PETIKAN ILMU HADITS DAN CARA BERTELADAN PADA RASUL SAW
Bagian Pertama
Apa itu hadits atau Sunnah
A. Latar Belakang
Allah SWT menciptakan manusia sebagai hamba-Nya, khalifah, dan pengemban amanah. Karena kedudukan manusia yang begitu tinggi dan mulia di atas makhluq lainnya, maka memerlukan pedoman yang lengkap dalam hidupnya. Allah SWT menurunkan pedoman hidup yang lengkap untuk manusia yaitu berupa kitab yang diturunkan melalui Rasul-Nya.
Dalam menempuh hidup berdasar kitab Allah tersebut diperlukan adanya figur dan petunjuk pelaksanaan yang rinci dan operasional (Qs.16:44). Allah SWT mengutus para Rasul-Nya sebagai figur bagi umatnya dalam melaksanakan segala aturan-Nya (Qs.9:33). Rasul yang diutus Allah SWT ke dunia, jumlahnya tidak ada yang tahu selain yang mengutus dan yang diutus oleh-Nya. Dari sekian banyak rasul yang diutus itu ada yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari yang lainnya (Qs.2:253). Demikian pula umat yang menjadi tanggung jawab pembinaannya ada yang sangat luas dan ada pula yang terbatas. Nabi Muhammad SAW yang diutus terakhir oleh Allah SWT, mempunyai tanggung jawab membina umat paling besar, karena bukan hanya satu suku atau satu bangsa, melainkan seluruh alam semesta (Qs.21:107). Oleh karena itu, saat ini bangsa mana pun dan umat di mana pun mereka berada, dalam menaati dan mencintai Allah SWT mesti mengikuti Rasul SAW. Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Qs.3:31.
Beliau juga merupakan Rasul yang menjadi uswah hasanah atau teladan terbaik bagi umatnya. Firman Allah SWT:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasul Allah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Qs.33:21
Ayat ini mengisyaratkan bahwa segala prilaku Rasul SAW itu menjadi teladan bagi umatnya, yang mengharap kehidupan di akhirat lebih baik dan mendapat rido dari Allah SWT. Persoalannya bagaimana metode dan cara berteladan pada Rasul itu? Apa saja yang mesti diteladani dari Rasul? Dari mana sumbernya untuk mendapatkan informasi tentang apa saja yang mesti diteladani?
B. Sunnah, Hadits dan Khabar
Sumber keteladan Rasul SAW sering diistilahkan Hadits, Khabar terkadang disebut al-Sunnah. Perhatikan gambar berikut:
Gambar ini memberi isyarat bahwa sumber keteladanan rasul itu terdiri dari tiga istilah yaitu al-Sunnah, al-Hadits dan al-Khabar.
a. Disebut Sunnah
Sumber teladan dinamai سُنَّة sunnah yang berarti tradisi, kebiasaan atau ketentuan, karena Rasul SAW menggunakan istilah ini seperti pada sabdanya:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاء الرَّاشِدِين المَهْدِيِّيْن
“Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidin yang mendapat petunjuk.” Hr. Abu Daud, al-Turmudzi.[1]
Dalam hadits lain, beliau juga menandaskan:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Barangsiapa yang tidak menyenangi sunnahku, maka bukan golonganku.” Hr. al-Bukhari.[2]
b. Disebut Hadits
Sumber teladan Rasul dinamakan حديث hadits yang berarti peristiwa, perkataan, atau kejadian. Rasul SAW menyebutkan tentang apa yang disampaikan sebagai hadits. Sabda-Nya:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ الدَّجَّالِ حَدِيثًا مَا حَدَّثَهُ نَبِيٌّ قَوْمَهُ إِنَّهُ أَعْوَرُ وَإِنَّهُ يَجِيءُ مَعَهُ مِثْلُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ فَالَّتِي يَقُولُ إِنَّهَا الْجَنَّةُ هِيَ النَّارُ وَإِنِّي أَنْذَرْتُكُمْ بِهِ كَمَا أَنْذَرَ بِهِ نُوحٌ قَوْمَهُ
“Tidakkah perlu kabarkan kepadamu tentang Dajal sebagai hadits yang tidak ada nabi yang menyampaikan pada kaumnya? Dajal itu berpandangan satu, yang membawa sesuatu yang menye-rupai surga dan neraka. Apa yang dikatakannya surga, sebenarnya neraka. Dengan ini aku ingatkan kamu seperti nabi Nuh mengingatkan kaumnya.” Hr. Muslim.[3]
Istilah hadits juga sering digunakan shahabat dalam menyampaikan apa yang disabdakan Rasul SAW. Contohnya antara lain Anas bin Malik ketika hendak menyampaikan sabda Rasul SAW tentang tanda hari kiamat, menandaskan:
لَأُحَدِّثَنَّكُمْ حَدِيثًا لاَ يُحَدِّثُكُمْ أَحَدٌ بَعْدِي
“Aku sampaikan hadits, yang mungkin tidak ada yang menyampaikannya satu pun sepeninggalku.” Hr.al-Bukhari.[4]
c. Disebut Khabar
Sumber teladan diistilahkan خبر khabar sering digunakan Rasul SAW, seperti pada sabda-Nya tentang khabar menarik:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ الشُّهَدَاءِ الَّذِي يَأْتِي بِشَهَادَتِهِ قَبْلَ أَنْ يُسْأَلَهَا
“Tidakkah perlu aku khabarkan pada mu tentang saksi yang terbaik? Dialah yang siap bersaksi sebelum diminta.” Hr. Muslim.[5].
Sabda-Nya tentang khabar yang menakutkan:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
“Tidakkah aku khabarkan padamu tentang dosa yang paling besar? Shahabat menjawab: Tentu saja wahai Rasul! Beliau bersabda: Menyekutukan Allah dan menyakiti orang tua.” Hr. al-Bukhari.[6]
(1). Arti Hadîts
Perkataan Hadîts diambil dari bahasa Arab حدث يحْدُث حُدوْثا حَدَثَة terkadang dibaca حَدَثَ terkadang dibaca حَدُثَ berarti “baru” sebagai lawan kata dari قَدُمَ. Kata حديث juga terkadang berarti خبر kabar, berita. الحديث: الجديد : الخبر [7] al-Hadîts berati baru atau kabar, berita. Jika disambungkan dengan perkataan lain, maka akan lain pula artinya seperti: حَدَثَ الاَمْرُ berati وَقَعَ “terjadi sesuatu”, َحَدَّث عن “menceritrakan”. Perkataan حَدِيْث juga bisa berarti peristiwa, atau kejadian[8].
Dalam al-Qur`ân banyak ditemukan istilah hadits baik dalam bentuk mufrad, حديث (disebut 18 kali) atau حديثا (disebut lima kali) atau dalam bentuk jama أَحَاديْث (tercantum lima kali). Sedangkan artinya sangat beragam. Arti Perkataan Hadits dalam al-Qur`ân menurut du penerjemah Indonesia dapat dilihat pada bagan berikut ini:
QS |
DEPAG RI |
M SAID |
4 140 |
Pembicaraan |
Omongan |
6 : 68 |
Pembicara-an |
Soal |
7:185 |
Berita |
Keterangan |
18:6 |
keterang-an |
– |
20:9 |
Kisah |
ceritra |
31:6 |
Perkataan |
cerita |
33:53 |
percakap-an |
mengobrol |
39:23 |
perkataan |
perkataan |
45:6 |
perkataan |
omongan |
51:24 |
Cerita |
ceritra |
52:34 |
Kalimat |
gubahan |
53:59 |
pembicaraan |
berita |
56:81 |
al-Qur`ân |
pernyataan |
68:44 |
Perkataan (al-Qur`ân |
omongan (al Qur’an) |
77:50 |
perktaan |
omongan |
79:15 |
kisah |
ceritra |
85:17 |
berita |
ceritra |
88:1 |
berita |
Cerita suatu kejadian |
4:42 |
kejadian |
perkataan |
4:78 |
pembicara-an |
perkataan |
4:87 |
perkataan |
omongan |
12: 111 |
cerita |
ceritra |
Memperhatikan bagan di atas, nampaklah bahwa istilah hadîts itu terkadang bermakna al-Qur`ân. Rasûl SAW juga pernah menyebut al-Qur`ân dengan أَحسن الحديث seperti diriwayatkan dalam beberapa kitab al-Sunan, dan terkadang menyebut hadîts pada apa yang disabdakannya[9]
Husayn Muhmamad Al-Damaghani berpendapat bahwa perkataan حدث yang tercantum dalam al-Qur`ân mempunyai lima ma’na : القول perkataan, yaitu pada Qs.2: 76 الخبر berita Qs.4:87 القران al-Qur`ân Qs.52:34والقصص kisah-kisah Qs.39:23 والعبرة, , pelajaran Qs.34:19. [10]
Lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut:
MAKNA PERKATAAN HADÎTS DALAM AL-QUR`ÂN
الخبر |
أَتُحَدِّثُونَهُمْ بِمَا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ) البقرة (Qs.2:75) |
القول |
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا) النساءQs.4:87)) |
القرآن |
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ( الطور34) |
القصص |
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا (Qs.3923) |
العبرة |
فَجَعَلْنَاهُمْ أَحَادِيثَ وَمَزَّقْنَاهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ ) سباء (19) |
Sedangkan menurut istilah ilmu hadits, arti hadîts akan beraneka ragam, tergantung pada pendekatan dan ilmu yang menjadi sorotannya, antara lain sebagai berikut:
Menurut Ibnu Hajar al-`Asqalani sebagaimana dikutip Ash-Shiddiqie, hadits ialah
ما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم من أقواله وأفعاله وتقريره
Segala yang datang dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan dan sikap Rasulullah SAW. [11]
Menurut Muhammad Ajaj al-Khathib, sebagaimana dikutip Endang Soetari, Hadits ialah
كُلُّ مَا أثِرَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مِنْ قَوْلٍ أوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّة أَوْ خُلُقِيَّة
.Segala sesuatu yang diberikan dari Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwalnya.[12]
Secara sepintas, memperhatikan kedua definisi ini tampaknya tidak ada batasan antara perkataan, sikap dan perbuatan Nabi yang terjadi setelah diutus ataukah sebelumnya. Persoalannya apakah hal ihwal Nabi SAW sebelum diutus termasuk hadîts? Secara umum pengertian hadits mencakup segala prilaku Rasul SAW sejak kelahirannya sampai wafat. Namun yang berlaku bagi syari’ah atau yang dijadikan sumber hukum adalah setelah Nabi diutus sebagai Raslul SAW.[13]
Walau tanpa dibatasi oleh waktu dan peristiwa, sebenarnya dengan menggunakan istilah مَا أثِر عَن النبِي secara tersirat sudah menunjukkan bahwa yang termasuk hadits itu adalah prilaku setelah kenabian. Sebelum Muhammad diutus jadi Nabi tidak bisa disebut Nabi.
Apakah segala prilaku Nabi menjadi hadîts? Ulama ushul-Fiqh membatasi bahwa yang namanya hadîts itu adalah yang berkaitan dengan syara‘ atau yang menjadi dalil syar’i. Sedangkan yang tidak berkaitan dengan syar’i tidak bisa dikategorikan hadîts. Perhatikan definisi hadîts sebagai berikut:
قَول الرسُول صلى الله عليه وسلم وَفِعْلُهُ وتَقْرِيْرُهُ مِمَّا يَصْلُح أَنْ يَكُوْنَ دَلِيْلاً لِحُكْمٍ شَرْعِي
Hadits ialah sabda, perbuatan, dan taqrir Rasulullah SAW yang tepat untuk dijadikan dasar hukum syara’[14].
Dengan demikian menurut definisi ini, prilaku Rasul yang tidak cocok untuk dijadikan dalil hukum, maka tidak bisa dikategorikan hadîts.
Ulama Fiqih mendefisikan hadîts dengan “ Segala sesuatu yang dicontohkan Rasulullah, tapi tidak tergolong pada wajib”.
Namun di fihak lain ada pula ulama yang berpendapat bahwa hadîts itu tidak hanya dari Nabi, melainkan dari shahâbat dan para tâbi’în. Dari situlah dikenal dengan istilah hadîts Marfû‘ (yang bernisbat pada Nabi), hadîts mawquf (bernisbat pada shahâbat) dan hadîts maqthu’ (bernisbat pada tâbi’în).[15]
(2). Arti Sunnah
Sunnah سنّة menurut bahasa berarti سِيْرة[16] prilaku, cara, dan jalan hidup. Kadang-kadang sunnah berarti hukum atau ketetapan dan tradisi yang sudah berjalan.[17]
Dalam al-Qur`an terdapat perkataan sunnah, cukup banyak. Oleh Depag RI ada yang ditarjamahkan, dan ada pula yang tidak ditarjamahkan. Lebih jelas bisa dilihat pada bagan berikut:
SURAT: AYAT |
REDAKSI AYAT |
h |
TARJAMAH DEPAG RI |
8:38 |
فَقَد مَضَت سُنَّةُ الأَوَّلِيْن |
266 |
sunnah |
15:13 |
وَقَدْ خَلَت سُنَّةُ الأَوَّلِيْن |
391 |
sunnatullah |
17:77 |
سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا |
436 |
sebagai suatu ketetapan |
18:55 |
سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ |
452 |
hukum Allah yg berlaku |
33:38 |
سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ |
674 |
sunnah/ketetapan |
35:43 |
فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا |
703 |
sunnah Allah |
|
|
|
|
40:85 |
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ |
771 |
Sunnah Allah |
48:23 |
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ |
841 |
hukum Allah yg telah ditetapkan-Nya |
17:77 |
وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا |
436 |
ketetapan kami |
3:137 |
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ |
98 |
hukuman-hukuman Allah |
4:26 |
وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ |
121 |
jalan-jalan |
Dengan memperhatikan tarjamah di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah “Sunnah” yang terdapat dalam al-Qur`ân ada yang berarti hukum-hukum, ketettapan, syari’ah, dan ada pula yang berarti jalan hidup. Jika perkataan sunnah disambungkan dengan lafzh al-Jalalah, maka berarti ketetapan atau hukum-hukum. Jika disandarkan pada manusia atau para nabi, maka sunnah berarti cara atau jalan hidup. Dengan demikian Sunnah al-Rasul berarti cara hidup atau tradisi Rasul SAW.
Muhammad Ajaj al-Khathib memberikan komentar tentang sunnah yang cukup luas maknanya antara lain sebagai berikut:
إِذا اطلق لفظ السنة في الشرع فانما يراد بها ما امر به الرسول صلى الله عليه وسلم ونهى عنه وندب إليه قولا وفعلا و لهذا يقال في أدلة الشرع الكتاب و السنة أي القرآن والحديث
Istilah Sunnah dalam syari’ah hanyalah bermakna segala perintah, larangan, dan anjuran Rasulullah SAW, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh karena itu telah dikenal bahwa dalil syara ialah al-Kitab dan Sunnah, yaitu al-Qur`ân dan Hadits. [18]
Memperhatikan komentar ini, jelas bahwa Muahmmad Ajaj menyamakan antara pengertian sunnah dengan pengertian Hadits. Beliau juga menandaskan bahwa sunnah dalam hal ini bermakna sama dengan makna hadits.[19] Namun dalam istilah fiqih, sunnah itu merupakan salah satu dari hukum:
هي كل ما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ولم يكن من باب الفرض ولا الواجب
Sunnah ialah segala yang telah ditetapkan dari Nabi SAW, tapi tidak termasuk pada kategori fardu atau wajib. [20]
Dalam fiqih berbahasa Indonesia biasanya dibedakan antara sunnah yang bermakna contoh Rasulullah SAW dengan sunnah hukum. Perbedaan tersebut dengan menggunakan istilah Sunat, pada hukum yang bersifat anjuran, dan sunnah untuk contoh Rasulullah SAW. Namun kadang-kadang, istilah sunat diartikan khitanan. Sampai saat ini belum diketahui siapa yang memberikan ketentuan tersebut.
Di fihak lain ada juga ulama yang membedakan antara pengertian sunnah dangan hadits. Menurut sebagian mereka Sunnah itu lebih luas maknanya dari hadits, karena mencakup segala aspek kehidupan. Namun di lain fihak ada yang berpendirian bahwa hadits lebih luas maknanya dari sunnah. Sunnah terbatas pada hal-hal yang dilakuan oleh Rasulullah SAW secara tradisi terus menerus dan ada unsur kesengajaan.
Perlu juga mendapat perhatian, ternyata sunnah yang mesti ditaati bukan hanya sunnah Rasulullah SAW, seperti dalam riwayat Muslim[21] ditandaskan bahwa sunnah itu ada yang hasanah dan ada pula yang sayyi’ah. Sunnah hasanah سنة حسنة ialah contoh dan teladan baik, atau merintis segala kebajikan. Sedangkan سنة سيئة sunnah sayi’ah ialah teladan buruk atau seponsor keburukan.
Kaum muslimin juga diperintah untuk mengikuti sunnah Rasûl SAW dan sunnah Khulafâ al-Rasyidin, sabdanya:
عَلَيْكُم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاء المَهْدِيِّيْن
Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk. [22]
Namun menariknya tidak ditemukan hadits yang menyuruh agar mentaati hadits al-khulafa al-Rasyidun. Itulah mungkin salah satu alasannya mengapa dalam ilmu hadits, istilah “hadits” itu lebih khusus maknanya dibanding dengan sunnah.
C.Definisi Hadits Sunnah dan khabar Rasul
Banyak ulama yang memberikan definisi tentang hadits, antara lain:
Abbas Hamadah menerangkan bahwa Hadits atau Sunnah Nabi yang menjadi teladan ialah:
كُلُّ مَا أثِرَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مِنْ قَوْلٍ أوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّة أَوْ خُلُقِيَّةأَوْ سِيْرَةٍ سَوَاء أَكَانَ ذَلِكَ قَبْلَ البِعْثَةِ أمْ بَعْدَهَا
“Segala yang didapat dari Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, persetuju–an, sifat khalqiyah (fisik), sifat khuluqiyah (perangai), siroh (jalan kehidupan), baik sesudah diangkat jadi Nabi atau pun sebelum diangkat jadi nabi.”[23]
Berdasarkan definisi ini, sumber hadits itu terdiri atas (1) ucapan Nabi SAW, (2) perbuatan Nabi, (3) perbuatan shahabat yang disikapi Nabi SAW, (4) sifat Nabi SAW yang diketahui sahabat, baik fisik maupun perangainya dan (5) riwayat kehidupan Nabi SAW. Namun, Ajaj al-Khathib mengartikan Sunnah atau Hadits Nabi sebagai berikut:
اقوال النبي صلى الله عليه و سلم وأَفْعَالُه وَتَقَارِيره مِمَّا يَصْلُح ُاَنْ يَكُوْنَ دَلِيْلاً لِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ
“Ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW yang tepat dijadikan dalil hukum syari’ah.”[24]
Dengan definisi ini, al-Khathib berpendapat bahwa Sunnah Nabi yang menjadi teladan itu hanya yang berkaitan dengan hukum syari’ah. Definisi tersebut memberikan batasan bahwa tidak semua prilaku Rasul SAW diyakini sebagai sumber hokum. Perlu diketahui bahwa ada prilaku Rasul berdasar petunjuk wahyu, ada yang bersifat manusiawi. Namun segala ucap, sikap dan prilaku Rasul yang berkaitan dengan aturan dan keputusan pasti berdasar wahyu, karena beliau tidak pernah mengambil keputuisan berdasar hawa nafsunya. Allah SWT berfirman: وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى () إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى dia tidak bicara atas dasar hawa nafsunya. Dia hanya berdasar wahyu yang diberikan padanya. Qs.53:3-4.
Dengan demikian semua hadits atau sunnah Rasul SAW pada dasarnya bersumber dari wahyu Allah, namun tidak sama dengan dengan al-Qur`an. Antara al-Qur`an dengan al-Sunnah memiliki persamaan dan perbedaan seperti berikut:
Perbedaan al-Qur’an dengan al-Sunnah
AL-QUR`AN |
AL-SUNNAH |
ISI DAN REDAKSI DARI ALLAH |
ISI DARI ALLAH REDAKSI NABI |
MUJMAL (pokok-pokoknya yang prinsipil) |
MUFASHAL (rinci, mendetail, operasional) |
FAHAM ATAU TIDAK, SELAMA DIBACA BISA BERNILAI IBADAH |
AGAR BERNILAI IBADAH, MESTI DIBACA DAN DIPAHAMI |
TIDAK ADA YANG DIHAPUS KEBERLAKUKANNYA |
ADA YANG DIHAPUS KEBERLAKUKANNYA (غير معمول به) |
REDAKSI DAN ISI MUTAWATIR |
TIDAK SEMUA REDAKSINYA MUTAWATIR |
DITULIS & DIBACA SEMUA SAHABAT |
HANYA OLEH SEBAGIANNYA |
Al-Sunnah secara garis besarnya terdiri dari al-Qudsiyah dan al-Nabawiyah. Al-Sunnah atau al-Hadits al-Qudsi ialah wahyu yang difirmankan Allah SWT dan dikutip oleh nabi. Yang membedakan antara al-Qudsi dengan al-Nabawi ialah terletak pada redaksinya. Hadits Qudsi berisi kutipan firman Allah SWT. Sedangan Hadits Nabawi isinya berasal dari Allah SWT dan redaksinya dari Nabi SAW. Di samping terdapat perbedaan, terdapat pula persamaan antara al-Qur’an dan al-Sunnah antara lain: (1) sebagai wahyu dari Allah SWT karena Rasul SAW tidak berbicara selain wahyu, (2) sebagai pedoman hidup dan sumber hukum, (3) menggunakan bahasa Arab, (4) tertulis oleh shahabat dan generasi berikutnya, (5) wajib ditaati, (6) mesti diajarkan, disebarluaskan dan dijaga keasliannya, (7) sejak rasul wafat tidak bertambah lagi.
Ditinjau dari sudut asal usulnya, hadits itu terdiri beberapa macam seperti berikut:
Jelaslah hadits itu terdiri qawli (ucapan), fi’li (perbuatan), taqriri (sikap persetujuan), hammi (rencana) dan tarki.
Dengan demikian, sumber hadits yang menjadi teladan itu terkadang langsung dari Rasul SAW dan terkadang dari Shahabat-Nya. Shahabat ialah:
مَنْ لَقِيَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم مُسْلِمًا وَمَاتَ عَلىَ إسْلاَمِهِ إمَّا مَنِ ارْتَدَّ بَعْدَهُ ثُمَّ أسْلَمَ وَمَاتَ مُسْلِمًا
“Shahabat ialah orang yang bertemu Nabi SAW dalam keadaan muslim dan mati sebagai muslim; walau pernah murtad asalkan kembali pada Islam dan wafat dalam keadaan muslim.”[25]
D. Contoh-contoh Hadits yang Menjadi Teladan
Banyak sekali macam-macam hadits ucapan, perbuatan, taqrir, rencana dan sikap Rasul SAW, antara lain:
1. Ucapan Nabi
Ucapan atau أقوال ialah segala yang disabdakan nabi dan didengar shahabat, baik yang berisi berita, perintah, larangan, ancaman, berita gembira atau pun lainnya. Perhatikan beberapa contoh berikut:
(a) Contoh Berita
Rasul SAW bersabda:
حُفَّتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga dikelilingi dengan sesuatu yang tidak disenangi. Neraka dikelilingi dengan sesuatu yang menyenangkan.” Hr. Muslim.[26]
(b) Contoh larangan
Rasul SAW bersabda:
لا تَبَاغَضُوا وَلا تَحَاسَدُوا وَلا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا وَلا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
“Janganlah kamu saling membenci, jangan saling iri, jangan saling bertentangan. Jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal seorang muslim meninggalkan (menjauhi) sesamanya melebihi tiga hari.” Hr. al-Bukhari, Muslim.[27]
(c). Contoh Perintah
Rasul SAW bersabda:
قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ
“Katakanlah: Aku beriman pada Allah dan istqamahlah!” Hr. Muslim.[28]
(d). Contoh Menyangkal
Rasul SAW bersabda:
لا عَدْوَى وَلا صَفَرَ وَلا هَامَةَ
“Tidak ada pemindahan penyakit, tidak ada sial di bulan shafar dan tidak ada roh gentayangan (hantu).” Hr. al-Bukhari.[29]
Pada jaman jahliyah, orang biasa menyembelih hewan berkaitan dengan kematian, maka Rasul SAW bersabda:
وَلاَ عَقْرَ فِي الْإِسْلَامِ
“Tidak ada penyembelihan yang berkaitan dengan upacara kematian dalam Islam.” Hr. Ahmad, Abu Daud.[30]
(e). Contoh Ancaman
Rasul SAW bersabda:
إِنَّهُ لَيُعَذَّبُ بِخَطِيئَتِهِ وَذَنْبِهِ
“Sesungguhnya dia disiksa disebabkan kesalahan dan dosanya.” Hr. al-Bukhari dan Muslim.[31]
(f). Perintah yang disertai ancaman
Rasul SAW bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ
“Demi zat yang diriku di tangan-Nya, hendaklah kamu memerintah yang ma’ruf melarang munkar atau Allah akan menimpakan siksa padamu. Kemudian kamu berdo’a ingin selamat darinya dan tidak dikabulkan.” Hr. Ahmad, al-Turmudzi.[32]
(g). Contoh Penggembira
Rasul SAW bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali yang tidak mau. Shahabat bertanya siapa yang tidak mau masuk surga? Rasul bersabda: Siapa yang menaatiku masuk surga. Siapa yang mendurhakaiku, berarti tidak mau masuk surga.” Hr. al-Bukhari.[33]
Ketika Rasul SAW memberikan berita gembira kepada orang yang mengurus anak yatim, sambil memeragakan dengan jari tengah dan telunjuknya bergandengan, bersabda:
َأَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا
“Saya dan pengurus anak yatim di surga seperti ini. Hr. Al-Bukhari.”[34]
(h) Perintah disertai pengembira
Rasul SAW bersabda:
ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Cintailah yang di muka bumi, niscaya kamu akan dicintai oleh yang di langit.” Hr. Ahmad, Abu Daud, al-Turmudzi.[35]
2. Perbuatan Nabi
Perbuatan atau أَفْعَال yang di-lakukan Nabi SAW, dan diketahui shahabat,[36] baik yang berkaitan dengan ibadah ritual maupun kehidupan sosial.
a. Contoh Ritual
(1) Berkaitan dengan shalat
Cara menjadi imam:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَفَّ النَّاسِ صَلاةً عَلَى النَّاسِ وَأَطْوَلَ النَّاسِ صَلاةً لِنَفْسِهِ
“Adalah Rasul SAW yang paling meringankan manusia dalam melakukan shalat bersama mereka. Namun beliau paling panjang shalatnya bila melakukannya sendirian.” Hr. Ahmad[37]
Cara shalat di kendaraan:
عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ
“Amir bin Rabi’ah menerangkan, Saya Melihat Nabi SAW shalat di atas kendaraannya, menghadap ke arah yang dihadapi kendaraannya itu.” Hr. al-Bukhari.[38]
Cara mengangkat tangan dalam shalat:
Abd Allah bin Umr bin al-Khathab menerangkan:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ مَنْكِبَيْهِ وَقَبْلَ أَنْ يَرْكَعَ وَإِذَا رَفَعَ مِنْ الرُّكُوعِ وَلَا يَرْفَعُهُمَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ
“Saya melihat Rasul SAW suka mengangkat tangan hingga lurus dengan bahu ketika mengawali shalat, ketika mau ruku dan ketika bangkit dari ruku. Beliau tidak mengangkat tangannya di antara dua sujud.” Hr. Muslim.[39]
(2) Perbuatan Rasul SAW yang berkaitan dengan shaum
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ
“Aisyah menerangkan: Adalah Rasul SAW suka melakukan shaum pada hari senin dan kamis.” Hr. al-Turmudzi.[40]
Aisyah dan Umu Salamah menerangkan peristiwa yang dialami Rasul pada bulan Ramadlan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ ثُمَّ يَصُومُ
“Rasul pernah keshubuhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi, kemudian beliau meneruskan shaumnya.” Hr. Muslim.[41]
(3) Af’al Rasul yang berkaitan dengan manasik haji
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيصَ الدُّهْنِ فِي رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ
“Aisyah menerangkan, Rasul SAW bila hendak ihram suka memakai wangi-wangian yang didapat. Kemudian nampak kelihatan kemilau rambut kepala dan jenggotnya setelah itu.” Hr. Muslim.[42]
Jumlah umrah dan haji Rasul SAW diterangkan berikut:
عَنْ قَتَادَةَ سَأَلْتُ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَمْ اعْتَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ عُمْرَةُ الْحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي الْقَعْدَةِ حَيْثُ صَدَّهُ الْمُشْرِكُونَ وَعُمْرَةٌ مِنْ الْعَامِ الْمُقْبِلِ فِي ذِي الْقَعْدَةِ حَيْثُ صَالَحَهُمْ وَعُمْرَةُ الْجِعِرَّانَةِ إِذْ قَسَمَ غَنِيمَةَ أُرَاهُ حُنَيْنٍ قُلْتُ كَمْ حَجَّ قَالَ وَاحِدَةً
“Dari Qatadah : Saya bertanya kepada Anas tentang berapa kali Rasul SAW berumrah? Beliau menerangkan bahwa Rasul berumah empat kali yaitu umrah perjanjian al-Hudaibiyah pada bulan dzul-Qa’dah hingga dihalangi musyrikin, umrah tahun berikutnya bulan dzul-Qa’dah bertepatan dengan perdamian, umrah Ji’ranah tatkala pembagian ghanimah peristiwa Hunain. Aku bertanya berapa kali beliau berhaji? Anas menjawab: Rasul berhaji satu kali.” Hr. al-Bukhari.[43]
Berdasar hadits ini Rasul SAW berumrah empat kali, yaitu: (1) Umrah Hudzaibiyah, (2) Umrah al-Qadla, (3) Umrah Ji’ranah dan (4) umrah yang beriringan dengan ibadah haji.
(4) Qurban
Aisyah menerangkan:
وَضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِسَائِهِ بِالْبَقَرِ
“Rasul SAW pernah berqurban atas nama istrinya dengan menyembelih sapi.” Hr. Ahmad.[44]
Anas bin Malik bercerita:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ وَيَضَعُ رِجْلَهُ عَلَى صَفْحَتِهِمَا وَيَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ
“Rasul SAW berkurban dengan dua ekor domba yang bagus. Saya melihat beliau meletakkan telapak kakinya di atas rusuk binatang, sambil menyebut nama Allah, bertakbir dan menyem-belihnya dengan tangan beliau sendiri.” Hr. al-Bukhari.[45]
b. Contoh Kehidupan Sosial
(1) Berkaitan dengan keluarga
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ
“Aisyah menerangkan: Adalah Rasul SAW bila mau bepergian suka mengundi antara para istrinya. Beliau pergi bersama istri yang mendapat undian gilirannya itu.” Hr.al-Bukhari, Muslim, Abu Daud.[46]
Dalam hadits ini tersirat bahwa: (1) Rasul SAW bila bepergian jauh suka membawa istrinya, (2) pemilihan istri yang akan dibawa dilakukan dengan digilir semacam arisan, (3) menegakkan keadilan dalam keluarga dan (4) memberikan hak yang sama pada semua istri.
(2) Berkaitan dengan ekonomi
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ لِي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي
“Jabir bin Abd Allah menerangkan: Nabi SAW pernah berutang padaku, kemudian membayarnya dan memberikan tambahan padaku.” Hr. Muslim.[47]
(3) Berkaitan dengan masyarakat
Rasul SAW selalu baik dan jelas dalam berbicara kepada orang lain.
عَنْ عَائِشَةَ رَحِمَهَا اللَّهُ قَالَتْ كَانَ كَلَامُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلَامًا فَصْلًا يَفْهَمُهُ كُلُّ مَنْ سَمِعَهُ
“Aisyah r.a menerangkan: Adalah Rasul SAW bila berbicara dengan bahasa yang jelas sehingga setiap yang mendengarnya selalu memahami apa yang dikatakannya.” Hr. Abu Dawud.[48]
Memilih waktu yang tepat untuk memberi nasihat:
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الْأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا
“Ibn Mas’ud menerangkan: Adalah Rasul SAW suka memilih hari-hari yang tepat dalam memberikan pelajaran, supaya kami tidak merasa bosan.” Hr. al-Bukhari.[49]
(4) Berkaitan dengan penegakkan hukum
عَنْ أَنَسٍ قَالَ جَلَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ بِالْجَرِيدِ وَالنِّعَالِ وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ
“Anas bin Malik menerangkan bahwa Rasul SAW dan Abu Bakar menghukum orang yang kecanduan khamr dengan menderanya dengan pelapah dan terompah sebanyak empat puluh kali”. Hr. al-Bukhari.[50]
(5) Berkaitan dengan perjuangan
Rasul SAW berjuang melalui da’wah secara bertahap.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أُنْزِلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعِينَ فَمَكَثَ بِمَكَّةَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ سَنَةً ثُمَّ أُمِرَ بِالْهِجْرَةِ فَهَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ فَمَكَثَ بِهَا عَشْرَ سِنِينَ ثُمَّ تُوُفِّيَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasul SAW menerima wahyu ketika berusia empat puluh tahun, kemudian tetap di Makah selama tiga belas tahun, kemudian diperintah hijrah. Beliau hijrah ke Madinah dan berada di sana selama sepuluh tahun hingga wafat.” Hr. Ahmad, al-Bukhari, [51]
Rasul SAW berjuang melalui perang melawan kejahatan dan menghancurkan kemusyrikan. Ibn Abbas menerangkan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا غَزْوَةَ الْفَتْحِ فِي رَمَضَانَ
“Sesungguhnya Rasul SAW berperang membebaskan kota Mekah hingga meraih kemenangan pada bulan Ramadlan.” Hr.al-Bukhari.[52]
Dalam riwayat Zaid bin Arqam diterangkan bahwa Rasul SAW berperang melawan kekejaman kaum musyrikin sampai sembilan belas kali.[53]
3.Sifat Nabi
a. Sifat Khuluqiyah
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا
“Anas bin malik menerangkan bahwa Rasul SAW adalah yang paling baik budi pekertinya.” Hr. Muslim.[54]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ إِنْ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِلَّا تَرَكَهُ
“Abi Hurairah menerangkan bahwa Rasul SAW tidak pernah mencela suatu makanan apapun. Jika beliau doyan maka memakannya dan jika tidak maka beliau tinggalkan.” Hr. al-Bukhari.[55]
b. Sifat Khalqiyah
Jabir bin Samurah menerangkan:
وَكَانَ كَثِيرَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ
“Adalah Rasul SAW berjenggot sangat lebat.” Hr. Muslim.[56]
Al-Barra menerangkan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ وَلَا بِالْقَصِيرِ
“Adalah Rasul SAW orang yang paling tampan wajahnya, paling indah perawakannya, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek.” Hr.al-Bukhari,[57]
4. Perbuatan Shahabat yang dibiarkan Rasul SAW
Perbuatan shahabat yang diketahui Rasul SAW dan beliau tidak menegurnya merupakan sumber teladan yang sering disebut hadits taqriri. Contohnya antara lain:
عَنْ أنس قال َسافَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فِيْ رَمضَانَ فَصَامَ بَعْضُنَا وَأفْطَرَ بَعْضُنَا فَلَمْ يَعِبْ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِر وَلا المُفطِر عَلَى الصَّائِمِ
“Kata Anas bin Malik: Kami bepergian bersama Rasul SAW pada bulan Ramadlan. Di antara kami ada yang berbuka dan ada pula yang tetap shaum. Yang shaum tidak mencela yang buka. Yang berbuka tidak mencela yang shaum.” Hr. Muslim, Abu Daud.[58]
5. Perbuatan Shahabat yang dikuatkan Rasul SAW
Shalat witir antara yang dilakukan sebelum atau sesudah tidur.
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَبِي بَكْرٍ مَتَى تُوتِرُ قَالَ أُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَقَالَ لِعُمَرَ مَتَى تُوتِرُ قَالَ آخِرَ اللَّيْلِ فَقَالَ لِأَبِي بَكْرٍ أَخَذَ هَذَا بِالْحَزْمِ وَقَالَ لِعُمَرَ أَخَذَ هَذَا بِالْقُوَّةِ
“Dari Abi Qatadah diriwayatkan bahwa Rasul SAW bertanya kepada Abu Bakar: Kapan anda shalat witir? Beliau menjawab sejak awal malam. Kemudian bersabda kepada Umar: Kapan anda shalat witir? Umar menjawab: Di akhir malam! Kemudian rasul bersabda kepada Abu Bakar: Engkau orang yang hati-hati!. Beliau bersabda pada Umar: Engkau orang yang kuat.” Hr. Ahmad Abu Daud.[59]
6. Perbuatan Shahabat yang diperbaiki Rasul SAW
Ammar Bin Yasir menyatakan pada Umar bin al-Khathab:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَنِي أَنَا وَأَنْتَ فَأَجْنَبْتُ فَتَمَعَّكْتُ بِالصَّعِيدِ فَأَتَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْنَاهُ فَقَالَ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا وَمَسَحَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ وَاحِدَةً
“Sesungguhnya Rasul SAW pernah mengutusku bersama engkau dalam satu tugas. Saya saat itu terkena junub maka berguling-guling di atas tanah (untuk mengganti mandi jinabat). Kemudian kita menghadap Rasul SAW dan menyampai-kannya. Rasul SAW bersabda: Sebenarnya anda cukup melakukan begini; beliau bertayamum dengan menyapukan telapak tangannya ke wajah dan pada kedua tangannya, satu kali. Hr. Al-Bukhari.”[60] Dalam riwayat Muslim dijelaskan:
وَضَرَبَ بِيَدَيْهِ إِلَى الْأَرْضِ فَنَفَضَ يَدَيْهِ فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
“Rasul SAW mengenakan telapak tangannya pada bumi dan meniupnya, lalu mengusapkan telapak tangannya pada wajah dan dua kaf (punggung dan telapak tangan)nya.” Hr. Muslim.[61]
7. Rencana Rasul SAW
Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ketika Rasul SAW berhasil menaklukan Mekah (Ramadlan 8H), beliau menetapkan rencana sambil berdo’a kepada Allah SWT untuk menaklukan kerajaan Romawi dan Parsi sehingga turunlah Qs.3:26-27.[62] Rencana tersebut terlaksana pasca Rasul SAW wafat. Kerajaan Parsi dapat ditaklukan pada jaman kekhalifahan Abu Bakar dan Romawi ditaklukan pada jaman Umar bin Khathab. Ibn Abbas menerangkan:
صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَنَا بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ صُمْنَا يَوْمَ التَّاسِعِ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Rasul SAW shaum pada tanggal sepuluh muharam dan memerintah kita untuk melakukannya. Kemudian shahabat bertanya: Wahai rasul bukankah hari itu yng dimuliakan yahudi dan nashrani? Kemudian Rasul SAW bersabda: Jika tahun depan saya masih hidup, akan melakukan shaum juga tanggal sembilan muharram. Namun, ternyata beliau tidak sampai tahun berikutnya karena wafat.” Hr. Abu Daud.[63]
8. Yang Sengaja Ditinggalkan Rasul SAW
Kesengajaan Rasul meninggalkan sesuatu, juga termasuk sumber teladan. Kategori ini ada yang menyebutnya sebagai حديث تركي. Contohnya cukup banyak, seperti Rasul SAW tidak menggunakan Jin dalam menggali parit Khandak, tidak minta bantuan mala`ikat untuk menghancurkan kaum musyrikin yang menyiksa Hamzah. Dalam hal ibadah shaum :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا كَامِلًا قَطُّ غَيْرَ رَمَضَانَ
“Ibn Abbs menerangkan Rasul SAW tidak melaksanakan shaum satu bulan penuh selain bulan Ramadlan.” Hr. Al-Bukhari.[64]
أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
“Aisyah r.a menerangkan: Kaum Qurasiy jaman jahiliyah melakukan shaum pada hari Asyura (tanggal 10 muharam). Tatkala sampai di Madinah, Rasul SAW melakukannya dan memerintahnya. Namun, ketika shaum Ramadlan telah difardlukan maka Rasul SAW meninggalkan shaum asyura. Maka barang siapa yang mau melakukannya, lakukanlah, atau tidak melakukannya. Hr. al-Bukhari.[65]
Rasul SAW meninggalkan shalat sebelum atau sesudah shalat ied, sebagaimana diriwayatkan dari Ibn Abbas yang mengatakan:
خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيدٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلُ وَلَا بَعْدُ
“Rasul SAW keluar pada hari ied untuk shalat dua rakaat. Beliau tidak melakukan shalat baik sebelum maupun sesudah shalat ied.” Hr. al-Bukhari.[66]
Bagian Kedua
Tanggung Jawab Muslim terhadap sunnah dan bahaya menguingkarinya
A. Tanggung jawab muslim terhadap sunnah beradasar beberapa ayat al-Qur`an
1. Tanggung jawab muslim terhadap sunnah menurut qs.33:21
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sungguh telah ada pada Rasulullah itu teladan yang baik bagi orang yang mengharap ridla Allah dan kebahagiaan hari akhir serta dzikir kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya. Qs.33:21
Qs.33:21 ini menjelaskan tentang fungsi Rasul SAW sebagai uswah hasanah, suri teladan yang baik, bagi umatnya.
Dalam ayat tersebut ditandaskan bahwa Rasul itu sebagai uswah hasanah bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta dzikir kepada Allah. Dengan demikian seorang muslim bertanggung jawab menjadikan sunnah sebagai uswah hasanah dalam segala hal, baik dalam kehidupan yang bersifat taabudi (ritual) seperti dzikir maupun dalam kehidupan lainnya seperti menggunakan dunia untuk mencari bekal akhirat.
2. Tanggung Jawab Muslim Terhadap Sunnah berdasar qs.33:36
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi mu’min laki-laki maupun mu’min perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. Qs.33:36
Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Abdullah Bin Jahsy dan Zainab binti Jahsy. Rasul SAW melamar Zainab binti Jahsy untuk putra angkatnya, Zaid Bin Haritsah. Abdullah maupun Zainab berkebaratan untuk menerima lamaran Rasul untuk Zaid, karena dinilai tidak kafâ`ah. Menurut pertimbangan mereka, Zainab itu lebih tepat dinikah oleh Rasul SAW. Namun Rasul tetap ingin menikahkan Zainab kepada Zaid. Allah SWT menurunkan wahyu ini untuk menegaskan bahwa seorang mu`min baik laki-laki ataupun perempuan tidak sepatutnya membantah ketetapan Rasul SAW. Apapun yang ditetapkan Rasul harus diterima. Beliau melamar Zainab untuk Zaid bukan tidak mempunyai tujuan, melainkan mengandung tujuan mulia, terutama penetapan hukum Islam yang mengubah hukum jahiliyah. Zaid walau asalnya budak belian, telah dimerdekakan, maka statusnya telah sama dengan orang merdeka yang lainnya. Oleh karena itu tak sepatutnya keturunan Jakhsy menolak Zaid. Setelah ayat ini turun, maka Zainab dan Abdullah menerima Zaid, sebagai bukti kesetian terhadap ketetapan Allah dan Rasul-Nya. [67] Dengan demikian, menurut ayat ini, seorang muslim bertanggung jawab untuk menerima ketentuan sunnah Rasulullah SAW, tanpa tawar menawar lagi, walau ketentuan tersebut dinilai kurang cocok dengan adat kebiasaan. Nilai keimanan seseorang sangat terletak pada nilai kesetiaanya terhadap ketentuan Rasul SAW. Inilah bukti disiplin keimanan, yaitu mendahulukan kepentingan iman daripada kepentingan ras, atau kepentingan pribadi.
3. Tanggung Jawab Muslim Terhadap Sunnah Menurut qs.49:7-8. وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ () فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah, kalau ia menurut (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang orang yang mengikuti jalan yang lurus, sebagai karunia dan ni’mat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana”. (Qs.Al-Hujuraat,49:7-8)
Allah SWT menyeru dengan ayat ini, agar setiap muslim menyadari bahwa di kalangan mereka ada risâlah yang harus ditaati. Tak sepatutnya mereka mendahulukan pendapat atau keinginannya dengan mengesampingkankan risâlah, apalagi mendustakannya. Setiap mu`min hendaklah mendahulukan risâlah di atas yang lainnya, karena Rasul lebih tahu tentang kemaslahatan umatnya.[68] Nabi Muhammad secara fisik, memang telah tiada, karena beliau telah wafat. Namun risâlahnya tidak pernah sirna, karena dipelihara oleh Allah SWT. Walau Nabi Muhammad secara pribadi telah tiada, tapi sebagai rasul tetap ada di tengah-tengah kaum muslimin. Yang ada atau yang hadir bukan pribadinya, tapi risâlahnya. Tak layak jika saat ini ada yang mengaku dirinya sebagai nabi atau sebagai rasul, sebab yang mengaku itu berarti menda’wahkan rasul dalam situasi ada rasul. Ingatlah risâlah masih tetap berlaku. Oleh karena itu risâlah yang berlaku saat ini sampai akhir zaman adalah risâlah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada ayat ini ditandaskan bahwa Allah SWT lebih menanamkan iman kepada setiap muslim. Jika iman telah tertanam, maka iman itu menjadi indah dalam hatinya. Ia akan menjadi cahaya dalam segala panorama kehidupan. Akhirnya seorang mu’min akan benci kepada kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang yang mendapat bimibingan dan hidayah dari Allah SWT. Orang yang demikian berarti telah menerima karunia dan keni’matan yang sangat besar dari Allah SWT. Betapa bahagia orang yang beriman dan setia atas segala ketetapan Rasul SAW. Ayat ini turun pada zaman shahâbat yang sangat setia seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali. Mereka tentu saja tidak pernah membantah apa yang diperintahkan oleh Rasul SAW. Namun walau demikian, jika Rasul SAW mengikuti keinginan mereka, umat manusia akan menemui berbagai kendala dan kesulitan. Apalah dikata, jika ajaran Rasul SAW itu harus dikalahkan oleh ajaran manusia saat sekarang. Abu Sa’id al-Khudri,[69] setelah membaca Qs.49:7-8 ini berkomentar:
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ قَالَ هَذَا نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوحَى إِلَيْهِ وَخِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ لَوْ أَطَاعَهُمْ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْأَمْرِ لَعَنِتُوا فَكَيْفَ بِكُمْ الْيَوْمَ
Ingatlah bahwa di kalangan kalian ada Rasul Allah! Jika beliau harus mengikuti keinginan kalian, maka kalian akan menghadapi kesulitan. Inilah Nabi kalian SAW yang mendapat wahyu, ini pula shahabatnya sebagai pemimpin terpilih bagi kalian. Jika beliau mengikuti keinginan shahabat, dalam beberapa urusan, maka mereka akan menemui kesulitan. Bagaimana keadaan kalian saat ini (yang tidak sama keadaannya dengan shahabat)? Hr. al-Turmudzi.[70]
Jika Rasul mengikuti keinginan shahabat yang padahal nereka itu pemimpin terpilih dan orang shalih, umat akan menemu kesulitan. Apalagi jika hadits disesuaikan dengan keinginan manusia jaman sekarang, yang kurang terpilih, maka akan menghadapi kehancuran. Dengan demikian, tanggung jawab seorang muslim terhadap sunnah, menurut ayat ini adalah menjadikan ajaran Rasul sebagai filter dalam menghadapi segala ajaran yang ada. Bukan sunnah Rasul yang disesuaikan dengan ajaran manusia, tapi ajaran manusia mesti disesuaikan dengan sunnah Rasul.
