menyapu sepatu ketika wudlu dan masalah masbuq
Fiqih Hadits Riwayat al-Nasa’iy dari al-Mughirah bin Syu’bah tentang menyapu sepatu ketika wudlu dan masalah masbuq
- Teks Hadits dan Tarjamahnya
عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلَاةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا
Hadits dari al-Mughirah bin Syu’bah, menerangkan: Rasul SAW pernah tertinggal di perjalanan bersama saya. Ketika beliau telah qadla hajat, bertanya: Apakah ada air wudlu bersamamu? Kemudian saya menyerahkan sebuah ember. Beliau mencuci tangan dan wajahnya. Tatkala beliau hendak mencuci tangannya mengalami kesulitan karena lengan jubahnya sempit. Kemudian beliau mengeluarkan tangannya dari bawah jubah, hingga meletakan jubahnya di atas bahu. Setelah itu beliau mencuci kedua tangan, mengusap pangkal rambut dan menyapu kepala di atas sorbannya, kemudian mengusap kedua sepatunya. Kemudian beliau menaiki kendaraan, dan saya juga menaikinya. Tidak lama kemudian sampailah pada jamaah yang ternyata sedang melaksanakan shalat yang diimami oleh Abd al-Rahman bin Awf, dan sudah ruku satu raka’at. Tatkala merasa ada Rasul berma`mum, Abd al-Rahman mau mundur. Namun Rasul memberi isyarat padanya dan tetap beliau berma`mum. Tatkala Abd al-Rahman salam dari shalatnya, Rasul SAW berdiri, saya juga berdiri, dan ruku untuk menyelesaikan rakaat yang ketinggalan. Hr. Ahmad (164-241), Muslim (206-261H), al-Nasa`iy (215-303) dan al-Bayhaqi.[1]
- Syarah Kalimat
- تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُRasul SAW pernah tertinggal di perjalanan bersama saya. Perkataan تَخَلَّفَ berma’na تَأَخَّر عَن النَّاس ketinggalan oleh rombongan. Menurut riwayat Ahmad (164-241H), Rasul SAW, pergi pada perang Tabuk.[2] Kata al-Syawkani, peristiwa ini terjadi di akhir perang Tabuk yang terjadi tahun 9H.[3] Al-Maghirah saat itu mendampingi Rasul SAW, sehingga ikut terlambat tiba di Madinah. Beliau menyatakan تَخَلَّفْتُ مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْك (saya terlambat pulang bersama Rasul SAW pada perang Tabuk).[4]
- فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ Ketika beliau telah qadla hajat,
Melalui mata rantai Ubad bin Ziyad, masih riwayat Muslim, al-Mughirah menyatakan
فَتَبَرَّزَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم قَبْلَ الغَائِطِ فَحَملْتُ مَعَه إدَاوَة قَبْل صَلاةِ الفَجْر
(Rasul SAW ke luar menuju tempat buang air, maka saya membawakan tempat air sebelum shalat shubuh).[5] Dalam riwayat al-Bukhari (194-256H), Rasul SAW menyuruh al-Mughirah untuk membawakan tempat air,
فَانْطَلَق رَسُول الله صلى الله عليه وسلم حَتَّى توارى عَنِّي فَقَضَى حَاجَتَه (kemudian beliau pergi meninggalkanku sehingga tersembunyi dariku, kemudian qadla hajat).[6]
- قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ bertanya: Apakah ada air wudlu bersamamu?
Rasul SAW mengecek apakah al-Mughirah sudah mendapatkan air untuk berwudlu. Pada riwayat al-Ashbahani (w.430H), diterangkan bahwa Rasul SAW itu sebelum pergi ke tempat buang air minta bantuan al-Mughirah untuk membawa alat penampung air wudlu. Tatkala sudah buang air beliau menanyakan apakah air wudlunya sudah tersedia?[7] Dalam riwayat Ahmad, al-Mughirah berkata ثُمَّ رَجَعَ إلَيَّ وَمَعِي الإدَاوَة (Rasul kembali kepadaku, yang saat itu wadah air di tanganku).[8]
- فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ Kemudian saya membawakan sebuah ember.
Perkataan بِمِطْهَرَةٍ berasal dari kata طهر (suci), bisa dibaca بِمِطْهَرة bimathharah bisa juga بِمَطْهَرَة bimathharah berma’na alat bersuci, atau bejana yang berisi air untuk bersuci.[9] Seperti dikemukan di atas, al-Mughirah saat itu sudah menyediakan air untuk wudlu Rasul SAW. Dalam riwayat Ahmad dikemukakan bahwa al-Mughirah itu setelah dimintai bantuan kemudian menyiramkan airnya ke tangan Rasul SAW. Jadi saat itu Rasul SAW dibantu oleh al-Mughirah dalam prosesi wudlunya.
- فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ Beliau mencuci tangan dan wajahnya.
Menurut riwayat Ahmad melalui jalur Ya’qub,[10] Rasul SAW setelah mencuci kedua telapak tangganya, langsung menghirup air ke hidung dan mengeluarkannya, lalu berkumur. Setelah itu baru mencuci muka tiga kali.[11]
- ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ Tatkala beliau hendak mencuci tangannya mengalami kesulitan karena lengan jubahnya sempit. Dalam riwayat al-Nasa`iy (215-303H) ثُمَّ أرَادَ أنْ يَغْسِلَ يَدَيْه قَبْل أن يُخْرِجَهُمَا مِنْ كُمِّ جُبَّتِهِ فَضَاقَ عَلَيْه كُمَاهَا (beliau hendak mencuci kedua tangan sebelum tangannya dikeluarkan dari jubahnya, kemudian berkesulitan karena lengan jubahnya sempit).[12] Kalimat ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِberma’na شَرَعَ فِي كَشْف كُمَّيْهِ عَن ذِرَاعَيْه لِيَغْسِلَهُمَا (segera hendak membuka atau menyingsingkan lengan jubahnya dari pergelangan supaya bisa mencuci tangan).[13] فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ namun ternyata Rasul SAW berkesulitan untuk mencuci tangannya, karena lengan jubahnya sempit. Dalam beberapa riwayat diterangkan bahwa Rasul SAW, pada saat itu menggunakan jubah dari wol romawi buatan negeri Syam (Siria).[14]
- فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ Kemudian beliau mengeluarkan tangannya dari bawah jubah, Rasul SAW ketika mau mencuci kedua tangannya berkesulitan, karena menggunakan jubah yang berlengan panjang tidak bisa disingsingkan. Akhirnya beliau mengeluarkan tangannya dari bagian bawah.[15]
- وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ hingga meletakan jubahnya di atas bahu.Setelah mengeluarkan tangannya dari bawah jubah, Rasul meletakan jubah di atas bahunya, untuk memudahkan mencuci tangan dalam berwudlu.
- وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ Setelah itu beliau mencuci kedua tangan,
Dalam riwayat Ahmad diterangkan, فَغَسَلَ يَدَهُ اليُمْنَى ثَلاثَ مَرَّات وَيَدَه اليُسْرَى ثَلاثَ مَرَّات (kemudian Rasul SAW mencuci tangannya yang kanan tiga kali, lalu mencuci tangan yang kiri tiga kali).[16]
- وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ dan mengusap pangkal rambut dan menyapu kepala di atas sorbannya,
Menurut al-Syafi’iy (150-204H), mengusap pangkal rambut bagian depan dengan tangan berair, lalu menyapu sorbannya secara keseluruhan.[17] Dengan peristiwa ini timbul perbedaan penafsiran di kalangan ulama antara lain (1) menyapu kepala boleh sebagiannya, tedak perlu secara keseluruhan, karena jika disyaratkan menyeluruh tentu tidak akan sah kalau sisanya di luar sorban[18], (2) menyapu kepala, berdasar hadits ini mesti secara keseluruhan, karena kalau dibolehkan sebagian, Rasul tidak akan menyapu sorbannya sebagai pengganti menyapu kepala. Mengapa beliau tidak menganggap cukup dengan mengusap pangkal rambut bagian depannya saja.[19] Dalam riwayat Ibn Hibban menggunakan redaksi: وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِه وَفَوْقَ الِعمَامَةِ (dan mengusap pangkal rambut dan tutup kepalanya bagian atas).[20] Dengan demikian yang diusap oleh Rasul SAW itu adalah نَاصية dan عِمَامة . Menurut al-Nawawi ناصية itu adalah مقدم الرَّأس (kepala bagian depan).[21] Sedangkan dalam riwayat Ibn Khuzaimah (223-311H), وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِه وجَانِبَي عِمَامَتِه (beliau mengusap pangkal rambutnya dan kedua samping sorban penutup kepalanya).