MENJAGA SYI’AR ALLAH (kajian Tafir al-Ma`idah:02) bagian kedua
MENJAGA SYI’AR ALLAH
(kajian Tafir al-Ma`idah:02) bagian kedua
يَا أَيّÙهَا الَّذÙينَ Ø¢ÙŽÙ…ÙŽÙ†Ùوا لَا ØªÙØÙلّÙوا Ø´ÙŽØ¹ÙŽØ§Ø¦ÙØ±ÙŽ Ø§Ù„Ù„Ù‘ÙŽÙ‡Ù ÙˆÙŽÙ„ÙŽØ§ الشَّهْرَ الْØÙŽØ±ÙŽØ§Ù…ÙŽ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا Ø§Ù„Ù’Ù‚ÙŽÙ„ÙŽØ§Ø¦ÙØ¯ÙŽ ÙˆÙŽÙ„ÙŽØ§ آَمّÙينَ الْبَيْتَ الْØÙŽØ±ÙŽØ§Ù…ÙŽ يَبْتَغÙونَ Ùَضْلًا Ù…Ùنْ رَبّÙÙ‡Ùمْ ÙˆÙŽØ±ÙØ¶Ù’وَانًا ÙˆÙŽØ¥ÙØ°ÙŽØ§ ØÙŽÙ„َلْتÙمْ ÙَاصْطَادÙوا وَلَا يَجْرÙمَنَّكÙمْ شَنَآَن٠قَوْم٠أَنْ صَدّÙوكÙمْ Ø¹ÙŽÙ†Ù Ø§Ù„Ù’Ù…ÙŽØ³Ù’Ø¬ÙØ¯Ù الْØÙŽØ±ÙŽØ§Ù…٠أَنْ تَعْتَدÙوا وَتَعَاوَنÙوا عَلَى Ø§Ù„Ù’Ø¨ÙØ±Ù‘٠وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنÙوا عَلَى Ø§Ù„Ù’Ø¥ÙØ«Ù’Ù…Ù ÙˆÙŽØ§Ù„Ù’Ø¹ÙØ¯Ù’وَان٠وَاتَّقÙوا اللَّهَ Ø¥Ùنَّ اللَّهَ شَدÙيد٠الْعÙقَابÙ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.. Qs.5:02
lanjutan tafsir kalimat.
- وَلَا الشَّهْرَ الْØÙŽØ±ÙŽØ§Ù…ÙŽ dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram,
Bulan haram adalah bulan yang dihormati sejak diciptakan lani dan bumi, sebagaimana ditandaskan pada ayat lain:
Ø¥Ùنَّ Ø¹ÙØ¯Ù‘َةَ الشّÙÙ‡Ùور٠عÙنْدَ الله٠اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ÙÙÙŠ ÙƒÙØªÙŽØ§Ø¨Ù الله٠يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَات٠وَالْأَرْضَ Ù…Ùنْهَا أَرْبَعَةٌ ØÙرÙÙ…ÙŒ ذَلÙÙƒÙŽ الدÙّين٠الْقَيÙّم٠Ùَلَا تَظْلÙÙ…Ùوا ÙÙيهÙنَّ أَنْÙÙØ³ÙŽÙƒÙمْ وَقَاتÙÙ„Ùوا Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØ´Ù’رÙÙƒÙينَ كَاÙَّةً كَمَا ÙŠÙقَاتÙÙ„ÙونَكÙمْ كَاÙَّةً وَاعْلَمÙوا أَنَّ اللهَ مَعَ Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØªÙ‘ÙŽÙ‚Ùينَ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah[1] di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan-bulan itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa. Qs.9:36
Essensi ayat ini antara lain (1) perhitungan bulan dalam satu tahun sudah terjadi sejak diciptakan langit dan bumi, (2) terdapat empat bulan yang dihususkan sebagai bulan haram, (3) dilarang berbuat aniaya sepanjang tahun, (4) jika orang musyrik memerangi muslim, muslim mesti melawannya kapan pun terjadi. Sejak jaman nabi Ibrahim, ada ketetapan bahwa dalam satu tahun itu terdapat empat bulan yang dihususkan sebagai bulan haram, yaitu Dzu al-Qa’dah, Dzu al-Hijjah, Muharram dan Rajab. Rasul SAW bersabda:
Ø¥Ùنَّ الزَّمَانَ قَد٠اسْتَدَارَ كَهَيْئَتÙه٠يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَات٠وَالأَرْضَ السَّنَة٠اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا Ù…Ùنْهَا أَرْبَعَةٌ ØÙرÙÙ…ÙŒ ثَلاَثٌ Ù…ÙØªÙŽÙˆÙŽØ§Ù„Ùيَاتٌ ذÙÙˆ القَعْدَة٠وَ ذÙÙˆ الØÙØ¬Ù‘ÙŽØ©Ù ÙˆÙŽØ§Ù„Ù…ÙØÙŽØ±Ù‘ÙŽÙ…Ù ÙˆÙŽ Ø±ÙŽØ¬ÙŽØ¨Ù Ù…ÙØ¶ÙŽØ±ÙŽ Ø§Ù„Ù‘ÙŽØ°ÙÙŠ بَيْنَ جÙمَادÙÙŠ وَشَعْبَانَ
Sesungguhnya jaman itu berputar sesuai dengan keadaannya sejak penciptaan langit dan bumi. Satu tahun itu terdiri dari dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram; tiga bulan berturut-turut yaitu Dzul-qa’dah, Dzul-hijah, dan Muharram, dan yang satu berpisah ialah Rajab orang Mudlar, yaitu antara Jumadil-Akhir dan Sya’ban. Hr. Ahmad (164-241H), al-Bukhari (194-256H), Muslim (206-261H), Abu Dawud (202-275H).[2]
Pada empat bulan haram tersebut, awalnya dilarang berperang. Namun pembesar jahiliyah berani mengubah urutan bulan, hingga ada yang tiga belas bulan yang mengakibatkan kacau hitungannya. Mereka berbuat demikian demi mementingkan kelompoknya, baik dari sudut ekonomi atau pun politik utamanya dalam peperangan.[3] surat al-Ma`idah : 2 ini memerintah agar tetap menjaga kesucian bulan haram, dan melarang mengganggu syi’arnya. Surat 9 ayat 36 di atas menunjukkan bahwa bulan haram itu merupakan bulan kemuliaan, tapi jika orang musyrikin memerangi kaum muslimin, mesti dilawan kapan pun dan di mana pun terjadi. Larang perang di bulan haram, juga ditegaskan dalam surat al-Baqarah:217;
يَسْأَلÙونَكَ عَن٠الشَّهْر٠الْØÙŽØ±ÙŽØ§Ù…Ù Ù‚ÙØªÙŽØ§Ù„Ù ÙÙيه٠قÙلْ Ù‚ÙØªÙŽØ§Ù„ÙŒ ÙÙيه٠كَبÙيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبÙيل٠اللَّه٠وَكÙÙْرٌ بÙÙ‡Ù ÙˆÙŽØ§Ù„Ù’Ù…ÙŽØ³Ù’Ø¬ÙØ¯Ù الْØÙŽØ±ÙŽØ§Ù…Ù ÙˆÙŽØ¥ÙØ®Ù’رَاج٠أَهْلÙÙ‡Ù Ù…Ùنْه٠أَكْبَر٠عÙنْدَ اللَّه٠وَالْÙÙØªÙ’نَة٠أَكْبَر٠مÙÙ†ÙŽ الْقَتْل٠وَلَا يَزَالÙونَ ÙŠÙقَاتÙÙ„ÙونَكÙمْ ØÙŽØªÙ‘ÙŽÙ‰ ÙŠÙŽØ±ÙØ¯Ù‘ÙوكÙمْ عَنْ دÙينÙÙƒÙمْ Ø¥Ùن٠اسْتَطَاعÙوا وَمَنْ ÙŠÙŽØ±Ù’ØªÙŽØ¯ÙØ¯Ù’ Ù…ÙنْكÙمْ عَنْ دÙينÙÙ‡Ù ÙÙŽÙŠÙŽÙ…ÙØªÙ’ ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ كَاÙÙØ±ÙŒ ÙÙŽØ£ÙولَئÙÙƒÙŽ ØÙŽØ¨Ùطَتْ أَعْمَالÙÙ‡Ùمْ ÙÙÙŠ الدّÙنْيَا ÙˆÙŽØ§Ù„Ù’Ø¢ÙŽØ®ÙØ±ÙŽØ©Ù ÙˆÙŽØ£ÙولَئÙÙƒÙŽ أَصْØÙŽØ§Ø¨Ù النَّار٠هÙمْ ÙÙيهَا Ø®ÙŽØ§Ù„ÙØ¯Ùونَ Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya…. Qs.2: -217