4. Tanggung Jawab Muslim Terhadap Sunnah Menurut qs.59:7
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta rampasan (fai`) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.Qs.59:7
Secara historis, ayat ini berkaitan dengan pembagian harta rampasan. Ada sebagian muslim yang kurang puas atas ketetapan Rasul tentang harta rampasan, maka turunlah ayat ini.[71] Shahâbat dan anggota pasukan mulimin mesti rela menerima apa yang ditetapkan Rasul dalam pembagian rampasan. Mereka harus merasa puas atas segala ketetapan Rasul saw, walau dirasakan masih ada yang dipertanyakan. Ditegaskan pula pada ayat itu, bahwa ketentuan demikian guna mencegah monopoli orang kaya yang meni’mati harta. Islam tidak menghendaki harta kekayaan hanya dini’mati segelintir orang. Namun secara umum ayat ini berlaku atas segala ke-tentuan Rasul SAW baik yang dikatakan, diperbuat atau yang diizinkannya. Dengan demikian tanggung jawab seorang muslim terhadap sunnah Rasul, menurut ayat ini adalah menerima apa adanya dari apa yang ditetapkan, tidak boleh menambah atau menguranginya. Ketentuan semacam ini, sangat penting diper-hatikan terutama dalam masalah ibadah. Ibadah adalah bersifat tawqîfy, menunggu perintah. Apa yang diperintah lakukan, dan apa yang tidak diperintah tidak perlu diada-adakan. Membuat cara tertentu dalam masalah ibadah, termasuk bid’ah yang sangat tercela.
5. Tanggung Jawab Muslim Terhadap Sunnah Menurut qs.4:65
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka merasa tidak keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (Qs.An-Nisa,4:65)
Secara historis, ayat ini turun berkaitan dengan perselisihan shabat tentang air pertanian. Rasul memutuskan perselisihan mereka secara adil, tapi ada shahabat yang kurang puas, seakan-akan tidak menganggap Rasul sebagai hakim.[72] Oleh karena itu dengan tegas bahwa tidak termasuk mu`min bila tidak bertahkim kepada rasul SAW. Ayat ini memberikan ketegasan bahwa seseorang tidak akan dianggap sebagai orang mu`min sebelum menjadikan Rasul SAW sebagai hakim yang memutuskan apa yang diperselisihkan. Menjadikan Rasul sebagai hakim, saat ini adalah menjadikan sunnahnya sebagai sumber hukum. Dengan demkian hakim maupun yang dihukum tetap berdasar pada apa yang telah di tetapkan sunnah Rasul SAW. Dalam menjadikan hakim kepada Rasul, menurut ayat ini disaratkan juga mesti merasa puas dan rela atas putusannya; tidak sedikitpun rasa kecewa atau merasa berat untuk menerimanya. Jadi, tanggung jawab muslim terhadap sunnah Rasul, menurut ayat ini ialah (1) menjadikan sunnah Rasul sebagai sumber hukum, (2) merasa rela dan puas atas ketetapan sunnah Rasul, (3) tidak ada sedikit pun aturan sunnah Rasul SAW yang ditolak.
6. Tanggung Jawab Muslim Terhadap Sunnah Menurut qs.4:80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta’atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadikan pemelihara bagi mereka”. Qs. An-Nisa: 80
Menurut ayat ini, tanggung jawab muslim terhadap sunnah Rasul adalah mentaatinya seperti mentaati Allah SWT. Perintah taat kepada Allah SWT, dalam al-Qur`ân selalu dirangkaikan dengan perintah taat kepada Rasul SAW. Kadang-kadang perintah taat kepada Allah dan Rasul itu berbentuk `amar, atau perintanh langsung, kadang-kadang berbentuk khabar atau berita. Perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang berbentuk amar seperti pada: Qs. 3: 32 dan 132; Qs. 4: 59; Qs. 5: 92; Qs. 8: 1, 20, dan 46; Qs.24: 54 dan 56; Qs. 47: 33; Qs. 58: 13; Qs. 64: 12. Pada ke dua belas ayat tersebut, perintah taat pada Allah tidak dipisahkan dengan perintah taat kepada Rasul. Hal ini menunjukkan bahwa tak sempurna, taat kepada Allah tanpa disertai taat kepada Rasul.Adapun perintah taat kepada Rasul dengan menggunakan kalimat khabariyah antara lain tercatum pada Qs. 4: 13, 69, 80 yang menegaskanm bahwa taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah; Qs.24:52, Qs.33:71 dan Qs.48:17. Kemudian dalam Qs.26:80, 110, 126, 134, 131, 144, 150, 163, dan 179 dirangkaikan adanya taat kepada Allah dengan taat kepada Rasul. Ayat-ayat tersebut menunjukkan betapa tegasnya tanggung jawab seorang muslim dalam mentaati Rasul. Mentaati Rasul adalah dengan cara mengikuti sunnahnya.
7. Tanggung Jawab Muslim Terhadap Sunnah Menurut Qs.8:27
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan rasul-Nya; jangan pula kamu mengkhianati amanatmu, padahal kamu mengetauhi. Qs. 8: 27
Ayat ini melarang orang mu’min untuk berbuat khianat kepada Allah dan berkhianat kepada Rasul. Berkhianat kepada Allah antara lain dengan melanggar ketetapan al-Qur`ân, sedangkan berkhianat kepada Rasul di antaranya menyalahi sunnah.Dengan demikian tanggung jawab muslim menurut ayat ini ialah menjaga amanah risâlah. Menjaga amanah risâlah tidak hanya melaksanakan segala aturannya tapi juga meneruskan perjuangannya. Risâlah merupakan amanah Rasul yang harus dijaga dan dipelihara oleh setiap umat. Menjaga amanah risâlah ialah memelihara keutuhannya, mentaati segala aturannya dan menyebarluaskan kebenaran dan keberlakukannya.
B. Bahaya Mengingkari Sunnah
1. Bahaya Ingkar Sunnah Menurut qs.4:150-151
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا () أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
“Sesungguhnya Orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan) kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir kepada sebagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkatan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan” Qs.4:150-151
Menurut an-Nasafi,[73] yang dimaksud dengan orang kufur terhadap yang satu dan iman kepada yang lain ialah orang yahudi yang beriman kepada Musa tapi kufur kepada Isa dan orang nashara yang percaya kepada Isa tapi kufur kepada Nabi Muhammad saw.[74] Sedangkan yang dimaksud mengambil jalan antara itu ialah ragu atas kufur dan iman. Secara tersirat, terungkap pula dalam ayat ini, bahwa orang kafir itu terdiri atas empat golongan. Golongan pertama ialah orang yang kufur kepada Allah dan rasul-Nya secara keseluruhan. Orang yang demikian itu diberi peringatan atau pun tidak tetap tidak beriman (bandingkan dengan Q.S.2:6) Banyak contoh golongan ini yang diungkap dalam al-Qur`ân seperti Fir’aun, kaum ‘Ad, kaum tsamud, kaum Luth, dan Abu Lahab. Golongan kedua ialah orang yang memisahkan antara Allah dan para rasul-Nya. Mereka mengaku beriman kepada Allah tapi menolak rasul utusan Allah. Mereka mengakui ketuhanan tapi tidak meng-akui kerasulan. Mereka percaya pada Tuhan tapi tidak percaya pada Rasul. Contoh kelompok ini antara lain kaum inkar sunnah. Aliran kepercayaan atau para penghayat kepada Tuhan Yang Maha Esa juga meng-akui adanya Tuhan tapi tidak menerima ketentuan Rasul. Golongan ketiga ialah golongan orang yang mengaku beriman kepada Allah SWT tapi keimanan kepada rasul-Nya hanya sebagian saja. Juga termasuk pada golongan ini, orang yang hanya mau menerima sebagian hukum Allah, dan tidak mau menerima yang lain. Orang yang demikian hanya mau menerima hukum Allah dan rasul andaikata sesuai dengan hawa nafsunya atau falsafah hidupnya. Contohnya Shalat, shaum, haji, mau mengikuti ajaran Rasulullah saw, tapi nikah, pakaian, peradilan, hukum waris, tidak mau mengikuti ajaran Rasul saw. Golongan keempat adalah orang yang mencari jalan lain yang tidak berdasar al-Qur`ân maupun sunnah. Mereka lebih senang mengambil jalannya sendiri. Sebagian mufassir berpendapat bahwa ahli bid’ah adalah termasuk pada golongan ini. Pada penghujung ayat di atas ditandaskan:
أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
“Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya kafir.” Qs.4:151
Orang-orang yang mempunyai sifat sebagaimana diungkapkan pada ayat 150 di atas pada hakekatnya adalah kufur secara total. Antara kufur dan iman ada pemisah yang sangat jauh. Oleh karena itu jika salah satu saja dari rukun iman dilanggar, maka dianggap telah melanggar secara keseluruhan. Tidak ada istilah pertengahan antara kufur dan tidak. [75] Dengan demikian keempat golongan yang diungkap di atas menurut versi ayat ini adalah termasuk kafir yang sebenar-benarnya kafir. Itulah merupakan vonis dari Allah SWT atau orang yang tidak mau menerima Islam secara kâffah. Kemudian pada ayat lanjutannya ditandaskan: وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينا “Dan Kami sediakan bagi orang-orang kafir itu, adzab yang sangat menghinakan” . Dengan pengunci ayat ini, Allah SWT mengancam orang kafir dengan ancaman yang sangat berat yaitu siksaan yang sangat menghinakan. Allah SWT me-nyiksa orang kafir, bukan karena dzalim, tapi karena ulah mereka yang tidak tahu diri. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa orang yang me-misahkan antara hukum Allah dengan sunnah Rasul dianggap kufur secara keseluruhan yang diancam masuk neraka dengan siksa yang sangat berat. Dengan demikian, menurut Qs.4:150-151, orang yang meng-ingkari sunah Rasul itu bahayanya adalah: (1) dianggap mengkufuri Allah secara total, (2) diancam masuk neraka dengan siksaan yang sangat berat.
2. Bahaya Mengingkari sunnah menurut qs.24:63
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. Qs.24:63
Allah SWT, melalui ayat ini melarang kaum muslimin untuk menyamakan derajat Nabi Muhammad dengan manusia biasa. Secara historis, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hayyan, ayat ini berkaitan dengan teguran terhadap orang dusun Arab yang memanggil Rasul dengan panggilan Ya Muhammad. Di antara masyarakat juga ada yang berangsur-angsur menjauhi ketentuan Rasul, hingga berani melanggar-nya. Ayat ini mengancam bahwa Allah SWT mengetahui betul tentang ulah manusia yang bersikap pengecut itu, mereka akan menerima adzab yang sangat pedih. Dengan demikian, menurut ayat ini, orang yang mengingkari sunnah Rasul itu akan terjerumus kepada bencana yang sangat berat.
3. Bahaya Mengingkari sunnah menurut qs.3:32
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Katakanlah: “Ta’aitlah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”
Ayat ini memerintah agar Rasul menyeru umatnya untuk taat pada Allah dan Rasul-Nya. Jika berpaling dengan menolak ketaan pada Allah dan Rasul maka Allah membenci kafir. Jadi berdsar ayat ini, orang yang berpaling dari sunnah Rasul dibenci Allah dan dikelompokan kepada golongan kafir.
4. Bahaya Mengingkari sunnah, berdasar qs. 33.36
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata“Qs.33:36
Yang dimaksud menduruhakai Allah adalah melanggar al-Qur`ân sedangkan mendurhakai Rasul adalah mengingkari sunnah Berdasar ayat ini, orang yang mengingkari sunnah Rasul dianggap orang yang telah sesat dengan ke-sesatan yang sangat nyata.
Bagian Ktiga
Fungsi Hadits terhadap al-qur`an
Fungsi al-Hadits terhadap al-Qur`an yang paling pokok adalah sebagai bayân, sebagaimana ditandaskan dalam ayat:
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,. (Qs.16:44)
Ayat ini menunjukkan bahwa Rasul SAW bertugas memberikan penjelasan tentang kitab Allah agar umatnya mau berfikir. Penjelasan Rasul itulah yang dikategorikan kepada al-hadîts. Umat manusia tidak akan bisa memahami al-Qur`ân tanpa melalui al-hadîts tersebut. Al-Qur`ân bersifat kully dan ‘am, maka yang juz’iy dan rinci adalah al-hadîts. Imam Ahmad menandaskan bahwa seseorang tidak mungkin bisa memahami al-Qur`ân secara keseluruhan tanpa melalui al-hadîts. Imam Al-Syatibi berpendapat bahwa kita tidak akan bisa mengistinbath atau mengambil kesimpulan dari hukum al-Qur`ân tanpa melalui al-hadîts. Dengan demikian jelaslah bahwa fungsi al-hadîts terhadap al-Qur`ân itu cukup penting, yaitu sebagai bayân atau penjelas.
A. Beberapa Contoh Penjelasan Hadits tentang ayat al-qur`an
Contoh-contoh di bawah ini memberikan gambaran tentang bagaimana al-hadîts menjelaskan isi al-Qur`ân:
1. Al-Qur`ân telah menghalalkan makanan yang baik-baik (Qs.5:1), dan megharamkan yang kotor-kotor (Qs.7:156); tetapi di antara keduanya (di antara yang baik-baik dan yang kotor-kotor) itu ada terdapat beberapa hal yang tidak jelas atau syuhbat, yang samar-samar (tidak nyata baik dan tidak nyata buruknya). Ukuran baik dan buruk pun menurut pandangan manusia akan berbeda. Oleh sebab itu, Rasul SAW yang menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk itu, dengan istilah halal dan haramnya. Beliau mengharamkan segala hewan-hewan (binatang-binatang) buas, yang mempunyai taring, dan burung-burung yang mempunyai kuku yang mencakar dan yang menyambar, demikian juga beliau mengharamkan keledai jinak (bukan keledai hutan), karena semua itu termasuk binatang yang kotor-kotor dan yang keji-keji.[76].
2. Al-Qur`ân telah menghalalkan segala minuman yang tidak memabukan, dan mengharamkan segala mi-numan yang memabukkan. Di antara yang tidak memabukkan dan yang memabukkan ada beberapa macam minuman, yang sebenarnya tidak memabukkan, tetapi dikuatirkan kalau-kalau memabukkan juga, seperti tuak dari ubi, tuak kedelai, tuak labu, atau tuak yang ditaruh dalam bejana yang dicat dengan ter dari dalamnya (Al- Muzaffat), juga yang ditaruh di dalam batang kayu yang dilobangi (Al- Naqir), dan yang serupa dengan minuman yang memabukkan dan membawa kebinasaan.[77] Kemudian Rasulullah SAW kembali menghalalkan segala sesuatu yang tidak memabukan.[78]
3. Al Qur’an telah membolehkan daging hewan-hewan yang ditangkap oleh hewan-hewan pemburu yang sudah diajar dengan patuh dan mengerti. Jelas, apabila hewan pemburu itu belum terlatih, maka haramlah memakan hewan dari hasil buruan (yang ditangkapnya), karena dikuatirtkan bahwa hewan yang ditangkapnya itu buat dirinya sendiri. Kemudian timbul pertanyaan yang beredar antara dua masalah yaitu: apabila hewan pemburu itu sudah terlatih, tetapi buruan itu ditangkapnya untuk dirinya sendiri, tidak untuk tuan yang menyuruh-nya, denga tanda-tanda bahwa buruannya itu telah dimakannya sendiri sekalipun sedikit, maka bagaimanakah hukumnya?. Sunnah Rasulullah SAW, menjelaskan bahwa jika buruan itu dimakan oleh anjing pemburu, maka kaum muslimin dilarang memakannya, karena dikuatirkan hewan yang ditangkapnya itu untuk dirinya sendiri. [79]
4. Al-Qur`ân melarang orang yang sedang ihram mem-buru buruan dengan muthlaq, artinya tidak me-makai syarat, apabila larangan itu diabaikannya, maka diwajibkan jaza (balasan) atas orang yang melanggarnya (membunuhnya). Tetapi larangan memburu itu dikecualikan bagi orang yang halal, artinya bagi yang tidak mengerjakan ihram. Pengecualian itu dengan muthlaq juga. Kemudian timbul pertanyaan: Bagaimana hukumnya orang yang sedang ihram itu memburu dengan tidak disengaja?, Oleh Rasul SAW dijelaskan bahwa memburu buruan bagi orang yang sedang ihram itu, sama saja, hukumnya antara yang sengaja dengan yang tidak disengaja, dalam kewajibannya menunaikan denda atau dam.
B. Beberapa Pendapat ulama tentang Fungsi Hadits terhadap al-qur`an
Fungsi al-Hadits terhadap al-Qur`ân sebagai bayân itu difahami oleh ulama dengan berbagai pemahaman, antara lain sebagai berikut:
1. Kelompok pertama berpendirian bahwa fungsi as-Sunnah terhadap al-Qur`ân itu adalah sebagai:
a. Bayân Taqrir
Bayân taqrir ialah al-Hadits yang berfungsi menetapkan, memantapkan, dan mengokohkan apa yang telah ditetapkan al-Qur`ân, sehingga maknanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Ayat yang ditaqrir oleh al-Hadits tentu saja yang sudah jelas maknanya hanya memerlukan penegasan supaya jangan sampai kaum muslimin salah menyim-pulkan. Contoh: Firman Allah SWT:فَمَن شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُBarangsiapa yang menyaksikan bulan ramadlan maka hendaklah shaum. (Qs.2:185). Ditegaskan oleh Rasulullah SAW:صُومُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ* Shaumlah kalian karena melihat tanda awal bulan ramadlan dan berbukalah kalian karena melihat tanda awal bulan syawal. Hr. Muslim.[80]
Hadits di atas dikatakan bayân taqrîr terhadap ayat al-Qur`ân, karena maknanya sama dengan al-Qur`ân, hanya lebih tegas ditinjau dari bahasanya maupun hukumnya.
b. Bayân Tafsîr
Bayân tafsir berarti menjelaskan yang maknanya samar, merinci ayat yang maknanya global atau mengkhususkan ayat yang maknanya umum. Sunnah yang berfungsi bayân tafsir tersebut terdiri dari (1) tafshîl- al-mujmal, (2) tabyîn al-musytarak, (3) takhshish al-‘âm.
(1). tafshîl- al-mujmal,
Hadits yang berfungsi tafshîl- al-mujmal, ialah yang merinci ayat al-Qur`ân yang maknanya masih global. Contoh:
a) Tidak kurang enam puluh tujuh ayat al-Qur`ân yang langsung memerintah shalat, tapi tidak dirinci bagaimana operasionalnya, berapa raka’at yang harus dilakukan, serta apa yang harus dibaca pada setiap gerakan. Rasulullah SAW dengan sunnahnya memperagakan shalat secara rinci, hingga beliau bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أَُصَلِّى. رواه الجماعة
Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku sedang shalat. Hr. Jamaah[81]
b) Ayat-ayat tentang zakat, shaum, haji pun demikian memerlukan rincian pelaksanaannya. Ayat haji umpamanya menandaskan:
وَأَتِمُّوْا الحَجَّ وَالعُمْرَةَ ِلله
Sempurnakanlah ibadah haji dan ibadah umrahmu karena Allah. (Qs.2:196). Rinciannya ialah pelaksanaan Rasulullah dalam ibadah haji wada’ dan beliau bersabda:
خُذُوْا عَنِّى مَنَاسِكَكُمْ.
Ambilah dariku manasik hajimu. Hr. Ahmad, al-Nasa`I, dan al-Bayhaqi.[82]
(2). Tabyîn al-Musytarak
Tabyîn al-Musytarak ialah menjelaskan ayat al-Qur`ân yang mengandung kata bermakna ganda. Contoh: Firman Allah SWT:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ
Wanita yang dicerai hendaklah menunggu masa iddah selama tiga quru. (Qs.2:228)
Perkataan قُرُوءٍ Quru adalah bentuk jama dari قَرْءٍ Qar’in. Dalam bahasa Arab antara satu suku bangsa dengan yang lain ada perbedaan pengertian Qar’in. Ada yang mengartikan suci ada pula yang mengarti-kan masa haidl. Mana yang paling tepat perlu ada penjelasan. Rasul SAW bersabda:
طَلاَقُ الأَمَةِ تَطلِقْتَانِ وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ.
Thalaq hamba sahaya ada dua dan iddahnya dua kali haidl. Hr. Abu dawud, al-Turmudzi, dan al-Daruquthni.[83]
Dalam ketentuan hukum, hamba sahaya itu berlaku setengah dari orang merdeka. Jika hadits ini menetap-kan dua kali haidl, maka menurut sebagian pendapat, perkataan حَيْضَتَانِ haidlatâni itu merupakan penjelas dari Qar`in yang musytarak, sehingga kesimpulannya bahwa wanita yang dicerai itu iddahnya tiga kali haidl.
(3). Takhshîsh al-‘âm
Takhshîsh al-‘âm ialah sunnah yang mengkhususkan atau mengecualikan ayat yang bermakna umum. Contoh:
a) Firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ المَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الخِنْزِيْرِ
Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi. (Qs.5:3)
Dalam ayat ini tidak ada kecuali, semua bangkai dan darah diharamkan untuk dimakan. Sunnah Rasulullah SAW mentakhshish atau mengecualikan darah dan bangkai tertentu. Sabda Rasululah saw:
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا المَيْتَـَتَانِ الحُوتُ وَالجَرَادُ وَأَمَّا الدَمَانِ فَالكَبِدُ وَالطِّحَالُ.
Telah dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Yang dimaksud dua macam bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang. sedangkan yang dimaksud dua macam darah adalah ati dan limpa. (Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bayhaqi.[84]
b) Firman Allah SWT:
يُوصِيْكُمُ الله فِى أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَضِّ الأُنْثَيَيْنِ*
Allah mewasiatkan bahwa hak anakmu laki-laki adalah dua kali hak anakmu yang perempuan. Qs.4:11
Dalam ayat ini tanpa kecuali atau berlaku umum bahwa semua anak mendapat warisan. Sedangkan keberlakuan hukum tersebut hanya untuk anak yang agamanya sama muslim. Sunnah Rasul memberikan takhshish atau pengcualian dengan sabdanya:
لاَيَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ.
Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan yang kafir tidak mewarisi seorang muslim. Hr. al-Bukhari dan Muslim[85]
c. Bayân Tabdîl
Bayân Tabdîl ialah mengganti hukum yang telah lewat keberlakuannya. Dalam istilah lain dikenal dengan nama nâsih wa al- mansûh. Banyak ulama yang berbeda pendapat tentang keberadaan hadits atau sunnah men-tabdil al-Qur`ân. Namun pada dasarnya bukan berbeda dalam menyimpulkan hukum, melainkan hanya terletak pada penetapan istilahnya saja. Contoh sunnah yang dianggap Bayân Tabdîl oleh pendapat yang mengakuinya ialah dalam bab zakat pertanian. Dalam ayat al-Qur`ân tidak diterangkan batasan nisab zakat melainkan segala penghasilan wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan dalam sunnah Rasul ditandaskan:
لَيْسَ فِيْمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوسَقٍ صَدَقَةً
Tidak ada kewajiban zakat dari hasil pertanian yang kurang dari lima wasak .Hr. al-Bukhari dan Muslim[86]
2. Imam Malik berpendirian bahwa fungsi sunnah terhadap alqur’an adalah sebagai (1) bayân taqrir, (2) bayân tawdlîh, (3) bayân tafshîl, (4) bayân tabsîth, (5) bayân tasyrî’.
Bayân taqrîr telah dijelaskan pada uraian di atas. Bayân taudlîh, bayân tafshîl telah tercakup pembahasannya pada bayân tafsîr. Yang perlu dijelskan adalah bayân tabsîth dan bayân tasyrî.
Sunnah yang berfungsi sebagai bayân tabsith ter-hadap al-Qur`ân adalah sunnah yang menguraikan ayat al-Qur`ân yang ringkas yang memerlukan pen-jelasan secara terurai. Contohnya kisah-kisah dalam al-Qur`ân yang ringkas diuraikan oleh sunnah rasul secara gamblang dan terurai seperti isra mi’raj.
3. Imam Syafi’i berpendirian bahwa fungsi as-Sunnah terhadap al-Qur`ân itu adalah sebagai (1) bayân tafshil atau perinci ayat yang mujmal, (2) bayân takhshish atau pengkhusus yang yang bersifat umum, (3) bayân ta’yien yaitu menetapkan makna yang dimaksud dari suatu ayat yang memungkinkan memiliki beberapa makna seperti menjelaskan yang musytarak, (4) bayân tasyri’ yaitu sunnah yang berfungsi tambahan hukum yang tidak tercantum dalam al-Qur`ân. Contohnya: dalam al-Qur`ân telah ditetapkan bahwa yang haram dimakan itu hanyalah bangkai, darah, daging babi dan yang disembelih bukan karena Allah (Qs.6:145). Sedangkan dalam beberapa riwayat sunnah diterangkan bahwa Rasul melarang memakan binatang buas, yang berbelalai, burung menyambar, dan yang hidup di air dan di darat, (5) bayân nasakh, yaitu mengganti hukum yang tidak berlaku lagi seperti diuraikan pada bayân tabdil.
3. Ibnul-Qayim berpendapat bahwa fungsi as-Sunnah terhadap al-Qur`ân adalah sebagai (1) bayân ta’kid atau penguat seperti bayân taqrir yang telah dijelaskan di atas (2) bayân tafsir, (3) bayân tasyri’, (4) bayân takhshish, dan (5) bayân taqyied, yaitu menentukan sesuatu yang dalam ayat bisa bermakna mutlak, seperti seruan Allah tentang kewajiban shalat secara mutlak berlaku pada siapa pun. Sedangkan sunnah mentaqyid wanita yang sedang haidl dari yang mutlak tersebut. Wanita yang haidl tidak diwajibkan shalat dan tidak diwajibkan mengganti.
Dengan memperhatikan beberapa pendapat di atas, tampaklah betapa pentingnya sunnah terhadap al-Qur`ân, terutama memberikan kemudahan bagi kaum muslimin untuk memahami isi al-Qur`ân. Jika Rasulullah SAW tidak memberikan penjelasan tentang ayat al-Qur`ân, tentu saja akan menimbulkan berbagai kendala dan kesulitan dalam melaksanakan al-Qur`ân. Itulah mungkin salah satu makna dari fungsi Rasul sebagai rahmat bagi mu’minin bahkan bagi alam semesta.
Oleh karena itu, bukan Allah yang membutuhkan Rasul, tapi justru manusialah yang membutuhkannya. Setiap mu’min harus berkeyakinan bahwa Rasulullah SAW yang paling mengetahui makna al-Qur`ân, karena beliaulah yang menerima langsung dari Allah SWT. Tidak sepatutnya seorang mu’min menyalahi apa yang dijelaskan dalam as-Sunnah tentang makna dan maksud ayat al-Qur`ân. Contoh lainnya dapat dilihat pada bagan berikut.
AYAT |
HADITS MUBAYIN |
BAYÂN |
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ Qs.2:185 |
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمي عليكم فأكملوا العدد Shahih muslim, II h.762 |
Taqrir/ ta’kid |
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ Qs.2:196 |
خذوا عني مناسككم لعلي لا أراكم بعد عامي هذا sunan al-Bayhaqi V h.125 |
Tafshil |
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ Qs.2:150 |
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي على راحلته حيث توجهت فإذا أراد الفريضة نزل فاستقبل القبلة Shahih al-Bukhari, I h.156 |
takhshish |
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ Qs.24:2 |
خذوا عني خذوا عني قد جعل الله لهن سبيلا البكر بالبكر جلد مائة ونفي سنة والثيب بالثيب جلد مائة والرجم Shahih muslim, III h.1316 |
Tasyri’ |
Bagian Keempat
Hadits dari Masa ke Masa
Secara ringkas perkembangan sunnah dapat disusun atas tujuh priode sebagai berikut.
Priode pertama, ialah: masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi diangkat hingga beliau wafat pada tahun 11 H. (berlangsung dari tahun 13 Sebelum Hijrah hingga tahun 11 H). Pada priode ini, sunnah masih belum tercatat secara melembaga, melainkan baru pribadi-pribadi. Shahabat, rata-rata dilarang untuk menuliskan sunnah, selain al-Qur`ân. Hanya sebagian kecil dari shahabat yang diperkenankan Rasul untuk menulis as-sunnah selain al-Qur`ân. Para shahâbat dalam meriwayatkan sunnah, ada yang langsung mendengar dari Rasul, ada pula melalui perantara. Hal ini dipengaruhi oleh keberadaan mereka. Para shahabat yang sehari-harinya bergaul langsung dengan Rasul, tentu tidak melalui perantara, seperti para Istri Rasul, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Lain halnya dengan shahabat Nabi yang bertugas di luar Madinah. Namun pada dasarnya para shahabat itu semangat sekali mengikuti apa yang diucapkan, diperbuat dan dikehendaki Rasul.
Priode kedua, ialah: masa membatasi riwayat, masa al-khulafâ al-Râsyidûn (12 H – 40 H). Pada priode ini, rawi shahabi tidak bertambah lagi, karena Rasul telah wafat. Tentu saja sejak priode ini sunnah tidak bertambah. Para rawi saat ini dibatasi, karena khawatir bercampur dengan al-Qur`ân. Saat ini kaum muslimin, terutama sejak kekhalifahan Umar Bin khaththab disibukan oleh usaha pembukuan al-Qur`ân.
Priode ketiga, ialah: masa berkembang riwayat dan perlawatan dari kota ke kota untuk mencari hadits, yaitu masa shahabat kecil dan tabi’in besar (41 H – akhir abad pertama Hijriyah ).
Priode keempat, ialah: masa pembukuan hadits (dari permulaan abad kedua Hijriyah hingga akhirnya).
Priode kelima, ialah: masa mentashihkan hadits dan menyaringnya (awal abad ketiga, hingga akhirnya).
Priode keenam, ialah: masa menepis kitab-kitab hadits dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus; (dari awal abad keempat hingga jatuhnya Baghdad tahun 656 H.).
Priode ketujuh, ialah: masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadits-hadits hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum serta membahas hadits-hadits (656 H hingga dewasa ini).
- Perkembangan al-Hadîtis masa Rasûl SAW
1. Hadits yang menjelaskan sejarah wahyu pertama disampaikan lagi oleh Rasul pada A’isyah
Wahyu turun pertama kali adalah ketika Rasul berusia 40 tahun, yang saat itu Siti Khadijah isteri beliau satu-satunya. Kemudian setalah wafat Siti Khadijah, beliau nikah dengan Sudah, kemudian ‘Aisyah. Pengalaman Rasul menerima wahyu pertama disampaikan kepada ‘Aisyah, dan diceritakan lagi oleh ‘Aisyah dalam hadits sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ اقْرَأْ قَالَ مَا أَنَا بِقَارِئٍ قَالَ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُفُ فُؤَادُهُ فَدَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ بِنْتِ خُوَيْلِدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ فَقَالَ لِخَدِيجَةَ وَأَخْبَرَهَا الْخَبَرَ لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِي فَقَالَتْ خَدِيجَةُ كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ فَانْطَلَقَتْ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى ابْنَ عَمِّ خَدِيجَةَ وَكَانَ امْرَأً قَدْ تَنَصَّرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ يَكْتُبُ الْكِتَابَ الْعِبْرَانِيَّ فَيَكْتُبُ مِنْ الْإِنْجِيلِ بِالْعِبْرَانِيَّةِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِيَ فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ يَا ابْنَ عَمِّ اسْمَعْ مِنْ ابْنِ أَخِيكَ فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ يَا ابْنَ أَخِي مَاذَا تَرَى فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَرَ مَا رَأَى فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ هَذَا النَّامُوسُ الَّذِي نَزَّلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى يَا لَيْتَنِي فِيهَا جَذَعًا لَيْتَنِي أَكُونُ حَيًّا إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَمُخْرِجِيَّ هُمْ قَالَ نَعَمْ لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ وَإِنْ يُدْرِكْنِي يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّيَ وَفَتَرَ الْوَحْيُ
Diriwayatkan dari ‘A`isyah Radlia Allâhhu ‘anhu[87] isteri Nabi s.a.w katanya: Diceritakan bahwa: Permulaan turun wahyu pada Rasûl ullah s.a.w terjadi dalam bentuk mimpi yang benar. Beliau mendapati mimpi tersebut sebagaimana munculnya keheningan fajar subuh. Beliau suka menyepi sendirian di gua Hira’. Di sana menghabiskan beberapa malam untuk beribadat dengan mendekatkan diri kepada Allâh s.w.t sebelum kembali ke keluarganya. Untuk tujuan tersebut Beliau membawa sedikit perbekalan. Setelah beberapa hari berada di sana beliau pulang kepada Khadijah, mengambil perbekalan untuk beberapa malam. Keadaan ini terus berjalan, sehingga beliau didatangi wahyu ketika di gua Hira’. Wahyu tersebut disampaikan oleh Malaikat Jibril alaihi al-Salam[88] dengan berkata: إقرأْ Bacalah wahai Muhammad! Beliau bersabda: Aku tidak pandai membaca. Rasûl ullah s.a.w bersabda: Malaikat kemudian memegang aku lalu memelukku erat-erat sehingga aku kembali pulih dari ketakutan. Kemudian Malaikat melepasku dengan berkata: Bacalah wahai Muhammad! Beliau sekali lagi bersabda: Aku tidak pandai membaca. Rasûl ullah s.a.w bersabda: Malaikat kemudiannya memegang aku buat kedua kalinya, lalu memelukku erat-erat sehingga aku kembali pulih dari ketakutan. Malaikat seterusnya melepasku dengan berkata: Bacalah wahai Muhammad! Beliau bersabda: Aku tidak pandai membaca. Rasûl ullah s.a.w bersabda: Malaikat kemudian memegangku untuk ketiga kalinya serta memelukku erat-erat sehingga aku kembali pulih dari ketakutan. Kemudian Malaikat melepaskan aku dan membaca firman Allâhاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ () خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ () اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ () الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ () عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ()Setelah itu beliau pulang dalam keadaan ketakutan ke pangkuan Saidatina Khadijah, beliau berkata: Selimutlah aku! Selimutilah aku. Lalu Khadijah menyelimutinya hingga hilang rasa gementar dari dirinya. Beliau kemudian bersabda kepada Khadijah: Wahai Khadijah! Apakah yang telah berlaku kepadaku؟ Beliau pun menceritakan seluruh peristiwa yang berlaku. Beliau bersabda lagi: Aku benar-benar bimbang. Khadijah terus menghibur beliau dengan berkata: Janganlah begitu, bergembiralah! Demi Allâh, Allâh tidak akan mengkhianatimu, selama-lamanya. Demi Allâh! Sesungguhnya, engkau telah menyambung tali persaudaraan, berkata benar, memikul beban orang lain, suka mengusahakan sesuatu yang tidak ada, memuliakan tetamu dan sentiasa membela kebenaran. Khadijah pergi sesaat dan kembali menemui beliau dengan membawa Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, sepupu Khadijah. Dia pernah menjadi Nasrani pada zaman Jahiliah. Dia suka menulis dengan tulisan Arab dan cukup banyak menulis kitab Injil dalam tulisan Arab. Ketika itu dia telah tua dan buta. Khadijah berkata kepadanya: Wahai paman! Dengarlah cerita anak saudaramu ini. Waraqah bin Naufal berkata: Wahai anak saudaraku! Apakah yang telah terjadi? Rasûl ullah s.a.w menceritakan semua peristiwa yang beliau telah alami. Mendengar peristiwa itu, Waraqah berkata: Ini adalah undang-undang yang suatu ketika dahulu pernah diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Alangkah baik sekiranya aku masih muda di saat-saat engkau diangkat menjadi Nabi. Juga alangkah baik kiranya aku masih hidup di saat-saat engkau diusir oleh kaummu. Lalu Rasûl ullah s.a.w menegaskan: Apakah mereka akan mengusirku? Waraqah menjawab: Begitulah, setiap Nabi yang diutus membawa tugas sepertimu, pasti akan dimusuhi. Seandainya aku masih hidup di zamanmu, niscaya aku tetap menjadi pembelamu. Waraqah tidak lama dari saat itu wafat, dan wahyu pun tidak turun beberapa waktu. Muttafaq ‘alayh [89]
Al-Hadîts ini mengisyaratkan (1) Nabi Muhammad SAW suka bertahannus (menyendiri untuk beribadah kepada Allâh) di goa Hira, sebelum diangkkat menjadi Rasûl , (2) wahyu pertama diturunkan adalah surat al-Alaq ayat 1-5 yang memerintah untuk membaca, (3) Nabi Muhammad SAW pada saat itu, tidak pandai membaca, (4) Nabi merasa kaget tatkala kedatangan Jibril yang tiba-tiba menyuruh membaca, (5) Waraqah Bin Naufal sudah meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah seorang Rasûl , (6) setiap ada Rasûl yang diutus, di samping banyak pengikutnya, juga pasti ada penentangnya, (7) peranan istri sangat penting dalam melangsungkan perjuagan risâlah, (8) dengan adanya perintah membaca, ketika Rasûl ullah menyepi, mengandung berbagai makna yang perlu penelaahan lebih jauh.
2. Sekilas tafsir qs. Al-‘Alaq:1-5
a. Tafsir ayat pertama
إقْرَأ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقBacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan
Perkataan إقْرَأْ merupakan kata perintah dari قِرأءَة. Dengan demikian jelas maknanya bahwa perkataan tersebut memerintah untuk membaca. Al-Qasimi berpendapat bahwa dengan kalimat ini, seakan-akan Allâh SWT berfirman كُنْ قَارِئًا بِقُدْرتِي و بِإِرَادَتِي [90] Jadilah engkau hai Muhammad sebagai pembaca, dengan kekuasaan dan kehendak-Ku!. Perintah ini diturunkan sebagai wahyu pertama, karena sebelumnya, Nabi Muhammad tidak pandai membaca dan tidak pandai menulis. Apa yang mesti dibaca? Tidak disebutkan pada ayat ini. Apakah yang mesti dibaca itu wahyu yang akan turun? Apakah kitab yang bakal diturunkan? Ataukah berlaku umum? Artinya Rasûl ullah SAW diperintah membaca apa yang mestinya dibaca[91]. Sedangkan menurut Ibnu Abbas, perintah membaca yang terkandung dalam ayat ini adalah agar Nabi Muhammad SAW membaca Al-Qur`ân yang bakal diturunkan. Dengan tidak disebutkan objek yang mesti dibaca, justru akan bermakna sangat umum, bisa Al-Qur`ân, bisa pula yang lainnya; bisa wahyu, bisa juga ilmu. Sedangkanباسْم رَبِّكَ bermaknaبِأَمْرِ رَبِّكَ dengan perintah Tuhanmu[92]. Huruf ب pada kalimat ini sebagai ziadah atau tambahan, yang tidak perlu diartikan, atau li al-Ibtida, yang berarti memulai, sehingga artinya “bacalah memulai dengan nama Allâh”[93]. أَلَّذِي خَلَق bermakna أَلَّذِي خَلَقَ جَمِيْعَ المَخْلُقَات yang menciptakan segala makhluq. Menurut Al-Shabuni, ayat ini merupakan seruan Ilahi yang pertama kepada Nabi berisi seruan membaca, menulis dan belajar. Inilah merupakan simbol agama Islam, yang umatnya tidak pernah lepas dari membaca. Muhammad diperintah untuk membaca dengan nama Allâh dan memohon pertolongan-Nya[94]. Al-Jazairi berpendapat bahwa dengan ayat ini, Allâh SWT memerintah agar Rasûl SAW membaca, memulainya dengan menyebut nama Allâh SWT.
Manifestasi perintah ini adalah mengucapkan بسم الله الرحمن الرحيم di awal bacaan dan memulai segala pekerjaan[95].
b. Tafsir ayat kedua
خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقDia menciptakan manusia dari alaq
Perkatan عَلَق menurut bahasa berartiالتَّشَبُّث بِالشَّيء [96] bergantung pada sesuatu, atau tertambat. Hewan tertambat dengan tambang atau tergantung, juga disebut علق الصَّيْد. Dikatakan bahwa manusia diciptakan dari alaq, berarti dari yang nempel atau yang bergantung. Banyak para ahli menerjemahkan kata alaq dengan segumpal darah. Tepat ataukah tidak terjemah tersebut, hanya Allâh SWT yang mengetahui. Namun terjemah asli dari alaq adalah sesuatu yang menempel atau bergantung, akan lebih luas maknanya. Bukankah calon janin itu setelah terjadi pertemuan antara sel telur dan sperma, kemudian menempel di dinding rahim?. Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa kata alaq itu merupakan bentuk jama dari عَلَقَة yaitu tetesan darah yang mengental. Sedangkan darah yang tidak mengental biasa disebut المَسْفُوح al-masfuh[97]. Ayat ini menandaskan bahwa Allâh SWT menciptakan manusia dari ‘alaqah yaitu titisan darah segar yang mengandung sel hidup yang tidak nampak di mata kepala keculai menggunakan alat khusus. Dinamakan alaq, karena sel sperma yang lari, setelah bertemu sel telur kemudian nempel di dinding rahim[98] . Dengan demikian yang mesti dibaca pertama kali, adalah asal usul manusia. Membaca asal-usul manusia, berarti membaca diri. Membaca diri berarti membaca alam nyata. Inilah yang dinamakan ayat kauniah, yang tersirat dan tersurat di alam.
c. Tafsir ayat ketiga
إقْرَأ وَرَبُّكَ الأكْرَمBacalah ! dan Tuhanmu Maha Pemurah
Perintah baca diulangi lagi pada ayat ketiga ini, sebagai penekanan sangat penting. Peritah ini berfungsi penguat atas perintah yang pertama, juga mengandung isyarat bahwa membaca baru baik jika dilakukan secara berrulang[99]. Jika pada ayat pertama perintah membaca dengan nama Tuhan, maka pada ayat ini dengan penegasan kemurahan Tuhan. Dialah Allâh SWT yang Maha pemurah melebihi yang lain, Yang Berkuasa di atas kekuasaan lainnya. Dia yang memberikan berbagai keni’matan tiada tara dan bandingannya[100] . Setelah manusia diperintah membaca diri, membaca alam ciptaan Allâh SWT, kemudian diperintah untuk membaca sang Pencipta yang Maha Pemurah. Ayat ini juga mengingatkan manusia agar sadar bahwa dirinya bisa hidup di dunia, hanya karena kemurahan Allâh SWT.
d. Tafsir ayat keempat
أَلَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمYang Mengajar dengan qalam
Allâh menandaskan bahwa Dia mengajar dengan qalam, berarti menulis. Ayat ini mengisyaratkan agar manusia bukan hanya pandai membaca, tapi juga pandai menulis. Jika ayat pertama berisi perintah membaca, maka ayat ini mengandung makna perintah menulis. baca dan tulis, mesti dijadikan aktifitas yang tidak pernah ditinggalkan manusia. Yang menarik, ternyata Allâh SWT tidak menyebut Dirinya yang mengajar membaca, melainkan mengajar untuk menulis. Ini sebagai isyarat, bahwa jika manusia sudah bisa menulis, otomatis akan bisa membaca. Kemudian pentingnya menulis, tidak kalah dengan pentingnya membaca. Tanpa tulisan, ilmu tidak akan lestari. Al-Zuhaili berpendapat bahwa banyak sekali fungsi tulisan dalam agama, antara lain (1) alat melestarikan ilmu dan pengetahun, (2) monumen berita umat taerdahulu dan pandangan-pandangannya, (3) sebagai alat tranformasi dan transfortasi ilmu, antar umat dan bangsa. Dengan tulisanlah kemajuan peradaban manusia dapat berkembang, fikiran manusia menjadi maju, ajaran agama terpelihara, dan tersebarnya petunjuk Allâh SWT ke seluruh penjuru dunia[101]. Seorang penyair bersenandung:
ألْعِلْمُ صّيْدٌ والْكِتَابَةُ قَيْدُه * قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الوَاثِقَة
Ilmu itu laksana hewan buruan; tulisan laksana tambang pengikatnya; ikatlah buruanmu dengan tambang yang kuat.
Jika ilmu dilambangkan dengan hewan buruan, maka untuk mendapatkannya harus dengan memburu, berusaha, mengejar dan menangkapnya. Karena tngkapan tersebut mudah lepas, maka mesti diikat. Pengikat ilmu, agar tidak lepas, adalah tulisan atau pustaka.
Umar bin al-Khaththab r.a menandaskan :
قَيِّدُوا العِلْمَ بِالكِتَاب
Ikatlah olehmu ilmu itu dengan kitab ! [102]
Anas Bin Malik r.a menyerunya dengan kalimat:
قَيِّدُوا العِلْم بِالكِتاَبَة
Ikatlah olehmu ilmu itu dengan tulisan.[103]
Itulah hikmahnya, Allâh SWT memerintah membaca, dan mengajarkan menulis dengan pena dan pustaka. Dengan demikian, jelaslah bahwa da’wah Islamiah diawali dari dorongan membaca dan menulis. Baca dan pustaka inilah yang menjadi mu’jizat Rasûl ullah yang kekal dan abadi, serta berlaku sepanjang masa. Bacan dan tulis tentang wahyu Allâh SWT membawa manusia yang gelap kepada cahaya[104]. Allâh SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasûl di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Tulisan dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Qs.62:2
e. Tafsir ayat kelima
عَلَّمَ الإِنْسَان مَا لَمْ يَعْلَمDia mengajar manusia tentang apa yang belum mereka ketahui. Allâh SWT mengajar manusia dengan qalam atau tulisan yang banyak tentang berbagai ilmu pengetahuan, yang belum diketahui manusia. Bagaimana seorang Muhammad yang pada saat itu masih ummy, bisa mengetahui segala hal, karena mendapat pelajaran dari Allâh SWT.
3. Beberapa Ibrah dari Wahyu Pertama
a. Surat al-Alaq ayat 1-5 ini merupakan wahyu pertama yang diturunkan Allâh SWT kepada Nabi Muhammad SAW. , mengandung hikmah dan nilai historis yang sangat besar, dan tiada bandingannya.
b. Pilihan Allâh SWT untuk mendahulukan turunnya ayat tentang membaca dan menulis, mengandung makna bahwa da’wah Islam memerlukan perluasan baca dan pustaka. Namun yang perlu dibaca, tidak hanya tulisan, tapi juga segala yang ada, mencakup diri sendiri hingga alam semesta.
c. Ayat pertama berisi perintah membaca dengan nama Tuhan Yang Menciptakan makhluq. Oleh karena itu setiap manusia diorong untuk memiliki kesadaran bahwa dirinya ciptaan Allâh yang mesti selalu bersyukur dengan beribadah kepadaNya.
d. Ayat kedua menegaskan bahwa manusia diciptakan dari alaq. Dengan demikian asal usul manusia adalah sama. Oleh karena itu tak sepatutnya manusia berbangga diri oleh keturunan atau ras tertentu. Faktor kemuliaan manusia bukan ditentukan oleh ras atau turunan, tapi ditentukan oleh ilmu dan amal perbuatan.
e. Ayat ketiga mengulangi perintah agar manusia mau membaca dan mengingat Allâh SWT yang Maha Pemurah. Oleh karena itu, membaca apa pun mestinya dapat meningkatkan keyakinan akan kemurahan Allâh SWT.
d. Ayat keempat yang menginformasikan bahwa Allâh SWT mengajar dengan qalam, dirangkaikan dengan perintah membaca untuk kedua kalinya. Oleh karena itu membaca dan menulis seyogyanya tidak terpisahkan. Tulisan mesti dibaca, hasil baca berupa ilmu, juga perlu dituliskan. Manusia tidak bisa membaca tanpa ada bahan bacaan. Bahan bacaan pun tidak akan bermanfaat tanpa ada orang yang membacanya.
e. Pada ayat kelima ditandaskan bahwa Allâh SWT mengajar manusia tentang ilmu yang belum mereka ketahui. Hal ini memberi isyarat bahwa ilmu bisa diraih melalui pengajaran. Dengan proses belajar mengajar, manusia akan meraih kemajuan dan kemampuan menggunakan semua anugrah Allâh SWT yang Maha Pemurah dan Maha Kuasa.
