muslim.[1]
Redaksi lainnya berbunyi:
مَكْثُ الْمُهَاجِرِ بِمَكَّةَ بَعْدَ قَضَاءِ نُسُكِهِ ثَلَاثٌ
Kaum muhajirin berada di Mekah pasca menunaikan manasik adalah selama tiga hari. Hr. Muslim.[2]
Dengan demikian jamaah haji maupun umrah yang bisa segera pulang, sebaiknya jangan melewati tiga malam berada di Mekah, bila telah selesai menukan manasik.
Diriwayatkan dari Aisyah perintah untuk segera meningalkan Mekah usai menunaikan manasik lebih tegas lagi. Rasul SAW bersabda:
إِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ حَجَّهُ فَلْيُعَجِّلِ الرِّحْلَةَ إِلَى أَهْلِهِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لأَجْرِهِ
Apabila salah seorang di antaramu telah selesai menunaikan ibadah haji, maka segera pulang ke keluarganya. Sssunguhnya yang demikian itu lebib besar pahalanya. Hr. al-Baihaqi, al-Darquthni, al-Hakim.[3]
Imam al-Hakim menandaskan bahwa hadits ini derajatnya shahih memenuhi syarat riwayat al-Bukhari dan Muslim, walau mereka tidak meriwayatkannya.[4]
Tidak dipungkiri, banyak kaum muslimin yang ingin berlama-lama berada di Mekah, walau ibadah haji dan umrah telah selesai, karena ingin meraih pahala yang banyak. Bahkan tidak sedikit kaum muslimin yang berada di Mekah sampai satu bulan penuh terutama di bulan ramadlan, karena ingin meroh banyak pahala I’tikaf di al-Haram. Isyarat ayat dan hadits ini hendaklah dijadikan acuan. Ternyata kalau ingin mendapatkan pahala yang banyak, tidak perlu berlama-lama di Mekah, bila manasik telah usai dilaksanakan, segeralah pulang ke keluarga untuk memenuhi hak dan tanggung jawab yang lainnya. Justru dengan menyegerakan pulang pada keluarga, pahalanya lebih besar di sisi Allah, sebagaimana ditandaskan dalam hadits di atas فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لأَجْرِهِ itulah yang lebih besar pahalanya.
Banyak hikmah dari perintah segera kembali ke kaluarga pasca ibadah haji dan umrah. Dari sudut kehidupan berkeluarga, sudah tentu mereka merindukan segera kumpul kembali. Apalagi jika yang umrah itu sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk mengayomi, bahkan menafkahi mereka. Ibadah yang bernilai tinggi juga seperti ibadah haji dan umrah, jangan sampai mengorbankan kepentingan anggota keluarga. Sedangkan dari sudut ekonomi, dengan banyak kaum muslimin yang berlama-lama di Mekah, maka biaya hidup semakin meningkat, fasilitas penginapan dan konsumsi semakin bertambah naik harganya. Dari sudut ibadah, Masjid al-Haram itu merupakan milik semua umat, maka mesti disediakan bagi mereka yang akan datang ke sana. Dengan berlama-lama di mekah, akan mengganggu jamaah lain yang akan datang menunaikan ibadah. Syari’ah Islam punya prinsip, bahwa dalam setiap hak individu ada hak orang lain yang mesti dipenuhi. Jangan terlalu lama di Mekah, agar memberi kesempatan pada fihak lain untuk berkunjung ke sana. Ibadah bukan hanya mementingan diri sendiri, tapi juga memberikan keseluasaan bagi fihak lain.
Ditekannya boleh berburu setelah usai ibadah ihram, bukan hanya isyaratkan menghalalkannya setelah diharamkan, tapi juga keharusan kembali berusaha mencari nafqah setelah berdo’a.
- وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka).
Secara histories, seperti telah dijelaskan di atas, ayat ini turun ketika ibadah haji wada. Kaum muslimin pada saat itu beramai-ramai menunaikan ibadah haji. Sedangkan empat tahun sebelumnya, orang musyrik yang menghalangi kaum muslimin untuk ibadah umrah di tahun Hudaibiyah. Penggalan ayat ini menyerukan agar kaum muslimin yang telah meraih kemenangan, jangan sampai bertindak sewenang-wenang terhadap orang yang telah berbuat salah di masa silam. Rasa benci terhadap orang yang pernah menghalangi ibadah, jangan memicu dendam, hingga berbuat aniaya. Kaum muslimin diseru untuk tetap berbuat adil kepada siapapun, termasuk pada orang yang membenci atau dibenci. Kebencian dan kemarahan tidak boleh mempengaruhi tindakan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Pada zaman jahiliyah, para penguasa Mekah tidak segan memeras orang yang ingin menunaikan ibadah di al-Haram. Setelah futuh Makkah, kaum muslimin mendapat kebebbasan beribadah di sana, tanpa halangan dan rintangan apa pun. Hal ini berlangsung berabad-abad. Namun pada jaman kekuasaan para syarif, pernah muncul kembali para penguasa mengomersilkan ibadah haji dan umrah untuk kepentingan meraih keuntungan mereka. Namun al-Hamdulillah setelah Makah dikuasai oleh dinasti Su’ud tidak ada lagi pemerasan pada para jamaah haji dan umrah. Bahkan pemimpinnya menobatkan dirinya sebagai khadim al-Haramain, pelayan tamu Allah, setidaknya ketika buku ini ditulis (tahun 1437H), jamaah haji dan umrah dilayani secara baik oleh pemerintah Saudi. Semoga berlangsung terus hingga akhir zaman, tidak ada pemerintah yang menguasai Mekah berbuat jahat seperti jaman jahiliyah. Namun tentu saja penggalan ayat ini berlaku sepanjang masa, setiap kaum muslimin khususnya yang menunaikan ibadah haji dan umrah jangan bertindak sewenang-wenang terhadap orang yang membenci dan yang dibenci. Tegasnya ibadah haji dan umrah juga mesti berfungsi sebagai penghapus rasa dendam, dan mendorong untuk adil dalam segala tindakan, kepada fihak mana pun dan kepada siapa pun.
Rasa benci ataupun dendam jangan sampai menimbulkan tidak adil dalam bertindak dan bersikap, sebagaimana ditegaskan pula pada ayat loainnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Qs.5:8
Perintah ayat ini untuk tetap adil kepada siapapun dan dalam kondisi apapun. Jika yang diadili itu orang yang dibenci, maka lebih baik menyerahkannya pada fihak lain. Saking pentingnya adil dan bahayanya zhalim, maka jangan memutus perkara dalam keadaan marah atau benci. Rasul SAW bersabda:
لَا يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ
Seorang hakim tidak dibenarkan memutus perkara dua orang yang bersengketa ketika dia sedang marah. Hr. al-Bukhari.[5]
Perintah adil, larangan dendam, diletakkan dalam rangakaian ayat ibadah haji dan umrah memberi isyarat bahwa ibadah ritual mesti berdampak pada jalinan yang baik kehidupan social. Di samping itu ibadah haji umrah juga mesti menghapus rasa dendam, benci dan menjauhi kezhaliman.
bersambung ke bagian ke 05
[1] Shahih Muaslim, no.2409
[2] shahih Muaslim, no.2411
[3] sunan al-Baihaqi, juz V h.259, Sunan al-Daruquthni, juz Vii h.73 dan al-Mustadrak, no. 1708
[4] al-Mustadrak al-Hakim, juz IV h.300
[5] shahih al-Bukhari, no.6625