Ayat ini mengisyaratkan antara lain: (1). Bulan haram adalah bulan yang patut dihormati, tidak boleh ada pertumpahan darah. Namun membiarkan kemunkaran, kekacauan lebih besar bahayanya di banding melanggar bulan haram. (2) Haramnya peperangan di bulan haram, telah dimansuh oleh Qs.2:217 ini, asalkan peperangannya demi menegakkan kalimah Allah, memberantas fitnah, menumpas kekufuran dan menjaga keamanan serta kesucian ibadah. (3) Setiap muslim harus tetap mewaspadai kafiein yang selalu berusaha mendorong murtad. Oleh karena itu di mana pun dan kapan pun, kalau kaum musrikin merencanakan perbuatan kekacauan bagi kaum muslimin, mesti dilawan. (4) Murtad adalkah dosa yang amat besar, dan bisa menghapus nilai amal yang telah diperbuat. (5) Amal orang kafir hingga mati, nilainya hangus, tidak berarti. Mereka bakal masukl neraka di akhir nanti. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa larangan perang di bulan haram, keberlakuanya sudah dimansuh sejak terjadi futuh Mekah, yaitu bulan ramadlan tahun 8 H, secara mutlak. Tegasnya menurut mereka, sejak tahun tersbut tidak ada lagi larangan perang di bulan apapun. Namun ulama lain berpendirian bahwa larangan tersebut tetap berlaku bagi penyerangan atau penyerbuan. Sedangkan bila ada yang menyerang atau ada yang menyerbu, maka kaum muslimin harus melawannya dengan perang walau terjadi di bulan haram. Perang yang dipetuntuk membela diri, membela Islam, membela kesucian al-Haram, tetap masih masuk kategori menghormati syi’ar Allah walau di bulan haram. Sedang penyerbuan mesti ditangguhkan di bulan lainya, maka bila sedang berperang diusahakan gencetan senjata untuk perdamaian. Perlu diketahui bahwa tiga bulan haram yang berturut-turut sangat erat kalitannya dengan prosesi ibadah haji. Bulan dzul-Qa’dah adalah persiapan ibadah haji. Bulan dzul-hijjag merupakan puncaknya ibadah haji. Sedangkan bulan Muharram sebagai bulan kepulangan jamaah haji ke tanah air masing-masing. Semua itu memerlukan kemanan dan Susana tenang dan damai.