4. Isyarat Wahyu Pertama Pada Baca dan Pustaka
1. Kalimat إقرأ yang berulang dua kali, mengisaratkan bahwa membaca merupakan ibadah yang paling pertama diperintahkan Allâh SWT kepada Nabi SAW khususnya, dan berlaku umum kepada setiap umatnya. Ini merupakan bukti betapa tinggi dan utama nilai membaca bagi umat manusia.
2. Kegiatan membaca mesti atas nama Allâh SWT, seperti diisyaratkan dengan بِاسم رَبِّك bukan atas nama yang lain.
3. Objek utama yang dibaca adalah nama Allâh dan segala ciptaanNya, seperti diisyaratkan pada kalimat الَّذِي خَلَق. Nama Allâh yang diisyaratkan pada wahyu pertama ini antara lain sebagai رَبّ Rabb (Maha Pemelihara), Khalaq خَلَق (Maha pencipta), أَلآكْرَم al-Akram (Maha Pemurah), أَلَّذِي عَلَّمَ Al-Ladzi Allama (Yang Maha Mengajar). Sedangkan objek bacaan berupa makhluq yang diisyaratkan pada ayat-ayat tersebut adalah semua alam baik mikro seperti disyaratkan dengan خَلَقَ الإنْسَان مِن عَلَق maupun makro seperti tersirat pada خَلَقَ di ayat pertama. Dengan demikian ayat yang mesti dibaca manusia terdiri atas ayat wahyu dan ayat ilmu; dalil syar’iah[105] dan dalil ilmiyah, ayat qauliyah[106] dan ayat kauniah[107]. Fungsi membaca juga mesti menghasilkan peningkatan Iman, ilmu dan amal.
Setiap muslim dituntut untuk iman pada wahyu, pintar dalam dalam ilmu. Sedangkan amal mesti bersti berdasar pada dalil syar’yah dan ilimyah. Oleh karena itu bahan bacaan yang diperlukan muslim terdiri yang ilmiyah dan syar’iyah, yang imani dan filosofi, serta yang dogmatis dan yang logis empiris.
4. Karena Qs. Al-‘Alaq:1-5 ini memerintah untuk membaca ayat wahyu dan ayat ilmu, maka mu`min dituntut berdzikir dan berfikir. Sikap terhadap wahyu Allâh dengan cara berdzikir, baik dalam hati, diucapkan dengan lisan maupun diamalkan secara anggota badan. Sedangkan terhadap kejadian alam, setiap mu`min dituntut berfikir. Orang yang berfikir dan berdzikir inilah termasuk ulu al-Albab.
5. Untuk kesempurnaan berdzikir dan berfikir, maka tanggung jawab mu`min terhadap al-Qur`an adalah (1) membaca, (2) memahami dan menghayati isinya, (3) mengamalkan segala perintah dan menjauhi larangannya, (4) mengajarkan dan menyebarluaskan keberlakuknnya.
6. Pada Qs. al-Alaq 1-5 tersebut tercantum secara berurutan antara membaca dan menulis, antara qirâ`ah dan kitâbah. Ini mengisyaratkan pentingnya jalinan kerjasama antara pustaka dan pembaca, antara pengarang dan pembaca.
7. Isyarat dari ayat 4 dan 5 menunjukkan bahwa pengajaran memerlukan kelengkapan bacaan. Sedangkan bacaan mesti diajarkan.
B. Al-Hadîts Pasca Wahyu Pertama- hingga Wafat Rasul SAW
Selama Rasûl SAW masih hidup itulah al-Hadîts terwujud sebagai syari’ah yang kedua setelah Al-Qur`ân. Periode pertama ini oleh ulama al-Hadîts dinamakan
عصرالوَحْي وَالتَّكْوِيْن masa turun wahyu dan pembentukan syari’ah dan masyarakat Islam.
Al-Hadîts pada masa ini terwujud dalam bentuk aqwal, af’al, taqarir Nabi SAW[108]. Shahâbat waktu itu faham betul tentang Al-Qur`ân dan al-Hadîts. Bila di antara mereka ada yang kurang faham, langsung bertanya pada Rasûl SAW. Shahâbat benar-benar menjaga hafalannya bukan hanya makna tapi juga redaksi yang disampaikan Rasûl SAW. Rasûl pun berdo’a untuk muhaddits:
رَحِمَ الله مَنْ سَمِعَ مِنِّي حَدِيْثًا فَبَلَغَهُ كَمَا سَمِعَهُ فَرُبَّ مُبَلَّغ أَوْعَى لَهُ مِنْ سَامِع
Allâh mencurahkan rahmat kepada mendengar suatu al-Hadîts dariku kemudian menyampaikannya kepada orang lain seperti apa yang ia dengar. Betapa banyak orang yang menerima informasi lebih faham dibanding dengan yang mendengar langsung. Hadîts Riwayat[109] Ibn Hibban dari Ibn Mas’ud[110]
Al-Hadîts ini mengisyaratkan betapa bahagia orang yang selalu menyebarluaskan al-Hadîts Rasûl ullah SAW. Itulah mungkin salah satu faktor yang mendorong para shahâbat sangat semangat dan tekun menerima al-Hadîts dari Rasûl serta menyebarluaskannya. Mereka sangat jujur dan adil tidak ada yang berani berbuat dusta, karena sangat takut oleh ancaman Rasûl yang sangat berat:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَدَهُ مِن النَّار
Barngsiapa yang membuat kedustaa atas namaku, maka siaplah bertempat duduk di neraka.[111] Hr. Ahmad, Bukhari, Ibn Majah dan Hakim
Dengan demikian para shahâbat selalu berhati-hati dalam meriwayatkan al-Hadîts. Al-Hadîts pada saat ini belum ditulis secara resmi, karena belum diperlukan dan ada kekhawatiran bercampur dengan Al-Qur`ân. Rasûl SAW juga melarang shahâbat menulis apa yang disampaikan beliau selain Al-Qur`ân. Sabdanya:
لاَ تَكْتُبُوْا عَنِّي شَيْئًا إِلاَّ القُرْآن فَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ القُرْآن فَلْيَمْحُه
Janganlah kamu menulis sesuatu dariku selain Al-Qur`ân. Barang siapa yang sudah terlanjur menuliskannya, maka segeralah menghapusnya. Hr. Al-Darimi dari Abi Sa’id al-Khudri. [112]
Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan ini berlaku ketika awal Islam. Sedangkan pada akhirnya Rasûl mengizinkan shahâbat tertentu untuk menulis al-Hadîts.
Shahâbat Rasûl yang mendapat mandat untuk menuliskan al-Hadîts selain Al-Qur`ân antara lain (1) Abd Allâh Bin Amr Bin Ash (27 sH – 83 H) dengan nama al-Shâdiqah, (2) Jabir Bin Abd Allâh (16- sH – 78 H), yang catatannya bernama shahîfah Jâbir, (3) Anas Bin Malik (10 sH – 93 H) yang bekerja sama dengan para putranya, (4) Abu Hurairah (19 sH – 59 H), dengan al-shahîfah al- shahîhah, (5) Abu Bakr al-Shiddiq (50 sH – 13 H), (6) Ali Bin Abi Thalib (23 sH – 40 H), dan (7) Abd Allâh Bin Abbas (3 sH – 68 H) [113]. Di samping shahâbat tersebut masih banyak yang lainnya yang mendapat izin dari Rasûl untuk menuliskan al-Hadîts, seperti Abu Syah, Abu Ayub Al-Anshari, Rafi Bin Khadij, Amr Bin Hazm, Sa’id, dan Ibn Mas’ud, tapi tidak dipublikasikan secara resmi.
C. Al-Hadîts masa al-Khulafâ al-Râsyidûn
Sepetinggal Rasûl SAW pada tahun 13 H, kepemimpinan dipegang oleh al-Khulafâ al-Râsyidûn yaitu Abu Bakr al-Shiddiq, kemudian Umar Bin Khaththab, Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib, sampai tahun 40 H. Ketika Umar Bin Khththab menjadi Khalifah, sebenarnya gagasan pembukuan al-Hadîts itu sudah muncul. Namun karena Al-Qur`ân saat itu belum menjadi mushhaf (dalam bentuk buku), maka al-Hadîts pun belum sempat ditulis secara resmi, karena shahâbat masih memusatkan perhatinnya pada pemeliharan dan penulisan Al-Qur`ân. Pada era ke dua ini justru para rawi al-Hadîts diseleksi dan dibatasi, sehingga periode ini dinamakan
عَصْر التثبت والإقلال في الرواية periode pemantapan dan penyeleksian rawi al-Hadîts.
Shahâbat meriwayatkan al-Hadîts dengan dua cara; riwayat bi al-Lafzhi dan riwayat bi al-Ma’na. Riwayat bi al-Lafzhi artinya meriwayatkan al-Hadîts dengan redaksi yang sama persis dengan apa yang disabdakan Rasûl SAW. Boleh dikatakan kutipan langsung dari Rasûl SAW. Sedangkan riwayah bi al-ma’na, periwayatan al-Hadîts dengan menggunakan redaksi shahâbat, tapi isinya dari Rasûl SAW.
Sejak jaman Rasûl SAW masih hidup, shahâbat menyebarkan al-Hadîts secara estapet. Apa yang didengar shahâbat dari Rasûl, kemudian disampaikan kepada para muridnya yaitu tâbi’în.[114] Ketika Rasûl SAW masih hidup, semua al-Hadîts bersumber pada satu sumber. Sedangkan setelah Rasûl wafat, sumber al-Hadîts itu tersebar di kalangan shahâbat. Sedangkan para shahâbat itu memiliki karakteristik yang berbeda, sesuai dengan keahlian, kedudukan, usia dan kuantitas serta kualitasnya dalam mendampingi Rasûl SAW. Oleh karena itu tidak heran bila ada shahâbat yang banyak meriwayatkan al-Hadîts seperti Abu Hurairah, ada pula yang sedikit, seperti Khalid Bin Walid.
Pada masa al-Khulafâ al-Râsyidûn ini suasana al-Hadîts masih berwarna iklim Rasûl SAW, sehingga perkembangannya tidak pesat, karena shahâbat yang menerima langsung masih hidup. Shahâbat banyak konsentrasi pada usaha pembukuan Al-Qur`ân.
D. Al-Hadîts periode tahun 40H-100H
Sejak tahun 40 H, kepemimpinan Islam dipegang oleh Mu’awiyah Bin Abi Sofyan, terjadi berbagai perubahan dalam bidang politik. Kaum muslimin saat itu semakin tersebar ke berbagai pelosok. Al-Hadîts pun semakin menyebar, sehingga dinamakan عصر انتشار الرواية إلى الأمصار masa penyebaran riwayat al-Hadîts ke berbagai daerah.
1. Tersebarnya Al-Hadîts ke berbagai pelosok
Selama kekhalifahan al-Khulafâ al-Râsyidûn, perkembangan al-Hadîts berada pada pemerintahan, karena khilâfah pada saat itu secara bergantian dipegang rawi al-Hadîts, walau pusat pemerintah pndah dari madinah ke Kuffah pada jaman Ali bin Abi Thalib. Setelah era tersebut berakhir dengan terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib, kondisinya menjadi berubah. Kondisi umat pada saat itu terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu khawarij, syi’ah, dan pendukung Mu’awiyah. Kaum muslimin di Kuffah sebenarnya sudah mengangkat al-Hasan Bin Ali menjadi khalifah, tapi pada tahun 41 beliau menyerahkan tahtanya kepada kekuasaan Mu’awiyah. Sikap al-Hasan ini diambil guna mencegah perpecahan umat berlarut-larut. Oleh karena itu pecinta Ali menjadi bersatu dengan pecinta Mu’awiyah dan tahun tersebut dinamakan ‘Am al-Jamâ’ah. Sejak tahun ini khilafah dipegang oleh Mu’awiyah, Sejak itu pula Mu’awiyah mengubah sistem pemerintahan menjadi berbentuk dinasti, pusat pemerintahan pun berpindah dari Kuffah ke Damaskus.
Perpindahan ibu kota itu mengandung nilai postif dan negatif. Positufnya antara lain, al-Hadîts bisa tersebar ke berbagai pelosok karena dibawa oleh kaum muslimin yang menyebar tempat berda’wahnya. Negatifnya antara lain, agak menjauhnya estapeta al-Hadîts dari sumbernya, sehingga memerlukan penelitian sanad secara kritis dan teliti.
2. Terwujudnya lembaga Al-Hadîts
Setelah tersebarnya kaum muslimin ke berbagai tempat, semakin dirasakan pentingnya kelembagaan al-Hadîts. Pusat studi al-Hadîts sebenarnya telah berwujud di Madinah sejak khalifah yang pertama Abu Bakr al-Shiddiq hingga kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib, dan di tempat lainnya. Secara rinci kelembagaan al-Hadîts sejak Abu Bakr hingga akhir abad pertama hijriyah dapat dilihat pada bagan berikut:
PUSAT AL-HADÎTS DAN MUHADDITSIN ABAD 1 H
No |
KOTA |
SHAHÂBAT |
TABI’IN |
01 |
Madinah |
Abu Bakr, Umar, Ali, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar, Zaid Bin Tsabit, |
Urwah, Sa’id, al-Zuhri, Nafi’, al-Qasim ibn Muhamad ibn Abu Bakr, Abu Bakr Bin Abd al-Rahman, Abu Zinad. |
02 |
Makkah |
Mu’adz, Ibn Abbas |
Mujahid, Ikrimah, Atha Ibn Abi Rabah, Abu Zubair Muhammad Bin Muslim |
03 |
Kuffah |
Ali Ibn Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas, Sa’id Ibn Zaid, Khabbah ibn al-Arat, Salman al-Farisi, Abu Juhaifah |
Masruq, Ubaidah al-Aswad, Syuraih, Ibrahim, Sa’id bin Jubair, Amir bin Syurail, al-Sy’abi |
04 |
Bashrah |
Anas Bin Malik, Utbah, Imran Ibn Husain Abu Barzah, Ma’qil Ibn Yasar, Abu Bakrah, Abd al-Rahman Ibn Samurah, Abd Allâh Ibn Syikhkhir, Jariah |
Abu al-Aliyah, Rafi’ bin Mihram, al-Hasan al-Bashri, Muhammad Ibn Sirin, Abu Tsa’tsa, Jabir Ibn Zaid, Qatadah, Mutaharraf Ibn Abd Allâh, Abu Bardah |
05 |
Syam |
Mu’adz Ibn Jabal, Ubadah Ibn Shamit, Abu Darda |
Abu Idri al-Khaulani, Qbisah Ibn Dzuaib, Makhul, Raja Ibn Haiwah |
06 |
Mesir |
Abd Allâh Ibn Amr, Uqbah bin Amir, Kharijah Ibn Khudaifah, Abd Allâh Ibn Sa’ad, , |
Mahmiyah Ibn Jur, Abd Allâh Ibn Harits, Abu Bashrah, Martsad al-Yaziri, Yazid Bin Abi Habib |
Dari para tokoh tersebut al-Hadîts disebarluaskan oleh para muridnya kepada muridnya lagi, dan terus kepada generasi selanjutnya, hingga pada pertengahan abad pertama hijriah itu sudah melembaga. Adapun mual-Hadîtsin dari kalangan shahâbat yang terbanyak meriwayatkan al-Hadîts, menurut al-Thahhan berjumlah enam orang[115]. Rincian keenam shahâbat tersebut dapat dilihat pada bagan berikut:
SHAHÂBAT YANG BANYAK MERIWAYATKAN AL-HADÎTS
NAMA |
LAHIR |
WAFAT |
JUMLAH |
Abu Hurairah |
19 sH |
59 H |
5374 al-Hadîts[116] |
Abd Allâh Ibn Umar |
10 sH |
73 H |
2630 al-Hadîts |
Anas Ibn Malik |
10 sH |
93 H |
2287 al-Hadîts |
Aisyah UmalMu’minin |
9 sH |
54 H |
2210 al-Hadîts |
Abd Allâh Ibn Abbas |
3 sH |
68 H |
1660 al-Hadîts |
Jabir Ibn Abd Allâh |
16 sH |
78 H |
1540 al-Hadîts |
Dengan demikian di pertengahan abad pertama hijriyah, para shahâbat dan tabi’in itulah yang menjadi sumber dan sekaligus lembaga al-Hadîts.
3. Kendala perkembangan al-Hadîts pada era 40-100H
a. Pergantian kepemimpinan umat
Tersisihnya Bani Hasyim dari tampuk pimpinan, terutama sejak terpilihnya Utsman Bin Affan r.a menjadi Khalifah. Usaha Abd Allâh bin Saba yang mengacaukan kesatuan umat juga berpengaruh pada pergolakan politik umat. Akhirnya perselisihan antara kedua kubu tersebut menimbulkan pertikaian dan mengakibatkan Utsman terbunuh. Kemudian Ali r.a. naik sebagai pengganti Ustman. Dengan naiknya Ali r.a. berarti posisi bani Hasyim dalam pemerintahan merupakan posisi kunci yang menentukan segala kebijaksanaaan. Namun pemerintahan Ali r.a ini tidak berjalan muslus, karena mendapat tantangan dari kelompok bani Umayah. Mu’awiyah yang berkuasa di Damascus ternyata tidak mau berbai’at kepada Ali. Perseteruanpun semakin panas sampai terjadi peristiwa tahkim dan berakhir dengan kematian Ali r.a. Setelah Ali r.a meninggal, Hasan bin Ali r.a menggantikan posisi bapaknya. Pada masa pemerintahan Hasan inilah Muawiyah berusaha menggolkan perseteruannya dengan bani Hasyim, maka dengan cara mengancam akan menumpahkan darah dan menjarah kekayaan ummat islam, Muawiyah memaksa Hasan untuk menyerahkan kekuasaaannya. Demi persatuan dan keselamatan ummat Hasan menyerahkan tongkat komando ummat kepada Muawiyah, dan resmi Daulah Umawiyah berdiri tahun 41 hijriah/661masehi. Berawal dari sini Muawiyah melakukan perombakan sistem politik yang bertujuan untuk mempertahankan status Qou, dengan “Wlayat al ‘Ahd” ( putra mahkota ) yang menghapus sistem musyawarah. Kepemimpinan umat pada saat itu diatur secara turun temurun oleh dinasti Umayah. Sejak tahun 41 hingga tahun 100H terjadi pergantian pemimpin senbagai berikut:
N |
NAMA KHALIFAH |
TAHUN |
LAMA |
01 |
Muawiyah bin Abi Sofyan |
41H/61M-60H/680M |
19 thn, 3 bln |
02 |
Yazid I bin Muawiyah |
60/680M-64H/683M |
3 thn, 6 bln |
03 |
Muawiyah II bin Yazid |
64/683M-64H/683M |
sekitar 2 bln |
04 |
Marwan I bin Hakam |
64H/683M-65/684 M |
9 bln 27 hari |
05 |
Abd Malik bin Marwan |
65H/684M-86/705 M |
21 tahun |
06 |
Walid I bin Abdul Malik |
86H/705M-96/714 M |
9 thn 7 bln |
07 |
Sulaiman Bin Abd Malik |
86 H/714M- 99H |
3 tahun |
08 |
Umar bin Abdul Aziz |
99H/717-101H/719M |
2 thn, 5 bln |
Pada awalnya, al-Hadîts itu hanya disampaikan melalui hafalan-hafalan para shahâbat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada saat generasi tabi’in mencari al-Hadîts itu. Sebelumnya pun sudah ada tulisan-tulisan al-Hadîts, tapi belum dilembagakan secara resmi. Penulisan al-Hadîts secara resmi baru terjadi pada akhir abad pertama hijriyah. ‘Umar bin ‘Abd al -‘Azis, khalifah ke-8 dari Dinasti Bani Umayyah, (99-101 H) sebagai pemilik inisiatif secara resmi untuk menulis dan membukukan al-Hadîts tersebut. Buku al-Hadîts yang masih ada pada saat itu antara lain: (1) Al-Shahifah oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib, (2) Al-Shadiqah oleh Imam ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, (3). Daftar oleh Imam Muhammad bin Muslim (50-124 H), (4) Kutub oleh Imam Abu Bakar bin Hazmin. Keempat-empatnya tidak sampai ke abad berikutnya, melainkan hanya berdasarkan keterangan sejarah saja yang dapat dipertanggungjawabkan
Gagasan penulisan al-Hadîts secara resmi sebenarnya sudah ada sejak Umar Bin Khathab jadi khalifah, tapi tidak terjadi karena berbagai faktor. Faktor yang paling utama adalah kekhawatiran bercampur baur dengan Al-Qur`ân, atau munculnya mushhaf kedua setelah Al-Qur`ân. Boleh jadi faktor pergolakan politik dan pergantian pemimpin pun ikut menghambat terwujudnya pembukuan al-Hadîts secara resmi. Alhamdulillah pada era kepimimpinan Umar Bin Abd al-Aziz itulah Al-Hadîts mulai dihimpun secara resmi oleh pemerintahan untuk dibukukan. Penulis utama dalam pembukuan al-Hadîts pada saat itu antara lain al-Rabi Bin Shabih, Sa’id bin Abi Urubah.[117] Faktor utama, yang menyebabkan al-Hadîts tidak dibukukan secara resmi, sejak jaman Rasûl hingga akhir abad pertama hijriyah, yaitu kekhawatiran bercampur baur dengan Al-Qur`ân dan kuatnya hafalan shahâbat yang tidak memerlukan buku. [118]
b. Munculnya berbagai kelompok
Setelah Rasûl SAW wafat, maka wahyu tidak turun lagi, karena Al-Qur`ân dan sunnah telah lengkap dan tidak ada tambahan lagi(Qs.5:3). Pasca wafat Rasûl ullah SAW sebenarnya permasalahan yang dihadapi umat, masih dapat diatasi oleh shahâbatnya sebagai penerus risâlah. Namun karena shahâbat tersebut, jumlahnya sangat banyak, maka muncul penafsiran tentang ayat dan sunnah Rasûl secara berbeda. Ditambah lagi situasi dan kondisi masyarakatnya berubah, yang berdampak pada kehidupan sosial, politik, maupun pemikiran yang ikut berubah pula. Perubahan pemikiran di kalangan kaum muslimin semakin nampak terutama pada masa pemerintahan Utsman Bin Affan, kemudian masa Ali Bin Abi Thalib. Pada awalnya perbedaan pemikiran dipengaruhi oleh kepentingan politik, kemudian merambat kepada hukum, ilmu kalam dan pada periwayatan al-Hadîts. Dalam penilaian kaum khawarij, hanya Abu Bakar ash-Shidiq dan Umar bin Khaththab yang dapat dikatakan adil dan tidak menyeleweng dari ajaran Islam[119].
Doktrin tersebut berpengaruh pada periwayatan al-Hadîts. Kaum khawarij tidak mau menerima al-Hadîts dari orang yang dianggapnya telah berdosa.
Di fihak lain, kaum muslimin yang tetap setia mendukung dan membela Ali Bin Abi Thalib juga bangkit dengan kelompok Syi’ahnya. Kaum Syi’ah tidak mau menerima al-Hadîts yang diriwayatkan oleh kaum Sunni. Akibatnya munculah kelompok besar pada saat itu terdiri Khawarij, Syi’ah, dan Sunni[120] . Khawarij berpandangan bahwa Ali Bin Abi Thalib, Utsman dan Mu’awiyah sudah berbuat salah. Sedangkan syi’ah menganggap Ali Bertindak benar, yang salah adalah Mu’awiyah dan Utsman Bin Affan. Sedangkan kelompok ketiga beranggapan baik fihak Ali, Utsman maupun Mu’awiyah tidak bisa dipersalahkan. Perbedaan pandangan tersebut berpengaruh pada perkembangan al-Hadîts. Kaum Syi’ah tidak mau meriwayatkan al-Hadîts dari pendukung Mu’awiyah. Demikian pula pendukung Khawarij tidak menerima pandangan kelompok Mu’awiyah dan kelompok Ali. Di sisi lain Abd Allâh Bin Saba dari kalangan munafiq terus berusaha memperuncing perselisihan tersebut. Akibatnya tak sedikit umat pada saat itu yang berani membuat al-Hadîts palsu untuk mempertahankan pendapatnya dan membela idolanya.
c. Munculnya al-Hadîts palsu
Perlu diyakini bahwa al-Hadîts palsu tidak terjadi di kalangan shahâbat. Seluruh shahâbat Rasûl SAW adalah adil dan tidak mungkin membuat kepalsuan[121]. Pemalsuan al-Hadîts hanya terdapat dari umat yang dipengaruhi oleh kepentingan, baik pribadi, politik, kelompok atau pun bermotif lainnya. Al-Hadîts palsu yang dibuat bermotif politik seperti: Pendukung Ali yang menentang Mu’awiyah:
إذَا رَأَيْتُم مُعَاوِيةَ عَلَى مِنْبَرهِ فَاقتُلُوه
Jika kalian melihat Mu’awiyah berpidato di atas Mimbar maka bunuhlah.
Sedangkan pembela Mu’awiyah membuat al-Hadîts palsu seperti:
اَلأُمَنَاء ثَلاَثَةٌ أَنَا وَجِبْرِيل وَمُعَاوِيَة
Yang dapat dipercaya itu hanya tiga yaitu Aku (Rasul), Jibril dan Mu’awiyah [122]
Karena antara kelompok yang satu menyerang yang lain, maka semakin bertambahlah hadits palsu, untuk kepentingan membela idola masing-masing.
E. Al-Hadîts periode Abad 2 H
Ditinjau dari sudut pembukuan, abad inilah yang sangat penting dalam priode perekambangan hadits. Oleh karena itu periode inidinamakanعصر الكِتَاب والتدْوين
Seperti telah dijelaskan di atas, sbenarnya penulisan hadits telah dilakaukan sejak masa Rasul SAW, tamun saat itu belum melembaga. Sejak akhir abad pertama hijri dan awal abad kedua inilah, penulisan hadits dikelola secara resmi, atas instruksi Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Beliau mengirim surat perintah kepada gubernur di seluruh negri. Di antara tokoh yang paling penting mendapat surat perintah menuliskan hadits secara resmi adalah Abu Bakr Ibn Hazm gubenur Madinah. Isi surat perintah tersebut antara lain:
أُنْظر مَا كانَ مِن حَدِيْث رَسول الله صلى الله عليه وسلم أوْ سُنَّة مَاضية فَاكْتُبْه فَإنِّي قَدْ خِفْتُ دُرُسَ العِلْم وَذهَاب أهْلِه
Telitilah apa yang merupakan hadits dari rasul SAW atau sunnahnya, kemudian tulislah, karena aku khawatir hilangnya ilmu dan ulama.[123]
Sejak keputusan Khalifah dikeluarkan, maka segala pembiayaan yang berkaitan dengan penelitian dan pembukuan hadits ditanggung pemerintah. Pada saat itu muncul para muhaddits yang cukup terkenal seperti al-Zuhri, al-Awzâ’î, Syu’bah, Abû Yûsuf, Ibn Juraij, Mâlik Bin Anas. Adapun kitab hadits yang dibukukan secara resmi dan beredar secara luas pada periode ini antara lain sebagai berikut:
Nama Penyusun |
Wafat |
Nama Kitab |
‘Abd al-Rahmân Bin ‘Amr al-Awzâ’î |
157H |
Sunan al-Awzâ’î |
Abû Hanîfah |
159H |
Al-Musnad |
Syu’bah Bin Hajâj |
160H |
Al-Mushannaf |
Al-Layts Ibn Sa’d |
175H |
Al-Mushannaf |
Mâlik Bin Anas |
179H |
Al-Muwaththâ |
Abû Yûsuf al-Andhari |
182H |
Kitâb al-Atsar |
Baqî Bin Makhlad |
196H |
Musnad |
Sufyân Ibn ‘Uyaynah |
198H |
Al-Mushannaf |
Karena gencarnya pembukuan hadits, muncul juga para pemalsu. Pemalsuan hadits terjadi dipengaruhi berbagai faktor seperti politik, ekonomi, maupun usaha munafiq untuk menjauhkan umat dari smber hukum yang asli. Perkembangan politik pada abad 2 H, ini terutama pergantian sistem pemerintahan dan pergantian dinasti antara dinasti Mu’awiyah ke Daulah Abbasiyah.
Daulah Abasiah ialah sejarah tentang pemerintahan yang dipimpin oleh keturunan Abas. Nama Abasiah di ambil dari nama paman Rasulullah SAW yang bernama Abas Bin Abdl-Muthalib. Dalam buku sejarah sebutan bagi dinasti ini cukup beraneka ragam. Ada yang menyebutnya Daulah Abasiah, khilafah Abasiah, Khilafah bani Abas, ada pula yang menyebut Daulah Bani Abas.
Masa pmerintahan bani Abas cukup lama mencapai lima abad lebih yaitu dari tahun 132H (750M) sampai dengan tahun 656H (1258M). Karena rentang sejarahnya cukup panjang, maka para hali membaginya kepada beberapa priode. Ahmad Salabi[124], membagi sejarah Abasiah ini menjadi tiga priode yaitu (1) priode pertama, tahun 132H hingga 232H di bawah kekuasaan kekhalifahan Abasiah secara penuh, (2) priode kedua tahun 232H hingga 590H, kekhalifahan Abasiah di bawah kekuatan lain , dan (3) priode ketiga tahun 590H hingga 656H, sebagian berada di bawah sistem kekhalifan Abasiah, tapi hanya sekitar Baghdad, dan sebagiannya menggunakan istem lainnya.
Secara ringkas priodisasi tersebut dapat di lihat pada matrik berikut:
PRIODE | KRITERIA | ||
Pertama tahun
132H-232H (750M-847M) |
1. Berdiri dan berkuasa penuh
2. Mengalami kemajuan pesat 3. Banyak muncul tokoh ilmuan dan madzhab baik bidang fikih, kalam, maupun ilmu yang lain. 4. Semua wilayah Islam, ditangan Abasiah kecuali Andalusia yang masih di kuasai Bani Umayah 5.Pengaruh Persia sangat dominan 6. Sistem imam seperti syi’ah, tapi suksesi gaya Bani Umayah |
||
Kedua, tahun 232H- 590H (847M-1194M) | 1.Kekuasaan banyak dipegang orang Turki, Bani Buwaih dan bani Saljuk
2.Mengalami kemunduran |
||
Ketiga tahun 590H-656H
(1194M-1258M) |
1. Kekuasaan dipegang kembali oleh Abasiah secara penuh tapi tidak semua kawasan Islam, melainkan hanya baghdad dan Sekitarnya.
2. Banyak kawasan yang memerdekakan diri dan berpisah dari kekuasaan Abasiah. |
||
Ada pula ahli sejarah yang memabginya pada lima priode yaitu (1) priode pertama, tahun 132H hingga 232H (750M-847M), sebagi priode pemerintahan di bawah pengaruh Persia I, oleh Muayid Fadhil dinamakan العصر الفارسي [125] ( 2) priode kedua tahun 232H hingga 334H (847M-945M), disebut masa kekuasan di bawah pengaruh Turki I, (3) priode ketiga, tahun 334H hingga 447H (945M-1055M) di bawah kekuasaan dinasti Buwaih, masa khilafah Abasiah di bawah pengaruh Persia II, (4) priode keempat, tahun 447H hingga 590H (1055M-1194M), masa kekuasaan bani Saljuk, biasdanya disebut Khilafah Abasiah di bawah pengaruh Turki II, dan (5) priode kelima, tahun 590H hingga 656H (1194M-1258M), Daulah Absiah bebas dari pengaruh lain tapi pemerintahan yang efektif hanya di Baghdad[126].
Banyak faktor yang menyebabkan munculnya Daulah Abasiah antara lain sebagai berikut:
1. Bani Umayah berdiri dengan jalan kurang mulus, sehingga menimbulkan ketidak puasan berbagai kalangan yang dirugikan terutama fihak keturunan Rasulullah SAW dan Bani Hasyim pada umumnya.
2. Latar belakang berdiri bani Umayah juga tidak terlepas dari konflik politik yang terjadi di masa Ali Bin Abi Thalib.
3. Sistem pergantian kepemimpinan di bani Umayah juga kurang transfaran, karena hanya mementingkan garis keturunan.
4. sikap Hidup bani Umayah juga dinlai berbagai kalangan sebegai pemerintahan yang kurang baik terutama akhlaqnya.
5. Kelompok-kelompok yang tidak puas pada pemerintahan bani umayah akhirnya bersatu menentang pemerintah.
6. Kelompok tersebut mulai menyusun kekuatan di bawah tanah. Akhirnya Keturunan al-Abas Bin Abd al-Muthalib mendapat dukungan kuat dari Bani hasyim, Mawali rasul dan Kaum Syi’ah.
7. Bani Abas aktif menghimpun kekuatan terutama dari daerah yang agak jauh dari pengawasan bani Umayah seperti al-Khurasan, Humaimah (ada juga yang membaca Hamimah, dan Kuffah.
8. Pemerintahan Bani Umayah dapat digulingkan oleh Bani Abas. Abdullah al-Saffah Bin Muhammad Bin Ali Bin Abd Allah Bin Abbas, akhirnya dapat mendirikan dinasti Abasiah
Sistem pemerintahan Abasiah adalah kerajaan, walau pun pemimpinnya disebut khalifah. Oleh karena itu suksesi kepemimpinannya melalui pengangkatan putra mahkota, kemudian memangku jabatan menggantikan yang mengangkatnya. Adapun urutan khalifah Abasiyah yang berkuasa pada abad 2 H dapat dilihat pada bagan berikut:
No |
NAMA KHALIFAH YANG BERKUASA |
SEJAK TAHUN |
1 | Abu al-Abas al-Saffah | 132 H |
2 | Abu Ja’far al-Mansur | 136 H |
3 | Abu Abd Allah Muhammad al-Mahdi bin al-Mansur | 158 H |
4 | Abu Musa al-Hadi | 169 H |
5 | Abu Ja’far Harun al-Rasyid | 170 H |
6 | Abu Musa Muhammad al-Amin | 193 H |
7 | Abu Ja’far Abd Allah al-Ma’mun | 198 H |
Pergantian pemerintahan semacam ini, berpengaruh pula pada perkembangan hadits, langsung atau pun tidak langsung.
F. Al-Hadîts periode Abad 3 H
Gencarnya penulisan hadits pada abad kedua, memunculkan pula usaha orang yang tidak bertanggung jawab untuk membuat kepalsuan dalam hadits. Ulama hadits berusaha keras, pada saat itu, untuk menjaga kemurnian syariat Islam. Pada abad inilah muncul ulama yang berkonsentrasi menyeleksi hadits. Oleh karena itu abad ini dikenal dengan istilah عَصْر التَّجْرِيْد و التَّصْحيح والتَّنْقِيح (masa penyaringan, penyeleksian, pemilihan dan pelengkapan hadits). Perintis usaha ini antara lain Ishaq bin Ruhawaih, yang dusempurnakan oleh al-Bukhari dan Muslim. Kitab-kitab yang terbit pada abad ini antara lain sebagai berikut:
Muhammad Idrîs al-Syâfi’î |
204H |
Musnad al-Syâfi’î |
Sulaymân Bin Dâwud al-Thayâlisî |
206H |
Musnad Al-Thayâlisî |
Abû Bakr ‘Abd al-Razzâq al-Shan’ânî |
211H |
Mushanaf ‘Abd al-Razzâq |
Al-Baghawî |
214H |
Al-Musnad |
‘Abd Allâh Bin Zubayr al-Humaydî |
219H |
Musnad al-Humaydî |
Ibn al-Manshûr al-Kharasâni |
227H |
Sunan Ibn Manshûr |
Ahmad Bin Hanbal |
241 H |
Musnad Ahmad |
‘Abdu al-Rahmân al-Dârimî |
255H |
Sunan al-Dârimî |
Muhammad Bin Ismâ’îl al-Bukhârî |
256H |
Shahîh al-Bukhârî, al-Adab al-Mufrad |
Muslim Bin Hajâj al-Naysabûrî |
261H |
Shahîh Muslim |
Abû Dâwud al-Asy’asy |
275H |
Sunan Abî Dâwud |
Muhammad Bin Zaid Ibn Mâjah |
275H |
Sunan Ibn Mâjah |
Abû ‘Îsâ al-Turmudzî |
279H |
Sunan al-Turmudzî |
Adapun kepemimpinan Dunia Islam pada abad ini, masih berada di tangan Dinasti Abbasiah yang urutannya bisa dilihat pada bagan di abawah ini:
No |
NAMA KHALIFAH YANG BERKUASA |
SEJAK TAHUN |
8 |
Abu Ishaq Muhammad al-Mu’tashim |
218 H |
9 |
Abu Ja’far Harun al-Watsiq |
227 H |
10 |
Abu al-Fadhl Ja’far al-Mutawakkil |
232 H |
11 |
Abu Ja’far Muhammad al-Muntasir |
247 H |
12 |
Abu al-Abbas Ahmad al-Musta’in |
248 H |
13 |
Abu Abd Allah Muhammad al-Mu’taz |
252 H |
14 |
Abu Ishaq Muhammad al-Muhtadi |
255 H |
15 |
Ab al-Abbas Ahmad al-Mu’tamid |
256 H |
16 |
Abu al-Abbas Ahmad al-Mu’tadhid |
279 H |
17 |
Abu Muhammad Ali al-Muktafi |
289 H |
18 |
abu al-fadhl Ja’far al-Muqtadir |
295 H |
Pada periode abad ini, hadits disleksi hingga terpisah antara hadits shahih, hasan dan yang dla’if. Walau masih disadari terdapat hadits yang dianggap shahih oleh satu ulama, dianggap dla’if oleh ulama lain, tapi setidaknya memberikan kemudahan untuk menyelidiki keabsahan hadits. Di samping itu, terdapat pula kumpulan hadits shahih yang mayoritas ulama meyakininya sebagai kitab hadits terpercaya, yaitu Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Hal ini bukan berarti hadits yang tidak tercantum dalam kedua kitab ini dianggap tidak shahih, sebab masih banyak yang shahih tapi tidak terdapat dalam kedua kitab tersebut. Semua hadits yang terdapat dalam shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, telah diakui kesahihahannya oleh mayorotas ulama. Namun bukan pula berarti semua hadits shahih terdapat pada kedua kitab tersebut.
G. Al-Hadîts periode Abad 4 hingga abad 6 H
Pada abad ini berlangsung masa pembersihan hadits dari yang kurang shahih dan penysunan secara sistematis berlangsung hingga masa kejatuhan dinasi Abbasiah.
Sedangkan masa penyusunan kitab hadits berdasar sanad penyusunnya berakhir pada pertengahan abad 5 H. Setelah berakhirnya abad 5, tidak terdapat lagi kitab hadits dengan menggunakan sanad sendiri, melainkan berupa kutipan dari sumber yang telah ada pada abad sebelumnya. Adapun kitab hadits yang muncul pada periode ini antara lain sebagi berikut:
Ahmad Bin Syu’ayb al-Nasâ`î |
303H |
Sunan al-Nasâ`î |
Muhammad Bin ‘Alî, Abû Ya’lâ |
307H |
Musnad Abî Ya’lâ |
Muhammad bin Hârûn Abû Bakr |
307H |
Musnad al-Ruyânî |
Muhammad Bin Ishâq Ibn Khuzaymat |
311H |
Shahîh Ibn Khuzaymat |
Ya’qub Bin Ishâq Abû ‘Awânat |
316H |
Musnad Abî ‘Awânat |
Abû Hâtim Muhammad Bin Hibbân |
354H |
Shahîh Ibn Hibbân |
Abû al-Qâsim Sulaymân al-Thabrânî |
360H |
al-Mu’jam al-shughrâ, al-Mu’jam al-Ausat, al-Mu’jam al-Kubrâ |
‘Alî Bin Umar al-Dâruquthnî |
385H |
Sunan al-Dâruquthnî |
Al-Hâkim al-Naysabûri |
405 H |
Al-Mustadrak, mustakhraj |
Abû Bakr Ahmad al-Baihaqî |
458H |
Sunan al-Baihaqî (sughrâ, al-Kubrâ ) |
Di akhir abad ke 5 H muncul berbagai kutab syarah dan kumpulan hadits serta kajian-kajian yuang lebih luas. Adapun kekuasaan pemerintahan dunia Islam pada periode 3 H hingga berakhirnya dinasti Abbasiah bisa dilahat pada bagan berikut:
No |
NAMA KHALIFAH YANG BERKUASA |
SEJAK TAHUN |
19 | Abu mansur Muhammad al-Qahir | 320 H |
20 | Abu al-Abbas Ahmad al-Radhi | 322 H |
21 | Abu Ishaq Ibrahim al-Muttaqi | 329 H |
22 | Abu al-Qasim Abd Allah al-Mustakfi | 333 H |
23 | Abu al-Qasim al-Mufadhdhal al-Mu’thi | 334 H |
24 | Abu al-Fadhal Abd al-Karim al-Tha’i | 362 H |
25 | Abu al-Abbas Ahmad al-Qadir | 381 H |
26 | Abu Ja’far Abd Allah al-Qa’im | 422 H |
27 | Abu al-Qasim Abd Allah al-Muqtadi | 467 H |
28 | Abu al-Abbas Ahmad al-Mustazhhir | 487 H |
29 | Abu mansur al-Fadhl al-Mustarsyid | 512 H |
30 | Abu Ja’far al-mansur al-Rasyid | 529 H |
31 | Abu Abd Allah Muhammad al-Muqtafi | 530 H |
32 | Abu al-Muzhaffar al-Mustanjid | 555 H |
33 | Abu Muhammad al-Hasan al-mustadhi’ | 566 H |
34 | Abu al-Abbas Ahmad al-Nashir | 575 H |
35 | Abu nashr Muhammad al-Zahir | 622 H |
36 | Abu Ja’far al-Mansur al-Mustanshir | 623 H |
37 | Abu Ahmad Abd Allah al-Musta’shim | 640H-656H |
Ditilik dari sudut peradaban maupun keagamaan periode dinasti Abbasiah, cukup mengalami kemajuan. Hal ini terjadi, karena adanya kaum muslimin yang istiqamah dalam memposisikan diri dalam bidang tafaqquh fi al-Din. Ulama yang memegang posisi di bidang ini biasanya tidak terpengaruh oleh kepentingan politik mana pun.
H. Al-Hadîts periode Ulama Mutaakhirin
Pada periode berikutnya, ulama memfokuskan pada pmebahasan hadits dari berbagai sudut. Di abad mutakhir, ulama hadits tidak lagi hanya sebagai pengumpul dan penulis, tapi juga pengkaji, peneliti dan pembahas. Penelitian hadits tidak hanya dari sudut otentisitas, tapi juga validitas, penerapan atau implikasinya pada segala aspek kehidupan. Sejak berakhirnya abad 5 H, berakhir pula mata rantai sanad. Oleh karena itu di abad mutakhir, tugas ulama bukan mencari hadits dari orang perorang, tapi lebih erfokus pada pengkajian, penelitian dan pembahasan hadits yang telah tersusun dalam berbagai kitab. Langkah penelitian yang ditempuh oleh ulama mutakhir tidak kuranga dari (1) tawtsiq, penelusuran otentisitas hadits, (2) tashhîh, penelilitan tentang kebasahan dan validitas hadits, (3) tahlîl, yaitu analisis ma’na hadits dengan menggunakan ilmu syarah, (4) tathbîq yaitu mencari implikasi hadits untuk diterapkan dalam segala aspek kehidupan, (5) i’tibâr dengan memunculkan teori baru yang digali dari nilai yang terkandung dalam hadits. (Uraian lebih lanjut bisa dilihat pada bagian metode penelitian hadits).