[22] Kalimat ini juga mengandung implikasi bahwa bolehnya menyapu sorban atau penutup kepala sebagai pengganti menyapu kepala mesti diawali dengan mengusap jambul (pangkal rambut bagian depan). Tanpa didahului mengusap pangkal rambut dengan tangan yang agak basah, maka tidak dibenarkan wudlunya, walau menyapu tutup kepala secara keseluruhan.[23]Adapun cara mengusap pangkal rambut sebelum menyapu penutup kepala, dapat dilihat pada hadits berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ قِطْرِيَّةٌ فَأَدْخَلَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْعِمَامَةِ فَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ وَلَمْ يَنْقُضْ الْعِمَامَةَ
Diriwayatkan dari Anas bin Malik mengatakan: Saya melihat Rasul SAW nerwudlu ketika bersorban besar yang menutupi kepalanya memasukan tangannya dari bawah sorban, kemudian mengusap kepala bagian depan dan tidak melepas sorban (yang menutupi kepalanya). Hr, Abu Dawud, Ibn Majah[24]. Namun menurut Ibn Hajar al-Asqalani, dalam mata rantainya ada rawi yang patut ditinjau kembali kualitasnya, karena nama Abu al-Ma’qil kurang dikenal bila disambungkan dengan Anas bin Malik.[25] Sedangkan sanad lainnya, termasuk ulama yang dapat dipercaya.[26] Menurut al-Hakim redaksi hadits ini agak asing sebab tidak mencantumkan kelanjutan dari mengusap pangkal rambut dengan menyapu sorbannya.[27] Walau dalam hadits ini tidak disebutkan lanjutannya dengan mengusap sorban penutup kepala, bukan berarti meninggalkannya, melainkan menjelaskan tentang cara mengusap pangkal rambut, setelah itu baru menyapu sorban penutup kepalanya.[28] Dengan demikian sebelum menyapu sorban dalam berwudlu diperlukan mengusap (jambul) pangkal rambut terlebih dahulu, tapi caranya tidak dirinci dalam hadits shahih; boleh dengan cara yang berbeda.
- وَعَلَى خُفَّيْهِ kemudian mengusap kedua sepatunya. Perkataan خُفيه merupakan rangkaian kata dari خُفّ yang berarti sepatu atau sarung kaki. Dalam riwayat lainnya menggunakan istilah أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ وَالنَّعْلَيْنِ (Rasul SAW mengusap bagian atas kedua jaurab dan na’layn).[29] Jawrab adalah pembungkus kaki dari kain, dan na’lyn berarti sandal atau sepatu. Dalam riwayat Ahmad ومسح بخفيه ولم ينزِعهما (kemudian Rasul SAW mengusap kedua sepatunya tanpa melepasnya terlebih dahulu). Mengusap sepatu atau sarung kaki tatkala berwudlu dengan tidak melepaskannya terdapat syarat yang mesti dipenuhi antara lain (1) ketika memakainya dalam keadaan suci, (2) melaksanakan shalat dengan sepatu atau sarung kaki yang diusap, ketika wudlu, (3) sampai waktu tertentu.
Syarat pertama berdasar pada hadits berikut:
عن الْمُغِيرَةِ قَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ فَقَالَ دَعْهُمَا فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا
Dari Al-Mughirah menerangkan: Saya pernah bepergian bersama Nabi SAW (ketika beliau wudlu) aku bermaksud mebuka sarung kakinya. Namun rasul bersbada: Biarkanlah, karena saya ketika memakai keduanya dalam keadaan suci. Kemudian beliau mengusap keduanya. Hr. al-Bukhari.[30] Menurut al-Nawawi (631-676H), ketentuan ini berlaku pula untuk bolehnya mengusap penutup kepala.[31] Artinya bila mengenakan tutup kepala itu dalam keadaan suci, maka tatkala wudlu tidak perlu membukanya cukup dengan mengusap pangkal rambut dan meyapu sorban atau kerudungnya.