Menjaga syi’ar bulan haram, yang berupa ibadah ritual hanyalah di bulan haji, karena bertepatan dengan musim haji. Sedangkan dalam tiga bulan haram lainnya tidak ada upacara khusus, baik bulan Muharam, bulan rajab ataupun Dzul-Qa’dah. Upacara menyambut Tahun baru Hijriyah maupun Miladiyah, merupakan produk budaya. Menyambut tahun baru Masehi, tidak terdapat dalam kitab suci, yahudi atau pun nashrani mana pun, atau sejarah agama apa pun. Dalam sejarah tidak tercatat adanya peristiwa penting pada 1 januari. Demikian pula menyambut tahun baru hijriyah, tidak terdapat tuntunannya dalam hadits, atsar shahabat atau pun tabi’in. Dalam sejarah juga tidak tercatat ada peristiwa penting pada tanggal 1 Muharram. Dengan kata lain tanggal 1 Muharram tidak memiliki keistimewaan, kecuali sebagai awal bulan haram.
Ø¥Ùنَّ الزَّمَانَ قَد٠اسْتَدَارَ كَهَيْئَتÙه٠يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَات٠وَالأَرْضَ السَّنَة٠اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا Ù…Ùنْهَا أَرْبَعَةٌ ØÙرÙÙ…ÙŒ ثَلاَثٌ Ù…ÙØªÙŽÙˆÙŽØ§Ù„Ùيَاتٌ ذÙÙˆ القَعْدَة٠وَ ذÙÙˆ الØÙØ¬Ù‘ÙŽØ©Ù ÙˆÙŽØ§Ù„Ù…ÙØÙŽØ±Ù‘ÙŽÙ…Ù ÙˆÙŽ Ø±ÙŽØ¬ÙŽØ¨Ù Ù…ÙØ¶ÙŽØ±ÙŽ Ø§Ù„Ù‘ÙŽØ°ÙÙŠ بَيْنَ جÙمَادÙÙŠ وَشَعْبَانَ
Sesungguhnya jaman itu berputar sesuai dengan keadaannya sejak penciptaan langit dan bumi. Satu tahun itu terdiri dari dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram; tiga bulan berturut-turut yaitu Dzul-qa’dah, Dzul-hijah, dan Muharram, dan yang satu berpisah ialah Rajab orang Mudlar, yaitu antara Jumadil-Akhir dan Sya’ban. Hr. al-Bukhari (194-256H) Muslim (206-261H), Abu Dawud (202-275H).[4]
Petunjuk Rasul SAW dalam mengisi bulan Muharram justru bukan dengan ihtifal (upacara) atau ritual tertentu, melainkan dengan shaum pada tanggal 9 dan 10 yang dikenal dengan shaum tasu’a dan ‘asyura.
عن بْن٠عَبَّاس٠رَضÙÙŠÙŽ اللَّه٠عَنْهÙمَا ÙŠÙŽÙ‚Ùول ØÙينَ صَامَ رَسÙول٠الله٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشÙورَاءَ وَأَمَرَ Ø¨ÙØµÙيَامÙه٠قَالÙوا يَا رَسÙولَ الله٠إÙنَّه٠يَوْمٌ ØªÙØ¹ÙŽØ¸Ù‘ÙÙ…Ùه٠الْيَهÙود٠وَالنَّصَارَى Ùَقَالَ رَسÙول٠الله٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙÙŽØ¥ÙØ°ÙŽØ§ كَانَ الْعَام٠الْمÙقْبÙل٠إÙنْ شَاءَ اللَّه٠صÙمْنَا الْيَوْمَ Ø§Ù„ØªÙ‘ÙŽØ§Ø³ÙØ¹ÙŽ Ù‚ÙŽØ§Ù„ÙŽ Ùَلَمْ يَأْت٠الْعَام٠الْمÙقْبÙÙ„Ù ØÙŽØªÙ‘ÙŽÙ‰ تÙÙˆÙÙÙ‘ÙÙŠÙŽ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ
Dari ibn Abbas diriwayatkan bahwa tatkala rasul melakukan shaum pada tanggal 10 muharram dan memerintahnya, shahabat bertanya: Wahai rasul bukankah hari tersebut dimuliakan oleh yahudi dan nashranai? Rasul bersabda: tahun depan, jika masih ada, insya Allah kita shaum pula tanggal 9 muharram. Namun tahun depannya tidak terjadi, karena keburu Rasul SAW wafat. Hr. Muslim.[5]