I. Macam-macam kitab Al-Hadîts sejak Masa Tadwîn hingga Syarh
Metode penyusunan kitab hadits, cukup beragam, ada yang sistematikanya menurut judul fiqih, ada yang berdasar urutan shahabat, ada yang berdasar pangkal kata, ada pula yang disusun berdasar kalisifikasi lainnya.
a. Kitab Musnad
Kitab musnad adalah kitab hadits yang disusun berdasar urutan shahâbat sebagai rawi tertinggi dan terdekat dengan Rasul SAW. Kitab yang disusun berdasar sistemaytika ini antara lain: (1) Al‑Musnad, Abu Hanifah (150 H.). (2) Al‑Musnad, al‑Syafi’i (204 H.). (3) AI‑Musnad, Abu Dawud al‑Thayalisi (201 H.). (4) Al‑Musnad, Ahmad ibn Hanbal (241 H.). (5) AI‑Musnad, Zaid ibn’Ali. (6) al‑Musnad, ‘Abdullah ibn Musa. (7) Al‑Musnad, Musaddad ibn Musarhad. (8) Al‑Musnad, Asad ibn Musa al‑Amawi (9) Al‑Musnad, Nu’aim ibn Hammad al‑Khuza’i. (10) Al‑Musnad, Ishaq ibn Rahawaih (11) Al‑Musnad, Abu Ya’la al‑Maushuli. (12) Al‑Musnad, al‑Humaidi. (13) Al‑Musnad, ‘Ali al‑Madaidi. (14) AI‑Musnad, ‘Abid ibn Humaid. (15) AI‑Musnad, al‑Bazzar. (16) AI‑Musnad, al‑Marwazi. (17) Al‑Musnad, Abu Bakar ibn Abi Syaibah (235 H.). (18) Al‑Musnad, al‑Baghawi (214 H.). (19) AI‑Musnad, al‑Masarkliasi (298 H.). (20) AI‑Musnad, Baqi In Makhlad (196 H). (21) AI‑Musnad, Sai’id ibn Manshur ((227 H.). (22) AI‑Musnad, al‑Razi. (23) Al‑Musnad, al‑Khawarizmi.
b. Kitab Mushannaf
Mushannaf ialah kitab hadits yang disusun berdasar judul bab fiqih, antara lain (1) Al‑Muwaththa’, Malik ibn Anas (179 H.). (2) Al‑Mushannaf, Syu’bah ibn Hajjaj (160 H.). (3) Al‑Mushannaf, Sufyan ibn Uyainah (198 H.). (4) Al‑Mushannaf, al‑Laits ibn Sa’ad (175 H.). (5) Al‑Mushannaf, al‑Auza’i (157 H).
c. Kitab Shahih
Kitab Shahih atau al-Jami al-Shahih, ialah kitab hadits yang disusun menggunakan sistem mushannaf, tapi hanya mencantumkan hadits-hadits yang dianggap shahih oleh penyusunnya, tanpa mencantumkan hadits yang diragukan keshahihannya, seperti: (1) AI‑Jami’al‑Shahih, al-Bukhari (256 H.). (2) AI‑Jami’al‑Shahih, Muslim bin Hajaj (261 H.). (3) AI‑Shahih, Ibn Huzaimah (311 H.). (4) Al‑Taqsim wa al‑Anwa, (shahhih Ibn Hibban) Ibn Hibban (354 H.) (5) Al‑Shahih, Abu’ Awanah (316 H.). (6) AI‑Muntaqa, Ibn al‑Jarud (307 H.).
d. Kitab Sunan
Al-Sunan merupakan bentuk jama dari sunnah, yang berarti kumpulan sunah Nabi SAW. Kitab ini disusun berdasar bab seperti Mushannaf, tapi tidak diklasifikasi mana yang shahih, hasan atau dla’if, mana yang bersambung atau tidak. Penyusun kitab semacam ini mengumpulkan dan menuliskan semua hadits yang didapatkannya berdasar bab yang dikehandaki, tapi diberi penilaian apakah hadits tersebut shahih, hasan, dla’if atau penilaian lainnya. Kitab al-Sunan antara lain (1) AI‑Sunan, Abu Dawud (275 H). (2) AI‑Sunan, al‑Turmudzi (278 H.). (3) Al‑Sunan, al‑Nasai (303 H.). (4) Al‑Sunan, Ibn Majah (273 H.). (5) .al-Sunan al‑Darimi. (6) Al‑Sunan, al‑Dailami. (7) al‑Sunan, al‑Daruquthni (358 H.). (8) AI‑Sunan al‑Kubra, al‑Baihaqi (458 H.).
e. Kitab Mustadrak
Kitab mustadrak, ialah kumpulan hadits yang tidak tercantum dalam kitab yang diistidrak, padahal menurut penelitinya memenuhi syarat. Al-Mustadrak ala al-Bukhari, berarti kumpulan hadits yang memenuhi syarat al-Bukhari tapi tidak tercantum dalam kitabnya. Kitab semacam ini anatara lain: (1) Al‑Mustadrak ala al-shahihayni, al‑Hakim (405 H.). (2) Al‑Mustadrak, al‑Dzahabi (748 H.). (3) Al‑Ilzamat, al‑Daruqutl‑ini (385 H.). (5) al-Mustadrak, Abu Dzar al-Hawari (434H)
f. Kitab Mustakhraj
Mustakhraj ialah kitab yang disusun dengan metoda istikhraj, yaitu meriwayatkan hadits yang telah ada di kitab tertentu, tapi meriwayatkannya lagi dari jalur lain yang bersambung dengan penyusun. Metoda ini digunakan untuk memperoleh data tentang suatu kitab hadits, tapi melalui sanad sendiri. Contoh: (1) Mustakhraj Shahih al‑Bukhari; al‑Jurjani, al‑Barqani (425 H.), Ibn Mardawaih (416 H.), al‑Ghatrifi (377 H.), al‑Harawi (37811). (2) Mustakhraj Shahih Muslim; Abu Awanah (316 H.), Abu Bakar Muhammad ibn Raja, al‑Jauzaqi (388 H.). (3) Muslakhraj Shahih al‑Bukhari dan Muslim; Muhammad Ibn Ya’qub, Abu Dzar al‑Harawi (343 H.), al‑Khallal (439 H.), al‑Asbahani (430 H.), al‑Sirazi (388 H.). (4) Mustakhraj Sunan Abu Dawud, Muhanu‑nad ibn Abd al‑MaU. (5) Mustakhraj Sunan al‑Turmudzi; al‑Thusi. (6) Musttikhraj Shahih Ibn Khuzoimah; al‑Asbahani. (7) Mustakhraj Mustadrak al‑Hakim; al‑’Iraqi.
g. Kitab berdasar derajat hadits
kitab ini berisi hadits-hatits yang telah diselidiki derajatnya. Contoh karya Nashir al-Din al-Albani antara lain (1) Dla’if al-Jami al-Shaghir (2). Shahih al-qashash (3). Shahih Ibn Majah (4). Dla’if al-Turmudzi (5). Silisilah ahadits al-Dla’ifah wa al-Maudlu’ah
Bagian Kelima
Metode Kritik Hadits
A. latar Belakang
Risâlah Rasûl sejak masa turun wahyu hingga kini menjalani masa yang cukup panjang, tentu saja mengalami berbagai situasi dan kondisi yang terkadang berpengaruh positif, terkadang berpengaruh negatif pada perkembangannya. Namun karena Allâh SWT telah menjamin keutuhan risâlah al-Islam, berbagai terpaan yang menggoncang keutuhan risâlah selalu dapat diatasi.
Berbagai usaha orientalis mengguncang keutuhan risâlah, selalu kandas di tengah jalan. Setiap ada orientalis yang mencoba mengutak atik keutuhan sunnah, setiap itu pula pembela sunnah muncul. Namun tidak bisa dipungkiri, sementara kaum muslimin ada yang menerima informasi hanya dario salah satu fihak. Tak sedikit kaum muslimin menerima pandangan orientalis tentang al-Hadîts, tapi tidak menerima bantahannya dari kalangan ulama. Hal ini berpengaruh kepada jalan fikiran kaum muslimin itu sendiri. Di sinilah pentingnya kaum muslimin mengetahui metodologi keritik untuk menyeleksi informasi mana yang patut diterima, dan mana pula yang sepantasnya ditolak.
Jika ada orang yang mencoba membuat pemalsuan terhadap satu huruf saja dari Al-Qur`ân, maka akan mudah ditemukan, karena telah termaktub dalam mushhaf. Namun tidak demikian mudah untuk menemukan pemalsuan al-Hadîts. Al-Hadîts tertulis di berbagai kitab dan berbagai macam sanad dan rawi. Untuk menyelidiki keabsahan al-Hadîts itulah, ulama muhadditis menyusun berbagai metoda keritik al-Hadîts.
B. Pentingnya Kritik
1. Seorang muslim tidak boleh menerima begitu saja ajaran masa lalu. Allâh SWT mengecam keras orang yang hanya menerima apa yang diinformasikan para pendahaulu tanpa ada kritikan. Firman-Nya:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allâh”. Mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? Qs.31:21
2. Mengecek kebenaran suatu berita dan Menghindari kecerobohan
Seorang mu’min tidak dibenarkan untuk menerima berita yang dibawa kaum fasiq, sebelum mengecek kebenarannya terlebih dahulu. Dengan demikian kritik itu penting untuk mengecek kebenaran berita. Allâh SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Qs.49:6
3. Memilih mana yang paling tepat
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allâh petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. Qs.39:18
Ayat ini memuji ulul al-lbab yang suka menerima perkataan ortang lain, tapi selalu memilih mana yang paling baik. Untuk mengetahui mana yang paling baik dari berbagai informasi yang diterima diperlukan adanya kritik.
4. Mencari keseimbangan berita
Rasul SAW bersabda:
إِذَا تَقَاضَى إِلَيْكَ رَجُلَانِ فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ حَتَّى تَسْمَعَ كَلَامَ الْآخَرِ فَسَوْفَ تَدْرِي كَيْفَ تَقْضِي
Jika ada dua orang berselisih pada mu mengadu, maka janganlah memutuskannya pada fihak pertama sebelum mendengarkan pandangan fihak lain. Dengan demikian kamu akan tahu apa yang kamu tetapkan. Hr. Tirmidzi[127]
Al-Hadîts ini mengisyaratkan kaum muslimin selalu teliti dalam menetapkan dan mengambil kesimpulan tentang sautu informasi. Secara tersurat, al-Hadîts ini memang berkaitan dengan tugas hakim dalam mengecek informasi dari orang yang mengadu. hakim semestinyta tidak begitu mudah menerima pengaduan tanpa mengkeritik pengadu dan mengeceknya kepada yang diadukan. Dengan demikian bila mendapat berita yang yang berkaitan dengan kelemahan seseorang mesti dicek lebih dulu kebenarannya dengan mempertanyaakannya kepada yang diceritakan.
C. Kritik Al-Hadîts dalam Perspektif Sejarah
1. Jaman Rasûl SAW
عن عُمَر بْن الْخَطَّابِ قَالَ لَمَّا اعْتَزَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءَهُ قَالَ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا النَّاسُ يَنْكُتُونَ بِالْحَصَى وَيَقُولُونَ طَلَّقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءَهُ وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يُؤْمَرْنَ بِالْحِجَابِ فَقَالَ عُمَرُ فَقُلْتُ لَأَعْلَمَنَّ ذَلِكَ الْيَوْمَ قَالَ فَدَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ أَقَدْ بَلَغَ مِنْ شَأْنِكِ أَنْ تُؤْذِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ مَا لِي وَمَا لَكَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ عَلَيْكَ بِعَيْبَتِكَ قَالَ فَدَخَلْتُ عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ فَقُلْتُ لَهَا يَا حَفْصَةُ أَقَدْ بَلَغَ مِنْ شَأْنِكِ أَنْ تُؤْذِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمْتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُحِبُّكِ وَلَوْلَا أَنَا لَطَلَّقَكِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَكَتْ أَشَدَّ الْبُكَاءِ فَقُلْتُ لَهَا أَيْنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ هُوَ فِي خِزَانَتِهِ فِي الْمَشْرُبَةِ فَدَخَلْتُ فَإِذَا أَنَا بِرَبَاحٍ غُلَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدًا عَلَى أُسْكُفَّةِ الْمَشْرُبَةِ مُدَلٍّ رِجْلَيْهِ عَلَى نَقِيرٍ مِنْ خَشَبٍ وَهُوَ جِذْعٌ يَرْقَى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَنْحَدِرُ فَنَادَيْتُ يَا رَبَاحُ اسْتَأْذِنْ لِي عِنْدَكَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَظَرَ رَبَاحٌ إِلَى الْغُرْفَةِ ثُمَّ نَظَرَ إِلَيَّ فَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا ثُمَّ قُلْتُ يَا رَبَاحُ اسْتَأْذِنْ لِي عِنْدَكَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَظَرَ رَبَاحٌ إِلَى الْغُرْفَةِ ثُمَّ نَظَرَ إِلَيَّ فَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا ثُمَّ رَفَعْتُ صَوْتِي فَقُلْتُ يَا رَبَاحُ اسْتَأْذِنْ لِي عِنْدَكَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنِّي أَظُنُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ظَنَّ أَنِّي جِئْتُ مِنْ أَجْلِ حَفْصَةَ وَاللَّهِ لَئِنْ أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضَرْبِ عُنُقِهَا لَأَضْرِبَنَّ عُنُقَهَا وَرَفَعْتُ صَوْتِي فَأَوْمَأَ إِلَيَّ أَنْ ارْقَهْ فَدَخَلْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ عَلَى حَصِيرٍ فَجَلَسْتُ فَأَدْنَى عَلَيْهِ إِزَارَهُ وَلَيْسَ عَلَيْهِ غَيْرُهُ وَإِذَا الْحَصِيرُ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ فَنَظَرْتُ بِبَصَرِي فِي خِزَانَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَنَا بِقَبْضَةٍ مِنْ شَعِيرٍ نَحْوِ الصَّاعِ وَمِثْلِهَا قَرَظًا فِي نَاحِيَةِ الْغُرْفَةِ وَإِذَا أَفِيقٌ مُعَلَّقٌ قَالَ فَابْتَدَرَتْ عَيْنَايَ قَالَ مَا يُبْكِيكَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ وَمَا لِي لَا أَبْكِي وَهَذَا الْحَصِيرُ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِكَ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لَا أَرَى فِيهَا إِلَّا مَا أَرَى وَذَاكَ قَيْصَرُ وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ وَالْأَنْهَارِ وَأَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفْوَتُهُ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ فَقَالَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ أَلَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَنَا الْآخِرَةُ وَلَهُمْ الدُّنْيَا قُلْتُ بَلَى قَالَ وَدَخَلْتُ عَلَيْهِ حِينَ دَخَلْتُ وَأَنَا أَرَى فِي وَجْهِهِ الْغَضَبَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يَشُقُّ عَلَيْكَ مِنْ شَأْنِ النِّسَاءِ فَإِنْ كُنْتَ طَلَّقْتَهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مَعَكَ وَمَلَائِكَتَهُ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَأَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَالْمُؤْمِنُونَ مَعَكَ وَقَلَّمَا تَكَلَّمْتُ وَأَحْمَدُ اللَّهَ بِكَلَامٍ إِلَّا رَجَوْتُ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ يُصَدِّقُ قَوْلِي الَّذِي أَقُولُ وَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ آيَةُ التَّخْيِيرِ عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ وَكَانَتْ عَائِشَةُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ وَحَفْصَةُ تَظَاهَرَانِ عَلَى سَائِرِ نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَطَلَّقْتَهُنَّ قَالَ لَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ وَالْمُسْلِمُونَ يَنْكُتُونَ بِالْحَصَى يَقُولُونَ طَلَّقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءَهُ أَفَأَنْزِلُ فَأُخْبِرَهُمْ أَنَّكَ لَمْ تُطَلِّقْهُنَّ قَالَ نَعَمْ إِنْ شِئْتَ فَلَمْ أَزَلْ أُحَدِّثُهُ حَتَّى تَحَسَّرَ الْغَضَبُ عَنْ وَجْهِهِ وَحَتَّى كَشَرَ فَضَحِكَ وَكَانَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ ثَغْرًا ثُمَّ نَزَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَزَلْتُ فَنَزَلْتُ أَتَشَبَّثُ بِالْجِذْعِ وَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّمَا يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا يَمَسُّهُ بِيَدِهِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا كُنْتَ فِي الْغُرْفَةِ تِسْعَةً وَعِشْرِينَ قَالَ إِنَّ الشَّهْرَ يَكُونُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ فَقُمْتُ عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ فَنَادَيْتُ بِأَعْلَى صَوْتِي لَمْ يُطَلِّقْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءَهُ وَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنْ الْأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ فَكُنْتُ أَنَا اسْتَنْبَطْتُ ذَلِكَ الْأَمْرَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ آيَةَ التَّخْيِيرِ [128]
Diriwayatkan dan Umar bin Khathab Ketika Nabi saw. tidak menggauli istri-istrinya, beliau berkata: Aku memasuki mesjid, lalu aku melihat orang-orang memukulkan tanah dengan batu-batu kerikil sambil berkata: Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya. Hal itu terjadi sebelum para istri nabi diperintahkan memakai hijab. Umar berkata: Aku berkata: Aku harus mengetahui kejadian sebenarnya hari ini! Maka aku mendatangi Aisyah ra. dan bertanya: Wahai putri Abu Bakar, sudah puaskah kamu menyakiti Rasulullah saw.? Aisyah ra. menjawab: Apa urusanmu denganku, wahai putra Khathab! Nasihatilah putrimu sendiri! Maka setelah itu aku langsung menemui Hafshah binti Umar dan aku katakan kepadanya: Wahai Hafshah, sudah puaskah kamu menyakiti Rasulullah saw.? Demi Allah, sesungguhnya kamu tahu bahwa Rasulullah saw. tidak menyukaimu. Seandainya bukan karena aku, niscaya Rasulullah saw. sudah menceraikanmu. Maka menangislah Hafshah sekuat-kuatnya. Aku bertanya: Di manakah Rasulullah saw. sekarang berada? Ia menjawab: Di tempatnya di kamar atas. Aku segera masuk, namun ternyata di sana telah berada Rabah, pelayan Rasulullah saw. yang sedang duduk di ambang pintu kamar atas sambil menggantungkan kedua kakinya pada tangga kayu yang digunakan Rasulullah untuk naik-turun. Lalu aku berseru memanggil: Wahai Rabah, mintakan izin untukku menemui Rasulullah saw.! Kemudian Rabah memandang ke arah kamar Rasulullah saw. lalu memandangku tanpa berkata apa-apa. Aku berkata lagi: Wahai Rabah, mintakan izin untukku menemui Rasulullah saw.! Sekali lagi ia hanya memandang ke arah kamar Rasulullah kemudian ke arahku tanpa berkata apa-apa. Akhirnya aku mengangkat suara dan berseru: Wahai Rabah, mintakan aku izin untuk menemui Rasulullah! Aku mengira Rasulullah menyangka aku datang demi kepentingan Hafshah. Demi Allah, kalau beliau menyuruhku untuk memukul lehernya maka segera akan aku laksanakan perintah beliau itu. Kemudian aku keraskan lagi suaraku, dan akhirnya Rabah memberikan isyarat kepadaku supaya menaiki tangga. Aku lalu segera masuk menemui Rasulullah saw. yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekatnya lalu beliau menurunkan kain sarungnya dan tidak ada sesuatu lain yang menutupi beliau selain kain itu. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandangan ke sekitar kamar beliau. Tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira-kira seberat satu sha‘ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang belum sempurna disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air mata tanpa dapat kutahan. Rasulullah bertanya: Apakah yang membuatmu menangis, wahai putra Khathab? Aku menjawab: Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah membekas di pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara kaisar (raja Romawi) dan kisra (raja Persia) bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini. Rasulullah saw. lalu bersabda: Wahai putra Khathab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka? Aku menjawab: Tentu saja aku rela. Umar berkata: Ketika aku pertama kali masuk, aku melihat kemarahan di wajah beliau. Lalu aku tanyakan kepada beliau: Wahai Rasulullah, apakah yang menyusahkanmu dari urusan istri-istrimu? Jika engkau ceraikan mereka, maka sesungguhnya Allah dan seluruh malaikat-Nya akan tetap bersama engkau begitu juga Jibril, Mikail, aku dan Abu Bakar serta segenap orang-orang mukmin pun juga tetap bersamamu. Sambil mengucapkan kata-kata itu aku selalu memuji Allah dan berharap semoga Allah membenarkan ucapan yang aku lontarkan tadi. Kemudian turunlah ayat takhyir (memberikan pilihan) berikut ini: Jika Nabi saw. menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu. Jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik, dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya (pula). Pada saat itu Aisyah ra. dan Hafshah telah bersekongkol terhadap istri-istri Nabi saw. yang lainnya. Aku katakan kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menceraikan mereka? Beliau menjawab: Tidak. Kemudian aku jelaskan kepada beliau, bahwa sewaktu aku memasuki mesjid, aku melihat kaum muslimin memukul-mukulkan batu kerikil ke tanah sambil berkata bahwa Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya. Apakah perlu aku turun untuk memberitahukan mereka bahwa sebenarnya engkau tidak menceraikan istri-istrimu. Beliau bersabda: Boleh, kalau memang kamu ingin. Aku masih tetap berbicara dengan beliau sampai akhirnya aku melihat beliau benar-benar reda dari kemarahannya. Bahkan beliau sudah dapat tersenyum dan tertawa. Dan Rasulullah saw. adalah orang yang paling indah gigi serinya. Kemudian Rasulullah turun dan aku pun ikut turun. Aku turun terlebih dahulu lalu aku pegang erat-erat batang pohon yang digunakan tangga tersebut dan Rasulullah pun turun seakan-akan beliau jalan di atas tanah dan tidak memegang apapun dengan tangannya. Aku berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau berada di dalam kamar itu selama dua puluh sembilan hari. Beliau bersabda: Sesungguhnya sebulan itu ada yang dua puluh sembilan hari. Lalu aku berdiri di pintu mesjid sambil berseru dengan suara sekeras-kerasnya: Rasulullah saw. tidak menceraikan istri-istrinya. Kemudian turunlah ayat: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Dan akulah orang yang ingin mengetahui perkara itu. Maka Allah Taala lalu menurunkan ayat takhyir.[129]
Peristiwa yang diterangkan al-Hadîts ini memberikan gambaran bahwa di jaman Rasûl SAW masih hidup telah terjadi kritik al-Hadîts. Umar Bin al-Khathab pada saat itu tidak begitu mudah menerima berita tentang Rasûl SAW, melainkan dia langsung mengecek kepada sumbernya, apakah benar atau kah tidak.
Dalam peristiwa lain, Aisyah R.a. juga pernah mengkritik pandangan Umar Bin al-Khathab tentang mayit yang disiksa akibat tangisan keluarga.
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ تُوُفِّيَتْ ابْنَةٌ لِعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِمَكَّةَ وَجِئْنَا لِنَشْهَدَهَا وَحَضَرَهَا ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَإِنِّي لَجَالِسٌ بَيْنَهُمَا أَوْ قَالَ جَلَسْتُ إِلَى أَحَدِهِمَا ثُمَّ جَاءَ الْآخَرُ فَجَلَسَ إِلَى جَنْبِي فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لِعَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ أَلَا تَنْهَى عَنْ الْبُكَاءِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَدْ كَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ بَعْضَ ذَلِكَ ثُمَّ حَدَّثَ قَالَ صَدَرْتُ مَعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ مَكَّةَ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ إِذَا هُوَ بِرَكْبٍ تَحْتَ ظِلِّ سَمُرَةٍ فَقَالَ اذْهَبْ فَانْظُرْ مَنْ هَؤُلَاءِ الرَّكْبُ قَالَ فَنَظَرْتُ فَإِذَا صُهَيْبٌ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ ادْعُهُ لِي فَرَجَعْتُ إِلَى صُهَيْبٍ فَقُلْتُ ارْتَحِلْ فَالْحَقْ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فَلَمَّا أُصِيبَ عُمَرُ دَخَلَ صُهَيْبٌ يَبْكِي يَقُولُ وَا أَخَاهُ وَا صَاحِبَاهُ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَا صُهَيْبُ أَتَبْكِي عَلَيَّ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا مَاتَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَتْ رَحِمَ اللَّهُ عُمَرَ وَاللَّهِ مَا حَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَيُعَذِّبُ الْمُؤْمِنَ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَيَزِيدُ الْكَافِرَ عَذَابًا بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَقَالَتْ حَسْبُكُمْ الْقُرْآنُ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى[130]
Dari Abdullah bin Abu Mulaikah, ia berkata: Aku sedang duduk di samping Ibnu Umar. Kami sedang menunggu jenazah Ummu Aban binti Usman. Bersamanya juga ada Amru bin Usman. Kemudian Ibnu Abbas datang dituntun oleh seseorang yang menunjukkan tempat Ibnu Umar. Ibnu Abbas datang dan duduk di sampingku. Aku berada di tengah-tengah antara Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Tiba-tiba terdengar suara dari rumah. Lalu Ibnu Umar berkata: Nampaknya ia berusaha menghalangi Amru untuk berdiri guna melarang mereka. Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya mayit itu akan disiksa karena tangis ratapan keluarganya. Ia berkata: Abdullah menjadikannya mutlak (sebelumnya adalah dengan bersyarat). Ibnu Abbas berkata: Kami sedang bersama Amirul mukminin Umar bin Khathab. Ketika kami tiba di Baida, tiba-tiba ada seseorang yang berteduh di bawah sebatang pohon. Amirul mukminin berkata kepadaku: Pergi dan lihat siapa orang itu! Aku pun pergi, ternyata orang itu Shuhaib. Aku kembali kepada Umar dan berkata: Engkau menyuruhku untuk melihat siapa orang itu. Dia adalah Shuhaib. Umar berkata: Suruh ia ikut bersama kita! Aku berkata: Jika ia bersama keluarganya? Umar berkata: Walaupun bersama keluarganya. Atau mungkin Ayyub berkata: Suruhlah ia menemuiku. Tidak lama setelah kami datang Amirul mukminin terkena musibah. Shuhaib datang menemuinya sambil meratap: Aduh saudaraku! Aduh temanku! Umar berkata: Tidakkah engkau tahu (atau tidakkah engkau mendengar) Ayyub berkata: Belum tahukah engkau atau Belum mendengarkah engkau bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya mayit itu akan disiksa karena tangis ratapan keluarganya. Adapun Abdullah ia menjadikannya umum, adapun Umar ia berkata: Pada keadaan tertentu. Maka aku (Abdullah bin Abdullah bin Abu Mulaikah) berdiri dan menemui Aisyah dan bercerita kepadanya apa yang dikatakan oleh Ibnu Umar Aisyah berkata: Tidak, demi Allah! Rasulullah saw. sama sekali tidak bersabda: Sesungguhnya mayit akan disiksa sebab tangis seseorang. Tetapi beliau bersabda: Sesungguhnya orang kafir itu ditambah siksanya oleh Allah sebab tangis keluarganya Sungguh, Allah adalah Zat yang membuat tertawa dan membuat menangis. Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.[131]
Al-Hadîts ini menunjukkan bahwa kritik tentang materi al-Hadîts pun telah berjalan di jaman para shahâbat.
Adapun pada generasi berikutnya, kritik al-Hadîts mencakup berbagai hal, baik matan atau pun sanadnya. Pada mulanya, memang kritik al-Hadîts tidak terjado pada sanad, tapi setelah terjadi fitnah kubra, ilmu kritik al-Hadîts semakin berkembang.[132] Hal ini diperlukan demi kepentingan kemurnian al-Islam. Para ula muhaditiusin hampir semua menjalankan metoda kritik al-Hadîts tersebut. Bahkan Umar Bin Abd al-Aziz, telah berpesan kepada para aparatnya untuk menuliskan al-Hadîts yang benar-benar shahih dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Kepada Abu Bakr Bin Hazm beliau juga berpesan melalui suratnya:
انظر ما كان من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاكتبه فإني خفت دروس العلم وذهاب العلماء ولا تقبل إلا حديث النبي صلى الله عليه وسلم
Telitilah hadits yang ada dari Rasul SAW; tulislah! Aku merasa kawatir berkembangnya mempelajari ilmu dan hilangnya ulama. Janganlah anda terima kecuali benar-benar hadits dari Nabi SAW[133]
C. Beberapa Metoda Praktis Kritik Al-Hadîts
Metoda Praktis di sini dimaksudkan, metoda yang dapat digunakan secara mudah oleh setiap kaum muslimin, terutama setelah tersedianya berbagai fasilitas. Menurut muhadditsin, kritik al-Hadîts adalah menyeleksi al-Hadîts-al-Hadîts antara yang shahih dengan yang dla’if dan meneliti para rawainya apakah dapat dipercaya dan kuat ingatannya ataukah tidak.[134] Adapun metoda praktis kritik al-Hadîts pada era kemajuan peralatan dan faislitas lengkap antara lain sebagai berikut:
1. Metoda Tautsiq untuk menyelediki otentisitas Al-Hadîts
Dalam menyelidiki keotentikan al-Hadîts atau sunnah yang akan dijadikan sumber hukum perlu digunakan metoda tautsiq. Metoda ini dimaksudkan untuk meneliti suatu al-Hadîts pakah otentik atau tidak. Al-Hadîts dianggap otentik bila ternyata ditemukan dalam al-Mashadir al-Ashliyah. Al-Mashadir al-Ashliyah yaitu kitab al-Hadîts yang penulisnya menggunakan sanad sendiri dari gurunya hingga sampai kepada Rasûl SAW.[135] Kitab al-Hadîts yang demikian dikategorikan kepada al-Mashadir al-Ashliyah, karena termasuk kitab al-Hadîts primer dan asli, bukan kutipan dari kitab al-Hadîts lain.
Metoda tautsiq semacam ini tersirat pada Al-Hadîts di atas, peristiwa Umar Bin Khathab mengcek kebenaran berita dengan menghadap Rasûl secara langsung menunjukkan adanya kritik tentang otentisitas al-Hadîts. Bila saat itu kritik al-Hadîts langsung mengecek kepada Rasûl , karena sumbar al-Hadîtsnya masih ada. Saat ini kritik otentisitas adalah dengan cara mengecek ada ada atau tidaknya al-Hadîts itu dalam al-Mashadir al-Ashliyah.
Dalam berbagai kitab, sering ditemukan bahwa al-Hadîts yang dikutipnya diriwayatkan oleh muhkarrij. Namun walau sudah disebut mukharrijnya, tetap perlu dikritik dan diteliti apakah betul al-Hadîts tersebut tercantum dalam kitabnya. Jika ternyata ditemukan, maka baru dikatakankan otentik. Namun bila tidak ditemukan, maka diragukan keotentikannya. Langkah selanjutnya adlaha meneliti sanadnya, siapa saja yang meriwayatkannya hingga sampai kepada penulis kitab tersebut. Dalam matan atau redaksi juga perlu ditelitik otentisitasnya, dengan cara perbandingan redaksi atau muqaranah al-mutun. Apakah al-Hadîts tersebut diriwayatkan dengan redaksi yang sama, ataukah hanya isinya saja, sedangkan redaksinya berbeda.
2. Metoda Tashhih untuk menyelediki Validitas Al-Hadîts
Setelah diketahui otentisitasnya al-Hadîts perlu diselidiki validitasnya, apakah dapat dipercaya ataukah tidak. Penelitian semacam ini dlakukan baik pada sanad atau pun matan. Bila al-Hadîts tersebut diakui keabsahannya, baik dari sudut kuliatas dan kuantitas sanad, maupun dari kulitas isinya, maka dianggap valid. Ilmu yang paling penting digunakan dalam metoda ini adalah ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil.
Langkah pertama bisa saja menyelediki keabsahan al-Hadîts dengan cara menelusuri komentar para muhadditsin. Contoh:
1. Al-Hadîts yang dianggap shahih:
Dalam Kitab Subulus-Salam[136] dicantumkan al-Hadîts sebagai berikut:
عن عامر بن عبْد الله عَنْ أَبِيْه أنَّ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم قال: أَعْلِنُوْا النِّكَاح. رواه اَحمَد وَصَحَّحَهُ الحَاكِمُ
Dari Amir bin Abdillah dari ayahnya, Rasûl ullah SAW bersabda: Iklankan (umumkan) lah nikah itu! Hr. Ahmad, dan dianggap shahih oleh Hakim.
أحْمَد وَصَحَّحه الحَاكِم رواه ُyang berarti Imam Ahmad meriwayatkannya dan Imam Hakim menganggapnya shahih, mempunyai makna bahwa al-Hadîts tersebut ter-cantum dan disebarluaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan telah diselidiki keshahihannya oleh Imam Hakim. Dengan demikian, baik menurut Imam Ahmad maupun menurut Imam Hakim al-Hadîts tersebut adalah shahih.
Lain lagi dengan al-Hadîts berikut:
رَكْعَتَانِ بِعمَامَةٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بِلاَ عمَامَةٍ. رواه الديلمي قال النسائي لَيْسَ بِالقَوِي قَال السخاوي : هذا الحَديْث لاَيَثْبُت
Dua rakaat memakai sorban lebih baik daripada tujuh puluh rakaat tanpa sorban. Hr. Dailami, An-Nasaiy berkata: Al-Hadîts ini tidak kuat. Imam Sahawi berpen-dapat bahwa al-Hadîts ini tidak dapat dipercaya.
Komentar para ahli di atas menunjukkan ketidakabsahan al-Hadîts. Dengan demikian al-Hadîts tersebut tidak bisa dijadikan sumber hukum, karena dapat disimpulkan bukan dari Rasûl ullah SAW. Siapa yang menciptakannya? Kita tidak tahu. Imam Nashiruddin al-Bani mengatakan bahwa al-Hadîts tersebut adalah palsu.[137]
Dalam kitab al-Jami’us-Shaghir pada bab huruf ra ر halaman 163, susunan as-Suyuthi tertulis sebagai berikut:
رَكْعَتَانِ بِعمَامَةٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بِلاَ عمَامَةٍ (فر) عن جابر (ض)
Kode (فر) menunjukkan al-Hadîts tersebut diriwayatkan ad-Dailami pada musnad al-Firdaus, dan kode (ض) menunjukkan bahwa al-Hadîts tersebut adalah dla’if, alias lemah. Itulah cara as-Sayuthi mengomentari al-Hadîts. Dalam kitab tersebut mudah ditemukan al-Hadîtsnya karena susunannya berdasar abjad.
Langkah ini juga bisa melihat komentar para Sarih (penafsir; pemberi komentar) al-Hadîts seperti kitab Subulussalam, At-Taj, Fathul-Rabbani, Fathul-Mun’im, Nailul-Authar, syarah An-Nasaiy dan kitab syarah al-Hadîts lainnya. Saat ini hampir seluruh kitab al-Hadîts ada syarahnya; baik secara ringkas maupun secara panjang lebar. Dengan menelaah syarah al-Hadîts dapat ditemukan bagaimana hasil penilaian pemberi syarah al-Hadîts itu terhadap al-Hadîts yang diriwayatkan. Bisa juga dengan melihat kumpulan al-Hadîts-al-Hadîts dla’if seperti karangan Ibn Hajar; dalam Bahasa Indonesia terdapat buku yang berjudul Kumpulan Al-Hadîts dla’if dan palsu. atau Silsilah al-Aal-Hadîts al-dla’ifah, susunan Al-Bani.
Jika dalam buku kumpulan al-Hadîts dla’if itu tidak ditemu-kan, bisa dilihat pada kitab al-Hadîts yang dilengkapi dengan penilaiannya seperti al-Jamushshaghir karya as-Sayuthi. Dalam kitab al-Hadîts tersebut suka dicantumkan hasil penilaiannya dengan memberi tanda huruf dlad (ض) artinya lemah, huruf ha (ح) artinya hasan dan huruf shad (ص) berarti shahih.
Jika ternyata tidak ditemukan orang yang meriwayatkan al-Hadîtsnya maka perlu dicari rawinya. Kitab yang me-mudahkan untuk itu antara lain Miftah Kunuzis-Sunnah dan AlMu’jamul Mufahras li Alfazhi Al-Hadîtsin Nabawiy.
Dalam kitab tersebut akan ditemukan jawaban dalam kitab apa al-Hadîts tersebut tercantum dan sekaligus siapa yang mengeluarkannya bahkan pada kitab apa dan halaman berapa al-Hadîts tersebut ditulis.
4. Jika telah ditemukan petunjuk tentang siapa yang mengeluarkannya dan dalam kitab apa al-Hadîts itu tertulis, tinggal membuka kitab al-Hadîtsnya. jika telah ditemukan dalam kitab aslinya, maka akan ditemukan pula siapa saja yang meriwayatkan al-Hadîts tersebut secara estapeta dari Rasûl ullah sampai kepada penyusun kitab.
5. Telitilah riwayat para perawi yang tercantum pada kitab- al-Hadîts yang menjadi estapeta itu satu persatu dalam buku rijalul-al-Hadîts; apakah ada yang dilemahkan oleh ahli al-Hadîts ataukah tidak. Jika merasa cukup mengandal-kan pandangan ulama al-Hadîts hanya ringkasnya saja, maka bisa membuka kitab Mizanul-I’tidal, karya Adz-Dzahabi. Dalam kitab tersebut akan ditemukan pan-dangan ahli al-Hadîts terhadap rawi secara ringkas dan praktis. Dalam kitab tersebut tertulis berbagai nama rawi al-Hadîts secara abjad (alpabetis huruf arab). Dalam kitab tersebut ditemukan siapa yang dianggap dla’if oleh ahli al-Hadîts. Jika terdapat nama yang dianggap lemah dalam pembawa riwayatnya, maka dapat dikatakan bahwa al-Hadîts itu adalah dla’if. Contoh:
Sebagai contoh langkah nomor 3 hingga nomor 5 pernah dipraktikan sebagai berikut :
Dalam sebuah buku ditemukan al-Hadîts yang berbunyi:
صَائِمُ رَمَضَان فِي السَّفَرِ كَالْمُفْطِرِ فِي الحَضَرِ.
Orang shaum ramadlan ketika bepergian sama dengan buka ketika hadir (tidak bepergian).
Dalam buku tersebut tidak disebutkan riwayat siapa al-Hadîts itu? Oleh karena itu kami cari al-Hadîts itu dengan membuka kitab Mu’jamul-Mufahras Al-Hadîts. Bab Shad ternyata tercantum pada jilid III dan al-Hadîts tersebut ditemukan di halaman 455 dengan tulisan sebagai berikut:
صَائِمُ رَمَضَانَ فِي السَّفَرِ كَالْمُفْطِرِ فِي الحَضَرِ
ن صيام 52 جه صيام 11
Dapatlah disimpulkan bahwa al-Hadîts tersebut diriwayatkan oleh an-Nasaiy dan Ibnu Majah. Kode ن صيام menunjukkan bahwa al-Hadîts tersebut tercantum dalam kitab an-Nasaiy pada bab shiyam. Kode جه صيام 11 menunjukkan bahwa al-Hadîts tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah pada kitabnya bab kesebelas.
Setelah dibuka Sunan Ibnu Majah, ternyata ditemukan pada jilid I halaman 532 al-Hadîts nomor 1666 yang lengkapnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إبْرَاهِيْمُ بْن الْمُنْذِر الحِزَامِي ثنَا عَبْدُ لله بن مُوسَى التَّيْمِي عَنْ أُسَامَةَ بْن زَيْدٍ عَنْ ابن شِهَاب عَن أَبِي سَلَمَة بن عَبْد الرحمن عَنْ أَبِيْه عَبد الرَّحْمن ابن عَوف قَال: قَال رسُولُ الله صلى الله عليه وسلم { صائِمُ رمَضَانَ فِي السَّفَرِ كَالْمُفْطِرِ فِي الحَضَرِ }
Setelah menemukan al-Hadîts tersebut pada sumbernya yang asli yaitu Ibnu Majah, dapatlah ditemukan siapa para penerima estapeta al-Hadîts tersebut. Sebagaimana tercantum di atas, para rawi al-Hadîts itu ialah: Ibrahim Bin Mundzir al-Khizami, Abdullah Bin Musa yang menerima al-Hadîts dari Usamah Bin Zaid, yang menerimanya dari Ibn Syihab, dari Abi Salamah bin Abdir-Rahman, dari Bapaknya yaitu Abdurrahman Bin Auf.
Langkah berikutnya ialah menyelidiki pada rawi tersebut dengan membuka kitab rijalul-Al-Hadîts. Ternyata di antara rawinya itu ada orang yang dilemahkan oleh ahli al-Hadîts yaitu Usamah Bin Zaid. Dalam kitab Mizan al-I’tidal nama Usamah Bin Zaid tercantum pada juz I halaman 174. Pada halaman itu tercantum dua nama Usamah Bin Zaid yaitu Bin Aslam dan Usamah Bin Zaid al-Laitsi. Ternyata dua nama ini dianggap lemah hafalannya oleh Imam Ahmad.
Dalam kitab Zawaid yang dikutip Muhammad Abdul-Baqi, [138]juga dikemukakan bahwa Usamah itu telah disepakati kelemahannya. Di samping itu Abu Salamah bin Abdurrahman tidak mendengar al-Hadîts ini dari ayahnya.
Dengan demikian al-Hadîts tersebut memiliki dua kelemah-an yaitu kelemahan rawi, dan terputusnya rantaian. Di-simpulkanlah bahwa al-Hadîts tersebut tidak bisa diterima dan tidak bisa dijadikan alasan atau dasar hukum. Jika al-Hadîts shahih, para rawinya itu harus semua di-sepakati keshahihannya. Itulah langkah meneliti al-Hadîts yang paling praktis dan diakui oleh para ahli. Langkah ini hanya untuk menemukan lemah atau tidak-nya al-Hadîts ditinjau dari sudut para pembawa riwayatnya. Jika ingin meninjaunya dari segi lain, maka harus meng-gunakan pendekatan lain lagi.
Ditinjau dari sudut keabsahannya, al-Hadîts atau riwayat prilaku Rasûl ullah SAW yang dijadikan sumber hukum itu, jumlahnya beraneka ragam.
1. Ditinjau dari sudut kualitasnya terdiri dari shahih, hasan dan dla’if. Dari sudut ini juga bisa dinilai dari para pembawa riwayatnya atau dari sudut redaksi dan isinya. dari sudut pembawa riwayat terdiri dari shahih fis-sanad, hasan fis-sanad dan dla’if fis-sanad. Dari sudut isi al-Hadîts itu terdiri dari shahih fil-matan, dan dla’if fil-matan.
2. Ditinjau dari segi sampai atau tidaknya para pembawa riwayat, al-Hadîts itu terdiri dari maushul dan munqathi, kemudian marfu’ dan mawquf.
3. Ditinjau dari segi kuantitas para pembawa riwayat, ha-dits terdiri dari mutawatir dan ahad. Al-Hadîts ahad pun terdiri dari masyhur, aziz dan gharib. Al-Hadîts mutawatir pun terdiri dari mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi.
4. Ditinjau dari diterima atau tidaknya terdiri dari al-Hadîts maqbul dan mardud. Al-Hadîts maqbul pun terdiri dari ma’mulun bihi dan ghair ma’mul.
Al-Hadîts maqbul ialah yang diterima keabsahannya oleh para ulama, karena semua rawinya dapat dipercaya dan dapat dipertangung-jawabkan.
Al-Hadîts mardud ialah yang ditolak oleh ulama karena dalam sanad atau isinya memiliki cacat.
Al-Hadîts ma’mul ialah yang dapat diamalkan karena tidak cacat dan tidak bertentangan dengan al-Hadîts lain atau ayat.
3. Metoda Tathbiq untuk menelusuri reliabilitas al-Hadîts
Metoda ini digunakan untuk mennyelidiki makna dan isi al-Hadîts, apakah mesti diberlakukan secara manthuq ataukah secara mafhum. Dengan demikian metoda ini lebih menitik beratkan kritiknya pada makna al-Hadîts. Cara yang paling mudah menerapkan metoda ini adalah dengan menelusuri pandangan ulama sesuai dengan bidang masing-masing. Kitab yang membantu memudahkan penggunaan metoda inbi adalah kitab syarh.
Namun perlu disadari bahwa ulama dalam mensyarah al-Hadîts dipengaruhi oleh berbagai latar belakang, baik madzhab, poliotik, situasi dan kondisi maupun budaya serta kedudukan al-Syarih itu berada.
Ulama Madinah cenderung menafsuirkan al-Hadîts secara tekstual dan manthuq. Beda lagi dengan ulama Baghdad, atau negri luar lainnya, mengomentari al-Hadîts cenderung kontekstual.
Di samping itu, al-Hadîts juga ada yang berkaitan langsung dengan ritual yang bersifat ta’abudi, ada pula yang berkaitan dengan sosial. Al-Hadîts yang berkaitan dengan ibadah ritual, tentu saja perlu difahami secara tekstual. Beda lagi dengan al-Hadîts yang berkaitan dengan kehidupan soail, penelahaan secara kontekstualnmya akan lebih dominan.
4. Metoda Takhrij dan Tahlil untuk menyelidiki keabsahan Al-Hadîts
- 1. Kritik Validitas Ma`nâ Hadîts di Jaman Shahâbat
Jika peristiwa ‘Umar itu dikategorikan pada adanya kritik matan hadîts, maka kritik terhadap ma`nâ hadîts terjadi pada peristiwa lainnya. Sebagai contoh dapat dilihat pada hadîts berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ ذُكِرَ عِنْدَ عَائِشَةَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَرْفَعُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ فَقَالَتْ وَهِلَ إِنَّمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ لَيُعَذَّبُ بِخَطِيئَتِهِ أَوْ بِذَنْبِهِ وَإِنَّ أَهْلَهُ لَيَبْكُونَ عَلَيْهِ الْآنَ وَذَاكَ مِثْلُ قَوْلِهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَى الْقَلِيبِ يَوْمَ بَدْرٍ وَفِيهِ قَتْلَى بَدْرٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَقَالَ لَهُمْ مَا قَالَ إِنَّهُمْ لَيَسْمَعُونَ مَا أَقُولُ وَقَدْ وَهِلَ إِنَّمَا قَالَ إِنَّهُمْ لَيَعْلَمُونَ أَنَّ مَا كُنْتُ أَقُولُ لَهُمْ حَقٌّ ثُمَّ قَرَأَتْ إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
“Dari Hisyâm ra, dari.bapaknya, – katanya: Diceritakan orang dekat ‘Âisyah r.a riwâyat dari Ibn ‘Umar r.a., bahwa Nabî saw. pernah bersabda, bahwa mayit tersiksa dalam kuburnya karena ditangisi keluarganya.” kata ‘Âisyah, “Bukan begitu! Sesungguhnya yang dimaksud Nabî SAW itu ialah: Bahwasanya, mayit itu disiksa karena kesalahan atau karena dosanya. Sedangkan keluarganya menangisinya baru sekarang. Hal itu sama kelirunya dengan ucapan yang mengatakan bahwa Rasûl SAW pernah berdiri di pinggir sebuah lubang kecil ketika perang Badar, lalu dimasukkan orang ke dalam lubang itu mayat-mayat orang-orang musyrik yang terbunuh, Ialu Nabî berkata kepada mereka, bahwa mareka (mayat-mayat) itu mendengar apa yang dikatakan beliau. Hal itu sungguh keliru! Yang benar ialah Nabî mengatakan: Sesungguhnya mereka itu bakal mengetahui (di akhirat kelak) bahwa apa yang kukatakan kepada mereka (semasa mereka masih hidup) adalah benar!” Kemudian ”Âisyah membaca ayat إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى (al-Naml : 80) dan وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ (Fathir: 22) dia mengatakan tatkala akan terjerumus ke neraka. (Hr. Muslim [139])
Hadîts ini berisi kritikan ‘Âisyah terhadap pemahaman Ibn ‘Umar tentang sabda Rasûl SAW yang menyatakan bahwa mayit disiksa oleh tangisan keluarga. Ibn ‘Umar mempunyai faham bahwa keluarga yang menangis bakal menimbulkan siksaan bagi mayit. Namun, menurut ‘Âisyah ma`nânya bukan begitu, karena orang disiksa hanya akibat dosa dan kesalahan yang dilakukannya sendiri, maka orang yang menangisi mayit bakal diketahui oleh mayit itu sendiri. Dalam riwâyat al-Bukhârî, dikatakan bahwa orang kâfir akan bertambah siksaannya akibat diratapi keluarganya.[140] Peristiwa ini menunjukkan bahwa adanya kritik terhadap ma`nâ hadîts di jaman shahâbat.
- 2. Kritik Sanad dan Matan Hadîts
Adapun pada generasi berikutnya, kritik hadîts mencakup berbagai hal, baik matan atau pun sanadnya. Kritik terhadap sanad hadîts lebih berkembang, terutama setelah terjadi fitnat Kubrâ [141] sekitar pertengahan abad pertama hijrî.[142] Peristiwa besar tersebut memunculkan kaum muslimin menjadi tiga golongan besar; khawârij, syi’at, dan jumhûr.[143] Untuk mempertahankan golongannya, tidak sedikit dari kalangan mereka membuat hadîts palsu. Oleh karena itu ‘ulamâ muhaddits berusaha mengeritik setiap hadîts yang tersebar di masyarakat. Hal ini diperlukan demi kepentingan kemurnian syarî’at Islam. ‘ulamâ muhadîts hampir semua menjalankan metode kritik hadîts tersebut, baik pada matan maupun sanadnya.