Syarat kedua: Bila wudlunya mengusap khuffain, maka shalatnya mesti memakai khuffin tersebut jangan membuka sebelumnya. Syarat ini berdasar pada hadits lain yang menandaskan ثمَّ مَسَحَ عَلَى خُفَّيْه ثُمَّ يُصَلِّي (Beliau mengusap kedua sarung kakinya kemudian shalat),[32] yang tidak diselang dengan melepas sepatunya. Oleh karena itu menurut Wahbah al-Zuhayli, jika setelah wudlu dengan mengusap sarung kaki, kemudian melepas kedua atau salah satunya dari yang diusap itu, maka batal wudlunya.[33] Dalam riwayat lain, Anas bin Malik mengatakan bahwa Rasul SAW bersabda:إذَا تَوَضَّأَ أحَدُكُم وَلَبسَ خُفَّيْه فَلْيُصَلِّ فِيْهِمَا وَلْيَمْسَح عَلَيْهِمَا ثُمَّ لا يَخْلَعْهُمَا إنْ شَاء إلاَّ مِنْ جَنَابَةJika salah seorang di antaramu wudlu padahal sedang mengenakan sarung kaki maka shalatlah dengan keduanya dan usaplah atasnya, jangan dilepas kalau mau kecuali jika janabat. Hr. al-Daruquthni (260-360H), al-Hakim (321-405H), al-Bayhaqi (380-458H).[34] Menurut Ibn Hajar al-Asqalani (773-852H), sebagaimana dikutip al-Shan’ani (1059-1182H), derajat haditnya shahih,[35] kata al-Hakim sanadnya shahih memenuhi syarat al-Bukhari dan Muslim. Adapun sepatu, atau sarung kaki yang diusap adalah bagian atasnya. Perhatkan hadits berikut:
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
Diriwayatkan dari Ali r.a, mengatakan: andakan agama itu diatur berdasar rasio belaka, tentu saja mengusap bawah sepatu lebih tepat di bading atasnya. Namun saya melihat Rasul SAW, mengusap bagian atas keduanya. Hr. Abu Dawud (202-275H), al-Daruquthni (260-360H), al-Bayhaqi (3384-458H).[36] Terdapat riwayat Ahmad (164-241H) yang menerangkan bahwa Rasul توضأ فمسح أسفل الخف وأعلاه (berwudlu dengan menyapu sepatunya bagian atas dan bawahnya).[37] Namun sanad hadits ini cacat, kata Abu Zur’ah dan al-Bukhari tidak shahih.[38] Dengan demikian yang shahih adalah hanya menyapu bagian atasnya dari sepatu atau pun sarung kaki, sebagaimana diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib di atas. Syarat ketiga: masa dibolehkannya mengusap sepatu ada batasnya. Syuraih bin Hani pernah menghadap Aisyah menanyakan tentang batasan waktu untuk menyapu khuffain dalam berwudlu. Namun Aisyah mempersikan agar ditanyakan kepada Ali bin Abi Thalib. Kata Syuraih saya menanyakan tentang hal itu kepada Ali bin Abi Thalib, jawabnya:
جَعَلَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم ثَلاَثَةَ أيَّام وَلَيَاليهن لِلْمُسَافِر وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيْم Rasul SAW menetapkan jangka waktu mengusap khuffain ketika wudlu tiga hari tiga malam bagi yang bepergian, dan satu hari satu malam bagi yang berada di tempat tinggal. Hr. Muslim.[39] Terdapat riwayat Ahmad yang menerangkan bahwa Maimunah istri rasul pernah bertanya kepada Rasul SAW apakah tidak ada batas waktu dalam mengusap khuffain dalam berwudlu, jawab rasul betul tidak terbatas waktunya.[40] Dalam sanad hadits ini terdapat yang bernama Umar bin ishaq bin Yasar yang dianggap tidak kuat oleh al-Daruquthni. Ibnu Hibban meletakan dia pada kelompok orang yang dapat dipercaya.[41] Namun kata Ibn Hazm (w.456H), hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil, karena kedla’ifannya. Oleh karena itu yang shahih adalah tiga hari bagi musafir dan satu hari satu malam bagi muqim, sebagaimana riwayat Muslim dari Ali bin Abi Thalib.[42]
- ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ Kemudian beliau menaiki kendaraan, dan saya juga menaikinya. Setelah Rasul SAW berwudlu dengan mengusap al-Kuhuffain dan al-imamah, menaiki kendaraan lagi. Al-Mughirah pun ikut bersama Rasul SAW. Kalimat ini mengisyaratkan bahwa Rasul SAW dan al-Mughirah tidak langsung melaksanakan shalat setelah berwudlu. Dengan kalimat ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْت (kemudian beliau naik kendaraan dan aku pun menikinya), mengisyaratkan bahwa jarak antara tempat wudlu dengan tempat shalat agak jauh. Tidak mungkin beliau menaiki kendaraan bila wudlu beliau di tempat yang berdekatan dengan masjid. Tidak ditemukan keterangan yang menjelaskan latar belakang beliau tidak langsung melaksanakan shalat di tempat tersebut. Oleh karena itu beliau meneruskan perjalanan, yang kalau dilihat pada keterangan di atas, dari Tabuk menuju pulang ke Madinah.
- فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلَاةِ Tidak lama kemudian sampailah kepada jamaah yang ternyata sedang melaksanakan shalat. Al-Mughirah mengisahkan bahwa Rasul SAW bersamanya sampai di tempat tujuan yang ternyata kaum muslimin sedang melaksanakan shalat.
- يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ mereka shalat yang diimami oleh Abd al-Rahman bin Awf, Menurut redaksi Ahmad bunyinya adalah:فَوَجَدَهُمْ قَدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ يُصَلِّي بِهِمْ (Rasul SAW mendapatkan jamaah yang mengangkat Abd al-Rahman bin Awf menjadi imam shalat). Abd al-Rahman bin Awf lahir tahun 44 sebelum hijrah, termasuk salah satu dari sepuluh shahabat yang digembirakan surga, karena masuk Islam di awal kenabian bahkan sebelum Dar al-Arqam. Ketika Rasul SAW memerintah shahabatnya hijrah, putra Awf ini menaatinya pertama ke Habsyah, kembali ke Mekah, hijrah lagi ke Habsyah, kemudian ke Madinah. Tatkala beliau hijrah sampai di Madinah semua hartanya habis digunakan biaya perjalanan kaum muslimin. Rasul SAW mempersaudarakan Ibn Awf dengan Sa’d bin al-Rabi seorang Anshar yang kaya raya. Saat itu Sa’d bin al-Rabi menawarkan: أَيْ أَخِي أَنَا أَكْثَرُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَالًا فَانْظُرْ شَطْرَ مَالِي فَخُذْهُ وَتَحْتِي امْرَأَتَانِ فَانْظُرْ أَيُّهُمَا أَعْجَبُ إِلَيْكَ حَتَّى أُطَلِّقَهَا (wahai saudaraku saya penduduk Madinah yang kaya raya, lihatlah setengahnya, ambil untukmu! Saya juga punya dua istri, pilihlah yang mana yang menarik bagimu, aku akan ceraikan dia),فَإِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا فَتَزَوَّجْهَا (jika telah habis masa idahnya, nikahilah dia!).[43] Abd al-rahman bin Awf berkata: بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ دُلُّونِي عَلَى السُّوقِ (semoga Allah mencurahkan berkah bagimu pada keluragamu dan hartamu. Tunjukan padaku di mana pasar).[44] Setelah ditunjukinya pasar, Ibn Awf langsung bekerja keras, dan jual beli hingga akhirnya menjadi orang kaya di Madinah. Tidak lama kemudian dia mendapatkan seorang perempuan yang cantik dan menikahinya dengan maskawin emas sebesar kurma. Dia juga pernah bertekad jika ia memikul batu, maka lama kelamaan akan menjadi emas atau perak. Akhirnya, karena mempunyai kahlian dalam berbisnis, Abd al-Rahman menjadi orang kaya yang dermawan. Beliau pernah membeli tanah seharga empat ribu dinar kemudian ia bagi-bagikan untuk Bani Zuhrah, untuk para istri rasul, dan faqir miskin. Ia pernah membiayai tentara muslim untuk membeli lima ratus ekor kuda perang, dan pada suatu ketika seribu limaratus kuda. Menjelang akhir hayatnya, beliau menginfakkan 50.000 dinar ( 1 dinar = 4,25 geram emas) untuk fi Sabil Allah, dan 400 dinar (sekitar 5000 gram emas) untuk setiap shahabat yang ikut perang Badar dan masih hidup.[45] Akhirnya beliau wafat dalam usia 75 tahun, pada tahun 31 H / 652M. khalid Muhammad Khalid mengutip hadits yang menyatakan bahwa Abd al-Rahman bin Awf di akhirat masuk surganya sambil merangkak, karena terlalu kaya.[46] Namun perlu diingat bahwa hadits yang menyatakan tersebut dianggap bohong dan munkar oleh imam Ahmad Kata al-Razi tidak shah. Ibn al-Jawzi memasukannya pada kelompok hadits palsu.[47]
- وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً dan dia sudah ruku bersama jamaahnya satu raka’at. Dalam redaksi Ahmad ada tambahanفَأَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى الرَّكْعَتَيْن (maka yang didapatkan Rasul SAW tinggal satu rakaat dari yang dua raka’at). Sebagaimana dikemukan di atas, bahwa shalat ini adalah shalat shubuh.
- فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ Tatkala merasa ada Rasul berma`mum, Abd al-Rahman mau mundur. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa al-Mughirah hendak memberitahu Abd al-Rahman bin Awf tentang tibanya Rasul SAW. dia minta izin untuk memberitahunya, tapi Rasul mencegahnya. Tatkala Abd al-Rahman saat itu merasa bahwa di belakangnya ada Rasul berm’mum, berusaha mau mundur.
- فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ Namun Rasul memberi isyarat padanya dan tetap beliau berma`mum. Dalam riwayat Ahmad diterangkanفَصَلَّى مَعَ النَّاسِ الرَّكْعَةَ الْآخِرَةَ بِصَلَاةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ (Rasul SAW berjamaah dengan Abd al-Rahman satu rakaat terakhir). Dengan demikian Rasul pada saat itu menjadi ma`mum, yang diimami Abd al-Rhman bin Awf. Berbeda dengan yang pernah terjadi pada Abu Bakr. Saat itu Abu Bakr yang sedang jadi imam mundur jadi ma`mum, tatkala mengetahui Rasul tiba. Rasul SAW saat itu mempersilakan Abu Bakar tetap jadi imam, tapi tetap mundur. Tatkala selesai shalat, Rasul bersabda:يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ إِذْ أَوْمَأْتُ إِلَيْكَ أَنْ لَا تَكُونَ مَضَيْتَ (wahai Abu Bakr apa yang menyebabkanmu ketika saya isyaratkan untuk tetap malah mundur?). Abu Bakar menjawab:لَمْ يَكُنْ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يَؤُمَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (tidak mungkin seorang putra Abu Quhafah mengimami seorang Rasul SAW.) Hr. al-Bukhari.[48] Menurut sebagian ulama, peristiwa Abu Bakar itu belum menyelesaikan satu raka’at, sedangkan Abd al-Rhman bin Awf sudah raka’at kedua.
- فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Tatkala Abd al-Rahman salam dari shalatnya, Rasul SAW berdiri. Rasul SAW berdiri untuk menyempurnakan shalat yang kekurangan, setelah imamnya (Abd al-Rahman bin Awf) selesai salam.
- وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا saya juga berdiri, dan ruku untuk menyelesaikan rakaat yang ketinggalan. Al-Mughirah juga ikut berdiri seperti Rasul SAW dan melanjutkan shalat menyelesaikan raka’at terakhir. Perkataan قُمْتُ (saya berdiri) setelah قَامَ النَّبِي menimbulkan pertanyaan apakah al-Mugirah itu berma’mum pada Rasul SAW setelah Abd al-Rahman bin Awuf salam, ataukah masing-masing. Sebagian ulama menafsirkan bahwa Rasul SAW tatkala menyelesaikan shalat yang ketinggalan itu mengimami al-Mughirah. Pendapat tersebut mengambil dalil kalimat فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا (kami ruku untuk menyelesaikan raka’aat yang ketinggalan). Kalimat yang dikatakan al-Mughirah dianggap mengisyaratkan bersama-sama. Alasan lainnya adalah bahwa setiap shalat yang terdiri dari dua orang atau lebih, maka mesti mendirikan jamaah yang terdiri dari imam dan ma`mum. Rasul SAW bersabda:
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
tidak ada tiga orang di sutau tempat atau kampong yang tidak didirikan shalat berjamaah, kecuali bakal dikalahkan setan. Hendaklah kalian berjamaah, sungguh kambing yang dimakan srigala adalah yang memisahkan diri. Hr.Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Nasa`iy.[49] Hadits ini jelas menegaskan wajibnya berjamaah dalam shalat bila di suatu tempat itu terdiri tiga orang. Jika tidak mendirikan jamaah maka akan dikalahkan setan. Dalam hadits lain juga lebih ditegaskan oleh Samurah bin Jundub:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كُنَّا ثَلَاثَةً أَنْ يَتَقَدَّمَنَا أَحَدُنَا
Rasul SAW memerintah kita jika kita bertiga, hendaklah ada salah seorang maju ke depan menjadi imam. Hr. al-Tirmidzi.[50] Kedua hadits ini difahami oleh sebagian ulama berlaku umum, termasuk tatkala masbuq. Jika masbuk itu terdiri dari beberapa orang, maka salah satu di antara mereka mesti maju ke depan menjadi imam. Ulama lain beranggapan bahwa kalimat وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا itu tidak menunjukkan secara langsung bersama-sama, sebab bisa jadi Rasul SAW dan al-Mughirah, menyelesaikan shalatnya masing-masing, tidak mengangkat imam baru. Dalam hadits ini tidak disebutkan secara tersurat kedua beliau berjamaah lagi. Hadits yang mengharuskan berjamaah sebagaimana dikutip di atas tidak secara langsung berlaku bagi yang masbuq untuk mengengkat imam, karena awalnya sudah berjamaah. Adapun hadits dari Samurah, kesahihannya diperbincangkan, karena terdapat sanad yang bernama Isma’il bin Muslim dianggap dla’if oleh para muhaditsin. Al-Tirmidzi pun menganggap sebagai hasan gharib.