Dengan demikian mengisi bulan Muharram, berdasar hadits ini, bukan pada awal bulan, tapi pada tanggal 9 – 10, dengan malaksanakan shaum, dan tidak ada kaitannya dengan menyambut tahun baru hijrah, karena bilangan tahun hijri pada saat itu belum ditetapkan. Bila peringatan hijrah akan dilaksanakan, tentu yang cocok adalah pada bulan shafar atau rabi al-Awal. Persoalannya apakah ada dalam syari’ah, suatu ibadah berkaitan dengan peristiwa tertentu? Dalam syari’ah terdapat berbagai ibadah yang mesti dilaksanakan secara periodik, seperti shalat jum’at, shalat ied, shalat kusuf, shalat khusuf, shaum tasu’a, shaum asyura, shaum senin-kamis, shaum tanggal 13-14-15, dan manasik haji, tapi tidak satu pun dari ibadah tersebut berisi peringatan pada suatu peristiwa yang dialami Rasul SAW. Demikan pula meningikan syi’ar bulan haram, bukan dengan upacara tertentu, tapi justru dengan ibadah shaum. Rasul SAW pernah ditanya tentang shaum paling auatama dan shalat yang paling utama, sabda:
Ø£ÙŽÙْضَل٠الصَّلَاة٠بَعْدَ الصَّلَاة٠الْمَكْتÙوبَة٠الصَّلَاة٠ÙÙÙŠ جَوْÙ٠اللَّيْل٠وَأَÙْضَل٠الصّÙيَام٠بَعْدَ شَهْر٠رَمَضَانَ صÙÙŠÙŽØ§Ù…Ù Ø´ÙŽÙ‡Ù’Ø±Ù Ø§Ù„Ù„Ù‘ÙŽÙ‡Ù Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØÙŽØ±Ù‘ÙŽÙ…Ù
Shalat yang utama setelah shalat fardlu adalah shalat malam. Shaum yang paling utaa setelah ramadlan adalah di bulan Allah yaitu bulan haram. Hr. Muslim.[6]
Dalam hadits ini bulan haram itu juga dinaman sebagai Syahr Allah (bulan milik Allah). Penisbatan ini mengandung arti yang memeiliki keistimewaan atau memiliki kemuliaah, sama halnya dengan al-Masjid al-Haram dinamakan pula Bait Allah. Berdasar hadits ini memuliakan bulan haram adalah dengan ibadah shaum. Oleh karena itu upacara peringatan tahun baru, baik masehi ataupun hijri, hanyalah produk budaya. Bedanya adalah menyambut masehi, merupakan produk budaya kaum non muslim, sedangkan menyambut tahun baru hijri, merupakan produk budaya muslim. Karena kebudayaan, maka tata cara upacaranya pun di setiap daerah akan berbeda. Setiap muslim dituntut untuk pandai menyeleksi, mana budaya yang bisa dilestarikan, mana pula yang mesti dihapuskan.
Bersambung ke tafsir kalimat berikutnya. Insya Allah
[1] Menurut al-Baydlawi (tafsir al-Baydlawi, III h.144), kitab Allah di sini ialah al-Lauh al-Mahfuzh
[2] Musnad Ahmad, V h.37, Shahih al-Bukhari, III h. 1168, Shahih Muslim, III h.1305, Sunan Abi Dawud, II h.195
[3] Ibn Jarir al-Thabari (224-310H), Jami al-Bayan, X h.130
[4] Shahih al-Bukhari, V h.2110, Shahih Muslim, III h.1305, Sunan Abi Dawud, II h.195
[5] Shahih Muslim, II h.797
[6] shahih Muslim, no.1983