‘Umar Bin ‘Abd al-‘Azîz (w.101H), yang dianggap oleh Sufyân Tsauri (w.161H) sebagai khalîfat al-Râsyid yang kelima dari al-Khulafâ al-râsyidûn,[144] telah berpesan kepada para aparatnya untuk menuliskan hadîts yang benar-benar Shahîh dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Beliau pernah mengirim surat kepada Abû Bakr Bin Hazm yang berpesan sebagai berikut:
اُنْظُر مَا كَانَ مِنْ حَدِيْثِ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فَاكْتُبْهُ فَإنِّي خِفْتُ دُرُوْسَ العِلْم وَذِهَابَ العُلَمَاء وَلا تَقْبَلْ إلا حَدِيْثَ النبي صلى الله عليه وسلم وَلْتفْشُوا العِلْم ولتَجلسوا حَتَّى يَعْلَم مَن لا يَعْلم فَإن العِلْمَ لا يهلك حتى يكون سرا[145]
“Telitilah! Apa yang benar dari Hadîts Rasûl SAW, maka tulislah. Aku merasa khawatir mempelajari ilu, dengan hilangnya ‘ulamâ. Janganlah anda terima kecuali Hadîts yang benar-benar dari Rasûl SAW, supaya kalian menyebarluaskan ‘ilmu sehingga orang yang belum mengetahui menjadi tahu, karena ‘ilmu tidak akan musnah sehingga dirahasiakan”.
Pesan semacam ini menunjukkan betapa pentingnya kritik terhadap hadîts yang tersebar di berbagai kalangan, demi kemurnian syarî’at Islam. Dengan demikian kritik hadîts telah terjadi sejak jaman Nabî SAW hingga para shahâbat dan Tâbi’în baik terhadap matan, sanad maupun ma`nânya.
B. Kritik Sanad dan Matan Hadîts dengan Metode Takhrîj
1. Pengertian Takhrîj
Kata asal dari Takhrîj adalah خَرَجَ – يَخْرُجُ – خرُوْجًا artinya keluar. Kemudian disisipi huruf yang sama pada tengahnya menjadi خَرَّجَ – يُخَرِّجُ – تَخْرِيْجًا yang berarti “sengaja mengeluarkan”. Adapun pengertian Takhrîj secara istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sa’d ‘Alî Humayd,[146] tidak kurang dari tiga pengertian. Ketiga pengertian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Tiga Macam Definisi Takhrîj menurut Sa’d ‘Alî Humayd
Definisi pertama |
Definisi kedua |
Definisi ketiga |
إِخْرَاج الحَدِيْث وَإبْرَازُه لِلنَّاس بِذِكْرِ سَنَدِهِ وَ متنه |
تَخْرِيج أحَاديث كِتَاب مُعَيَّن بِذِكْرِ سَنَد المُخْرِج لِذلِكَ الحَدِيْث الَّذِي ذكَره صَاحب كِتاَب مُعين |
الدلاَ لة عَلى الحَدِيْث فِي مَصَادره الأصْلِية الَّتِي أخْرجتْه بِسَنَدِه مَع بَيَان مَرْتَبَتِه عِنْد الحاجَةِ |
Mengeluarkan Hadîts dan mempublikasikannya kepada masyarakat dengan menyebutkan sanad dan matannya secara lengkap |
Mengeluarkan Hadîts-Hadîts kitab tertentu dengan menyebutkan sanad mukharrij Hadîts yang memiliki kitab tersebut |
Menunjukkan sumber asli Hadîts yang dikeluarkan dengan sanadnya disertai penjelasan derajat Hadîts itu tatkala diperlukan |
2. Macam-Macam Takhrîj Ditinjau dari Segi Caranya
Ketiga pengertian di atas, masing-masing memiliki kehususannya. Takhrîj dalam pengertian pertama, dilakukan terutama oleh ‘ulamâ hadîts pada periode tadwîn atau pembukuan. Mukharrij pada saat itu mengeluarkan hadîts dan menyebarkannya dengan menggunakan sanad sendiri yang bersambung hingga Rasûl SAW. Dengan Takhrîj semacam ini muncul berbagai kitab yang menjadi al-Mashâdir al-Ashliyyat. Mukharrij yang menggunakan metode Takhrîj dalam pengertian semacam ini cukup banyak jumlahnya, terutama yang hidup antara abad pertama hijrî hingga abad keenam. Mereka mentakhrîj hadîts itu disertai dengan membukukan, dan menyebarluaskannya, maka disebut juga Mukhrij. Dari sekian banyak mukharrij yang sekaligus mukhrij itu di antaranya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2 al- Mashâdir al-Ashliyyat
Nama Mukharrij dan Mukhrij |
Wafat |
Nama Kitab |
|
‘Abd al-Rahmân Bin ‘Amr al-Awzâ’î |
157H |
Sunan al-Awzâ’î |
|
Abû Hanîfah |
159H |
Al-Musnad |
|
Syu’bat Bin Hajâj |
160H |
Al-Mushannaf |
|
Al-Layts Ibn Sa’d |
175H |
Al-Mushannaf |
|
Mâlik Bin Anas |
179H |
al-Muwaththâ |
|
Abû Yûsuf al-Andhari |
182H |
Kitâb al-Atsar |
|
Baqî Bin Makhlad |
196H |
Musnad |
|
Sufyân Ibn ‘Uyaynat |
198H |
Al-Mushannaf |
|
Miuhammad Idrîs al-Syâfi’î |
204H |
Musnad al-Syâfi’î |
|
Sulaymân Bin Dâwud al-Thayâlisî |
206H |
Musnad Al-Thayâlisî |
|
Abû Bakr ‘Abd al-Razzâq al-Shan’ânî |
211H |
Mushanaf ‘Abd al-Razzâq |
|
Al-Baghawî |
214H |
Al-Musnad |
|
‘Abd Allâh Bin Zubayr al-Humaydî |
219H |
Musnad al-Humaydî |
|
Ibn al-Manshûr al-Kharasâni |
227H |
Sunan Ibn Manshûr |
|
Ahmad Bin Hanbal |
241 H |
Musnad Ahmad |
|
‘Abdu al-Rahmân al-Dârimî |
255H |
Sunan al-Dârimî |
|
Muhammad Bin Ismâ’îl al-Bukhârî |
256H |
Shahîh al-Bukhârî, al-Adab al-Mufrad |
|
Muslim Bin Hajâj al-Naysabûrî |
261H |
Shahîh Muslim |
|
Abû Dâwud al-Asy’asy |
275H |
Sunan Abî Dâwud |
|
Muhammad Bin Zaid Ibn Mâjah |
275H |
Sunan Ibn Mâjah |
|
Abû ‘Îsâ al-Turmudzî |
279H |
Sunan al-Turmudzî |
|
Ahmad Bin Syu’ayb al-Nasâ`î |
303H |
Sunan al-Nasâ`î |
|
Muhammad Bin ‘Alî, Abû Ya’lâ |
307H |
Musnad Abî Ya’lâ |
|
Muhammad bin Hârûn Abû Bakr |
307H |
Musnad al-Ruyânî |
|
Muhammad Bin Ishâq Ibn Khuzaymat |
311H |
Shahîh Ibn Khuzaymat |
|
Ya’qub Bin Ishâq Abû ‘Awânat |
316H |
Musnad Abî ‘Awânat |
|
Abû Hâtim Muhammad Bin Hibbân |
354H |
Shahîh Ibn Hibbân |
|
Abû al-Qâsim Sulaymân al-Thabrânî |
360H |
al-Mu’jam al-shughrâ, al-Mu’jam al-Ausat, al-Mu’jam al-Kubrâ |
|
‘Alî Bin Umar al-Dâruquthnî |
385H |
Sunan al-Dâruquthnî |
|
Al-Hâkim al-Naysabûri |
405 H |
Al-Mustadrak, mustakhraj |
|
Abû Bakr Ahmad al-Baihaqî |
458H |
Sunan al-Baihaqî (sughrâ, al-Kubrâ ) |
|
Adapun Takhrîj dalam arti yang kedua adalah meneliti kitab hadîts tertentu dengan cara mencari sumber aslinya. Dengan cara ini, kaum muslimin dapat memperoleh informasi tentang otentisitas hadîts yang tercantum dalam suatu kitab. Banyak kitab yang telah diTakhrîj dengan metode ini, antara lain dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.3 Kitab yang Telah DiTakhrîj
Kitab |
Penyusun |
Wafat |
Mukharrij |
Wafat |
Tafsîr al-Kasysyaf |
al-Zayla’i |
762 H |
Al-‘Asqalânî |
852H |
al-Adzkâr |
Al-Nawawî |
676H |
Al-‘Asqalânî |
852H |
al-Muhadzdzab |
Al- Râzî |
Muhammad al-Hâzimî |
584H |
|
Al-Sunan al-Shugrâ |
Al-Bayhaqî |
458 H |
Khalîl Ma`mûn |
Takhrîj dalam arti yang ketiga yaitu meneliti hadîts dengan menelusuri otensitasnya pada al-Mashâdir al-Ashliyyat , sekaligus mengemukakan martabatnya. Pengertian yang demikian, ruang lingkupnya lebih luas dan dapat dilakukan di masa mutakhir seperti saat ini. Cara yang demikian banyak dilakukan oleh ‘ulamâ mutaakhrin seperti Muhammad Khalîl al-Khathîb, menTakhrîj hadîts-hadîts tentang khuthbah Rasûl Allâh SAW, dalam kitab Khuthab al-Rasûl, dan ‘Umar Sulaimân (tahun 2001M), menTakhrîj Hadîts yang berkaitan dengan kisah para nabî dengan judul kitab Shahîh al-Qashash al-Nabawî.
Dengan demikian kegiatan yang dapat dikategorikan Takhrîj itu antara lain meliputi (1) periwâyatan hadîts dan mempublikasikannya ke khalayak seperti yang dilakukan oleh para penyusun kitab al-Mashâdir al-Ashliyyat , (2) pengutipan hadîts dari al-Mashâdir al-Ashliyyat kemudian menyusunnya dalam kitab sesuai dengan keperluan suatu cabang ‘ilmu tertentu, seperti yang dilakukan oleh para penyusun kitab jâmi‘ atau al-zawâid, (3) mencari sumber hadîts yang dikutip oleh ‘ulamâ penyusun kitab seperti fiqih atau tafsîr kemudian menunjukkan rujukannya pada al-Mashâdir al-Ashliyyat dan menerangkan sanadnya, (4) menelusuri derajat hadîts dengan kaidah penilaian apakah hadîts tersebut bisa diterima ataukah ditolak. Oleh karena itu dalam Takhrîj hadîts, dapat ditempuh tiga cara yang paling penting, yaitu (1) penelusuran sanad hadîts sejak râwi shahâbî hingga guru mukhrij, (2) penelusuran matan, dan (3) penelusuran tema hadîts yang tersebar dalam berbagai kitab.[147]
Adapun cara menyelidiki otentisitas hadîts, dalam metode Takhrîj dapat ditempuh lima langkah[148] yaitu (1) melalui pangkal kalimat dalam hadîts dengan menggunakan kitab hadîts yang disusun berdasar urutan huruf hijâiyat seperti kitab al-Jâmi’ al-Shaghîr, al-Fath al-Kabîr, Jam’u al-Jawâmi‘, (2) melalui penelusuran lafazh yang terdapat dalam matan hadîts dengan menggunakan kitab Mu’jam al-Mufahras al-Hadîts, dan Mausyû’ah al-Takhrîj al-Kubrâ wa al-Athrâf al-Syâmilat, (3) melalui penelusuran râwi yang paling tinggi dengan menggunakan kitab-kitab musnad, (4) melalui analisa kandungan hadîts dengan menggunakan kitab-kitab hadîts yang disusun berdasar topik permasalahan seperti Miftâh Kunûz al-Hadiîts , Bulûgh al-Marâm, al-Jâmi’ li Ushûl al-Ahadîts al-Rasûl, (5) melalui jalur kedudukan dan status hadîts, dengan menggunakan kitab hadîts yang disusun berdasar statusnya seperti al-Ahadîts al-Qudsiyah, Sislisilah al-Ahadîts al-Dla’îfah, Shahîh al-Jâmi’ al-Shaghîr, dan Dla’îf al-Jâmi’ al-Shaghîr.
C. Kritik Ma`nâ Hadîts dengan Metode Syarh Tahlîlî
- 1. Pengertian Tahlîlî
Isitilah tahlîlî berasal dari حَلَّلَ – يُحَلِّلُ – تَحْلِيل yang berarti menguraikan.[149] Dengan demikian, metode tahlîlî menurut bahasa berarti cara menganalisis dan menguraikan sesuatu. Adapun yang dimaksud metode tahlîlî dalam penelitian hadîts ialah menjelaskan hadîts-hadîts Nabî dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalamnya serta menerangkan ma`nâ-ma`nâ yang tercakup sesuai dengan kecenderungan dan keahlian peneliti.[150]
- 2. Langkah yang Ditempuh dalam Penelitian Hadîts dengan Metode Tahlîlî
Adapun langkah yang ditempuh dalam penelitian hadîts dengan menggunakan metoda tahlîlî, terdiri atas (1) langkah bi al-riwâyat dan (2) langkah bi al–dirâyat.
- a. Tahlîl Hadîts bi al-Riwâyat
Tahlîl al-Hadîts bi al-Riwâyat ialah menguraikan ma`nâ yang terkandung dalam hadîts dengan cara mengutip berbagai riwâyat yang berkaitan dengan hadîts yang diteliti. Oleh karena itu langkah ini bersifat manqûl, historis dan literatur. Rincian langkah riwâyat tersebut mencakup (1) kaitan hadîts dengan ayat al-Qur`ân , (2) kaitan Hadîts dengan Hadîts lain, (3) sabab wurûd al-Hadîts, dan (4) pandangan ‘ulamâ syarh tentang Hadîts yang diteliti.
- b. Tahlîl al-Hadîts bi al-Dirayat
Tahlîl al-Hadîts bi al-Dirayat lebih bersifat ijtihâdî dan analisis peneliti. Oleh karena itu langkah yang ditempuhnya antara lain (1) tarjamat lafzhiyat, dengan memberikan pengertian setiap lafazh dan kalimat tertentu (2) penjelasan kata-kata penting, terutama kata-kata yang kurang dikenal ma`nânya atau yang membutuhkan definisi secara jelas, (3) tarjamah langsung ke dalam bahasa yang digunakan oleh peneliti, yang disesuaikan dengan aturan kebahasaan yang digunakan, (4) essensi Hadîts, dengan memberikan informasi tentang kandungan penting dan pokok permasalahan yang muncul dalam Hadîts, (5) ‘ibrat yang digali dari ma`nâ Hadîts, berupa rekomendasi atau pelajaran, untuk dianalisis lebih lanjut, dan (5) implikasi Hadîts terhadap tema dalam penelitian, berupa penerapan ma`nâ Hadîts baik secara teoritis atau pun praktis.
Bab Keenam
Beberapa Contoh Prkatis kritik Isu Hadits masa kini
A. Cerita Umat tentang Rasul yang Perlu Dikritisi
1. Menyayangi Putri Mengabaikan Istri
Seorang Muballighah kondang Kota Bandung sedang mengisi acara di MQTV bercerita tentang keluarga Rasul SAW. Beliau menggambarkan bagaimana Rasul SAW menyayangi putrinya. Rasul SAW setiap pulang dari peperangan tidak langsung mengunjungi istrinya yang berjumlah sembilan itu, melainkan langsung menemui Fatimah. Beliau bertemu Fatimah langsung memeluk dan menggendongnya. Muballighah itu menegaskan tentu saja peristiwa tersebut terjadi ketika Fatimah masih kecil, tidak mungkin Rasul menggendong putri yang sudah besar. Ibu-ibu yang hadir pada saat itu terkesima dengan cerita yang sangat menarik. Mereka kagum dengan kasih sayang Rasul pada putrinya, melebihi pada para istrinya. Kaum ibu yang hadir juga saat itu tidak ada yang interupsi karena mungkin mereka percaya betul atas apa yang diceriterakan muballighah idolanya.
Namun penulis yang mengikuti acara tersebut berpikir tentang kapan peristiwa itu terjadi? Dalam kitab apa muballighah menemukan cerita tersebut? Jika menelusuri sejarah secara benar, tentu tidak memercayai cerita itu sebagai kebenaran. Bukankah Rasul SAW baru mendapat perintah berperang, setelah beliau hijrah? Bukankah Rasul SAW semasa di Mekah belum mendapat perintah perang? Siti fatimah dilahirkan di Mekah pada 20 Jumaditsani tahun 5 sebelum kenabian atau 18 tahun sebelum hijrah. Sedangkan Rasul SAW beristri sembilan itu pada tahun 7H. Namun ada pula yang berpendapat bahwa Fatimah dilahirkan setahun setelah Nabi Muhammad diangkat jadi Rasul.[151]
Bagaimana bisa dikatakan, Rasul menggendong Fatimah masih kecil tatkala beristri sembilan. Bukankah ketika Rasul beristri 9 itu Fatimah sudah berusia 25 tahun? Perlu dipertanyakan pula, setelah perang apakah Rasul SAW menggendong Fatimah waktu kecil itu? Bukankah perang pertama kali yang dipimpin Rasul itu perang Badar, terjadi pada bulan Ramadlan tahun 2 H, yang saat itu Fatimah sudah dua puluh tahun? Bila benar terjadi ketika perang Badr, bukankah Rasul pada saat itu baru beristri Saudah dan Aisyah, karena istri ketiganya Hafshah baru dinikahinya tahun ke 3 H.? Pada perang Uhud, Fatimah sudah menjadi istri Ali bin Abi Thalib, ikut pergi bersama Rasul SAW dan mengobati lukanya dengan ranting-ranting yang dibakar.[152]
Rasul SAW mencurahkan kasih sayang kepada putra-putrinya, tentu tidak diragukan lagi. Beliau bukan hanya mencintai keluarga, tapi juga mencintai umatnya. Namun jika ingin menggambarkan bagaimana kasih sayang Rasul SAW dengan cerita, perlu ada dasarnya yang dapat dipertangung jawabkan.
2. Istri Rasul Cemburu?
Penulis beberapa kali mendengar cerita dari Muballigh dan Muballighah di Bandung maupun di Cianjur yang mengisahkan kecemburuan A’isyah kepada istri Rasul SAW yang lainnya. Saking cemburunya, kata mereka, Aisyah pernah bersandar ke pohon pisang, hingga hangus karena terpanasi hati cemburu beliau. Pertanyaannya adalah kapan A’isyah menghanguskan pohon pisang dengan panas hati cemburu? Bukankah di Madinah itu belum pernah tumbuh pohon pisang sejak dahulu hingga sekarang? Baru-baru ini, muballigh/ muballighah menggantinya dengan pohon kurma yang terbakar itu. Namun hal itu juga tidak bisa dipercaya, karena bertentangan dengan penegasan A’isyah sendiri. Perhatikan hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا غِرْتُ عَلَى نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا عَلَى خَدِيجَةَ وَإِنِّي لَمْ أُدْرِكْهَا
“Dari Aisyah diriwayatkan dan menegaskan: Saya tidak pernah cemburu atas istri Nabi SAW, kecuali atas Khadijah, sedangkan aku tidak pernah bertemu dengannya.” Hr. Al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa`iy.[153]
Dalam riwayat lain diterangkan yang melatarbelakangi Aisyah cemburu pada Khadijah, adalah seringnya Rasul memuji istri pertamanya itu dan bila mendapat rejeki sering meminta membagi kepada keluarga Khadijah. Dengan demikian tegaslah bahwa Aisyah itu tidak pernah cemburu kepada istri Rasul yang lainnya. Perlu diketahui bahwa para istri nabi itu wanita yang shalihah yang sudah mengorbankan dirinya demi jihad di jalan Allah dan mendampingi Rasul lahir dan bathin.
3. Shalat Malam Tanpa Batas Raka’at
Seorang Professor (Guru Besar)Doctor berceramah di Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Sunan Gunungdjati Bandung, yang kebetulan dihadiri penulis. Beliau menyatakan bahwa shalat malam berteladan pada Rasul jumlah raka’atnya tidak terbatas. Beliau mengatakan bahwa Syekh Ali Zainal Abidin (Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib), sebagai keturunan Rasul SAW, melakukan shalat malam sebanyak seribu raka’at. Yang perlu dikritisi adalah berapa menit dalam satu raka’atnya yang beliau lakukan? Jika satu raka’at menyita waktu dua menit saja, maka shalat malam membutuhkan waktu 2000 menit (33,3 jam). Apakah pernah terjadi di Madinah atau di Iraq yang beliau tinggali satu malam selama dua ribu menit sekitar 33 jam? Ataukah beliau shalat satu raka’atnya hanya membutuhkan waktu satu detik? Bisakah shalat satu raka’at satu detik? Satu raka’at satu menit pun, tidak mungkin bisa dilaksanakan secara tuma’ninah.
Ketika dipertanyakan kepada penceramah itu, jawabannya jangan berpikir terlalu rasional! Bagaimana mungkin menyelidiki kebenaran yang tidak diberitakan al-Qur`an, dilarang menggunakan rasio? Ternyata Guru Besar pun tidak semua ucapannya itu bisa dipertanggung jawabkan secara rasional. Nampaknya kedudukan kisah ini tidak ada ubahnya dengan kisah Syekh Abdulmuhyi Pamijahan Tasik. Di sana sering diceritakan bahwa beliau kalau jum’atan langsung ke Mekah, berjamaah di Masjid al-Haram. Anehnya waktu ashar sudah jadi imam di masjid Pamijahan, padahal saat itu di Masjid al-Haram baru waktu zhuhur?
4. Toleransi dalam Perbedaan Mengikuti Rasul
Penulis sejak kecil sering mendengar muballigh berceramaah tentang bagaimana keharusan toleransi dengan orang yang berbeda pendapat. Toleransi intern umat beragama, merupakan kemestian, demi memelihara jalinan ukhuwah Islamiyah.
Ada yang membuat penulis bertanya-tanya adalah cerita para muballigh tentang cara mengikuti sunnah Rasul SAW dalam toleransi sesamanya. Beberapa muballigh yang sempat didengar bercerita tentang toleransinya Imam Hanafi (yang berpendapat bahwa Rasul Tidak Qunut Shubuha) dengan Imam Syafi’iy (yang berpendapat bahwa Qunut Shubuh itu sunnah Rasul SAW). Dikisahkan oleh mereka pada suatu ketika Imam Syafi’iy shalat berjamaah dengan Imam Hanafi. Tatkala Imam Hanafi mengimami Imam Syafi’iy, maka ia membaca qunut di waktu shubuh, karena hormat kepada yang berbeda pendapat. Demikian pula (katanya), ketika Imam Syafi’i menjadi imam, karena tahu di belakangnya ada Hanafi, maka beliau tidak membaca do’a qunut shubuh. Bahkan ditekankan oleh salah seorang muballigh bahwa Syafi’iy itu rajanya qunut shubuh, tidak membacanya ketika tahu di belakang beliau ada Imam Hanafi.
Yang menimbulkan pertanyaan adalah: Kapan terjadi shalat berjamah dua imam itu dan di mana kejadiannya? Bukankah Imam Hanafi dan imam Syafi’iy itu hidupnya tidak sejaman? Bukankah mereka itu tidak sempat bertemu? Dalam catatan sejarah, Imam Hanafi lahir di Kufah tahun 80H/702-703M, dan wafat dipenjara tahun 150H/767M. Sedangkan Imam Syafi’iy lahir di Gazza tahun 150H dan wafat di Mesir tahun 204H. Jadi jelas tahun wafat Hanafi bertepatan dengan tahun lahirnya al-Syafi’iy. Jadi bagaimana kedua imam tersebut bisa shalat berjamaah?
5. Menikah di Masjid
Pada suatu hari, di TVRI ada siaran keislaman dengan topik kemasjidan. Seorang muballigh mengatakan seharusnya segala kegiatan muslim itu berpusat di masjid. Masjid bukan hanya untuk shalat berjamaah. Beliau mengatakan khitanan, nikah, dan acara apapun hendaklah di Masjid. Kemudian beliau menandaskan لاصلاة إلا في المسجد لا نكاح إلا في المسجد dengan tidak menyebutkan sumbernya, ungkapan tersebut berasal dari mana? Di samping ungkapan itu memerlukan penelitian lebih mendalam apakah benar ataukah tidak, juga perlu ditelusuri apakah betul akad nikah di masjid itu mengikuti sunnah Rasul?
Saat ini sudah trendi, utamanya di kalangan artis menikah di Masjid al-Haram.[154] Apakah mengambil tempat tersebut sebagai lokasi akad nikah sesuai dengan ajaran Rasul SAW. Pernahkah Rasul menikah di Masjid? Dengan istri beliau yang mana, yang akadnya dilaksanakan di masjid? Pernahkah Rasul SAW menikahkan putrinya atau keluarganya di Masjid? Jika akad nikah di Masjid itu merupakan sunnah Rasul, tentu saja beliau akan selalu aqad atau mengaqadkan shahabatnya di Masjid. Pelaksanaan aqad nikah di Masjid, tentu saja tidak perlu dilarang, karena tidak ada larangan. Namun karena Rasul SAW tidak memerintahnya, mengapa kita berani mensyari’atkannya. Ada yang beralasan pada hadits berikut:
قال أبو عيسى الترمذي حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ
“Ahmad bin Mani’ menyampaikan hadit pada kami; Yazid bin Harun menyampaikan hadits. Isa bin Maimun al-Anshari menyempaikan hadits dari al-Qasim bin Muhammad dari A’syah yang menerangkan bahwa Rasul SAW bersabda: Iklankan nikah, jadikanlah di masjid, pukullah atasnya tambur.” Hr. al-Tirmidzi, al-Thabarani.”[155]
Menurut al-Tirmidzi[156] Hadis Gharib (asing tidak populer) terdapat nama Isa Bin Maimun, menurut al-Dzhabi sanadnya Dla’if, menurut Al-Bukhari Munkar al-Hadits, menurut al-Nasa`iy hadits ini tidak kuat [157] dan menurut Ibn Hajar (w.852H) hadits ini dla’if.[158] Karena hadits yang dijadikan dasar hukum itu dla’if, maka nikah di Masjid tidak bisa disyari’ahkan. Hukum syari’ah hanya berdasar pada al-Qur`an dan Sunnah Rasul SAW.
6. Diludahi tanpa Melawan
Ketika FPI menyerbu aliran sesat, muncul berbagai tanggapan di media Massa. Pada suatu hari terjadi diskusi antara yang pro dan kontra penyerangan tersebut. Yang menarik adalah ungkapan seorang Prof.Dr. yang mengatakan seharusnya umat Islam toleransi kepada aliran agama apapun, termasuk pada aliran sesat. Kata beliau Rasul SAW saja pernah diludahi oleh orang yahudi tidak melawan. Betulkah Rasul pernah diludahi orang yahudi? Siapa yahudi yang berani meludahi Rasul? Bagaimana sikap shahabat, apakah membiarkan pemimpinnya dihina?
Dalam catatan sejarah, Rasul bertemu kaum yahudi sudah berada di Madinah. Sebelum terjadi hijrah, tidak ditemukan yahudi yang membenci Rasul SAW. Setelah hijrah, Rasul SAW sampai di Madinah mengadakan perjanjian damai akan saling menghormati satu sama lain. Kaum yahudi yang melanggar perjanjian seperti Bani Quraidlah, oleh Rasul diperangi bahkan diusir. Bani al-Nazhir yang menyalahi janji tentang tebusan, juga ditindak hingga mereka berlindung di pepohonan dan di belakang kaum wanita. Pada bulan Rabi al-Awal tahun 4 H (Agustus 625M), Bani Nadhir melanggar perjanjian dengan Rasul SAW tentang diyat yang mesti mereka bayar berkaitan dibunuhnya dua orang ani Kilab oleh Amr bin Umayah. Ketika limit waktu dan tempat yang disepakati telah tiba, Bani Nadlir bukan membayar diyat tapi justru bersepakat secara sembunyi akan membunuh Rasul SAW. Akhirnya Rasul SAW saat itu kembali ke Madinah dengan shahabatnya. Tidak lama kemudian Rasul SAW mengutus Muhammad bin Masalamah untuk menyampaikan pesan kepada Bani Nadlir berisi ultimatum sebagai berikut:
أَنْ اُخْرُجُوا مِنْ الْمَدِينَةِ ، وَلَا تُسَاكِنُونِي بِهَا ، وَقَدْ أَجّلْتُكُمْ عَشْرًا ، فَمَنْ وَجَدْتُ بَعْدَ ذَلِكَ بِهَا ، ضَرَبْتُ عُنُقَه
“Hendaklah kalian keluar dari Madinah jangan lagi bertetangga denganku di sini. Aku beri jeda waktu selama sepuluh hari. Barangsiapa yang ku dapatkan orangmu setelah jeda waktu itu di sini, akan ku tebas batang lehernya.” Akhirnya kaum yahudi itu tidak mempunyai jalan lagi selain harus meninggalkan Madinah.[159] Bagaimana bisa terjadi yahudi meludahi wajah Rasul bisa dibiarkan dan tidak ditindak, yang melanggar janji saja diusir?
7. Saling Melempar Apem
Seorang Muballighah berceritera di MQTV tentang para istri Rasul SAW. Beliau menerangkan bahwa rumah tangga Rasul yang poligami, bukan tidak ada persoalan. Para istri rasul pun pernah berbeda faham tentang rumah tangganya. Mereka pernah saling lempar kueh apem katanya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah di jaman Rasul SAW sudah ada kueh apem? Apakah para istri nabi suka membuat apem? Bukankah apem itu kue ciri khas Indonesia? Seharusnya setiap muslim menjaga kehormatan para istri nabi sebagai wanita terpilih. Seluruh istri Rasul SAW adalah wanita shalihah.
8. Dikejar Fir’aun
Seorang ibu jamaah Pengajian Akhawatussafa berceritra pernah ikut ibadah umrah dengan salah satu Travel haji Bandung. Di Mekah dibawa ziarah mengelilingi tempat bersejarah. Ketika sampai di jabal Tsur, pemandu ziarah bercerita panjang lebar tentang perjuangan Rasul berhijrah. Kata dia Rasul bersembunyi di Goa Tsur karena dikejar Fir’aun. Yang jadi persoalan adalah, apakah betul cerita itu? Bukankah Fir’aun itu sudah berabad-abad sebelum Rasul SAW lahir, telah ditenggelamkan di jaman Nabi Musa? Perhatikan Firman Allah SWT berikut:
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا وَعَدْوًا حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ ءَامَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الَّذِي ءَامَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ(*)آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ(*)فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ ءَايَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ ءَايَاتِنَا لَغَافِلُونَ(*)
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir`aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir`aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” Qs.10:90-92
وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ ءَالِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ(*)وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنْجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا ءَالَ فِرْعَوْنَ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ(*)
“Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir`aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu. Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir`aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.” Qs.2:49-50
Berdasar ayat-ayat ini jelaslah bahwa Fir’aun telah ditenggelaman di masa Nabi Musa. Yang diselamatkan Allah SWT hanyalah jasadnya sebagai bahan pelajaran dan penelitian bagi generasi selanjutnya. Bagaimana mungkin manusia yang sudah mati bisa mengejar yang masih hidup? Bahkan menyambung cerita dari seorang muballigh di daerah, katanya yang mengejar itu pernah melemparkan batu ke dalam goa yang didiami Rasul, karena dapat inspirasi suara cecak, seakan mengatakan pecak–pecak (dalam bahasa sunda berarti: coba-cobalah). Oleh karena itulah katanya cecak itu mesti dibunuh. Dengan demikian jelaslah bahwa cerita Rasul SAW dikejar Fir’aun itu sebagai dongeng fiktif.
9. Muharram, Apakah memperingati Hijrah?
Setiap awal Muharram, di Indonesia semarak memperingati hijrah Rasul dengan diisi berbagai acara. Bahkan ada yang mengisinya dengan jalan santai, gerak jalan atau cara lainnya, sebagai napak tilas perjalanan Rasul berhijrah dari Mekah ke Madinah. Yang jadi persoalan adalah, mengapa dilakukan pada bulan Muharram? Apakah betul Rasul SAW berhijrah dari Mekah ke Madinah itu pada bulan Muharram. Sampai saat ini belum ditemukan buku sejarah yang menerangkan bahwa Rasul hijrah dari Mekah ke Madinah pada bulan Muharram.
Pada malam 27 Shafar (13-9-622 M), Rasul SAW dan Abu Bakar meninggalkan rumah, setelah berpesan pada Ali bin Abi Thalib untuk menempati tempat tidur beliau kemudian menuju Goa Tsur.[160] Pada malam itu pula pembesar Quraisy sebanyak sebelas orang mengepung rumah Rasul SAW guna melaksanakan pesan Dar al-Nadwa, padahal di rumah tersebut hanya ada Ali bin Abi Thalib. Rasul dan Abu Bakr berada di Goa Tsur selama tiga malam, hingga malam Ahad tanggal 30 Shafar kemudian melanjutkan perjalanan menuju Yatsrib.[161]
Pada hari Senin 8 Rabi’ul-Awal /23-September-622 M (perjalanan Tsur-Quba ditempuh dalam waktu satu pekan), Rasul dengan Abu Bakar tiba di Quba dan mendirikan Masjid di depan rumah Kalstum bin al-Hadm.[162] Di Quba, Rasul menginap empat malam dan hari jum’at melanjutkan perjalanan. Waktu zhuhur Rasul sampai di daerah Bani Salim bin ‘Awf, saat itu perintah shalat jum’at turun dan melakukan shalat jum’at dengan berjamaah bersama seratus muslimin.[163] Setelah shalat jum’at Rasul SAW melanjutkan perjalanan dan sampai di Yatsrib tanggal 12 rabi’ul Awal. Inilah hijrah terbesar yang dilakukan Rasûl SAW bersama kaum muslimin. Kota Yatsrib kemudian diberi nama al-Madinah al-Munawarah, sebagai pusat bersinarnya syi’ar Islam ke seluruh penjuru dunia.[164] Jadi jelas, Rasul SAW dan shahabatnya berhijrah bukan di bulan Muharram. Apakah tepat memperingati hijrah Rasul SAW di bulan Muharram?
Upacara menyambut Tahun baru Hijriyah maupun Miladiyah merupakan produk budaya. Dalam menyambut tahun baru Masehi, tidak terdapat dalam kitab suci, yahudi atau pun nashrani mana pun atau sejarah agama apa pun. Dalam sejarah tidak tercatat adanya peristiwa penting pada 1 januari. Demikian pula menyambut tahun baru hijriyah, tidak terdapat tuntunannya dalam hadits, atsar shahabat ataupun tabi’in. Dalam sejarah juga tidak tercatat ada peristiwa penting pada tanggal 1 Muharram. Dengan kata lain tanggal 1 Muharram tidak memiliki keistimewaan, kecuali sebagai awal bulan haram sebagaimana tersurat pada hadits.[165] Petunjuk Rasul SAW dalam mengisi bulan Muharram justru bukan dengan ihtifal (upacara) atau ritual tertentu, melainkan dengan shaum pada tanggal 9 dan 10 yang dikenal dengan shaum tasu’a dan ‘asyura. Perhatikan hadits berikut ini:
عن بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُول حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dari ibn Abbas diriwayatkan bahwa tatkala rasul melakukan shaum pada tanggal 10 Muharram dan memerintahnya, shahabat bertanya: Wahai rasul bukankah hari tersebut dimuliakan oleh yahudi dan nashrani? Rasul bersabda: tahun depan, jika masih ada, insya Allah kita shaum pula tanggal 9 muharram. Namun tahun depannya tidak terjadi, karena keburu Rasul SAW wafat. Hr. Muslim.[166]
Dengan demikian, mengisi bulan Muharram berdasar hadits ini bukan pada awal bulan tapi pada tanggal 9 – 10. Caranya dengan melaksanakan shaum dan tidak ada kaitannya dengan menyambut tahun baru hijrah karena bilangan tahun hijriyah pada saat itu belum ditetapkan. Bila peringatan hijrah akan dilaksanakan, tentu yang cocok adalah pada bulan shafar atau rabiul al-Awal. Persoalannya apakah ada dalam syari’ah suatu ibadah berkaitan dengan peristiwa tertentu?
Dalam syari’ah terdapat berbagai ibadah yang mesti dilaksanakan secara periodik, seperti shalat jum’at, shalat ied, shalat kusuf, shalat khusuf, shaum tasu’a, shaum asyura, shaum senin-kamis, shaum tanggal 13-14-15, dan manasik haji. Tetapi tidak satu pun dari ibadah tersebut berisi peringatan pada suatu peristiwa yang dialami Rasul SAW.
Oleh karena itu, upacara peringatan tahun baru baik masehi ataupun hijriyah hanyalah produk budaya. Bedanya yaitu menyambut masehi merupakan produk budaya kaum non muslim, sedangkan menyambut tahun baru hijriyah merupakan produk budaya muslim. Yang patut dipertanyakan lagi, mengapa menyambut tahun baru januari dilakukan tengah malam, padahal matahari baru terbit setelah fajar di pagi hari. Anehnya, tidak ada yang mempersoalkan tentang kapan akhir malam untuk syamsiyah, kalau ada awal dan tengah malam. Penanggalan qamariyah sudah jelas, awal malam adalah maghrib, ada tengah malam, ada duapertiga malam dan ada akhir malam, yaitu menjelang shubuh atau dikenal dengan waktu sahur. Namun, yang jelas penyambutan tahun baru itu hanyalah produk budaya. Karena kebudayaan, maka tata cara upacaranya pun di setiap daerah akan berbeda. Setiap muslim dituntut untuk pandai menyeleksi, mana budaya yang bisa dilestarikan, mana pula yang mesti dihapuskan.
10. Istilah Tahun Baru Islam?
Baru beberapa tahun ini, dikenal istilah menyambut tahun baru Islam. Ketika tulisan ini disusun, di berbagai masjid, disebut-sebut istilah menyambut tahun baru Islam 1429. Bahkan di suatu majelis ta’lim, ada seorang ibu mengucapkan selamat tahun baru, ketika tanggal 1 Januari, langsung mendapat teguran dari ibu yang lain sebagai kesalahan. Menurut ibu yang menyalahkan, tahun baru Islam adalah satu Muharram.
Yang menjadi pertanyaan: Apakah benar tahun baru Islam itu tanggal 1 Muharram, sedangkan tanggal 1 Januari sebagai tahun baru kafir? Bukankah penanggalan 1 Muharram itu sudah ada sebelum nabi Muhammad SAW dilahirkan? Bukankah Islam itu sudah diturunkan Allah SWT sejak jaman nabi Adam. Bukankah seluruh nabi dan rasul yang diutus Allah itu semuanya mengajarkan Islam. Mengapa 1 Muharram 1429 disebut tahun baru Islam? Kalau begitu umur Islam baru 1429 tahun. Kalau begitu, ajaran apa yang dibawa Nabi SAW sebelum beliau hijrah? Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” Qs.10:5
Kalimat لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ supaya kalian mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu, merujuk pada peredaran وَالْقَمَرَ نُورًا (bulan bersinar) dan الشَّمْسَ ضِيَاءً (matahari memancarkan cahaya). Dengan demikian, dasar perhitungan tahun berbeda dengan dasar penanggalan bulan. Penanggalan, bulan dan hari ada yang berdasar pada peredaran bulan, ada pula yang berdasar pada peredaran matahari. Sedangkan perhitungan tahun biasanya berdasar pada peristiwa yang dianggap penting oleh penggagas, karena hitungan tahun merupakan produk budaya. Namun karena perhitungan tahun hijriyah itu ditetapkan jaman Umar bin al-Khathab yang merupakan shahabat Rasul SAW, maka termasuk sunnah al-Kulafa al-Rasyidin.
Sejak dahulu perhitungan tahun dan bulan terdiri atas qamariyah (berdasar peredaran bulan) dan syamsiyah (peredaran matahari). Adapun upacara ibadah, seperti shaum ditetapkan berdasar penanggalan qamariyah. Kewajiban ibadah shaum telah ditetapkan Allah SWT sejak jaman nabi Adam, yang waktu pelaksanaannya berdasar penanggalan qamariyah.[167] Bahkan menurut Qatadah (60-117H), sebagaimana dikutip al-Qurthubi, kaum nashrani mendapat perintah shaum Ramadlan.[168] Namun kaum yahudi dan nashrani mengubah[169] penanggalan ibadah pada perhitungan syamsiyah.[170] Sebagai bukti antara lain, pada jaman Nabi Nuh ada shaum 13-14-15 setiap bulan, berdasar hitungan qamariyah. Jaman Nabi Musa ada shaum asyura (tanggal 10 Muharram), juga berdasar penanggalan qamariyah.[171] Ibn Abbas menerangkan bahwa kaum yahudi dan nashrani dahulunya melakukan shaum pada tanggal 10 Muharram.[172] Dengan demikian dua penanggalan tersebut bukan hanya setelah masehi, tapi juga sejak para nabi terdahulu.
Dalam al-Qur`an terdapat beberapa kisah yang jangka waktunya disebutkan, tapi jumlah tahunnya menggunakan dua perhitungan. Contohnya antara lain tidurnya ashhab al-kahfi
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” Qs.18:25
Dalam ayat tersebut disebutkan tiga ratus tahun plus sembilan tahun. Pernyataan ini dipahami oleh mufasir bahwa penghuni kahfi itu tidur selama tiga ratus tahun menurut perhitungan syamsiyah dan tiga ratus sembilan tahun menurut perhitungan qamariyah.
Dengan mengetahui penanggalan komariyah, setiap muslim dapat menetapkan waktu ibadah seperti (1) awal Ramadlan, (2) Idul-Fithri, (3) Idul al-Adlha, (4) ihram haji, (5) mabit di Mina, (6) wuquf, (7) mabit di Muzdalifah, (8) jumrah (9) kurban, (10) shaum 13-14-15 tiap bulan, (11) shaum Muharram. Dengan mengetahui penanggalan syamsiyah, kaum muslimin berkaitan dengan ibadah utamanya dalam menyusun jadwal shalat, jadwal buka shaum, serta antisipasi dalam mempersiapkan haji sedang musim dingin atau panas.
Bagaimana mungkin seorang muslim dapat mengetahui kapan terjadi musim dingin, musim semi dan musim panas, jika tidak mengetahui penanggalan syamsiyah. Perhitungan jumlah hari dalam satu bulan antara komariyah dan syamsiyah tidak sama. Dalam satu tahun perbedaan antara keduanya itu sampai 11 hari.[173] Hikmahnya adalah ibadah shaum, haji, ied dan kurban bisa dialami pada setiap musim. Jika perhitungan penanggalan qamariyah dan syamsiyah itu, keduanya digunakan untuk kepentingan ibadah, tepatkah 1 Muharram disebut tahun baru Islam dan 1 Januari disebut tahun baru kafir?
Memerhatikan beberapa ayat al-Qur`an dan hadits, serta fakta sejarah yang melatarbelakanginya, ada beberapa hal yang patut dicatat antara lain: (1) Tahun hijriyah tidak tepat diubah namanya dengan tahun Islam, sebab Islam sudah lahir sejak jaman Nabi Adam, bukan sejak hijrah. (2) Awal tahun tidak identik dengan peristiwa yang dijadikan awal perhitungan, hijrah rasul bukan pada bulan Muharam, seperti halnya nabi Isa tidak dilahirkan di bulan Januari. (3) Tidak terdapat nama tahun Islam dalam kitab tarikh mana pun, karena para penulis biasanya menggunakan huruf H (singkatan dari Hijri) atau M (singkatan dari masehi atau Miladi), setelah angka tahun. (4) Kalender yang digunakan kaum muslimin terdiri atas qamariyah (lunnar), karena berkaitan dengan ibadah periodik seperti shaum, haji, ied, qurban, dan kalender syamsiyah (solar) karena berkaitan dengan ibadah rutin seperti jadwal solat dan jadwal wuquf. (5) Menyambut tahun baru, baik Januari atau pun Muharam hanya produk budaya dan bukan syari’ah. (6) Perlu diteliti otentisitas berbagai cerita yang dikatakan terjadi pada bulan Muharram, apakah betul ada sumbernya, apakah dapat dipertanggung jawabkan? (7) Hijrah Rasul dari Mekah ke Madinah yang terjadi pada bulan Rabi al-Awal merupakan bagian dari tahapan da’wah dan jihad fi sabil Allah.
11.Pohon sebagai Lambang Islami
Beberapa tahun yang lalu, di masjid Ar-Risalah Baleendah Kabupaten Bandung, diadakan diskusi sejarah perjaungan Islam di Indonesia. Panelis pertama adalah seorang Guru besar Sejarah Unpad, dan saya (penulis) bertugas sebagai panelis kedua. Masing-masing mengungkap sejarah perjuangan Islam dari sisi yang berbeda. Saya saat itu mengungkap persepsi umat terhadap negerinya (ditinjau dari sudut perjuangan syari’ah Islam). Hal yang menarik untuk dikritisi ialah pandangan panelis, sang Prof, ahli sejarah itu. Beliau mengatakan bahwa lambang perjuangan paling tepat adalah pohon beringin. Menurut beliau pohon beringin itu sama dengan yang digambarkan dalam al-Qur`an surat Ibrahim:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.“ Qs.14:24.
Dengan membacakan ayat ini beliau dapat meyakinkan hadirin bahwa apa yang digambarkan dalam al-Qur`an itu adalah pohon beringin. Beliau juga menandaskan bahwa partai yang berlambang pohon beringin itu sesuai dengan sunnah Rasul SAW yaitu jelas akarnya menghunjam ke bumi, cabangnya menjulang ke angkasa serta dapat dijadikan tempat berlindung. Karena, saya saat itu sangat terhentak oleh pandangan beliau, maka sebelum menyampaikan makalah, menanggapi panelis pertama terlebih dahulu. Saya katakan pada beliau, “Mohon maaf kepada panelis pertama! Apakah betul pohon beringin sama dengan apa yang digambarkan dalam Qs.14:24. Tolong ayat yang dibaca tadi lanjutkan pada ayat 25, karena waqafnya pun masih harus dilanjutkan. Kemudian saat itu saya bacakan pada hadirin secara lengkap:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ(*)تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ(*)
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” Qs.14:24-25
Setelah membaca kedua ayat tersebut, saya tandaskan bahwa pohon yang dilambangkan al-Qur`an itu memiliki sifat (1)akarnya menghunjam ke bumi, (2) cabangnya menjulang ke angkasa dan (3) memberikan buah setiap saat. Dengan demikian, saya katakan bahwa pohon beringin itu tidak memenuhi syarat ketiga, karena buahnya tidak bisa dini’mati. Tentu saja diskusi ini bukan untuk menyoroti partai, tapi ingin meluruskan bahwa membaca al-Qur`an dan menyimpulkannya mesti melihat hubungan ayat yang satu dengan yang lainnya. Bukan pula untuk menuduh atau memonis bahwa partai yang berlambang pohon tersebut sebagai bertentangan dengan sunnah Nabi. Yang perlu dikritisi adalah mendalili suatu partai dengan ayat, yang sebenarnya tidak tepat. Namun sayangnya, sang panelis tersebut tidak menanggapi pernyataan saya, karena mungkin menghindari debat kusir.
12. Maskawin dengan Mushhaf al-Qur`an
Betapa banyak pernikahan yang walimahnya diselenggarakan dengan mewah. Bahkan tahun 2007, ada beberapa pejabat dan mantan pejabat serta artis yang menyelenggarakan pesta pernikahan menghabiskan dana miliaran rupiah. Anehnya untuk maskawin hanya dengan alat shalat dan mushhaf al-Qur`an, yang tentu saja tidak sampai jutaan. Akhir-akhir ini, banyak yang beranggapan bahwa maskawin dengan kedua barang tersebut lebih sakral dan mengikuti sunnah Rasul.