- Beberapa Ibrah
- Diperbolehkannya wudlu dibantu yang lain, sebagaimana Rasul SAW airnya dikucurkan oleh al-Mughirah bin Syu’bah.
- Mencuci anggota wudlu dilakukan dengan cara membasuhnya tiga kali, kecuali mengusap kepala hanya satu kali, baik ketika mash al-amamah atau pun yang normal.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ كُلَّهُ ثَلَاثًا ثَلَاثًا قَالَ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ مَسْحَةً وَاحِدَةً
Diriwayatkan dari Ibn Abbas ia melihat Rasul SAW berwdulu dan menerangkannya secara lengkap dengan tiga kali tiga kali. Kemudian ia mengatakan menyapu kepala dan kedua telinga dilakukan hanya satu kali saja. Hr. Abu Dawud dan al-Nasa`iy.[51]
- Jika memakai ‘imamah yang menutupi kepala seperti sorban, dan kerudung dalam keadaan suci, maka tidak perlu membukanya tatkala wudlu, cukup mengusap pangkal rambut dan menyapu bagian luar ‘imamah dengan kedua telapak tangan, sebagai pengganti mengusap kepala. Syaratnya adalah kerudung, sorban, atau tutup kepala tersebut dipakai hingga shalat.
- Khuff atau jawrab seperti sepatu, dan sarung kaki yang menutupi dua mata kaki yang dikenakannya tatakala suci, apabila batal wudlu, tidak perlu dibuka, cukup mengusap atasnya sebagai pengganti mencuci kaki.
- mencuci tangan dalam berwudlu, tidak boleh terhalang oleh lengan baju, sebagaimana Rasul mengeluarkan tangannya tatkala sulit disingsingkan.
- Ketentuan mash khuf dan amamah, berlaku tiga hari, bagi musafir, sehari-semalam, bagi muqim.
- Jika imam diperkirakan terlambat datang, hendaklah diangkat imam baru, supaya pelaksanaan shalat bisa tepat waktu. Abd al-Rahman bin Awf dibenarkan jadi imam, tatkala Rasul SAW terlambat hadir.
- Yang memiliki keutamaan tidak mesti selamanya jadi imam. Boleh saja yang lebih unggul berma’mum kepada yang lebih rendah seperti Rasul berma’mum kepada Abd al-Rahman bin Awf, walau mau mundur.
- Imam tetap, jika merasa khawatir terlambat datang, sebaiknya mempersilakan yang lain untuk jadi imam pengganti.
- Ma`mum boleh menggantikan imam bila diperlukan, seperti yang dilakukan Abu Bakar mempersilakan Rasul SAW maju untuk menggantikannya.
- Ma`mum yang masbuq begitu datang mesti langsung melakukan apa yang dilakukan imam. Menurut Ibn Hazm masbuq itu mengawalinya dengan takbir ihram dan langsung mengikuti apa yang sedang dilakukan imam. Adapun kekurangannya disempurnakan setelah imam selesai salam. Asul SAW bersabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
Seungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika ia takbir, maka takbirlah. Jika ia ruku maka rukulah. Jika ia sujud, maka sujudlah. Hr. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Turmudzi, Ibn Majah, al-Nasa`iy.[52]
Berdasar hadits ini ma`mum mesti mengikuti apa yang dilakukan imam. Sedangkan awal menjadi ma`mum adalah takbir al-Ihram. Oleh karena itu sejak takbir al-Ihram, ma`mum mesti langsung melakukan apa yang sedang dilakukan imam.
- Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apa yang mesti dilakukan yang masbuq bersama. Ada yang berpendapat bahwa ma’mum itu mesti mengangkat imam baru dan terus berjamaah dengan yang diangkat sebagai pengganti imam yang sudah selesai. Mereka punya pandangan bahwa kalimat al-Mughirah yang menyatakan فَصَلَّيْنَا مَا أَدْرَكْنَا وَقَضَيْنَا مَا سُبِقْنَا (kami shalat sesuai apa yang kami dapat, dan menyelesaikan yang belum dilakukan), memberi isyarat bahwa al-Mughirah berma’mum pada Rasul SAW, usai berma’mum pada Abd al-Rahman bin Awf. Ada pula yang berpendapat, bahwa ma`mum yang masbuq itu tidak perlu mengangangkat imam baru, sebab hadits al-Mughirah ini tidak mengisyaratkan Rasul menjadi imam baru, setelah Abd al-Rahman bin Awf usai menjadi imam. Sedangkan yang berpendapat tidak perlu mengangkat imam baru, memahami hadits ini bahwa Rasul menyelesaikan raka’at yang ketinggalan dengan cara masing-masing. -=o0o=-
[1] Musnad Ahmad, IV h.248, Shahih Muslim, I h.230, Sunan al-Nasa`iy, I h.87, Sunan al-bayhaqi al-Kubra, II h.92
[2] Musnad Ahmad, IV h.249
[3] al-Syawkani (w.1255H), Nail al-Awthar, III h.187
[4] al-Nasa`iy (215-303) al-Sunan al-Kubra, I h.100,
[5] Shahih Muslim, I h.317
[6] Shahih al-Bukhari, I h.142
[7] al-Musnad al-Mustakhraj al Shahih Muslim, I h.328
[8] Musnad Ahmad, IV h.249
[9] Syarh al-Nawawi ala shahih Muslim, III h.173
[10] Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’d bin Abd al-Rahman bin Awf, atba al-Tabi’in, wafat di Palestin tahun 208H.