Tahukah kita bahwa di jaman Rasul SAW belum ada mushhaf dan tidak pula dikenal dengan alat shalat. Al-Qur`an ditulis secara resmi dalam bentuk mushhaf terjadi pada jaman Umar bin al-Khathab menjadi khalifah, yang penulis utamanya adalah Utsman bin Affan. Al-Qur`an sejak jaman Rasul SAW telah ditulis oleh shahabat, tapi dalam bentuk dan tempat yang beraneka ragam, belum diseragamkan seperti jaman Umar bin al-Khathab. Jadi jelas di jaman Rasul SAW belum ada mushhaf yang berbentuk buku seperti saat ini. Jadi bagaimana bisa saat itu shahabat menikah dengan maskawin berbentuk mushhaf al-Qur`an.
Ada seorang shahabat yang tidak mampu menyediakan perhiasan untuk maskawin, justru diperintah Rasul SAW untuk mencarinya walau berupa cincin dari besi. Rasul SAW tidak memerintah shahabat untuk membayar maskawin dengan tulisan al-Qur`an. Rasul SAW baru membolehkan shahabat tersebut membayarnya dengan mengajar al-Qur`an karena benar-benar tidak mampu, tapi bukan dengan mushhafnya. Perhatikan hadits berikut:
عن أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأْسَهُ فَلَمَّا رَأَتْ الْمَرْأَةُ أَنَّهُ لَمْ يَقْضِ فِيهَا شَيْئًا جَلَسَتْ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ فَزَوِّجْنِيهَا فَقَالَ فَهَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ فَقَالَ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ لَا وَاللَّهِ مَا وَجَدْتُ شَيْئًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرْ وَلَوْ خَاتِمًا مِنْ حَدِيدٍ فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا خَاتِمًا مِنْ حَدِيدٍ وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي قَالَ سَهْلٌ مَا لَهُ رِدَاءٌ فَلَهَا نِصْفُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسُهُ قَامَ فَرَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُوَلِّيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ فَلَمَّا جَاءَ قَالَ مَاذَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ قَالَ مَعِي سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا عَدَّدَهَا فَقَالَ تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ اذْهَبْ فَقَدْ مُلِّكْتَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
“Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d[174], seorang perempuan menghadap Rasul SAW dan berkata: يَا رَسُولَ اللهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِي (wahai Rasul! aku menghadap engkau untuk menghibahkan diriku padamu!). Kemudian Rasul SAW melihat perempuan itu dari atas ke bawah. Tatkala perempuan itu melihat Rasul SAW tidak memberikan tanggapan, lalu duduk termenung. Tiba-tiba seorang shahabat berdiri dan berkata: يَا رَسُولَ اللهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ فَزَوِّجْنِيهَا (Wahai Rasul! Jika engkau tidak berkenan, nikahkanlah dia padaku!). Rasul bersabda: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ (Apakah engkau punya sesuatu untuk maskawin?). Laki-laki itu menjawab:لاَ واللهِ يَا رَسُول الله (Tidak! Demi Allah wahai Rasul!). Rasul SAW bersabda: اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا (Pergilah ke keluargamu! Carilah barangkali kau temukan sesuatu!). Laki-laki itu pergi menemui keluarganya. Kemudian kembali lagi kepada Rasul SAW dan mengatakan: Wahai rasul saya tidak mempunyai apa pun untuk maskawin. Rasul bersabda:: انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ (Coba pergi lagi, carailah sesuatu walau berupa cincin dari besi!). Laki-laki itu pergi ke keluarganya, kemudian kembali dan mengatakan: لا وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ وَلا خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي (Wahai Rasul! Saya tidak menemukan sesuatu walau cincin dari besi! Yang ada hanya sarungku ini! (Kata Sahl, dia tidak punya selain yang ia pakai). فَلَهَا نِصْفُهُ (Bagaimana kalau saya berikan padanya setengah?). Rasul SAW bersabda: مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ شَيْءٌ (Apa yang kau akan perbuat dengan sarungmu? Jika kamu pakai, maka tidak ada untuknya. Jika ia pakai, maka tidak ada bagimu?) Kemudian laki-laki itu terdiam agak lama, kemudian berdiri. Lalu Rasul SAW melihat dia pergi. Kemudian dia dipanggil, tatkala datang lagi, Rasul SAW bersabda: مَاذَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ (Surat apa saja yang kamu hafal?) Laki-laki itu menjwab: مَعِي سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا عَدَّهَا ( Saya hafal surat ini, surat ini, dengan menyebut satu persatu). Rasul bersabda: أَتَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ (Apakah kamu hapal di luar kepala?). Ia menjawab: Ya wahai Rasul! Kamudian Rasul bersabda: اذْهَبْ فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ (Kalau begitu pergilah! Saya telah menikahkan dia padamu dengan maskawin apa yang ada pada dirimu, yang hafal dari al-Qur`an). Hr. al-Bukhari (194-296H), Muslim (206-261H), dan al-Nasa`iy (215-303H).[175]
Essensi hadits ini antara lain (1) Rasul menjadi wali nikah bagi wanita yang menghibahkan diri padanya, (2) mahar merupakan kewajiban yang mesti dibayar oleh suami pada istrinya, (3) sebelum akad seyogyanya disepakati kadar dan nilai mahar yang akan diberikan mempelai, (4) barang yang dijadikan mahar diutamakan dalam bentuk perhiasan wanita, walau hanya cincin dari besi, (5) bila tidak memiliki barang, boleh diganti dengan jasa, seperti mengajarkan al-Qur`an.
Dalam riwayat Abu Dawud (202-275H), diterangkan bahwa laki-laki itu menyebutkan surat yang hafal adalah al-Baqarah dan Ali Imran dan Rasul SAW menyuruhnya untuk mengajarkan dua puluh ayat sebagai maskawin.[176] Sabda beliau kepada shahabatnya itu adalah:
فَقُمْ فَعَلِّمْهَا عِشْرِينَ آيَةً وَهِيَ امْرَأَتُك
Berdirilah kamu, maka ajarkanlah dua puluh ayat pada permpuan ini, dia menjadi istrimu. Hr. Abu Daud (202-275H), al-Nasa`iy(215-303H), al-Bayhaqi (384-458H).[177]
Dengan demikian, yang dibolehkan Rasul SAW untuk dijadikan maskawin shahabat yang tidak punya barang itu adalah mengajarkan al-Qur`an, bukan memberikan mushhaf. Jumlah dan kadar maskawin sangat tergantung pada kesanggupan dan kesepakatan kedua mempelai.
Ada beberapa contoh maskawin yang diberikan Rasul SAW dan shahabat pada istrinya antara lain: (1) ketika Aisyah ditanya maskawin ٌRasul SAW untuk istrinya, ia menjawab, dua belas setengah uqiyah (dua belas ribu lima ratus dirham),[178] (2) Shafiyah dinikahi Rasul SAW dengan maskawin dimerdekakan,[179] (3) Abd al-Rahman bin Awuf memberi maskawin pada salah satu istrinya, dengan emas sebiji korma,[180] (4) Rasul pernah mengizinkan seorang laki-laki menikah dengan maskawin dua sandal,[181] (5) Ali Bin Abi Thalib menikahi Fatimah, putri Rasul SAW, dengan maskawin baju besi.[182] Umar bin al-Khathab, sewaktu jadi khalifah menggagas untuk membatasi jumlah maskawin tidak melebihi apa yang diberikan Rasul pada istrinya. Namun gagasan tersebut ditentang oleh kaum wanita muslimah, karena mengambil dasar kalimat قِنْطَار yang berma’na harta yang cukup banyak sebagai maskawin tercantum dalam Qs.4:20. Kemudian Umar bin Khathab kembali kepada hukum asal tanpa membatasinya dan mengatakan: كُلُّكُمْ أَفْقَهُ مِن عُمَر kalian lebih paham dari Umar.[183]
Benda yang paling pertama disebut Rasul sebagai alternatif untuk maskawin adalah خاتما من حديد cincin. Penyebutan ini memberi isyarat bahwa yang paling utama dijadikan mahar adalah perhiasan untuk wanita atau yang bernilai uang, walau kualitasnya sesuai kemampuan mempelai pria. Beliau juga pernah bertanya kepada A`isyahtentang apa saja yang diberikan Rasul SAW kepada istrinya untuk mahar, jawabnya:
كَانَ صَدَاقُهُ لِأَزْوَاجِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً وَنَشًّا
“Rasul SAW memberikan mahar pada para istrinya sebanyak dua belas uwqiyah dan satu nasy (1/2 uwqiyah).” Hr. Al-Syafi’iy (150-254H), Ahmad (164-241H), al-Darimi (181-255H), Muslim (206-261H).[184]
Dengan demikian maskawin Rasul itu sebesar dua belas setengah uwqiyah. Satu uwqiyah senilai 40 dirham, artinya 12,5 uwqiyah itu sebagaimana dalam riwayat Muslim sekitar 500 dirham. Dalam nishab zakat dikemukakan bahwa nishab perak 200 dirham dan nishab emas 20 dinar. Harga dinar di jaman Rasul SAW maupun al-Khulafa al-Rasyidin adalah 10 dirham. Jika kita melihat perhitungan zakat yang dikemukakan oleh Yusuf Qardlawi, 20 dinar bernilai 85 gram emas,[185] harga 1 dinar sekitar 4,25 gram. Artinya jika dihitung saat ini 50 dinar bernilai 212,5 gram emas. Itulah perkiraan nilai rata-rata mahar yang diberikan Rasul kepada para istrinya. Namun sebaiknya dipilih dari yang dianggap mudah didapat dan tidak saling memberatkan kedua belah pihak. Rasul SAW bersabda:
خَيْرُ الصَّدَاقِ أيْسَرُه
“Sebaik-baik maskawin adalah yang paling mudah (didapat / diberikan). Hr. Al-Hakim (321-405H), al-Bayhaqi (384-458H).[186]
Jelaslah jika ingin meniru Rasul SAW, maskawin itu bukan dengan mushaf al-Qur`an dan seperangkat alat shalat, tapi dengan perhiasan yang berharga bagi kaum wanita.
13. Umrah Berulang ketika Haji
Ketika kami membimbing haji, selalu saja ada yang menawari membawa jamaah ke Ji’ranah atau Tan’im untuk melakukan umrah berulang kali. Salah seorang jamaah pengajian di Riyadlul-Jannah pernah ikut KBIH, yang pembimbingnya menganjurkan thawaf seratus putaran atau umrah tujuh kali sebelum menunaikan prosesi haji tanggal 8 Dzul-Hijjah, padahal dalam brosurnya disebutkan bahwa ibadah haji akan dilaksanakan sesuai sunnah Rasul SAW. Inilah yang menimbulkan pertanyaan, apakah benar sambil menunggu prosesi haji itu jamaah diperintah memperbanyak umrah sebagai sunnah Rasul? Apa sebenarnya yang dijadikan rujukan dalam membawa jamaah melakukan manasik haji? Dalam berbagai hadits dan riwayat haji Rasul SAW, tidak terdapat keterangan bahwa Rasul SAW atau shahabatnya menunaikan umrah berulang kali dalam satu kali keberangkatan haji. Bahkan dalam hadits ditegaskan bahwa Rasul tidak mendekati ka’bah lagi setelah thawaf dan sa’i pertama, hingga pulang dari Arafah.[187]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ فَطَافَ وَسَعَى بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَلَمْ يَقْرَبْ الْكَعْبَةَ بَعْدَ طَوَافِهِ بِهَا حَتَّى رَجَعَ مِنْ عَرَفَةَ
“Diriwayatkan dari Ibn Abbas, tatkala Rasul SAW sampai di Mekah, kemudian thawaf di masjid al-Haram serta sa’i antara Shafa dan Marwah. Beliau tidak mendekati ka’bah setelah menyelesaikan thawafnya hingga pulang dari Arafah.” Hr. al-Bukhari.[188] Hadits yang senada isinya diriwayatkan pula oleh al-Bayhaqi.[189]
Menurut Al-Asqalani (w.852H), yang dimaksud dengan وَلَمْ يَقْرَبْ الْكَعْبَةَ pada hadits ini ialah bahwa Rasul SAW tidak melakukan thawaf, sehingga pulang dari Arafah untuk thawaf Ifadlah.[190] Umrah terdiri dari ihram, thawaf, sa’i dan tahalul. Jika dalam hadits ini ditegaskan bahwa Rasul tidak mendekati ka’bah selama menunggu hari Mina, jelaslah bahwa beliau maupun shahabatnya tidak melakukan umrah bolak-balik selama menunggu prosesi haji 8 Dzul-Hijjah hingga pulang dari Arafah. Aisyah melakukan umrah setelah mabit di Mina, karena memang beliau belum sempat melakukannya disebabkan haidl.[191]
14. Thawaf Seratus Putaran
Seorang jamaah pengajian di Majelis ta’lim Riyadlul-Jannah berceritera tentang pengalaman ibadah haji bersama salah satu KBIH yang ada di Bandung. Ketika tiba di Mekkah dianjurkan oleh pembimbingnya melakukan thawaf seratus putaran. Katanya thawaf yang demikian merupakan sunnah Nabi Haidir. Andaikan benar Nabi Haidlir thawaf seratus putaran, tetap tidak dapat dijadikan dasar hukum, karena yang berlaku saat ini adalah syari’ah Nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda:
لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ
“Hendaklah kalian mengambil manasikmu dariku. Sesungguhnya aku tidak tahu boleh jadi aku tidak berhaji setelah hajiku ini.” Hr. Ahmad, Muslim[192], Dalam riwayat lain redaksinya berbunyi: ْخُذُوا عنِّي مَنَاسِكَكُمْ “Hendaklah kamu mengambil dari ajaranku manasik hajimu.” Hr. al-Bayhaqi.[193]
Sedangkan thawaf yang dilaksanakan Rasul SAW baik waktu ibadah haji maupun umrah adalah tujuh putaran. Sebagaimana ditandaskan dalam hadits berikut:
عن ابْن عُمَرَ َقَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا وَصَلَّى خَلْفَ الْمَقَامِ رَكْعَتَيْنِ
“Ibnu Umar menerangkan, Rasul SAW sampai di Mekah, Thawaf di Bait Allah sebanyak tujuh putaran kemudian shalat di belakang maqam Ibrahim sebayak dua rakaat.” Hr. al-Bukhari, al-Nasa`iy, Ibn Majah.[194]
Ada lagi redaksi lainnya yang berbunyi:
عن بن أبي أوفى اعْتَمَرْتُ مَعَ رَسول الله صلى الله عليه وسلم عُمْرَته فَاسْتَلم الحَجَر وَطَافَ سُبُوعًا
“Ibnu Abi Awfa menerangkan: Saya berumrah bersama Rasul SAW. Umrah beliau dengan istilam ke Hajar Aswad dan thawaf tujuh putaran.” Hr. al-Nasa`iy.[195]
Imam Malik pernah ditanya tentang seseorang yang thawaf hingga kelebihan dan ragu apakah delapan putaran atau sembilan. Beliau menjawab segeralah berhenti dan shalat dua raka’at. Al-Suyuthi,[196] menandaskan أي لم يأت فيه بزيادة أو نقص (tidak ada dalam thawaf itu yang melebihi tujuh putaran atau kurang). Dengan demikian tegaslah bahwa thawaf yang berdasar sunnah Rasul adalah tujuh putaran. Said Sabiq menandaskan sahnya thawaf adalah mengelilingi ka’bah hanya tujuh putaran.[197]
14. Masalah Khuruj Tidak Membawa Istri
Ada suatu jamaah yang mewajibkan khuruj dengan meninggalkan keluarga untuk i’tikaf di masjid secara periodik. Mereka berada di masjid beberapa hari, makan, minum, menginap, mencuci dan yang lainnya dilakukan di masjid. Menurut mereka cara yang demikian itu merupakan perwujudan meneladani Rasul SAW. Mereka melarang membawa istri ketika khuruj. Apakah benar Rasul SAW dalam da’wahnya tidak membawa istri? Perhatikan hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ وَكَانَ يَقْسِمُ لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا غَيْرَ أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا لِعَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْتَغِي بِذَلِكَ رِضَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aisyah menerangkan bahwa Rasul SAW apabila hendak bepergian suka mengundi istrinya. Siapa yang tercantum namanya pada hasil undian tersebut, maka Rasul pergi bersamanya. Beliau juga suka menggilir istrinya siang maupun malam, hanya Saudah yang tidak mendapat giliran karena telah menghibahkan bagiannya kepada Aisyah sebagai salah seorang istrinya. Beliau melakukan demikian semakin mendapat rido dari Rasul SAW.” Hr.al-Bukhari.[198]
Dalam riwayat lain diterangkan sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَطَارَتْ الْقُرْعَةُ عَلَى عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ فَخَرَجَتَا مَعَهُ جَمِيعًا
“Dari Aisyah berkata: Adalah rasul SAW jika mau bepergian, mengundi istrinya. Pernah kejadian hasil undian jatuh pada nama Aisyah dan Hafshah, maka kami berdua pergi dengan beliau sama-sama.” Hr. al-Bukhari, Muslim.[199]
Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasul SAW bila bepergian suka bersama istrinya. Selain itu, tempat mana yang menjadi prioritas dikunjungi selain di dalam negeri sendiri, ternyata adalah Bangladesh dan Australia. Hal ini juga semakin patut dipertanyakan, karena jika mencontoh Rasul SAW, tidak memaksakan diri untuk bepergian yang bersifat ibadah selain ke tiga masjid. Rasul SAW bersabda:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Tidak ada bepergian yang diutamakan kecuali ke tiga masjid; masjid al-Haram, Masjid al-Rasul SAW, dan masjid al-Aqsha.” Hr. al-Bukhari.[200]
Anehnya tiga masjid yang disebutkan dalam Hadits tersebut tidak menjadi sasaran kunjungan mereka. Yang patut dipertanyakan pula, betulkah Rasul SAW dan shahabatnya sering menginap di masjid secara rutin? Betulkah i’tikaf di masjid itu tidak boleh membawa istri? Bukankah ketika Rasul SAW melaksanakan i’tikaf pada akhir Ramadlan yang membangun kemahnya adalah Aisyah? Perhatikan hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا فَضَرَبَتْ خِبَاءً
“Diriwayatkan dari Aisyah yang menerangkan: Rasul SAW i’tikaf pada sepuluh terakhir Ramadlan. Saya (kata Aisyah) menyediakan kemah untuknya, kemudian beliau shalat shubuh dan memasuki kemahnya. Tidak lama kemudian Hafshah minta izin untuk membikin kemah untuk i’tikaf dan diizinkan.” Hr. al-Bukhari.[201]
Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasul SAW beri’tikaf dengan tidak menjauhi istrinya, tapi justru mengizinkannya ikut bersama beliau.
15. Islam Singkatan Waktu Shalat
Pada suatu malam, penulis mengikuti ceramah di salah satu masjid. Apa yang disampaikan oleh penceramah cukup menarik bertema oleh-oleh isra dan mi’raj. Beliau mengungkap bahwa oleh-oleh yang paling utama adalah shalat lima waktu. Shalat lima waktu itu merupakan pokok utama ibadah dalam Islam. Islam sebenarnya merupakan singkatan dari waktu shalat yaitu (1) huruf I merupakan singkatan dari isya, (2) huruf S merupakan singkatan dari shubuh, (3) huruf L merupakan singkatan dari lohor, (4) huruf A singkatan dari ashar, (5) huruf M singkatan dari maghrib. Dengan demikian menurut beliau shalat lima waktu itu mewakili segala ajaran Islam yang menjadi oleh-oleh peristiwa isra dan mi’raj. Timbul pertanyaan apakah betul nama Islam itu singkatan dari waktu shalat. Setelah diperhatikan ternyata kelima huruf dari kalimat Islam itu hanya satu yang tepat dengan nama waktu shalat yaitu Maghrib yang dianggap kepanjangan dari huruf M. Tulisan asli istilah islam adalah إِسْلَام sedangkan waktu shalat adalah (1)عِشاء awal hurufnya ع ain, beda dengan إسلام yang diawali alif (2) صُبح awal hurufnya ص shad bukan sin, (3) ظُهْر awal hurufnya ظ zha, bukan L (4)عَصر awal hurufnya ع ain, bukan alif, (5) مَغْرب hanya huruf ini yang cocok dengan م pada إسلام. Jadi darimanakah bahasa kirata itu dapat ditemukan? Bagaimana singkatan itu bisa dijadikan dasar hukum?
16. Menaati Suami Mengabaikan Orangtua
Sudah populer di kalangan penceramah, cerita tentang diampuninya dosa sang ayah disebabkan kesetiaan putrinya pada suami. Cerita tersebut berdasarkan pada apa yang diuraikan al-Ghazali (450-505H) dalam kitabya Ihya Ulum al-Din sebagai berikut:
وَكَانَ رَجُلٌ قَدْ خَرَجَ إلىَ سَفَرٍ وَعهِدَ إلىَ امْرأتِه ألاَّ تَنْزل مِنَ العُلوِ إلى السفلِ وَكَانَ أبُوْهَا فِي الأسْفَلِ، فَمَرِضَ فأرْسَلَت الْمَرأةُ إلى رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم تَسْتَأذِن فِي النُّزُول إلىَ أبِيْهَا، فقَال صلى الله عليه وسلم ” أطِيْعِي زَوْجَك ” فَمَات فاسْتَأْمَرَتْهُ فقَال ” أطِيْعِي زَوْجَكِ ” فَدُفِنَ أبُوها فَأرْسَلَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم إلَيْها يُخْبرُها أنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لأبيْهَا بطَاعَتِهَا لِزَوْجِها
“Ada seorang laki-laki bepergian meninggalkan istrinya. Dia telah berpesan pada istrinya untuk tidak turun dari lantai atas. Sedangkan ayah perempuan itu berada di lantai bawah menderita sakit keras. Perempuan tersebut mengirim utusan kepada Rasul untuk minta izin agar bisa turun menjenguk ayah yang sedang sakit. Rasul bersabda: Taatilah pesan suamimu! Akhirnya sanga ayah itu itu wafat, kemudian perempuan tersebut minta saran pada Rasul SAW, sabdanya tetap “Taati suamimu”. Akhirnya ayah perempuan itu diqubur. Tidak lama kemudian rasul mengirim utusan pda sang perempuan yang setia pada suaminya itu mengebarkan bahwa Allah SWT telah mengampuni dosa al-Marhum karena kesetiaan anak perempuannya pada suaminya.”[202]
Al-Ghazali mungkin mengutip hadits tersebut dari al-Thabarani yang ternyata dalam kitab aslinya menggunakan redaksi berikut:
أن رجلا خرج ، وأمر امرأته أن لا تخرج من بيتها ، وكان أبوها في أسفل الدار ، وكانت في أعلاها ، فمرض أبوها ، فأرسلت إلى النبي صلى الله عليه وسلم ، فذكرت له ذلك فقال : « أطيعي زوجك » فمات أبوها ، فأرسلت إلى النبي صلى الله عليه وسلم ، فقال : « أطيعي زوجك » ، فأرسل إليها النبي صلى الله عليه وسلم : « إن الله غفر لأبيها بطاعتها لزوجها »
Hr. al-Thabarani (260-360H)[203] Al-Haytsami (w.807H), berkomentar وفيه عصمة بن المتوكل وهو ضعيف dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ishmah bin al-Mutawakkil adalah dla’if.[204] Menurut Ibn al-Jauzi (w.579H), Ishmah bin al-Mutawakkil itu banyak angan-angannya dan kurang cerdas.[205] Dalam kitab Ihya sendiri yang telah ditakhrij ditandaskan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh al-Thabrani dengan sanad yang dla’if alias lemah tidak bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya. Dengan demikian hadits ini tidak bisa dijadikan dasar hukum dan kisahnya dianggap tidak ada.
Tanggung jawab istri mesti setia pada suami adalah betul, karena diperintahkan al-Qur`an seperti:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Wanita yang shalihah ialah yang taat dan patuh serta menjaga diri tatkala suaminya tidak ada, sebagaimana Allah SWT menjaganya.” Qs.4:34
Dalam beberapa hadits yang shahih antara lain:
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
“Qutaibah telah memberi tahu kami, berkata al-Layts menyampaikan hadits dari Ibnu Ijlan dari Sa’id al-Maqburi, dari Abi Hurairah, berkata: Rasul SAW ditanya: Wanita yang bagaimanakah yang terbaik? Beliau menjawab yang menyenangkan suami tatkala melihatnya, taat tatkala suami memerintah, tidak menyalahi suaminya dalam mengurus diri dan harta, hingga melakukan yang tidak disenangi.” Hr. al-Nasa`iy
Jadi jelas seorang istri mesti setia pada suaminya. Namun yang menjadi persoalan, apakah benar orang tua yang sakit keras dan serumah mesti dibiarkan begitu saja sampai meninggal?
17. Panitia Tidak Mau Makan Daging Qurban
Salah satu kepanitiaan di sebuah masjid bersepakat tidak akan memakan daging hewan qurban yang dititipkan jamaah ke masjid tersebut. Mereka juga menyediakan konsumsi panitia dari dana lain untuk membeli ikan dan ayam, supaya tidak dicurigai yang berqurban memakan daging yang disembelihnya. Kesepakatan tersebut katanya berdasar Sunnah Rasul SAW. Apakah betul panitia tidak boleh memakan daging hewan qurban yang disembelihnya? Perhatikan hadits berikut:
مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلَا يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَبَقِيَ فِي بَيْتِهِ مِنْهُ شَيْءٌ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِي قَالَ كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا
“Barangsiapa yang berkurban janganlah menyimpan dagingnya di rumah melebihi tiga hari walau sedikit”. Namun tatkala tahun berikutnya, shahabat bertanya: “Wahai rasul apakah masih berlaku seperti tahun yang lalu? Rasul bersabda: Tidak! Makanlah, berikanlah dan simpanlah (awetkan)! Sesungguhnya tahun lalu itu musim perang, saya menghendaki untuk mendistribusikannya.” Hr. al-Bukhari, Muslim, Ibn Abi Syaibah (159-235 H).[206]
Secara historis hadits ini menghapus hukum yang sebelumnya berlaku. Pada awalnya, daging hewan qurban itu mesti habis dimakan sebelum tiga hari. Namun pada periode berikutnya diperbolehkan untuk disimpan sebagiannya. Berdasar hadits ini mustahiq kurban itu terdiri atas (1) konsumsi orang yang berkurban, (2) disedekahkan kepada orang yang mau menerimanya dan (3) disimpan sebagai persediaan makanan pada hari-hari berikutnya. Berkaitan dengan qurban, Allah SWT berfirman:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” Qs.22:28. Dalam ayat lain ditegaskan:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi`ar Allah SWT, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” Qs.22:36
Berdasar ayat dan hadits di atas, yang berhak memakan daging hewan qurban itu adalah (1) konsumsi yang berkurban, (2) Al-Qani’ yaitu yang merasa berkecukupan, dan (3) al-Mu’tar yaitu yang meminta. Dengan demikian mustahiq qurban berbeda dengan zakat. Jika zakat itu hanya untuk delapan golongan, maka daging qurban siapa pun boleh memakannya. Menurut sebagian ulama, non muslim pun bila berkeinginan boleh mendapat bagian qurban, karena kemutlakan ayat tersebut.
Seperti diungkapkan di atas, di jaman Rasul SAW qurban itu dikelola oleh yang berqurban hingga tuntas. Dalam riwayat Muslim dari Jabir diterangkan bahwa Rasul SAW setelah menyembelih hewannya kemudian mencincang, ikut memasak dan makan bersama masyarakat.[207] Dengan demikian pantia tidak perlu menyediakan dana khusus untuk membeli daging yang lain sebagai konsumsi. Rasul SAW bersabda:
كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
“Makanlah, beri makan yang lain, dan simpan (untuk persediaan di hari lain). Hr. al-Bukhari, Muslim, Ibn Abi Syaibah (159-235 H).[208]
Berdasar hadits ini, jelaslah bahwa kaum muslimin baik yang berqurban maupun yang tidak, baik panitia atau pun bukan, bisa ikut menikmati daging yang telah dimasak di tempat penyembelihan. Dengan demikian, syi’ar Islam akan nampak, kebersamaan antara yang kaya dan yang miskin menyatu, silaturahim antara tetangga akan terjalin.
Bagian Ketujuh
Beberapa Faktor yang berpengaruh pada pemahaman hadits dan contohnya
A. Faktor yang mempengaruhi pemehaman al-Hadîts
Banyak faktor yang mempengaruhi umat dalam memahami al-Hadîts antara lain:
(1). Kemungkinan Muhkamat dan Mutasyabihat Makna al-Sunnah (2) Makna Kalimah dalam Al-Hadîts yang banyak Misteri. (3) Kemutlakan Wahyu dan Keterbatasan Ilmu. (4) Faktor kepentingan yang berpengaruh pada Penafsiran ayat. (5) Perkembangan jaman menimbulkan perubahan pemahaman. (6) Budaya yang mempengaruhi Sikap terhadap ayat. (7) Falsafah daerah berpengaruh pada cara mengambil implikasi ayat
B. Beberapa Contoh Prilaku Rasûl yang difahami berbeda di kalangan Sufi
Seruan untuk kembali kepada Al-Qur`ân dan Sunnah Rasûl , terus dikumandangkan di berbagai tempat dan berbagai kesempatan. Semua umat Islam pun sepakat, bahwa dalam menyelesaikan masalah baik ibadah, mu’amalah, ekonomi, politik maupun hukum harus kembali ke kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak bagi kita hanya yang bersumber dari penguasa dan pemilik mutlak yaitu Allâh, melalui Al-Qur`ân dan Sunnah Rasûl ullah saw Namun sumber hukum yang mutlak benar itu, ternyata memberikan kesempatan kepada umat untuk berbeda memahaminya. Sayangnya banyak umat manusia yang memutlakkan kebenaran relatif, dan merelatifkan kebenaran mutlak. Al-Qur`ân dan Sunnah mutlak benar, tapi bukan berarti pemahaman manusia terhadapnya, mutlak benar. Umat Islam telah sepakat bahwa perilaku Rasûl ullah saw merupakan contoh atau model dalam segala aspek kehidupan, karena Allâh SWT telah menyatakannya dalam Al-Qur`ân:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sungguh telah ada pada pribadi Rasûl itu teladan baik bagimu, bagi yang mengharap ridla Allâh, kehidupan akhirat dan berdzikir sebanyak-banyaknya kepada Allâh. Qs.33:21
Ayat ini menegaskan bahwa teladan bagi orang mu’min hanyalah Rasûl saw. Meneladani Rasûl , bagi orang mu’min bukan hanya dalam hal ibadah, tapi dalam segala aspek kehidupan. Namun memandang Rasûl sebagai teladan itu dipengaruhi oleh latar belakang umat. Kaum muslimin yang ahli di bidang fiqih, tentu menjadikan Rasûl itu sebagai sumber fiqih, sehingga ada buku yang berjudul Shalat Nabi, Manasik Rasûl , Pernikahan Nabi. Faqih juga menyorotinya dipengaruhi oleh bidang keahliannya. Ahli Fiqih Ibadah lebih tertarik oleh cara-cara ibadah Rasûl . Ahli fiqih munakahat lebih tertarik oleh pernikahan Rasûl ullah. Ahli fiqih Da’wah, dan ahli fiqih siasah lain lagi. Orang sufi memandang Rasûl sebagai teladan di bidang tasawuf, sehingga ada buku tasawuf Nabi. Ahli kedokteran juga meneliti perilaku Rasûl dari sudut ilmunya hingga terbit buku At-Thibbun-Nabawi. Politikus memandang bahwa Rasûl itu bukan hanya pemimpin umat tapi juga dipandang sebagai kepala negara. Tentara juga memandang bahwa Rasûl itu sebagai tokoh militer hingga ada buku berjudul kemiliteran Rasûl ullah. Demikian pula teknokrat, ekonom, filosof, akan memandang figur Rasûl dari sudut lain lagi. Bagaimana pandangan para ahli fiqih tentang akhlaq Rasûl ullah SAW, telah banyak kita bicarakan dalam buku-buku yang kami terbitkan.
Sedangkan tulisan kecil ini mencoba menelusuri bagaimana akhlaq Rasûl ullah SAW dipandang oleh kaum sufi. Agar ada perbandingan, kaum sufi pada tulisan ini dibagi pada dua kelompok; tasawuf Salafi dan tasawuf khalafi. Salafi artinya hampir sama dengan klasik atau tradisional, terkadang disebut ortodoks. Sedangkan khalafi mempunyai makna mutakhir, modern atau kontemporer. Perbandingan antara para ahli tasawuf Salafi (selanjutnya disebut Sufi Salafi) dan ahli tasawuf Khalafi (yang selanjutnya disebut sufi khalafi) dalam memandang ahklaq Rasûl ullah SAW, sangat penting kita telaah. Tentu saja tulisan ini tidak akan mengungkap semua akhlaq Rasûl , melainkan hanya sebagian kecilnya saja.
1. Perilaku Rasûl sebagai Manusia
a. Mode Pakaian
Rasûl ullah saw berpakaian gamis. Ada yang berpendapat bahwa gamis itu pakaian sunah Rasûl . Maka jika kita memakai dasi, jas atau kaos oblong dianggap tidak mengikuti sunnah. Gamis yang digunakan juga harus terbuat dari kapas atau katun dan melarang bergamis nilon. Dalil mereka antara lain al-Hadîts yang menyatakan bahwa shahâbat Rasûl berkata:
قُلْنَا لِأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَيُّ اللِّبَاسِ كَانَ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أَعْجَبَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْحِبَرَةُ
Kami pernah bertanya kepada Anas Bin Malik, tentang pakaian seperti apa yang sangat dicintai Rasûl ullah SAW.? Anas menjawab: Al-Hibarah, yaitu terbuat dari katun. Hr. Muttafaq alaih [209]
Oleh karena itu tidak aneh jika ada kelompok yang mengaku salafi, berpakaian gamis dan sorban yang terbuat dari katun, kemana pun ia pergi. Namun ada yang secara radikal memandang, di kalangan sufi khalafi, justru, gamis kalau dipakai di Indonesia tidak mengikuti sunnah. Pihak ini beralasan bahwa Rasûl berpakaian gamis itu karena sesuai mode pada saat itu dan dimana beliau hidup. Oleh karena itu pakaian yang sesuai sunnah adalah yang sesuai dengan kondisi dan situasi, serta perkembangan mode setempat, dengan syarat menutup aurat.
Syarat pakaian berdasar syari’ah ialah: (1) menutup aurat, (2) bersih dan indah, (3) beda antara pakaian pria dengan wanita, (4) tidak berlebihan.
Menurut Khalafi, ketentuan yang ditetapkan secara rinci oleh Rasûl ullah SAW dalam berpakaian hanyalah menutup aurat. Rasûl tidak menetapkan mode pakaian yang seperti apa yang indah itu, pakaian mana yang tergolong khusus pria, dan mana yang khusus wanita. Demikian pula tentang berlebihan, tidak digambarkan secara rinci. Dengan demikian yang harus seragam itu hanyalah tentang menutup auratnya. Aurat laki-laki berlaku di seluruh tempat yaitu antara pusat dan lutut. Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan hingga pergelangan. Sedangkan mode dan warna dipandang sebagai keleluasaan untuk dirancang oleh setiap muslim sesuai dengan selera, moral, kebiasaan dan tradisi masing-masing daerah.
b. Cara Rasûl SAW Makan
1). Diriwayatkan bahwa makanan Rasûl ullah SAW antara lain kurma, roti, dan daging kambing. Perilaku ini dipandang oleh kaum salafi sebagai sunnah. Oleh karena itu mereka beranggapan bahwa jika kita makan kurma terutama di kala buka shaum, hendak pergi ke tempat shalat idul fitri, sebagai sunnah Rasûl ullah SAW.
Sedangkan kaum khalafi beranggapan bahwa makanan yang sesuai sunnah Rasûl adalah makanan setempat. Rasûl SAW suka makan kurma itu karena hidup di tempat yang makanan pokoknya demikian. Oleh karena itu jika kita berada di Indonesia, maka yang tepat memakan menu Indonesia. Jika kita hidup di Arab, maka yang tepat memakan makanan Arab. Ketentuan Rasûl SAW tentang makanan, bukan menu, bentuk, atau materinya, melainkan yang halal dan thayyib. Apa pun yang menjadi makanan pokok setempat asalkan halal dan thayyib, kemudian dimakan oleh kaum muslimin termasuk mengikuti sunnah.
2) Cara Rasûl makan dan minum, ada yang ditafsirkan sebagai ibadah ritual. Beliau makan dengan tiga jari dan menjilati jari yang digunakannya. Demikian pula makan bersama para shahâbat dalam satu wadah dianggapnya sebagai sunnah yang harus diikuti. Tak sedikit kaum sufi salafi yang tidak mau menggunakan piring, sendok, atau peralatan lain ketika makan. Mereka lebih senang makan pada tempat besar secara bersama-sama. Kita juga menemukan kebiasaan kaum sufi salafi memperebutkan bekas air minum mursyid, guru, pimpinan atau imamnya. Mereka beralasan bahwa air minum bekas Rasûl ullah SAW diperebutkan para shahâbatnya, dalam al-Hadîts Anas bin Malik menerangkan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِلَبَنٍ قَدْ شِيبَ بِمَاءٍ وَعَنْ يَمِينِهِ أَعْرَابِيٌّ وَعَنْ شِمَالِهِ أَبُو بَكْرٍ فَشَرِبَ ثُمَّ أَعْطَى الْأَعْرَابِيَّ وَقَالَ الْأَيْمَنَ فَالْأَيْمَنَ
Bahwa Rasûl SAW diberi susu yang dicampur air. Sedangkan di sebelah kanannya ada orang dusun Arab. Sedangkan di sebelah kirinya ada Abu Bakr. Kemudian Rasûl ullah SAW meminum air susu tersebut, lalu memberikannya kepada orang dusun Arab itu. Beliau juga bersabda: Berikanlah kepada yang sebelah kanan, terus ke sebelah kanannya lagi. Muttafaq Alaih.[210]
Al-Hadîts ini dijadikan dasar oleh sufi salafi bahwa air bekas minum Rsaul itu mengandung berkah, dan begitu pula air bekas minum mursyid. Oleh karena itu tidak aneh di kalangan kaum sufi yang memperebutkan air bekas minum guru atau ustadznya. Adapun Sufi khalafi beranggapan bahwa para shahâbat meminum air bekas Rasûl itu bukan sebagai sunnah, tapi karena kebetulan saat itu kesulitan air dan memang cangkir dan gelasnya sangat terbatas.
c. Rasûl Allah SAW tidur
Kebiasaan Rasûl Allah dikala tidur, juga mendapat sorotan kaum sufi. Kaum sufi salafi beranggapan bahwa tidur di atas sehelai tikar, tidak menggunakan kasur, dianggap sunnah. Mereka juga berusaha mengurangi tidur. Demikian pula caranya seperti berbaring kemana, apakah ke kiri ataukah ke kanan. Sedangkan kaum khalafi tidak mengkategorikan tidur pada sunnah, melainkan hanya basyariyah belaka.
2. Rasûl SAW sebagai Pengemban Risâlah Da’wah
a. Periodisasi Makkah dan Madinah
Periodisasi da’wah Rasûl saw terdiri masa makiyah dan madaniyah. Periode makiyah Rasûl ullah berda’wah tentang aqidah dan ibadah. Sedangkan periode madaniyah mencakup mu’amalah, munakahah, hukum, politik, ekonomi dan kemasyarakatan lainnya. Ada yang memandang bahwa semua umat Islam dalam berda’wahnya harus melalui tahapan tersebut hingga masyarakat itu harus dinilai dahulu apakah masih jahiliyah, sudah makiyah, dalam proses hijrah, ataukah sudah mencapai madinah. Al-Qur`ân oleh pihak ini diajarkan sesuai dengan urutan turun wahyu, mulai dari al-Alaq, Al-Muzammil, Al-Mudatsir dan diakhiri surat al-Maidah,(ada juga yang berpendapat bahwa yang terakhir turun itu adalah al-Baqarah). Cara yang demikian dianggapnya paling mengikuti sunnah. Prinsip yang digunakannya pun oleh kelompok ini adalah syahadat, bai’at, taat, imamah, dan khilafah. Di kalangan kaum sufi dikenal dengan thabaqat, maqamat atau tingkatan tasauf. Melalui mursyid (pembimbing khusus), umat itu harus menjalani thabaqat tersebut. Tahap pertama adalah ta’reif atau pengenalan, kemudian ta’lim atau pengajaran, ta’dib pendalaman, talqin penta’liqan dan pelantikan. Kaum sufi juga berpandangan bahwa ilmu dan ma’rifah itu diterima harus melalui titisan dari Rasûl , shahâbat, tabi’in, wali hingga mursyid. Pihak lain memandang bahwa periodisasi dan tahapan da’wah yang dijalankan Rasûl ullah itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi umat dikala itu. Kelompok ini beranggapan bahwa mengajarkan Al-Qur`ân yang paling tepat saat ini adalah mengikuti urutan surat dalam mushaf yang ada sekarang. Materi da’wah tidak perlu mengikuti urutan turunnya wahyu, melainkan mengikuti apa yang ada di dalam surat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Alasannya adalah Al-Qur`ân saat ini telah lengkap dan sempurna turun. Periode Indonesia tidak bisa disamakan dengan jahiliyah, karena sudah banyak yang beriman. Tidak bisa disebut periode makiyah, karena Al-Qur`ân turun sudah lengkap. Tidak pula disebut masa hijrah, karena tidak nampak perbedaan antara satu tempat dengan tempat lain di bidang keislamannya. Tidak pula disamakan dengan periode madaniyah, karena umatnya belum melaksanakan hukum Islam secara kaffah. Oleh karena itu metode dan tahapannya pun tidak kaku, melainkan harus berkembang.
b. Urutan ayat yang diajarkan
Rasûl ullah SAW menerima wahyu secara berangsunr mulai dari surat al-’Alaq hingga ayat yang terakhir diturunkan. Oleh kaum sufi salafi dianggapnya sebagai sunnah yang harus diterapkan dalam mengajarkan Al-Qur`ân. Di antara mereka ada yang beranggapan bahwa mengajarkan Islam itu harus secara berurutan mulai dari ajaran membaca, tahajjud dan seterusnya. Urutan wahyu itu dianggap sebagai thabaqat atau tingkatan pembelajaran. Akibatnya ada ayat yang tidak boleh diajarkan kepada orang yang belum mencapai tingkatan tertentu. Implikasi dari urutan wahyu itu adanya tahapan syari’at, thariqat, ma’rifat, dan haqiqat. Sementara sufi khalafi beranggapan bahwa mengajarkan Islam itu mengikuti mushahf Al-Qur`ân yang tidak memisahkan mana yang harus diajarkan lebih dahulu dan mana pula yang harus diakhirkan, melainkan tergantung pada kebutuhan dan kemampuan yang mempelajarinya.
c. Penggunaan Pedang dan Panah
Rasûl ullah saw dalam berperang menggunakan senjata pedang dan panah. Dipandang oleh sebagian pihak bahwa pedang dan panah itu sebagai persenjataan sunnah Rasûl . Sedangkan oleh pihak lain dipandang bahwa persenjataan Rasûl itu sebagai senjata canggih. Pedang dan panah merupakan senjata paling canggih di zaman Rasûl . Beliau memilikinya, bahkan lebih baik dari senjata kaum musyrikin. Pedang Rasûl ullah yang bertanduk melambangkan bahwa senjata Rasûl ullah saw itu dua kali lipat lebih canggih dibanding senjata yang dimiliki kaum musyrikin. Oleh karena itu jika kita ingin mengikuti sunnah Rasûl ullah, kita harus memiliki persenjataan minimal dua kali lipat lebih canggih dibanding yang dimiliki kaum musyrikin. Dengan demikian saat ini, umat Islam belum mengikuti sunnah Rasûl di bidang kecanggihan persenjataan. Melihat ketiga contoh di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kaum sufi memandang perilaku Rasûl ullah itu ada yang secara tekstual ada pula yang secara kontekstual. Namun baik yang secara tekstual maupun yang kontekstual, implikasinya tetap saja bisa berbeda. Contohnya memahami al-Hadîts dari Anas bin Malik
أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Diriwayatkan dari Anas r.a katanya: Sesungguhnya beberapa orang Shahâbat r.a bertanya kepada isteri-isteri Nabi s.a.w mengenai amalan yang dilakukan oleh beliau secara diam-diam. Maka ada di antara mereka yang memberitahu bahwa dia tidak akan nikah. Ada juga yang memberitahu bahwa dia tidak makan daging dan ada pula yang memberitahu bahwa dia tidak pernah tidur di atas ranjang. Mendengar hal itu semua, Nabi s.a.w memuji kepada Allâh dan bersabda: Apa yang kena terhadap kaum itu, mereka berbicara ini dan itu, sesungguhnya aku mendirikan shalat dan aku juga tidur, aku shaum, aku juga berbuka dan aku juga menikahi beberapa wanita. Maka siapa yang tidak suka sunnahku, dia bukanlah golongan umatku. *Muttafaq alaih.[211]
Peristiwa ini menggambarkan bahwa ternyata para shahâbat yang menerima informasi yang sama dan berbarengan tentang perilaku Rasûl, masih berbeda dalam mengambil kesimpulannya. Untung pada saat itu Rasûl saw segera tiba, dan langsung mengoreksi pandangan ketiga shahâbatnya. Namun tentang mana ibadah yang harus diutamakan, tetap saja berbeda. Ada kaum ulama yang beranggapan bahwa al-Hadîts di atas merupakan koreksi terhadap orang yang mengutamakan ibadah ritual di banding ibadah sosial. Ada pula yang menyimpulkan bahwa ibadah ritual seperti shalat, dan shaum harus lebih diutamakan. Di kalangan kaum sufi pun terdapat perbedaan, memahami al-Hadîts ini. Ada yang beranggapan bahwa shalat semalam suntuk meninggalkan kepentingan lain itu termasuk ibadah yang bernilai. Demikian pula yang shaum terus menerus dan berdzikir. Al-Hadîts di atas tidak dianggap sebagai koreksi, tapi justru pembenaran terhadap pandangan para shahâbat. Kita juga sering memperhatikan para penceramah menyampaikan ibrah Rasûl ullah saw itu beraneka ragam. Ada yang menyoroti tentang kesederhanaan Rasûl , ada yang menyoroti tentang kemajuannya di bidang ekonomi dan teknologi. Tidak aneh bila ada kaum sufi yang sering mengungkapkan bahwa Rasûl itu sebagai figur yang sangat sederhana, pakaiannya hanya satu, pagi makan sore tidak, sering menahan lapar, dan tidak mempunyai harta kekayaan. Mereka mengajarkan bahwa kaum muslimin itu harus sederhana dan tidak boleh kaya. Kaum sufi salafi cenderung memandang akhlaq dan keadaan Rasûl ullah SAW secara tekstual, kurang menyorotinya secara kontekstual. Tidak aneh di kalangan mereka yang berusaha menjadikan Rasûl itu, sebagai figur kesederhanaan, jauh dari kemewahan, dan tidak menghiraukan kemajuan dunia. Bahkan ada di kalangan sufi salafi yang berani mengharamkan produk nonmuslim seperti radio, televisi, pengeras suara, dan film. Sedangkan yang lain beranggapan bahwa kaum muslimin itu harus maju dalam segala bidang, karena Rasûl ullah pun disegani oleh kaum kafirin dalam segala hal. Mereka melihat Rasûl ullah SAW itu sebagai figur kemajuan dalam segala bidang, baik ekonomi, teknologi, politik maupun kemiliteran. Mereka juga sangat tertarik oleh peristiwa kemenangan yang dialami kaum muslimin di jaman Rasûl ullah SAW. Bukankah ketika kaum kafirin memboikot perekonomian kaum muslimin di zaman Rasûl ullah tidak menimbulkan ambruk dan bangkrut? Bukankah Rasûl ullah saw mampu membuat senjata khandak yang sangat menakjubkan kaum kafir quraisy? Kemenangan perang badar oleh sufi khalafi bukan dilihat dari sudut bantuan Malaikat saja, tapi juga dari sudut kecanggihan Rasûl SAW dalam mengatur strategi. Kegagalan dalam perang Uhud juga disoroti dari sudut kurang disiplinnya anggota pasukan. Kemajuan Islam dan muslim pun bukan hanya dipandang dari sudut kuatnya aqidah dan ibadah, tapi juga dari sudut ekonomi, budaya, politik, dan teknologi.
C. Sama Berteladan tapi beda Praktik
1. Negeri Makkiyah atau Madaniyah
Terdapat perbedaan persepsi umat Islam Indonesia tentang negerinya, ditinjau dari sudut keteladanan Rasul SAW dalam menegakkan kedaulatan Islam, ada yang menganggap masih jahiliyah, Makiyah, masa hijrah, ada pula yang beranggapan sudah menjadi masyarakat Madaniyah. Persepsi mereka antara lain sebagai berikut:
a. Persepsi Pertama yang memandang jahiliyah
Kelompok pertama memandang negeri Indonesia saat ini sebagai negeri yang masih jahiliyah. Kelompok ini berpendapat bahwa masyarakat itu hanya ada dua macam. Masyarakat Jahiliyah dan Masyarakat Islamiyah. Masyarakat Islamiyah ialah masyarakat yang melaksanakan Islam secara kaffah (paripurna, secara kesluruhan), mulai dari kehidupan pribadi, berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, maupun bernegara. Karena negeri ini belum benar-benar Islami secara kaffah, maka dipandang jahiliyah. Jahiliyah yang berarti kebodohan, bukan bodoh dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi diakibatkan banyaknya anggota masyarakat berpikir, bertindak dan bersikap bodoh atau masa bodoh terhadap akidah. Inilah yang sering dikatakan sebagai jahiliyah modern. Dalam al-Qur’an tidak kurang dari empat kali disebut istilah jahiliyah.
Bentuk kejahiliyahan yang pertama, dalam Qs. ali-Imran:154 terdapat istilah ظنّ الجاهلية (dugaan jahiliyah). Orang jahilyah menyangka bahwa yang benar adalah yang menang dan yang kalah selalu dianggap salah. Kebenaran menurut masyarakat yang demikian, bukan ditentukan oleh tepat atau tidaknya dengan syari’ah, tapi ditentukan oleh siapa yang memiliki kemenangan. Orang yang demikian termasuk jahilyah, karena tidak pernah berani menyampaikan kebenaran atas dasar keyakinannya, melainkan hanya mengikuti pemimpinnya. Orang yang demikian walau pun memiliki ilmu, tapi tetap bodoh, karena ilmunya tidak menunjukkan kecendikiawanan. Menjadi apa pun, orang yang seperti ini hanya sebagai agen penguasa.
Bentuk kejahiliyahan yang kedua, dalam Qs.5:50 yang diistilahkan حكم الجاهليه Kejahiliyahan dalam bentuk hukum. Setelah Allah SWT mengecam keras terhadap orang yang tidak mau menegakkan hukum berdasar hukum Allah, dengan Kafirun (5:44), Zhalimun (Qs.5:45) dan Fasiqun (Qs.5:47), dengan nada bertanya:
أَفحكم الجاهلية يبْغُون ؟وَمَنْ أَحْسَنُ مِن اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوْقِنُوْن؟
“Apakah mereka tetap saja memilih hukum jahiliyah? Mana yang lebih baik dibanding dengan hukum Allah? Bukankah tidak ada yang lebih baik daripada hukum Allah, bagi yang memiliki keyakinan?” Qs.5:50
Dengan nada bertanya Allah SWT mengecam keras pada setiap orang yang mengaku iman, tapi tidak menjalankan hukum Allah. Hukum Allah pasti benar secara mutlak, tidak ada hukum yang mutlak benar selain yang datangnya dari Allah SWT.
Bentuk kejahiliyahan yang ketiga, ialah dalam penampilan dan etika pergaulan. Dalam al-Qur’an diistilahkan tabarruj-al-Jahiliyah, dengan menandaskan:
وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّهِ الاُوْلَى
“Wahai kaum wanita muslimah, berketetapanlah di rumah mu, janganlah membiarkan urusan rumah tangga terbengkalai, karena mementingkan urusan luar. Janganlah bertabarruj seperti tabarruj jahiliyah masa lalu.” Qs.33:33
Ayat tersebut menasihati Istri Nabi dan wanita muslimah, agar mereka bertanggung jawab urusan rumah tangga, jangan mementingkan urusan luar. Urusan intern keluarga memang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kaum ibu. Jika kaum ibu sudah melupakan urusan rumah tangga, maka keluarga akan berantakan, anak-anak tidak karuan, pendidikan keluarga terabaikan.
Kemudian Alah SWT melarang kaum wanita untuk tabaruj atau bergaya jahiliyah, yaitu bebas menampilkan kecantikan di depan ghair mahram atau menarik perhatian pria selain suami. Jika kaum wanita telah menjadi objek wisata, kecantikan mereka telah jadi komoditi ekonomi, kemolekan tubuh menjadi daya tarik iklan, kecantikan wajah menjadi alat pemasaran, maka wanita hanya dijadikan pajangan dan alat pariwara. Jika aurat wanita yang sangat mulia itu dianggap murah, maka nilainya hanya bersifat keuangan belaka. Dunia menjadi tujuan utama, penampilan lahiriyah yang dihargai. Sementara kecantikan batiniyah tiada harganya. Itulah salah satu tanda tabaruj jahiliyah telah merajalela. Sedangkan bentuk kejahiliyahan yang keempat, dinamakan حمية الجاهلية yaitu fanatisme ras dan turunan serta terlalu mementingkan tradisi nenek moyang. Rasul SAW ketika mengajak kaum quraisy untuk beriman, malah mereka menolak karena takut melanggar kebiasaan leluhur, dan bertentangan dengan tradisi. Dalam Qs.48:24-26 dikisahkan bagaimana orang-orang kafir pada saat itu membangkang Rasul hingga menghalangi orang untuk masuk ke Masjid al-Haram, karena kuat mempertahankan tradisi kemusyrikan.
Nampaknya keempat kriteria jahiliyah yang tersirat dalam beberapa ayat al-Qur’an tadi telah terlihat di masyarakat Indonesia. Dengan fakta di atas, persepsi pertama ini meyakini bahwa Indonesia masih jahiliyah.
Ada hal yang menarik dari persepsi ini, antara lain:
1) Kejahiliyahan yang berarti kebodohan bukan dari sudut pandang ilmu dan teknologi. Orang Arab masa lalu pun, ditinjau dari sudut ilmu, pengetahuan dan teknologi telah maju. Teknologi pangan, bangunan, persenjataan, ternasfortasi, menurut ukuran stuasi saat itu telah cukup maju. Dunia sastra dan kesenian lainnya seperti lukisan, patung, telah memeiliki kemajuan. Demikian di bidang ekonomi. Dengan demikian dinamakan jahiliyah bukan dari sudut duniawi tapi sudut aqidah dan ibadah.
2) Jika jaman jahiliyah masa lalu yang disembah orang itu berhala berupa patung dan patekong. Masa jahiliyah sekarang menurut kelompok ini adalah penyembahan lambang, kelompok, falsafah hidup, ilmu, teknologi, harta, dan jabatan.
3) Berhala masa Arab jahiliyah nampak secara nyata, sedangkan saat ini berhala itu berada di dada masing-masing penyembahnya.
b.Persepsi Kedua yang memandang Indonesia sebagai periode Makkiyah
Kelompok kedua memandang masyarakat Indonesia ini telah keluar dari masa jahiliyah, tapi masih periode Makkiyah. Mereka beralasan antara lain: Sebagian masyarakat Indonesia telah beriman, da’wah Islam telah berjalan, tapi menurut mereka baru sampai masalah ubudiah. Menurut mereka di negeri ini baru berjalan rukun Islam dalam arti ritual. Sedangkan dalam arti sosial belum diterapkan secara sempurna. Shalat, zakat, shaum, haji telah berjalan secara baik, tapi nikah dan perekonomian masih mengikuti ajaran jahiliyah. Undang-undang RI melarang mencuri, dan membunuh, tapi bagi orang yang melanggarnya tidak mendapat hukuman secara Islam. Undang-undang perkawinan telah menetapkan agar nikah dilaksanakan atas dasar agama, tapi perzinahan masih dilegalisir. Bahkan wisata haram masih menjadi komoditas meraih devisa. Kelompok ini memandang bahwa masyarakat ini tidak ada bedanya dengan jaman Makkiyah; keimanan telah mulai memasyarakat, ibadah bisa dilaksanakan tapi berhala dan perbid’ahan masih merajalela.
Kaum muslimin tidak mendapat hambatan dalam beribadah, tapi tidak memiliki kekuasaan untuk menerapkan hukum Islam secara keseluruhan. Rasul SAW pada periode Makkiyah belum memiliki kekuasaan dalam pemerintahan. Saat ini mayoritas kaum muslimin memang banyak yang memiliki jabatan di pemerintahan, tapi mereka tidak mempunyai kekuasaan untuk menerapkan hukum Islam. Artinya kekuasaan masyarakat belum dipegang oleh muslimin. Kalau kaum muslimin belum berdaulat, maka dipandang sebagai masyarakat makiyah. Karena kelompok ini memandang negerinya sebagai masyarakat Makkiyah, maka kegiatan da’wahnya pun terfokus pada perbaikan ibadah dan penyempurnaan aqidah. Metode yang digunakannya pun masih pendekatan secara individual, door to dor. Mereka belum berani da’wah terbuka atau terang-terangan.
c.Persepsi Ketiga yang memandang bahwa negeri ini termasuk Darul-Islam fil-Harb atau negara Islam dalam suasana perang.
Kelompok ini memandang bahwa tanggal 17-8-1945 memang telah terjadi proklamasi kemerdekaan RI. Namun sejak bulan september-1945, ketika Belanda datang lagi ke Indonesia, maka negeri ini dianggap sebagai Darul-Harb (negara dalam keadaan perang). Sejak itulah umat Islam bangkit kembali melawan penjajah sebagai perang suci dengan Revolusi Islam.
Pada tanggal 7-Agustus-1949, menurut persepsi ini, diproklamasikan Negara Islam Indonesia oleh S.M.Kartosuwirjo, di Malangbong, Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat. Ketika proklamasi dilaksanakan negara ini telah dilengkapi Qanun-Asasi, Dewan Imamah dan Kitab undang-undang Hukum Pidana yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Hukum tertinggi dalam negeri ini adalah al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pelaksanaannya belum terwujud secara paripurna di seluruh negeri, maka dianggap sebagai Negara Islam dalam masa perang. Kelompok ini tentu saja beranggapan bahwa orang yang tidak mengakui keberadaan imamah itu sebagai musuh. Hal ini terbukti dalam KUHP-NII Bab I pasal I ayat 2 ditandaskan : Negara Islam Indonesia pada waktu ini (1949 sampai ….) berada dalam masa perang.
Dengan ketetapan ini maka mereka beranggapan bahwa selama NII belum terwujud di seluruh Indonesia, dianggap sebagai masa perang, termasuk saat ini. Kelompok ini tentu saja tidak mengakui keabsahan RI dan aparat pemerintahannya, sebagaimana Pemerintahan RI pun tidak mengakui mereka. Mereka memandang bahwa Islam itu merupakan sistem kenegaraan. Islam baru terlaksana secara sempurna bila berada di negara Islam.
Kaum muslimin, menurut mereka tidak hanya bertanggung jawab melaksanakan hukum Islam, tapi juga harus mendirikan negara Islam. Sedangkan negara ini telah diproklamirkan sebagai negara Islam. Artinya Negara Islam telah berdiri, yang dasarnya adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul SAW. Oleh karena itu, jika saat ini ada pemerintahan yang tidak menjadikan al-Qur’an sebagai dasar negaranya berarti telah memerangi Islam. Dengan demikian negeri ini berada dalam situasi perang, maka hukum yang berlaku pun adalah hukum perang dalam Islam. Itulah mungkin salah satu sebabnya, tidak sedikit di kalangan mereka menghalalkan harta rampasan.
d.Persepsi Keempat yang memandang negeri ini sudah menjadi masyarakat Islami walaupun belum sempurna.
Mereka beranggapan bahwa Islam tidak berarti harus berbentuk negara. Melaksanakan Islam secara kaffah bisa dilakukan di negara mana pun, walau negaranya tidak bernama negara Islam. Mereka juga memerhatikan bahwa dasar negara yang dimiliki negeri ini tidak bertentangan dengan Islam. Ketuhanan YME yang dimaksud adalah tauhid dengan menggunakan istilah hasil kompromi di masyarakat yang majemuk. Ketuhanan YME walau tidak disertai dengan kalimat “Kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” sudah memberikan gambaran wajibnya kaum muslimin melaksanakan Islam.
Dekrit Presiden tahun 1959 mengandung penetapan bahwa Piagam Jakarta itu menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45. Dengan demikian menerapkan hukum Islam di Indonesia ini tidak ada hambatan apapun, tinggal tergantung pada pelaku dan pemimpin negeri ini. Terbitnya Undang-undang perkawinan 1974, dan Undang-undang Peradilan Agama tahun 1989, oleh kelompok ini dianggap bahwa syari’at Islam telah menjadi dasar hukum. Adapun hukum jinayat seperti hukum pencurian, pembunuhan dan perzinahan yang belum berdasar pada hukum Islam, dianggap mereka sebagai tahapan menuju kesempurnaan.
Kelompok ini juga menoleh kepada bagian hukum Islam dalam kajian fiqhiyah, yang terdiri atas empat bagian: (1) Ubudiyah, (2) Mu’amalah, (3) Munakahah dan (4) Jinayah. Bagian kesatu hingga ketiga sudah diterapkan di Indonesia, secara yuridis sudah formal. Tinggal satu lagi yaitu hukum jinayah. Oleh karena itu menuju masyarakat madani tinggal mereformasi seperempat bagian lagi. Namun untuk menuju kesempurnaan itu perlu dipersiapkan terlebih dulu perangkat hukumnya dan sekaligus kesiapan umatnya dalam menerima keberlakuan hukum tersebut. Dengan demikian kelompok ini memandang negara Indonesia sebagai Masyarakat Madani minus hukum jinayat.
2. Sa’i Setelah Ifadlah
Telah disepakati bersama oleh para ahli fiqih, bahwa kedudukan dan hukum sa’i dalam ibadah haji dan umrah adalah termasuk rukun yang tidak bisa ditinggalkan. Namun hukum sa’i ba’da thawaf ifadlah bagi haji tamattu’ terdapat perbedaan pendapat. Timbulnya perbedaan pendapat tersebut, terutama diakibatkan perbedaan memahami peristiwa haji wada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW diterangkan bahwa sa’inya hanya satu kali. Namun para shahabatnya banyak yang menunaikan ibadah haji secara tamattu’ yang memisahkan antara haji dan umrah. Dengan pemisahan ini, apakah sa’i umrah juga berpisah dengan sa’i haji. Dalam tulisan ini dicoba diungkap alasan ulama, baik yang berpendapat adanya sa’i lagi ba’da thawaf ifadlah bagi haji tamattu’ maupun yang berpendapat tidak perlu sa’i lagi.
a. Alasan yang Tidak Sa’i pada Ifadlah
Jabir r.a meriwayatkan :
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُهِلِّينَ بِالْحَجِّ مَعَنَا النِّسَاءُ وَالْوِلْدَانُ فَلَمَّا قَدِمْنَا مَكَّةَ طُفْنَا بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالمَرْوَةِ فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ هَدْيٌ فَلْيَحْلِلْ قَالَ قُلْنَا أَيُّ الْحِلِّ قَالَ الْحِلُّ كُلُّهُ قَالَ فَأَتَيْنَا النِّسَاءَ وَلَبِسْنَا الثِّيَابَ وَمَسِسْنَا الطِّيبَ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ التَّرْوِيَةِ أَهْلَلْنَا بِالْحَجِّ وَكَفَانَا الطَّوَافُ الْأَوَّلُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَأَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِكَ فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَدَنَةٍ
“Kami berangkat bersama Nabi berihram untuk haji, bersama kami turut pula wanita dan anak-anak. Tatkala kami sampai di Mekah kami thawaf di Baitullah dan antara Shafa dan Marwah. Rasulullah bersabda kepada kami: “Barang siapa yang tidak membawa hadyu maka tahallullah”. Kami bertanya tahalul untuk apa? Beliau menjawab: Tahalul untuk segalanya. Berkata Jabir: kemudian kami mendatangi istri-istri kami dan memakai baju kami, serta wangi-wangian kami. Tatkala sampai pada hari Tarwiyah, kami ihram (lagi) untuk haji dan kami mencukupkan thawaf (sa’i) pertama antara Shafa dan Marwah. Rasul memerintah kami untuk bersyerikat, tujuh orang pada seekor sapi atau unta dalam berhadyu.” Hr. Muslim.[212]
Hadits ini pun diriwayatkan oleh Abu Daud dengan lafadz:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ لِأَرْبَعِ لَيَالٍ خَلَوْنَ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ فَلَمَّا طَافُوا بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْعَلُوهَا عُمْرَةً إِلَّا مَنْ كَانَ مَعَهُ الْهَدْيَ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ التَّرْوِيَةِ أَهَلُّوا بِالْحَجِّ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ النَّحْرِ قَدِمُوا فَطَافُوا بِالْبَيْتِ وَلَمْ يَطُوفُوا بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ
“Jabir meriwayatkan: Rasul SAW dan shahabatnya sampai di Mekah malam keempat di bulan Dzul-Hijjah. Tatkala mereka usai thawaf di Bait Allah dan antara Shafa dan Marwah, Rasul bersabda: Jadikanlah apa yang kamu lakukan itu sebagai umrah, kecuali yang membawa hewan hadyu dari rumahnya. Tatkala hari tarwiyah tiba, semua berihlal untuk haji. Tatkala sampai hari Nahr, kami datang di Mekah lalu kami thawaf atau sa’i antara Shafa dan Marwah.”[213]
Alasan lainnya dari Ibnu Abbas, Nabi SAW bersabda:
فَإِنَّ الْعُمْرَةَ قَدْ دَخَلَتْ فِي الْحَجِّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya umrah telah masuk ke dalam haji hingga hari qiyamat”. Hr.Muslim
Hadits-hadits di atas dijadikan alasan oleh mereka bahwa sa’i itu cukup satu kali baik bagi haji qiran ataupun tamattu’.
b. Alasan yang Mewajibkan Sa’i Ba’da Thawaf Ifadlah
(1) Ibnu Abbas meriwayatkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ مُتْعَةِ الْحَجِّ فَقَالَ أَهَلَّ الْمُهَاجِرُونَ وَالْأَنْصَارُ وَأَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَأَهْلَلْنَا فَلَمَّا قَدِمْنَا مَكَّةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْعَلُوا إِهْلَالَكُمْ بِالْحَجِّ عُمْرَةً إِلَّا مَنْ قَلَّدَ الْهَدْيَ فَطُفْنَا بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَأَتَيْنَا النِّسَاءَ وَلَبِسْنَا الثِّيَابَ وَقَالَ مَنْ قَلَّدَ الْهَدْيَ فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ{ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ }ثُمَّ أَمَرَنَا عَشِيَّةَ التَّرْوِيَةِ أَنْ نُهِلَّ بِالْحَجِّ فَإِذَا فَرَغْنَا مِنْ الْمَنَاسِكِ جِئْنَا فَطُفْنَا بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَقَدْ تَمَّ حَجُّنَا وَعَلَيْنَا الْهَدْي
“Sesungguhnya ia ditanya tentang Haji tamattu, ia men-jawab: “Para Muhajirin, Anshar dan istri-istri Nabi SAW berihram pada haji wada’, dan kami juga. Tatkala kami sampai di Mekkah bersabda Rasulullah SAW: “Jadikanlah ihram haji kamu untuk umrah, kecuali mereka yang membawa hadyu”. Kami thawaf di Baitullah, dan antara Shafa dengan Marwah, kemudian kami mendatangi istri-istri kami dan memakai baju kami. Nabi bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa yang membawa hadyu tidak halal baginya, hingga sampai hadyu ke tempatnya. Kemudian Nabi menyuruh kami untuk ihram haji, tatkala kami selesai manasik kami, kami datang lalu thawaf di Baitullah dan antara Shafa dan Marwah, maka selesailah haji kami dan kami wajib menyembelih hadyu.” Hr.Bukhari[214]
(2) Aisyah r.a menerangkan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَأَهْلَلْنَا بِعُمْرَةٍ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ مَعَهُ هَدْيٌ فَلْيُهِلَّ بِالْحَجِّ مَعَ الْعُمْرَةِ ثُمَّ لَا يَحِلُّ حَتَّى يَحِلَّ مِنْهُمَا جَمِيعًا قَالَتْ فَقَدِمْتُ مَكَّةَ وَأَنَا حَائِضٌ لَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَلَا بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ انْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَأَهِلِّي بِالْحَجِّ وَدَعِي الْعُمْرَةَ قَالَتْ فَفَعَلْتُ فَلَمَّا قَضَيْنَا الْحَجَّ أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ إِلَى التَّنْعِيمِ فَاعْتَمَرْتُ فَقَالَ هَذِهِ مَكَانُ عُمْرَتِكِ فَطَافَ الَّذِينَ أَهَلُّوا بِالْعُمْرَةِ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ ثُمَّ حَلُّوا ثُمَّ طَافُوا طَوَافًا آخَرَ بَعْدَ أَنْ رَجَعُوا مِنْ مِنًى لِحَجِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَانُوا جَمَعُوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَإِنَّمَا طَافُوا طَوَافًا وَاحِدًا
“Aisyah mengisahkan kami pergi haji bersama Rasul SAW pada haji wada, maka kami berihram untuk umrah. Kemudian beliau menandaskan bahwa siapa yang membawa hadyu dari kampungnya agar berihram untuk haji dan umrah sekaligus, dan tidak tahalul sehingga selesai secara keseluruhan. Aisyah menandaskan: sesampainya di Makah, saya haidl, maka saya tidak melakukan thawaf dan sa’i dan saya mengadu kepada Rasul SAW. Rasul bersabda: Tetaplah dalam keadaan ihram, bereskan rambutmu dan ihramlah untuk haji, tinggalkan dulu umrah. Tatkala ibadah haji usai, saya diutus Rasul bersama Abdurrahman bin Abu Bakar pergi ke Tan’im untuk ihram umrah. Beliau menandaskan demikianlah hukum berlaku bagi yang berumrah sebelumnya, thawaf di Baitullah dan sa’i antara Shafa dan Marwah, kemudian tahalul, kemudian thawaf dan sa’i lain sepulangnya dari Mina. Adapun bagi yang menjama antara haji dan umrah (haji Qiran), maka thawafnya cukup satu kali.” Hr. Muslim.[215]
Golongan ini menetapkan bahwa hadits-hadits yang menerangkan adanya sa’i satu kali itu tidak berlaku bagi haji tamattu’, melainkan hanya bagi haji qiran sebagaimana ditegaskan pada pengunci hadits terakhir ini. Ibadah haji tamattu’ dilaksanakan dengan cara terpisah antara umrah dan haji. Oleh karena itu sa’inya pun harus dilakukan masing-masing; sa’i untuk umrah dan sa’i untuk haji. Allah berfirman:
وَأَتِمُّ الحَجَّ وَالعُمْرَةَ لِلَّهِ
“Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” Qs. 2: 196
Ayat ini menunjukkan bahwa setiap jamaah haji wajib menyempurnakan ibadah haji dan umrah secara sempurna. Sedangkan umrah yang sempurna terdiri dari thawaf dan sa’i. Demikian pula kesempurnaan haji adalah dilengkapi sa’i. Sedangkan ibadah haji tamattu, antara haji dan umrah itu dilakukan secara mandiri, karena diselang dengan tahallul. Alasan lain yang dipegang teguh oleh pendapat ini ialah pemahaman terhadap firman Allah SWT:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah itu termasuk syi’ar Allah. Barangsiapa yang ibadah haji atau umrah tidak mengapa mondar-mandir antara Shafa dan Marwah tersebut. Barangsiapa yang melebihkan kebaikan sesungguhnya Allah Mensyukuri lagi maha Mengetahui.” Qs.2:158
Ayat ini oleh mereka dipahami bahwa sa’i haji dan sa’i umrah itu dilakukan secara mandiri, sebab pada ayat tersebut dikatakan فَمَنْ حَجَّ البَيْتَ أَوِاعْتَمَرَ Barangsiapa yang berhaji atau umrah. Perkataan أو yang tercantum pada ayat ini mengisyaratkan bahwa haji mesti dipenuhi secara mandiri termasuk di dalamnya thawaf dan sa’i. Umrah pun mesti dilakukan secara sempurna yang di dalamnya termasuk thawaf dan sa’i. Haji tamattu adalah memisahkan antara haji dan umrah, maka thawaf dan sa’inya pun dilakukan secara mandiri. Thawaf dan sa’i yang pertama dilakukan sebagai pelaksanaan umrah, dan yang kedua adalah pelaksanaan ibadah haji.
Nashir al-Din al-Bani setelah mengutip berbagai hadits, akhirnya berkomentar:
ويدل على أن التمتع لا بد له من الطواف مرة أخرى بين الصفا والمروة
“Semua itu menjadi dalil bahwa yang memilih haji tamattu mesti melakukan thawaf (sa’i) kedua kali antara shafa dan marwah.”[216]
c. Pendapat Pihak Ketiga
Ulama lain berpendapat bahwa apakah sa’i itu harus dilakukan dua kali bagi haji tamattu’ atau satu kali, masih dalam ikhtilaf. Namun jika kelebihan dalam ibadah sa’i tidaklah menjadi bid’ah. Artinya kalau Rasulullah SAW tidak sa’i lagi dan tidak menganjurkannya, lalu kita melakukan sa’i dua kali; tidak akan tergolong berbuat bid’ah. Pada Qs.2:158 yang menerangkan bab sa’i ditekankan:
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ الله شَاكِرٌ عَلِيْمٌ
“Barangsiapa yang melebihkan suatu kebaikan maka Allah mensyukuri kebaikan dan Maha Mengetahui. Qs.2:158
Ulama yang tergolong pihak ketiga, berpendapat bahwa ayat ini tidak bisa dipisahkan dengan urusan sa’i. Jadi yang dimaksud melebihkan di sini adalah melebihkan sa’i. Tidak berlaku secara umum, sebab shalat tidak bisa dilebihkan. Pihak ketiga ini berpendapat jika melakukan haji secara tamattu’ tetap melakukan sa’i setelah thawaf ifadlah, walau mereka tidak mempermasalahkan tentang hukumnya apakah menjadi rukun ataukah tidak.
Ibn Hazm (383-456H) berpendapat bahwa perbedaan antara haji qiran dan haji tamattu, terletak pada jumlah thawaf dan sa’i yang menjadi rukunnya. Beliau menandaskan:
فإنَّ القَارِنَ عِنْدَنَا لاَ يَطُوْفُ إلاَّ طَوَافًا وَاحِدًا وَلاَ يَسْعَى إِلاَّ سَعْيًا وَاحِداً وَالْمُتَمَتِّع يَطُوْفُ طَوَافَيْنِ وَيَسْعَى سَعْيَيْنِ
“Haji qiran menurut kami tidak diwajibkan thawaf dan sa’i, kecuali hanya satu kali. Sedangkan haji tamattu’ diwajibkan thawaf dan sa’i dua kali.”[217]
Dengan diungkapnya ketiga pendapat di atas, tampaklah apa yang menimbulkan perbedaan pendapat diantara ulama tentang sa’i. Mudah-mudahan terungkapnya ketiga pendapat tersebut, jamaah haji bisa mempertimbangkan mana yang paling tepat diambil dan mengetahui dasar hukumnya masing-masing; tidak taqlid.
D. Satu Dalil tapi Berbeda Kesimpulan
1, Wanita Haidl Masuk Masjid
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ مِنْ الْمَسْجِدِ قَالَتْ فَقُلْتُ إِنِّي حَائِضٌ فَقَالَ إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ
“Aisyah menerangkan: Rasul bersabda padaku: tolong ambilkan untukku sorban besar dari Masjid! Saya menjawab : Saya sedang haidl! Rasul bersabda إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ haidlmu bukan di tangan!” Hr. Muslim.[218] Dalam redaksi lain bunyinya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ نَاوِلِينِي الثَّوْبَ فَقَالَتْ إِنِّي حَائِضٌ فَقَالَ إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ فَنَاوَلَتْهُ
“Abu Hurairah berkata: Tatkala Rasul SAW di Masjid bersabda kepada Aisyah: tolong ambilkan untukku baju! Aisyah menjawab: Saya sedang haidl! Rasul bersabda: Haidlmu bukan di tangan! Kemudian Aisyah mengambilkan untuk beliau.” Hr. Muslim.[219]
Perkataan إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ mengisyaratkan bahwa yang sedang haidl boleh masuk masjid, sebab tidak ada darah haidl yang sampai ke tangan. Artinya yang melatarbelakangi bolehnya Aisyah masuk masjid, bukan hanya lewat, tapi karena darah haidl tidak akan mengotorinya. Jika yang dibolehkan itu hanya masuk saja, tentu jawaban Rasul bukan begitu melainkan “tidak apa-apa karena hanya lewat“. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa wanita haidl dilarang masuk masjid dengan alasan hadits sebagai berikut:
فَإِنِّى لاَ أُحِلُّ المَسَاجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ
Sesungguhnya aku tidak menghalalkan mesjid bagi yang sedang haidl dan junub. Hr. ibn Khuzaimah (223-311 H).[220] Hadits lainnya:
إِنَّ المَسْجِدَ لاَ أُحِلُّ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ
Sesungguhnya Mesjid itu tidak halal bagi yang haidl dan junub. Hr. Abu Dawud.[221]
Al-Syawkâni (w.1255 H) mengatakan bahwa hadits ini menjadi dalil tidak bolehnya yang haidl dan junub diam di mesjid.[222] Namun menurut Abu al-Thayyib, yang dilarang oleh hadits ini adalah diam di masjid dalam waktu lama.[223] Ibn hajar al-Asqalani beranggapan bahwa hadits yang dikutip Ibnu al-Ruf’ah, tentang larangan yang haidl masuk masjid dianggap sanadnya matruk.[224] Namun menurut Ibn al-Qaththan sebagaimana dikutip al-Andalusi (723-804 H) hadits ini memiliki derajat hasan.[225]
Kata Abu Zur’ah hadits yang melalui mata rantai Jasrah yang melarang wanita haidl masuk masjid, dianggap dla’if oleh sebagian ulama muhaditsin. Kata al-Khathabi mayoritas ahli, beranggapan dla’if terhadap hadits tersebut.[226] Ada pula ulama yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan masjid pada hadits ini adalah shalat. Dengan demikian yang tidak halal itu adalah shalat, bukan masuk masjid. Namun yang jelas mayoritas ulama menganggap hadits tersebut dla’if dan tidak bisa dijadikan dasar hukum. Walau hadits tersebut ada yang menilai sebagai hadits hasan, bukan berarti tidak menimbulkan perdebatan, karena bisa saja yang dilarang itu shalat bukan masuk masjid. Perkataan masjid diartikan shalat, terdapat pula dalam al-Qur’an:
خُذوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Berpakaianlah yang baik jika akan melakukan shalat.” Qs.7:31.
Imam Ahmad Bin Hanbal dan Ishak berpendapat bahwa yang sedang junub boleh masuk mesjid asal berwudlu terlebih dahulu. Alasannya antara lain Atha Bin Yasr berkata:
رَأَيْتُ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَجْلِسُوْنَ فِيْ المَسْجِدِ وَهُمْ مُجنبون إِذَا تَوَضَّؤُا وُضُوء الصَّلاَةِ
“Saya melihat sebagian shahabat Rasul duduk-duduk di mesjid dalam keadaan junub apabila mereka telah wudlu seperti wudlu akan shalat.” Hr. Sa’id bin Manshur[227]
Namun hadits ini ada yang menganggapnya dla’if (lemah kehujahannya) karena terdapat sanad yang bernama Hisyam bin Sa’d yang ditolak oleh Abu Hatim.[228] Ada lagi yang berpendapat bahwa sedang haidl jika ada keperluan boleh saja masuk mesjid dengan syarat tidak akan mengotorinya. Alasannya: (1) Hadits dari ‘Aisyah yang menyatakan haidl bukan di tangan, menunjukkan bahwa masuk masjid boleh saja asal tidak mengotorinya. Contoh mengotorinya apabila haidl kena tangan. Rasulullah SAW tidak menyatakan kalimat lain, kecualiإِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِك haidlumu bukan di tanganmu. Ini menunjukkan bolehnya masuk masjid apabila tidak mengotorinya.
***
Bab Kedelapan
Risalah Merintis Da’wah yang Berkelanjutan
Da’wah Islam yang dilakukan Rasul SAW pada awalnya secara sembunyi-sembunyi, kemudian bertambah luas hingga jumlah kaum muslimin empat puluh orang. Bait al-Arqam dijadikan tempat pembinaan yang sangat efektif. Kaum Quraisy berusaha menghalangi risalah dengan berbagai usaha, mulai dari berbagai tawaran, rayuan hingga kekerasan.
Sejak tahun keempat kenabian, banyak kaum muslimin yang disiksa secara kejam, hingga mendorong Rasul untuk menghijrahkan shahabatnya ke Habsyah, pada pertengahan tahun kelima. Rombongan pertama sebanyak sepuluh orang, antara lain: Utsman bin Affan beserta istrinya, Ruqayah putri Rasul, Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam. Rombongan kedua dipimpin Ja’far sebanyak seratus orang.
Pada bulan Dzul-hijah tahun keenam kenabian, Umar bin Khathab dan Hamzah masuk Islam. Hal ini semakin menambah kebencian musyrikin. Pada tahun ketujuh dari kenabian, bani Hasyim diboikot perekonomiannya hingga menyengsarakan. Pada tahun itu juga Abu Thalib sebagai pimpinan suku Bani Hasyim dan Siti Khadijah istri Rasul yang mendukung da’wah baik materil maupun immateril, wafat. Di kala kaum muslimin mendapat cobaan berat dari segala penjuru, terutama penindasan kaum musyrikin, baik dalam bidang ekonomi maupun politik, wafatnya Abu Thalib dan Khadijah, tidak menurunkan semangat Rasul dalam berda’wah.
Pada bulan syawal tahun kesepuluh dari kenabian (Mei-juni 619 M), Rasul berangkat ke Tha’if. Namun ternyata orang Tha`if belum meraih hidayah, Rasul diperlakukan tidak layak oleh mereka bahkan mendapat lemparan batu dan kotoran hingga terluka. Pada bulan juni 619 M, beliau kembali ke Mekah untuk melanjutkan da’wah secara individu. Beliau mendatangi Bani Kilab, Bani Hanifah dan Bani Amir. Beliau ternyata mendapat sambutan yang menggembirakan.
Pada musim haji berikutnya, berdatanganlah masyarakat dari berbagai penjuru. Pada saat itulah Rasul berda’wah menggunakan pendekatan pada berbagai kafilah, dari luar pen-duduk Mekah. Di awal tahun kesebelas dari kenabian banyak orang Yatsrib yang masuk Islam seperti: Suwaib bin Shamit, Iyas bin Mu’adz, Tufail bin Amr dan Dlamad al-Azdi.
Pada musim haji tahun kesebelas dari kenabian (Juli 620 M), jamaah Yatsrib masuk Islam. Mereka adalah kaum muda Bani Najar seperti As’ad bin Zararah dan Auf bin Haris, dari Bani Zuraiq seperti Rafi’ bin Malik, dari Bani Salmah seperti Qathbah bin Amir, dari Bani haram seperti Uqbah dan dari Bani Ubaid bernama Jabir bin Abdillah. Mereka bertekad akan menda’wahkan Islam di Yatsrib, kampung halamannya.
Pada musim haji tahun kesebelas (Juli 621 M), bersama lima orang yang sudah masuk Islam tahun sebelumnya (di luar Jabir), tujuh penduduk Yatsrib bangsa Khazraj yaitu Mu’adz, Dzakwan, Ubadah, Yazid dan Abbas serta bangsa Aus yaitu Abu al-Haitsam dan Uwaim berbai’at kepada Rasul di Aqabah untuk diangkat menjadi juru da’wah. Inilah yang dinamakan Bai’at al-aqabah pertama. Rasul pun mengutus Mush’ab bin Umair untuk ikut ke Yatsrib sebagai utusan dan melihat situasi di sana.
Pada musim haji tahun berikutnya (juni 622 M), sebanyak 73 orang Madinah menunaikan haji dan berbai’at pada Rasul sebagai juru da’wah Islam, yang dinamakan baiat al-Aqabah kedua. Mereka juga mengundang Rasul untuk hijrah ke Yatsrib, demi memperluas da’wah, menyelamatkan kaum muslimin yang tertindas di Mekah serta mengharapkan dapat menjalin persaudaraan antara Aus dan Khazraj yang telah lama bermusuhan. Dengan semakin luasnya jangkauan da’wah Rasul serta bertambahnya jumah kaum muslimin, maka kaum musyrikin semakin membenci Rasul.
Kaum muslimin pada saat itu mulai diperintahkan Rasul untuk hijrah ke Yatsrib secara berangsur. Pada hari kamis 26 Shafar (12 September 622 M) para pembesar Quraisy semacam parlemen, berkumpul di Dar al-Nadwa yang diikuti oleh Abu Jahl bin Hisyam, Jubair bin Muth’im, Tha’imah, Harits, Syaibah, Utbah, Abu Sufyan, al-Nazhr, Abu al-Bukhturi, Zam’ah, Hakim, Nabih, Munabbih dan Umayah bin Khalaf. Mereka bersepakat untuk mengepung dan membunuh Rasul SAW. Pada malam 27 Shafar (13-9-622 M), Rasul SAW meninggalkan rumah menuju Goa Tsur. Senin tanggal 1 Rabi’ al-Awal, Rasul bersama Abu Bakar meninggalkan Tsur, melalui jalur yang tidak biasa dilalui para pelancong. Lihat gambar pada halaman berikut.
Senin 8 Rabi’ul-Awal (23 September 622 M), Rasul dengan Abu Bakr tiba di Quba dan mendirikan Masjid di depan Rumah Kalstum bin al-Hadm.[229] Di daerah tersebut Rasul menginap empat malam, dan hari Jum’at melanjutkan perjalanan. Waktu zhuhur, sampai di daerah Bani Salim bin ‘Awf, perintah shalat Jum’at turun, dan melakukan shalat Jum’at dengan berjamaah bersama seratus muslimin.[230]
Setelah shalat Jum’at, Rasul SAW melanjutkan perjalanan dan sampai di Yatsrib pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Inilah hijrah terbesar yang dilakukan Rasul SAW bersama kaum muslimin. Kota Yatsrib kemudian diberi nama al-Madinah al-Munawarah.
Tahapan Da’wah
Secara garis besar da’wah Rasul SAW itu terdiri dua periode yaitu periode Makkiyah dan periode Madaniyah. Periode da’wah di Mekah ditempuh dalam tiga belas tahun semenjak diutus jadi Rasul sampai hijrah. Sedangkan periode Madaniyah berlangsung sepuluh tahun. Masing-masing periode terdiri atas beberapa tahapan atau marhalah da’wah.[231] Adapun marhalah da’wah Rasul pada periode Makkiyah dan Madaniyah sebagai berikut:
A. Da’wah secara Sirri
Sebagai seorang Nabi dan Rasul, beliau tentu sudah yakin bahwa dalam menjalankan tugas da’wah akan dilindungi oleh Allah SWT. Namun Allah mengilhaminya agar beliau berda’wah dengan pendekatan personal, satu persatu dari mulut ke mulut dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Da’wah secara sirriyah tersebut berlangsung kurang lebih selama tiga tahun dan berhasil membawa lebih dari empat puluh orang masuk Islam.[232] Kaum muslimin yang baru masuk Islam ter-sebut terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dari kalangan pembesar Quraisy seperti Abu Bakr; dari hamba sahaya seperti Bilal; dari kaum wanita diawali Khadijah, kemudian yang lain seperti Fatimah Binti Khathab. Namun tentu saja di samping banyaknya anggota masyarakat yang tertarik da’wah Rasul, banyak penentangnya.
B. Marhalah Tarbawiyah
Setelah jumlah orang-orang yang masuk Islam mencapai empat puluh orang, Nabi Saw mengalihkan pendekatan da’wahnya dengan pendekatan pendidikan, meskipun juga masih dirahasiakan. Dalam menjalankan da’wah melalui pendekatan pendidikan, Nabi Saw memilih rumah dari salah seorang sahabatnya yang bernama al-Arqam bin Abu al-Arqam yang lokasinya dekat dengan Masjid al-Haram. [233]Di rumah Arqam inilah ‘Umar bin al-Khattab menyatakan diri untuk masuk Islam, pada tahun keenam dari Kenabian.[234] Begitu ‘Umar masuk Islam, orang-orang Islam yang selama ini ‘bersembunyi’ di rumah Arqam serentak keluar dan membaca takbir, kemudian berjalan menuju Ka’bah untuk beribadah tanpa ada rasa takut sedikit pun. Pendidikan di Rumah al-Arqam juga memiliki tiga komponen: (1) Ada Nabi Saw sebagai pengajar yang full time, (2) Ada Masjid Al-Haram sebagai tempat praktik ibadah dan (3) Ada yang belajar yaitu sahabat. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila pendidikan dalam Dar al-Arqam ini, dianggap sebagai lembaga pendidikan yang pertama kali dalam Islam. Setidak-tidaknya hal itu merupakan cikalbakal adanya sistem pendidikan Islam.
C. Da’wah Secara Jihar
Setelah Umar bin khathab masuk islam, kaum muslimin serentak berani mengumandangkan takbir, beribadah secara terang-terangan. Rasul SAW juga mendapat perintah untuk berda’wah di depan masyarakat di tempat terbuka, terutama setelah turun firman Allah SWT:وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” Qs.26:214
Setelah ayat ini turun, Rasul SAW pun naik bukit Shafa dan menyeru kaum Quraisy kepada al-Islam. Beliau berda’wah secara terbuka dan terang-terangan.[235] Dari satu sisi da’wah tahapan ini memperbanyak jumlah umat yang masuk Islam, tapi di sisi lain muncul pula para penentang. Namun segencar bagaimana pun penentang, tak menyurutkan semangat Rasul dan shahabatnya untuk berda’wah.
D. Da’wah dalam Bentuk Penawaran Terbuka
Tahapan ini dilakukan setelah turun firman Allah SWT yang berbunyi:
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” Qs.15:94
Sejak zaman Nabi Ibrahim as, umat manusia sudah terbiasa melakukan ziarah ke Makkah untuk beribadah haji. Pada musim haji, banyak manusia berdatangan ke tanah suci, maka Rasul SAW memanfaatkannya untuk berda’wah. Mulai saat itulah, Nabi Saw melakukan da’wahnya secara terbuka dengan menyampaikan tawaran berdialog. Dari satu tenda ke tenda yang lain dan dari satu kabilah ke kabilah yang lain, Nabi Saw mencoba mendatangi mereka dan menawarkan Islam seraya mencari dukungan keamanan dari mereka. Dukungan keamanan dari kabilah-kabilah itu diperlukan mengingat semenjak Nabi SAW berda’wah secara terbuka, orang-orang musyrikin dari suku Quraisy selalu meneror beliau sehingga keamanan jiwa beliau selalu terancam. Tahapan ini terbukti membuahkan hasil, sehingga Rasul SAW pun menjalankan risalahnya bersama shahabat dan berpaling dari kalangan kaum musyrikin.
E. Da’wah secara Bi’tsah
Dalam melakukan da’wah melalui pendekatan missi, atau بعثة bi’tsah, cara yang ditempuh adalah dengan pengiriman tenaga da’i ke daerah-daerah di luar tempat tinggal Nabi Saw untuk mengajarkan Islam. Pendekatan ini beliau lakukan sejak masih tinggal di Makkah dengan mengirim Mush’ab bin ‘Umair. Setelah beliau tinggal di Madinah, pengiriman da’i ini dilakukan secara besar-besaran. Mush’ab bin ‘Umair adalah da’i pertama dalam Islam yang dikirim oleh Nabi Saw untuk berda’wah di Yatsrib. Dalam menjalankan da’wahnya, Mush’ab bin ‘Umair selalu mendatangi rumah-rumah dan kabilah-kabilah di sana.Di samping ia selalu berkonsultasi dengan Nabi Saw di Makkah, ia mengajarkan al-Qur’an, agama Islam dan mengajak warga Yatsrib untuk masuk Islam.
F. Tahapan Hijrah dan Iqamah al-Masjid
Dalam rangka memperluas jaringan maka hijrah dari Mekah ke Madinah dilakukan. Di samping mempunyai makna penyelamatan akidah, juga menyusun kekuatan agar da’wah Islamiyah bisa berlangsung tanpa penghalang. Di Madinah yang paling pertama dilakukan adalah إقَامة المَسجد Iqamah al-Masjid, mendirikan masjid sebagai pusat segala kegiatan umat. Jika pada periode Makkah, masjid dijadikan pusat kegiatan da’wah dan pendidikan, maka di Madinah fungsi masjid lebih luas jangkauannya. Dari masjid terpancar cahaya ke seluruh aspek kegiatan umat, baik keluarga, masyarakat, negara bahkan internasional.
G. Tahapan Ikha al-Ummah
Dari masjid terpancar sinar ke seluruh pelosok penjuru dunia sehingga umat Islam semakin bertambah banyak. Maka tahap berikutnya adalah meningkatkan persaudaraan dengan إخَاء الأمة Ikha al-ummah. Daerah Madinah yang asalnya menjadi ajang pertikaian antara suku, antar kabilah dan antar dinasti, disatukan hanya pada dua kekuatan yang menyatu yaitu الأنصَار Anshar (pribumi yang menyambut pendatang) dan الْمُهَاجِرون Muhajirin (kaum muslimin yang pindah dari Mekah ke Madinah). Kedua komponen umat ini menjadi satu dalam konsep الأخوة ukhuwah dan إتحاد الأمة ittihad al ummah.