[11] Musnad Ahmad, IV h.249
[12] al-Nasa`iy, al-Sunan al-Kubra, I h.100
[13] Shahih Muslim bi syarh al-Nawawi, I h.230
[14] Abu al-Darimi (181-255H), Sunan al-Darimi, I h.194, Abu Awanah (w.316H), Musnad Abi Awanah, I h.166, al-Hakim (321-405H), al-Mustadrak, III h.510,
[15] Abd al-Rahman al-Banna, al-fath al-Rabbani, V h.346
[16] Musnad ahmad, IV h.249
[17] Muhammad Idris al-Syafi’iy, al-Umm, I h.26
[18] Abu al-Ala al-Mubarakfuri (1283-1353H), Tuhfah al-Ahwadzi, I h.289
[19] Muhammad bin Abd al-Baq al-Zarqani (w.1122H), Syarh al-Zarqani, I h.115
[20] Abu Hatim Ibn Hibban (w.354H), Shahih Ibn Hibban, IV h.177
[21] Syarh al-Nawawi, III h.172
[22] Shahih ibn Khuzaimah, III h.72
[23] Abu Hatim Ibn Hibban (w.354H), Shahih Ibn Hibban, IV h.177
[24] Sunan Abi Dawud, I h.36, Sunan Ibn Majah, no.557
[25] menurut Ibn al-Qathan majhul; menurut al-Dzhabi tidak dikenal,
[26] al-Syawkani(w.1255H), Nayl al-Awthar, I h.195
[27] al-Mustadrak, I h.275
[28] Muhammad Syams al-Haq, Awn al-Ma’bud, I h.172
[29] Sunan al-Nasa`iy, no.125
[30] Shahih al-Bukhari, I h.85
[31] Syarh al-nawawi, III h.172
[32] Shahih Muslim, I h.229
[33] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami, I h.338
[34] Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, I h.279
[35] al-Shan’ani (w.1182H), Subul a-Salam, I h.60
[36] Sunan Abi Dawud, I h.42, Sunan al-Daruquthni, I h.204, Sunan al-Bayhaqi, I h.292
[37] Musnad Ahmad, IV h.251
[38] Abd al-Rahman al-Banna, al-Fath al-Rabbani, II h.70
[39] Shahih Muslim, I h.232
[40] Musnad ahmad, VI h.333
[41] al-Haytsami (w.807H), Majma’ al-Zawa`id, I h.258
[42] Ibn Hzm, Abu Muhammad Ali bin Ahmad (383-456H), al-Muhalla, II h.90
[43] Sunan al-Turmudzi, no.1856
[44] Shahih al-Bukhari, no.4684
[45] Khalid Muhammad Khalid, Rijal haul al-Rasul, h.345
[46] Rijal haul al-Rasul, h.342
[47] lihat: al-Asqalani (w.852H), al-Qaul al-Musadad, I h.9, / al-Dimasyaqi (w.751H), al-Manar al-Munif, I h.135, al-Zar’iy (751), Naqd al-Mnqul, I h.126
[48] Shahih al-Bukhari, VI h.2629
[49] Sunan Abi Dawud, hadits no.460, Sunan al-Tirmidzi, no.838, Sunan al-Nasa`iy, no.920
[50] Sinan al-Tirmidzi, I h.453
[51] Sunan Abi Dawud, no.114, Sunan al-Nasa`iy, no.101
[52] shahih al-Bukhari, no.365, Shahih Muslim, no.622, Sunan Abi Dawud, no.509, Sunan al-Turmudzi, n.329, Sunan al-Nasa`iy, no.786, Sunan Ibn Majah, no.866