H. Tahapan Penyebarluasan Jaringan melalui Surat
Da’wah yang telah dijalankan oleh Nabi Saw selama kurang lebih enam belas tahun (sepuluh tahun di Makkah dan enam tahun di Madinah), nampaknya hanya kepada orang-orang Arab saja. Maka pada tahun 7 Hijri Nabi Saw mulai memperkenalkan Islam kepada bangsa-bangsa di luar Arab. Caranya adalah dengan mengirimkan surat kepada mereka. Jumlah surat yang pernah dikirim oleh Nabi Saw, menurut Muhammad bin Sa’ad, sekitar 105 pucuk. Hal ini memberikan ketegasan bahwa da’wah Islam adalah bersifat universal, mendunia, bukan hanya untuk lokal bangsa Arab saja. Sekiranya Nabi Saw tidak melakukan go international dalam da’wahnya, mungkin ada orang yang menganggap bahwa agama Islam tidak memiliki sifat universal.
I. Tahapan Mujadalah
Ternyata tidak semua orang dapat menerima da’wah Islam begitu saja saat mendengar seruan itu. Ada tipologi manusia yang merasa perlu untuk mempertanyakan terlebih dahulu kebenaran materi-materi da’wah yang disampaikan kepadanya. Pada manusia semacam inilah, da’wah dengan pendekatan diskusi memainkan perannya sehingga sebagai obyek da’wah akan menerimanya dengan perasaan mantap dan puas.
Diskusi المجادلة adalah salah satu pendekatan da’wah yang persuasif. Ini merupakan adu argumen antara da’i sebagai pelaku da’wah dan mad’u sebagai obyek da’wah. Dari sini diharapkan akan lahir sebuah pendirian yang meyakinkan, terutama bagi obyek da’wah. Da’wah dengan pendekatan diskusi ini juga akan menuntut adanya profesionalisme (keahlian) dari para da’i. Mereka akan dipaksa untuk memperbanyak perbendaharaan ilmu, tidak terbatas hanya kemampuan berbicara bidang aqidah dan ibadah belaka, tapi juga hal lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
J. Iqrar al-Daulah
Setelah kaum muslimin menjadi kuat, Makkah dapat dikuasai sepenuhnya, terbentuklah kekuasan Islam di المدينة المنورة al-Madinah al-Munawarah. Inilah tahapan yang dinamakan إقرار الدَّولة .
Sejak Iqrar al-Daulah tersebut, da’wah dilakukan tidak hanya melalui pendekatan sosial, tapi juga pendekatan politik, pemerintahan dan kekuasaan dalam penegakkan hukum. Tahapan ini membuktikan bahwa al-Islam bukan hanya mengatur urusan ritual, tapi juga sosial, hukum, politik, budaya, ekonomi dan aspek kehidupan lainnya. Tahapan ini juga membuktikan keberhasilan Rasul SAW dalam mengemban tugasnya sebagai pembawa kebenaran dan mengalahkan agama yang lainya, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur`an:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” Qs.9:33, Qs.61:9
Dengan kedaulatan Islamiyah, maka syari’ah dan yang berpegang padanya menjadi rahmat bagi semesta alam. Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Qs.21:107
Bagian Kesembilan
Cara Berteladan pada Rasul berdasar Beberapa Ayat al-Q ur’an
Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, risalah itu mesti berlaku sepanjang masa. Untuk keabadian risalah itu maka sebagai muslim bertanggung jawab untuk menjaga keberlangsungannya hingga akhir hayat. Adapun yang menjadi tanggung jawab muslim dalam meneladani sunnah Rasul SAW berdasar beberapa ayat al-Qur`an antara lain dapat dilihat pada tabel berikut:
Tanggung Jawab Muslim dalam meneladani Sunnah Rasul SAW
TEKS AYAT |
TERJEMAH & NOMOR AYAT |
CARA |
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا |
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Qs.33:21 |
Menjadikan ucap, sikap, dan perbuatan Rasul sebagai teladan hidup |
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا |
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. Qs.33:36 |
Menerima segala keputusan Rasul tanpa ragu |
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ |
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Qs.49:1 |
Mengutamakan hadits Rasul di atas yang lainnya |
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ |
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. Qs.49:2 |
Tidak melebihi apa yang ditetapkan Rasul dalam hadis |
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا |
Apa yang diberikan Rasul padamu ambilah; apa yang Rasul larang, jauhilah.Qs.59:7 |
Melaksanakan perintah sunnah dan menjauhi larangannya |
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا |
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. Qs.4:65 |
Menjadikan sunnah rasul sebagai sumber hukum dan menjadikannya sebagai tolak ukur kebenaran |
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا |
Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. Qs.4:80 |
Menaati segala aturannya tanpa berpaling darinya sedikit pun |
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ |
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Qs.8:27 |
Tidak mengkhianati sunnah Rasul |
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ |
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Qs.3:31 |
Mengikuti apa yang diteladankan Rasul dalam sunnahnya |
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ |
Katakanlah: “Ta`atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. Qs.3:32 |
Menaati sunnah Rasul tanpa menolaknya |
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ |
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. Qs.24:63 |
Tidak menyamakan sunnah Rasul dengan bahan kajian lainnya |
Tanggung muslim dalam meneladani sunnah Rasul merupakan sebagian dari manifestasi syahadat risalah (kesaksian tentang Rasul SAW). Utsaimin[236] berpendapat bahwa bersyahadat risalah Rasul SAW mesti diwujudkan dalam delapan hal sebagai berikut:
A. تَصدِيْقُه صلى الله عليه و سلم فِيْمَا أخْبر
Membenarkan apa yang dikabarkan oleh Rasul SAW
Setiap muslim tidak sepatutnya meragukan sedikit pun apa yang disampaikan oleh Nabi SAW. Jangan sekali-kali menganggap sepele terhadap apa yang diberitakannya, walau tidak tercantum dalam al-Qur`an. Beliau tidk berkata selain wahyu. Meragukan apa yang dikatakan Nabi berarti meragukan apa yang diwahyukan padanya. Allah SWT berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى(*)إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Qs.53:3-4
فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ
“Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.” Qs.51:23
B. إمْتِثَال أمْره صلى الله عليه و سلم بلا تردد فيه
Melaksanakan apa yang diperintahkan Rasul SAW tanpa ragu dan menaati keputusan hukumnya tanpa merasa enggan sedikit pun
Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” Qs.33:36
Ayat ini mengisyaratkan bahwa seorang mu`min baik laki-laki atau pun perempuan tidak sepatutnya membantah apa yang telah ditetapkan Rasul SAW hingga mengambil pilihan lain yang berbeda dengannya. Syahadat risalah juga mesti dimanifestasikan dalam menaati hukumnya dengan merasa puas atas keputusannya. Perhatikan pula Qs.4:65 yang menegaskan bahwa orang beriman masti bertahakum pada Rasul SAW dan menerima keputusannya.
C. أن يَجْتَنب مَا نَهَى رسُول الله صلى الله عليه وسلم عنه بِدُون تردد Menjauhi apa yang dilarang Rasul SAW tanpa ragu dan tanpa merasa enggan sedikit pun
Jangan dijadikan alasan apa yang dilarang Rasul bila tidak terdapat dalam al-Qur`an dianggap sebagai larangan ringan. Allah SWT telah memerintahkan agar menjauhi apa yang dilarang Rasul SAW. Firman Allah SWT:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” Qs.59:7
D. أن لا يُقَدِّم قَوْل أحَدٍ من البَشَر عَلى قَول النبِي صلى الله عليه وسلم
Jangan mendahulukan pendapat orang dengan mengakhirkan sabda Rasul SAW
Seperti telah ditegaskan di atas bahwa hadits Nabi adalah wahyu Allah SWT yang mutlak benar. Tidak sepatutnya seorang mu`min lebih mengedepankan pendapat diri sendiri atau manusia lain di atas apa yang disampaikan Rasul SAW. Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Qs.49:1.
Pendapat manusia mesti berpedoman kepada Rasul SAW. Bukan ajaran Rasul disesuaikan dengan pandangan manusia. Perhatikan Qs.49:7.
E. أن لا يَبْتَدِع فِي دين الله مَالَم يَأتِ بِه النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم سواء عقيدةً أو قولا أو فِعْلا
Jangan membuat bid’ah dalam urusan keagamaan agama Allah dengan apa yang tidak diajarkan oleh Nabi SAW, baik dalam aqidah, ucapan maupun perbuatan. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا(*)أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا(*)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” Qs.4:150-151
Berdasarkan pada Q.s 4:150-151, orang yang termasuk kafir itu antara lain: (1) يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِه orang yang menolak atau kufur pada Allah dan Rasul-Nya, (2) وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ yang memisahkan antara aturan Allah dan aturan Rasul atau membedakannya, (3) وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ yang mengimani sebagian dan menolak sebagian, dan (4) وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا yang mengambil jalan lain yang tidak berdasar hukum Allah tidak pula tuntunan Rasul. Kelompok yang keempat ini menurut Qatadah adalah yang membuat perbid’ahan.[237]
F. أن لا يَبْتَدِع فِي حَقِّه مَا ليسَ مِنْه
Jangan membuat sesuatu demi melebihkan haknya yang tidak ada dasarnya dari Rasul SAW
Ketika Qais bin Sa’d pulang dari al-Hairah, ia hendak sujud kepada Rasul SAW karena ingin menghormatinya, beliau bersabda:
فَلَا تَفْعَلُوا لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ الْحَقِّ
“Jangan kau lakukan. andaikan aku diperbolehkan memerintah seseorang untuk sujud pada orang lain, akan aku perintah istri sujud pada suaminya, karena Allah SWT telah menetapkan hak suami yang menjadi kewajiban atas istrinya.” Hr. Abu Dawud[238]
G. أنْ يَعْتَقِدَ بِأنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَيْس لَه شَيء مِن الربُوبِيَّة
Hendaklah meyakini bahwa Nabi SAW tidak memiliki kedudukan rububiyah
Beriman kepada Rasul tidak boleh mendudukkan beliau sama dengan Allah SWT, seperti mohon bantuan padanya atau pertolongan. Tidak pula dibenarkan menjadikan Rasul sebagai perantara antara hamba dengan Allah SWT. Anjuran shalawat sebelum berdo’a mengisyaratkan bahwa berdo’a kepada Allah tidak melalui perentaraan Nabi, melainkan mendo’akannya terlebih dahulu untuk kesejahteraan beliau. Allah SWT berfirman:
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. Qs.7:188.
H. إحْتِرَام أقْواله صلى الله عليه وسلم فلا تضع أحاديثه في أماكن غير لائقة
Menghormati hadits Nabi SAW sebagaimana mestinya
Tidak sepatutnya mendudukan hadits disamakan dengan pandangan manusia. Allah SWT berfirman:
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).” Qs.24:63
Bab Kesepuluh
Contoh-contoh Cara Berteladan pada Rasul SAW
Berteladan pada Rasul SAW mesti sesuai dengan petunjuknya. Berikut beberapa contoh cara berteladan pada Rasul SAW berdasar petunjuk yang tersirat pada siroh,[239] dan haditsnya[240].
A. Meniru Persis Apa yang Diperbuat Rasul SAW
Beruswah pada Rasul SAW ada yang mesti dilakukan seperti apa adanya, contohnya sebagai berikut :
1. Cara Ibadah Shalat
Malik bin al-Huwairits (w.74H) menerangkan bahwa dia pernah mendampingi Rasul SAW selama dua puluh satu hari untuk mendapatkan bimbingan dalam segala aspek kehidupan. Ia mengatakan bahwa tatkala kami ingat kepada keluarga yang ditinggalkan dan merindukannya, beliau bersabda:
ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لَا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
“Pulanglah kalian kepada keluarga. Tegakkanlah shalat bersama mereka, berilah mereka pelajaran, perintahlah mereka! Rasul SAW juga mengingatkan kembali segala hal yang kami telah hafal dan yang belum kami hafal. Beliau juga menandaskan: Shalatlah kalian seperti apa yang kalian lihat ketika aku shalat! Jika waktu shalat telah tiba, hendaknya ada salah seorang di antara kalian yang adzan, kemudian yang paling dewasa hendaklah menjadi imam bagi kalian.” Hr. al-Darimi (181H-255H),al-Bukhari (194H-256H), Ibn Khuzaimah (223H-311H).[241]
Namun perlu diingat bahwa yang mesti persis dalam shalat seperti yang dilakukan rasul dan dilihat shahabat itu adalah pada upacaranya belaka. Sedangkan pada alat, tempat, pakaian tidak ditetapkan Rasul secara kaku. Itulah salah satu sebabnya pernah terjadi di zaman Aisyah yang melaksanakan shalat dengan dilengkapi mushhaf tatkala membaca al-Qur`an ba’da fatihah.
عَنْ عَائِشَة زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أنَّهَا كَان يَؤُمُّهَا غُلامُهَا ذَكْوان في اْلْمٌْصحف فِي رَمضَان
“Dari Aisyah diriwayatkan bahwa pembantu beliau bernama Dzakwan menjadi Imam pada bulan Ramadlan dengan membaca mushhaf al-Qur`an.” Hr. Ibn Abi Syaibah (159-235H) al-Bayhaqi (384-458H).[242]
2. Cara Ibadah Haji
Jabir bin Abd Allah menerangkan bahwa ketika Rasul SAW ibadah haji tahun 10 hijri, yang berangkat pada hari kamis terakhir di bulan Dzul-qa’dah, berpesan pada shahabatnya:
لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لاَ أَدْرِي لَعَلِّي لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ
“Ambillah dariku manasik hajimu, aku tidak tahu mungkin tidak haji setelah hajiku ini.” Hr. Muslim(206-261H), Abu Daud (202-275H, al-Nasa`iy(215-303H), al-Bayhaqi (384-458H) [243]
Ibadah haji yang mesti persis meniru Rasul ditekankan dalam hadits ini adalah manasiknya. Sedangkan kendaraan, makanan, perumahan dan peralatannya di zaman rasul SAW pun beraneka ragam.
3. Hukum Perzinahan
Rasul SAW bersabda:
خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
“Ambilah dariku, ambilah (hukum) dariku. Allah telah menetapkan hukum bagi mereka. Gadis dengan bujangan yang zina hukumannya adalah diasingkan satu tahun dan dicambuk seratus kali. Yang pernah nikah kemudian berzina, maka hukumannya seratus cambuk dan rajam.” Hr. Muslim (206-261).[244]
B. Sesuai Perkembangan Zaman
Jika Rasul SAW mencontohkan suatu perbuatan yang sesuai dengan perkembangan zaman, maka beruswahnya pun seperti itu. Contohnya antara lain:
1. Dalam Berda’wah
Sebagaimana telah diuraikan di atas, pada awal kenabian karena belum mempunyai kekuatan maka da’wah dilakukan secara sembunyi. Ketika sudah banyak umat maka da’wah dilakukan melalui jalur pendidikan. Ketika sudah mempunyai kekuatan maka da’wah dilakukan dengan terbuka. Bahkan tatkala mempunyai kekuasaan, Rasul SAW menggunakan kekuasaannya untuk menegakkan risalah dengan jalur politik, pemerintahan, bahkan bila perlu dengan memerangi para penentang.[245]
2.Mengajarkan al-Qur`an
Di awal kenabian, Rasul SAW mengajarkan al-Qur`an pada umatnya sesuai dengan urutan wahyu turun, sejak al-Alaq hingga ayat-ayat yang turun berikutnya. Namun, pada periode Madinah Rasul SAW mengajarkan al-Qur`an pada shahabatnya mengikuti tartib surat dan ayat. Ibnu Abbas mengajarkan tafsir kepada muridnya seperti Mujahid dengan cara tahlili, dari al-Fatihah hingga surat al-Nas dan setelah tamat kembali dari al-Fatihah. Dengan demikian, mengajarkan al-Qur`an bisa menggunakan metoda mawdlu’iy berdasar urutan topik permasalahan yang dibutuhkan umat dan bisa juga dengan metode tahlili dengan mengikuti tartib ayat, sejak al-Fatihah hingga al-Nas. Namun yang paling unggul adalah al-Hal al-Murtahil.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ قَالَ وَمَا الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ قَالَ الَّذِي يَضْرِبُ مِنْ أَوَّلِ الْقُرْآنِ إِلَى آخِرِهِ كُلَّمَا حَلَّ ارْتَحَلَ
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, seorang laki-laki bertanya pada Rasul SAW tentang amal yang yang paling dicintai Allah SWT. Rasul bersabda الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ shahabat bertanya: apa itu wahai Rasul! Beliau bersabda: yang memulai dari awal al-Qur`an, terus membaca dan mengkajinya hingga akhir, tatkala sudah tamat kembali lagi dari awal.” Hr. al-Darimi, al-Turmudzi, al-Hakim.[246]
3. Pengangkatan Pemimpin
Kebijaksanaan Shahabat merupakan salah satu dari manifestasi petunjuk sunnah Rasul, yang dikenal dengan atsar shahabi. Ternyata cara mengangkat khalifah tidak sama, antara lain (1) Secara demokrasi berdasar suara terbanyak, seperti Abu Bakar dipilih langsung dan dikampanyekan oleh Umar bin Khathab (2) Ditunjuk oleh yang memiliki kekuasaan seperti Umar yang ditunjuk oleh Abu Bakar, (3) Ditentukan oleh tim formatur (perwakilan) seperti Utsman bin Affan, (4) Menggantikan kedudukan yang wafat oleh yang memiliki suara terbanyak kedua seperti Ali Bin Abi Thalib menggantikan Utsman, (5) Diturunkan kepada putra seperti peristiwa pengangkatan al-Hasan bin Ali di Kufah, sepeninggal Ali bin Abi Thalib, (6) Kudeta atau merebut kekuasaan seperti yang dilakukan oleh Mu’awiyah terhadap Hasan bin Ali, (7) Diturunkan secara dinasti seperti yang dilakukan oleh Mu’awiyah terhadap anaknya yang bernama Yazid hingga menjadi dinasti Umayah, yang kemudian dilanjutkan pada dinasti Abasiyah. Tujuh khalifah di atas adalah shahabat, yang sudah pasti beruswah pada Rasul SAW. Semua cara itu mesti atas dasar keahlian dan kelayakan menjadi pemimpin. Rasul SAW bersabda:
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Yang menjadi imam suatu kaum adalah yang paling baik bacaannya pada kitab Allah. Jika ternyata sama kemampuan membacanya, maka pilih yang paling tahu tentang sunnah. Jika ternyata sama kemampuannya tentang sunnah, maka pilih yang paling dahulu hijrah. Jika sama dalam hijrah, maka yang paling awal menjadi muslim. Seseorang jangan mengimami dalam kekuasaan yang lain, jangan pula menduduki rumahnya kecuali atas izinnya.” Hr. Muslim[247].
C. Memilih yang Paling Strategis
1. Dalam Perang
(1) Ketika perang Badar, yang direbut pertama kali adalah sumur, karena saat itu kebutuhan utama adalah air. (2) Ketika perang Uhud yang dikuasai pertama kali adalah bukit kecil. Dari bukit kecil ini pasukan dapat menyerang musuh ke segala arah. Namun tatkala sebagian pasukan meninggalkan bukit strategis itu, maka kendala dialami mereka. (3) Ketika perang Khandak yang dikuasai pertama kali adalah parit. Dengan menggali parit besar yang berfungsi ranjau darat, dapat mengalahkan musuh tanpa harus duel.
2. Dalam Penampilan
خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْن وَفِرُّوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِب
“Berbedalah kalian dengan orang musyrik, pelihara jenggot dan potong kumis.” Hr. al-Bukhari, Muslim [248]
Essensi hadits ini adalah beda dengan musyrikin. Musyrikin pada saat itu suka memelihara kumis dan memotong jenggot. Saat ini ternyata musyrikin banyak yang berjenggot dan memotong kumis. Menurut cataan sejarah, dalam strategi perang jangan sampai salah tembak. Dalam strategi tentu saja mesti mengambil yang paling menguntungkan umat, apakah dengan berbeda, ataukah dengan penampilan yang sama dalam penampilan yang menguntungkan Islam saat ini? Bila karena beda justru mempermudah yang memusuhi Islam dalam menangkap muslim, maka penampilan sama lebih menguntungkan.
D. Sesuai Budaya Setempat
Bila Rasul SAW berbuat sesuai dengan budaya setempat, maka beruswahnya pun demikian. Budaya setempat bisa diambil, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Syari’ah, contohnya antara lain:
1. Walimah, Makanan dan Rias Pengantin
Ketika menikah dengan Saudah, Rasul berwalimah dan mengambil juru rias orang Makkah. Ketika menikah dengan Aisyah, walau akadnya di Makkah, karena walimahnya di Madinah maka juru riasnya pun orang Madinah. Makanan yang disajikan pada saat itu, juga makanan orang Madinah. Orang Parsi, seperti Salman al-Farisi, Usaid yang keturunan Yahudi, juga tidak diperintah untuk berpakaian Arab tatkala masuk Islam. Sedangkan bacaan shalat, tetap mereka diperintahkan berbahasa Arab, walau bukan orang Arab. Tatkala Rasul SAW mengadakan walimah pernikahan dengan Zainab binti Jahsy, juru seni yang menghiburnya juga orang Anshar.
2. Mode Pakaian
Syari’ah menetapkan bahwa pakaian yang memenuhi syarat adalah sebagai berikut:
(a) Menutup Aurat
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Qs.24:30
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Qs.24:31.
Dalam kedua ayat di atas tersirat bahwa baik pria maupun wanita mesti menahan pandangan dari melihat aurat dan mesti menutupi aurat dirinya. Pada ayat 31 ditandaskan bahwa kaum wanita mesti mengulurkan kerudungnya hingga ke dada, karena mereka mesti menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Batasan aurat wanita tersirat pula pada firman Allah SWT berikut:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” Qs.33:59
(b) Indah dipandang
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang meng-haramkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” Qs.7:32.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَلَى عُمَرَ قَمِيصًا أَبْيَضَ فَقَالَ ثَوْبُكَ هَذَا غَسِيلٌ أَمْ جَدِيدٌ قَالَ لَا بَلْ غَسِيلٌ قَالَ الْبَسْ جَدِيدًا وَعِشْ حَمِيدًا وَمُتْ شَهِيدًا
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasul SAW melihat Umar bergamis putih bersih. Beliau bersabda: Wahai Umar apakah bajumu dicuci bersih ataukah baru? Umar menjawab: tidak baru tapi dicuci bersih. Rasul bersabda: الْبَسْ جَدِيدًا وَعِشْ حَمِيدًا وَمُتْ شَهِيدًا berpakanlah yang baru, hiduplah terpuji, dan matilah sebagai syahid.” Hr. Ahmad, Ibn Majah.[249]
Tatkala Rasul SAW melarang ria, ada seorang shahabat bertanya tentang hukum seorang muslim berpakaian indah dan berhias. Kemudian Rasul SAW bersabda:
إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sesungguhnya Allah itu Indah. Dia mencintai keindahan.” Hr. Muslim.[250]
Ayat dan Hadits ini memberi isyarat bahwa pakaian itu mesti indah.
(c) Berbeda antara pakaian pria dengan pakaian wanita
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Dari Ibn Abbas diriwayatkan: Rasul SAW mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.” Hr.al-Bukhari, Abu Daud, Ibn Majah.[251]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ
“Dari Ibn Abbas diriwayatkan” Rasul mengutuk pria yang berpura-pura jadi wanita dan wanita yang berpura-pura jadi pria.” Hr. Ahmad.[252]
Kedua hadits ini melarang keras (1) pria menyerupai wanita dan wanita menyerupai pria. (2) berpura-pura menjadi lawan jenis, seperti pria pura-pura jadi wanita.
(d) Tidak Berlebihan
Allah SWT berfiman:
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” Qs.7:31. Rasul SAW bersabda:
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا غَيْرَ مَخِيلَةٍ وَلَا سَرَفٍ
“Makan, minum dan bersedekahlah, tapi jangan berlebihan.” Hr. Ahmad.[253]
Ayat dan hadits ini mempersilakan berpakaian baik, indah atau bagus, tapi jangan berlebihan.
(e) Tidak Tabarruj
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan janganlah tabarruj seperti orang jahiliyah terdahulu.” Qs.33:33.
Tabarruj ialah memamerkan perhiasan dan kecantikan untuk memikat lawan jenis yang bukan suaminya.[254] Dalam istilah lain dinamakan juga berpakaian tapi telanjang. Dari Abu Hurairah diriwayatkan:
نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِيحُهَا يُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ
“Wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang berlenggak- lenggok, tidak akan masuk surga dan tidak akan menghirup harumnya, padahal dapat dihirup dari jarak lima ratus tahun.” Hr. Malik.[255]
Ternyata yang diterangkan secara rinci olah syari’ah ialah masalah menutup aurat, yang tidak boleh terpengaruh oleh budaya mana pun. Masalah yang lainnya seperti mode, batasan berlebihan, bentuk pakaian wanita atau pria, disesuaikan dengan uruf setempat.
E. Berdasar Hasil Penelitian Ilmiyah dalam Ikhtiar
Muslim Bin Hajâj (w.261H) mengisahkan bahwa Rasul SAW pernah menjumpai suatu kaum yang suka menanam korma dan mengawinkan antara jenis yang satu dengan yang lainnya. Beliau menyuruh salah seorang di antara mereka untuk mencoba tidak mengawinkannya. Orang tersebut mencobanya dan menghasilkan tanaman yang berbeda dengan biasanya, kemudian melaporkannya kepada Rasûl SAW. Beliau bersabda:أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ “Kalian bisa lebih tahu tentang urusan duniamu.” Hr. Muslim (w.261H)[256] dari Anas Bin Mâlik (w.93H).[257] Kisah tersebut mengisyaratkan agar kaum muslimin melakukan percobaan dalam urusan yang bersifat duniawi, hingga menemukan nilai yang dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiyah.
F. Tidak Perlu Melebihi Rasul SAW dalam Ibadah
إن أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Anas bin malik menerangkan bahwa tiga orang shahabat berkunjung ke rumah istri rasul menanyaka tentang ibadahnya. Tatkala mereka mendapat penjelasan, masing-masing mengambil kesimpulan dan mengatakan: Bagaimana kita ini di banding dengan Rasul SAW yang sudah dijamin mendapat ampunan Allah baik yang telah berlalu maupun yang mendatang. Di antara mereka ada yang berjanji: Saya mau shalat malam selamanya. Yang kedua mengatakan: Saya akan shaum tiap hari sepanjang tahun. Yang lainnya lagi mengatakan: Saya tidak akan menikah dan akan menjauhi wanita. Tidak lama kemudian Rasul SAW tiba dan bersabda: Kalian mengatakan begitu begini. Demi Allah aku yang paling takut pada Allah dan paling taqwa pada-Nya. Namun ingat, aku shaum tapi suka berbuka, aku shalat tapi juga tidur dan aku juga menikah dengan beberapa wanita. Barangsiapa yang tidak menyenangi sunnahku bukan dariku.” Hr. al-Bukhari.[258] Dari Anas bin Malik.[259]
G. Ikhtiar yang Mesti Ilmiyah
Pada peristiwa perang Uhud, Rasul SAW terluka sehingga dahinya berdarah, lalu Ali bin Abi Thalib membersihkannya, Fathimah membakar ranting dan menjadikannya sebagai obat.
عَنْ سَهْل بْن سَعْدٍ يَسْأَلُ عَنْ جُرْحِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ فَقَالَ جُرِحَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ وَهُشِمَتْ الْبَيْضَةُ عَلَى رَأْسِهِ فَكَانَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَغْسِلُ الدَّمَ وَكَانَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَسْكُبُ عَلَيْهَا بِالْمِجَنِّ فَلَمَّا رَأَتْ فَاطِمَةُ أَنَّ الْمَاءَ لَا يَزِيدُ الدَّمَ إِلَّا كَثْرَةً أَخَذَتْ قِطْعَةَ حَصِيرٍ فَأَحْرَقَتْهُ حَتَّى صَارَ رَمَادًا ثُمَّ أَلْصَقَتْهُ بِالْجُرْحِ فَاسْتَمْسَكَ الدَّمُ
“Hadits dari Sahl bin Sa’d al-sa’idi yang telah menelusuri peristiwa luka Rasul pada perang Uhud, menerangkan: wajah Rasul terluka, gigi taringnya patah, topi besinya pecah. Fathimah putri rasul mencuci darahnya. Ali bin Abi Thalib menyiramnya dengan menggunakan perisai. Tatkala Fathimah melihat bahwa darah Rasul terus mengalir, kemudian mengambil pelapah kurma dan dibakarnya hingga jadi abu. Kemudian abunya dikenakan kepada luka Rasul SAW, sehingga darahnya mengering.” Hr.al-Bukhari.[260]
Dalam hadits ini tersirat bahwa Rasul SAW, walau memiliki mu’jizat, tetap menggunakan pengobatan ilmiyah atas luka yang dideritanya. Menggunakan ranting dibakar untuk mengeringkan darah merupakan pengobatan modern pada saat itu.
H. Penggunaan Teknologi Moderen
Rasul SAW berkendaraan unta yang termasuk حمر النِّعم (unta merah) dinamai al-Qashwa atau al-Qushwa, sebagai kendaraan paling mahal pada saat itu.[261] Pedang beliau yang dinamai ذو الْفَقَار (bertanduk) juga sebagai pedang paling canggih pada masa itu. Saat itu tidak ada orang yang memiliki pedang secanggih milik Rasul SAW, yang kemudian diwariskan kepada Ali bin Abi Thalib. Pedang yang runcingnya dua, merupakan gambaran bahwa teknologi yang digunakan Rasul dua kali lebih canggih dari milik kafir. Ini memberikan gambaran bagaimanaseharusnya senjata yang dimiliki kaum muslim, bila ingin beruswah pada Rasul SAW, minimal dua kali lebih canggih di banding yang dimiliki kafirin.
I. Yang Dipersilakan Memilih
1. Mendapatkan Jodoh
Pertama, ketika Rasulullah SAW menikah dengan Siti Khadijah. Siti Khadijah yang melamar Rasulullah SAW yang saat itu belum menjadi Rasul. Siti Khadijah lah yang pertama kali tertarik oleh Rasulullah saw. Sehingga pada saat itu Rasulullah saw diangkat sebagai manajer pemasaran untuk memajukan perusahaan yang dikelola oleh Siti Khadijah. Rasulullah diberi teman, yaitu Maisarah; seorang laki-laki budak belian milik Siti Khadijah untuk menemani Rasul dalam menyebarkan dan memasarkan dagangan Siti Khadijah. Pulang dari berdagang Siti Khadijah selalu menanyakan kepada Maisarah tentang bagaimana keadaan Muhammad yang pada saat belum diangkat menjadi rasul. Maisarah tentu saja mengatakan apa adanya, sehingga Siti Khadijah semakin tertarik oleh Muhammad. Akhirnya Siti Khadijah terus terang kepada Maisarah untuk menyampaikan isi hatinya kepada Rasulullah. Itulah salah satu proses peristiwa wanita yang menaksir pria kemudian meminta bantuan orang lain untuk mengutarakannya.
Kedua, peristiwa pasangan yang pada mulanya tidak memikirkan untuk berkeluarga tetapi orang lain yang aktif menjodohkannya. Peristiwa ini terjadi ketika pernikahan Rasulullah saw. dengan Siti Saudah. Rasul pada saat itu belum bersemangat untuk menikah, karena masih dalam keadaan duka ditinggal wafat oleh Siti Khadijah. Demikian juga Siti Saudah belum memikirkan untuk menikah karena pada saat itu masih dalam keadaan berduka cita; ditinggal wafat oleh suaminya walaupun pada saat itu telah habis masa iddahnya. Oleh karena baik Rasulullah saw. maupun Siti Saudah belum memikirkan untuk menikah lagi, maka Haulah aktif berusaha menjodohkannya.
Ketiga, seorang pria yang menaksir seorang wanita dan langsung berterus terang kepada wanita yang ditaksirnya itu. Ini terjadi dalam peristiwa pernikahan Rasulullah kepada Siti Aisyah. Dalam peristiwa ini Rasulullah saw. sendiri yang memilih dan mengkhitbah Aisyah. Rasul datang sendiri kepada ayah Siti Aisyah, yaitu Abu Bakar Ash-Shidiq.
Keempat, orang tua seorang wanita yang mengangkat seorang pria untuk dijadikan sebagai menantu. Peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah saw. menikah dengan Hafshah putri Umar bin Khaththab. Peristiwa ini bermula ketika Umar bin Khaththab kelabakan mencari pasangan untuk putrinya, Hafshah, karena telah ditinggal wafat oleh suaminya di dalam peperangan. Umar datang kepada Abu Bakar Ash-Shidiq, Kepada Utsman Bin ‘Affan untuk menawarkan putrinya, tapi tidak berhasil. Akhirnya datang kepada Rasul mengeluh bingung untuk mencari pasangnan putrinya. Rasulullah saw. menerima Hafshah untuk dijadikan istri.
Kelima, seorang wanita yang langsung menghadap Rasulullah berterus terang ingin dinikah. Rasulullah saw. pernah menikahi wanita yang demikian.
Itulah lima cara pemilihan jodoh. Kelima cara tersebut boleh diambil, bisa ditiru dan dipraktikkan. Kelima cara tersebut adalah: (1) seorang wanita tertarik oleh pria kemudian minta bantuan orang ketiga untuk mempertemukannya, (2) seorang pria langsung datang kepada seorang wanita mananyakan siap atau tidak dinikah kemudian datang kepada orang tuanya untuk melamar, (3) orang ketiga mempertemukan kedua calon mempelai walau keduanya belum tertarik atau memikirkannya, kemudian biro jodoh mempengaruhi agar mereka menjadi jatuh cinta,(4) orang tua aktif mencari calon suami atau calon istri anaknya dan (5) seorang wanita berterus terang kepada pria pilihannya mengajak nikah.
2. Alternatif dalam Ibadah Haji
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَفَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ بِمِنًى لِلنَّاسِ يَسْأَلُونَهُ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ لَمْ أَشْعُرْ فَحَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ فَقَالَ اذْبَحْ وَلَا حَرَجَ فَجَاءَ آخَرُ فَقَالَ لَمْ أَشْعُرْ فَنَحَرْتُ قَبْلَ أَنْ أَرْمِيَ قَالَ ارْمِ وَلَا حَرَجَ فَمَا سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ وَلَا أُخِّرَ إِلَّا قَالَ افْعَلْ وَلَا حَرَجَ
“Diriwayatkan dari Abd Allah bin Amr bin al-Ash, tatkala haji Wada Rasul SAW berada di Mina untuk menerima berbagai pertanyaan kaum muslimin. Di antaranya ada yang mengatakan: Saya bercukur sebelum menyembelih hewan, rasul bersabda: Tidak masalah! Ada lagi yang mengatakan saya menyembelih hewan sebelum melemper jumar? Rasul bersabda: tidak masalah! Ada lagi yang mengatakan: yang lain mendahulukan yang lain dan Rasul bersabda لا حرج (tidak masalah). Hr. al-Bukhari.[262]
Hadits ini memberi isyarat bahwa dalam ibadah haji ada yang diperbolehkan memilih mana yang didahulukan dan mana yang diakhirkan. Jika rasul mempersilakan memilih, maka mencontohnya pun dengan cara memilih dari alternatif yang disediakan.
3. Alternatif dalam Rukhshah Ramadlan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبْ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik yang menerangkan: Kami bepergian bersama Rasul SAW (bulan Ramadlan), yang tetap shaum tidak mencela yang berbuka, dan yang berbuka tidak mencela yang tetap shaum.” Hr. al-Bukhari, Muslim [263]
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ غَزَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسِتَّ عَشْرَةَ مَضَتْ مِنْ رَمَضَانَ فَمِنَّا مَنْ صَامَ وَمِنَّا مَنْ أَفْطَرَ فَلَمْ يَعِبْ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ
“Dari Abi Sa’id al-Khudri diriwayatkan bahwa dia menerangkan: Kami berperang di bulan Ramadlan yang melewati enam belas hari. Di antara kami ada yang tetap shaum dan di antara kami ada yang berbuka. Yang shaum tidak mencela yang buka. Yang buka tidak mencela yang tetap shaum. Hr. Muslim.[264]
Hadits ini memberi isyarat tentang shaum di perjalanan, oleh Rasul SAW dipersilakan memilih antara buka dan tidak. Dengan demikian bila ada yang membatalkannya ataupun yang tetap shaum di perjalanan, termasuk mencontoh Rasul SAW.
J. Yang Mesti Berbeda dengan Rasul SAW
Beruswah dengan tidak meniru apa yang dilakukan oleh Rasul SAW, karena dilarang olehnya atau karena hukum yang dikhususkan untuk beliau dan tidak berlaku bagi mu`min. Contohnya antara lain:
1.Wishal dalam Shaum.
Rasul SAW suka wishal dengan shaum tanpa buka, tapi beliau melarang umatnya untuk mengikuti ibadah tersebut.
عَنْ هَمَّامٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْوِصَالَ مَرَّتَيْنِ قِيلَ إِنَّكَ تُوَاصِلُ قَالَ إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِ فَاكْلَفُوا مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ
“Dari Hammam mendengar Abu Hurairah menerima hadits dari rasul SAW yang bersabda: Jauhilah olehmu shaum wishal, dua kali beliau sabdakan. Dikatakan kepada beliau: Engkau suka wishal? Rasul bersabda: Sesungguhnya aku bermalam karena mendapat makanan dari tuhanku dan ia memberi minum. Lakukanlah amal sesuai kemampuan kalian!” Hr. al-Bukhari.[265]
2. Jumlah Istri Rasul yang Melebihi Empat
Istri Rasul SAW berjumlah sebelas orang dan yang dipoligami secara bersamaan hingga wafat berjumlah sembilan orang. Perhatikan syai’r berikut.
عَن تِسْعِ نِسْوَةٍ وَفَاةُ المُصْطَفَى* خُيِّرْنَ فَاخْتَرْن النَّبِيَّ المُصْطَفَى * عَائِشَة وَحَفْصَة وَسَودَة* صَفِيَّة مَيْمونَة وَرَمْلَة* هِنْدٌ وَزَيْنَبُ كَذَا جُوَيْرِيَّة * لِلْمُؤمِنِيْنَ أُمَّهَات مَرْضِيَّة
“Sembilan istri ditinggal wafat al-Mushtafa, semua dipilih dan memilih Rasul Mulia, Aisyah, Hafsah dan Saudah, Shafiyyah, Maimunah dan Ramlah, Hindun, Zainab, serta Juariyah, sebagai ibu mu’min yang mendapat ridla Allah. [266]
Namun Rasul SAW melarang umatnya untuk menyamai beliau dalam jumlah istri yang boleh dinikah.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ
“Diterangkan dari Ibnu Umar bahwa Ghylan bin Salamah al-Tsaqafi ketika masuk islam beristri sepuluh wanita. Para istrinya itu semua masuk Islam dan rasul memerintah agar dia memilih empat orang dari istrimya itu dan menceraikan yang lainnya.” Hr. Al-Turmudzi.[267]
Shahabat yang lain pun banyak yang masuk Islam ketika istrinya lebih dari empat, kemudian diperintah Rasul untuk memilih empat wanita dan menceraikan selebihnya, setelah turun surat al-Nisa: 3, antara lain: (1) Harits bin Qais yang beristri delapan wanita,[268] (2) Bani Tsaqif yang beristri sepuluh, (3) Urwah bin Mas’ud, yang beristri sepuluh[269] dan (4) Naufal bin Mu’awiyah, yang beristri lima wanita.[270] Menurut riwayat Ibnu Abbas, di zaman jahiliyah para pembesar Quraisy rata-rata beristri sepuluh wanita, kemudian dibatasi oleh al-nisa:3 ini, menjadi maksimal empat orang.
3. Menerima Perempuan yang Menghibahkan Diri.
Rasul SAW diizinkan untuk menerima perempuan yang menghibahkan diri, baik menikahinya atau menikahkannya pada yang lain. Firman Allah:
وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan dihalalkan bagi Nabi wanita yang menghibahkan dirinya, jika ia menghendaki untuk menikahinya (tanpa wali, tanpa maskawin), tapi khusus baginya, tidak berlaku bagi mu`min.” Qs.33:50.
Dalam berbagai riwayat diungkapkan bahwa wanita yang menghibahkan diri pada Rasul itu cukup banyak, seperti Laila binti al-Khatim, Ummu Hani binti abi Thalib[271], Ummu Syuraik, Haulah binti Hakim, Maimunah binti al-Harits,[272] dan yang diterimanya sebagai istri antara lain Zainab binti Khuzaymah.
***
TANYA JAWAB SEKITAR HADITS DLA’IF
1. Soal: Apa yang dimaksud dengan hadits dlaif?
Jawab:
Menurut bahasa perkataan dla’if berarti lemah, atau tidak kuat. Menurut istilah, hadits dla’if ialah hadits lemah,atau tidak kuat yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat kesahihan dan keabsahannya. Menurut Imam Nawawi:[273] الضَّعِيف هوَُ ما لاَ يجْمع صِفَة الصَّحِيح أو الحَسَن
Hadits dla’f ialah hadits yang tidak memiliki sifat shahih dan tidak pula hasan.
Demikian pula menurut Ibnu Shalah[274], hadits dla’if ialah hadits yang tidak memenuhi syarat shahih dan hasan.[275]
2. Soal: Dari mana kita memendang bahwa hadits itu dla’if?
Jawab:
Secara garis besarnya dapat diketahui dari sudut otentisitas dan validitas hadits itu sendiri?
3. Soal: apa yang dimaksud dengan otentisitas hadits?
Jawab:
Hadits bisa disebut otentik bila tercantum pada kitab sumber asli, atau al-mashadir al-Ashliyah. Jika ternyata tidak tercantum pada kitab-kitab terebut, maka disebut hadits yang tidak otentik. Bila tidak otentik, maka hadits tersebut dla’if.
4. Soal: Apa yang dimaksud dengan Validitas Hadits?
Jawab: Validitas hadits ialah kebsahannya secara matan maupun rawi jelas dapat dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan. Jika ternyata baik matan atau pun estapeta periwayatnnya tidak absah dan tidak pula baik, maka termasuk dla’if.
5. Soal: Bagaimana kita bisa menyelidiki dapat dipercaya ataukah tidak dalam periwayatnnya?
Jawab:
Bisa dipandang dari berbagai sudut. Bisa dari sudut bersambung atau tidaknya sanad, bisa dari sudut kualitas para rawinya, dan bisa juga dari sudut kualitas matannya.
6. Soal: Kalau begitu, hadits dla’if itu banyak sekali macamnya?
Jawab: Betul, hadits dla’if itu banyak sekali jumlahnya antara lain: ditinjau dari sudut bersambung atau tidaknya rawi seperti: Mursal, maqthu, munqathi, mu’dlal. Dari sudut kualitas rawi seperti matruk, munkar, ma’lul, mu’allaq. Dari sudut kualitas matan, seperti maudlu, maqlub, dan mudraj.
7. Soal: Apa yang dimaksud hadits mursal?
Jawab: Hadits mursal ialah hadits yang tidak terdapat rawi shahabi[276], tapi dikatakan oleh tabi’in bahwa Rasul bersabda. Oleh ulama hadits didefinisikan bahwa hadits mursal ialah:
الحَدِيْث الَّذِي رَفَعَه التَّابِعِي إِلَى النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم من غَيْر ذِكْر الصَّحَابِي[277]
Dengan demikian bila seorang tabi’i yang jelas tidak bertemu Nabi, kemudian ia mengatakan bahwa Rasul SAW bersabda, maka hadits tersebut dinamakan Hadits Mursal.
8. Soal: Apa contoh Hadits Mursal?
Jawab: Contoh hadits mursal antara lain
وأخبرنا أبو حازم العبدوي أنا أبو الفضل محمد بن عبد الله بن خميرويه أنا أحمد بن نجدة ثنا سعيد بن منصور ثنا عبد العزيز بن محمد وحفص بن ميسرة عن زيد بن أسلم عن سعيد بن المسيب ثم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع اللحم بالحيوان رواه البيهقي
Dalam hadits ini diterangkan bahwa kata Sai’id Bin al-Musayab, Rasul SAW melarang menjual daging dengan hewan. Diketahui bahwa Sa’id itu bukan shabat Rasul, tapi Tabi’in. Maka hadits ini termasuk Mursal.
9. Soal: Apa dan bagaimana hadits Maqthu?
Jawab: Hadits maqthu ialah hadits yang sanadnya tidak sampai kepada Nabi dan tidak pula sampai kepada shahabat, melainkan hanya kepada tabi’in[278]. Para muhaddits mendefinisakan bahwa hadits maqthu ialah:
مَا أُضِيْفَ إِلَى التَّابِعي أَو مَن دُوْنَه
Apa yang disandarkan kepada tabi’in atau seterusnya.
Ulama muhadits ada yang mengelompokannya pada hadits dla’if, ada pula yang mengganggap bukan hadits melainkan hanya pendapat Tabi’in.
10. Soal: Apa contoh Hadits Maqthu?
Jawab:
[279] عن بن المبارك عن هشام بن حسان أن الحسن سئل عن الصلاة خلف صاحب البدعة فقال الحسن صل خلفه وعليه بدعته
Hadits ini tidak sampai kepada Nabi SAW melainkan hanya diucapkan oleh Hasan al-Bashri. Bila disebut hadits, termasuk maqthu. Tapi ada yang mengatakan bukan hadits melainkan hanya sebagai pendapat Tabi’in.
11. Soal: Apa dan bagaimana Hadits Munqathi?
Jawab: Hadits Munqathi ialah hadits yang sanadnya gugur atau tak ditemukan sebanyak dua rawi yang tidak berdekatan tetapi berselang. Ulama Hadits mendefinisikan hadits munqathi dengan:
مالم يَتَّصِل إِسنَادُهُ عَلَى أَيِّ وَجْهٍ كَان إنْقِطَاعه[280]
Hadits yang sanadnya tidak sampai, melainkan terputus.
Jika ternyata gugurnya berdekatan tidak berselang, maka dinamakan mu’dlal.
12. Apa contoh hadits Munqathi?
Jawab: Contohnya antara lain
ثنا عبد الرزاق ثنا النعمان بن أبي شيبة عن سفيان الثوري عن أبي إسحاق عن زيد بن منيع عن حذيفة قال قال النبي صلى الله عليه وسلم إن وليتموها أبا بكر فزاهد في الدنيا راغب في الآخرة وبه ضعف وان وليتموها عمر فقوي أمين[281]
Hadits ini termasuk munqathi, karena dikatakan bahwa Sufyan al-Tsauri menerima hadits dari Abi Ishaq, padahal mereka, menurut al-Thahan tidak bertemu.
13 . Soal: Jadi kalau begitu, apa itu hadits Mu’dlal?
Jawab: Ringkasnya hadits mu’dlal ialah hadits dla’if yang diakibatkan oleh gugurnya dua orang rawi secara berurutan.
حدثني مالك انه بلغه ان أبا هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف ولا يكلف من العمل إلا ما يطيق[282]
Hadits ini termasuk hadits Mu’dlal, karena dua rawi tidak tercantum yaitu antara Malik Bin Anas dan Abu Hurairah. Jarak antara Abu Hurairah (wafat tahun 57 H) dengan Malik bin Anas (lahir tahun 94H) cukup jauh yang membutuhkan dua rawi penyambung.
14. Soal: Apa dan bagaimana hadits munkar?
Jawab: Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang diantara sanadnya ada orang yang kurang baik akhlaqnya, atau sering berbuat salah.
16. Soal: Apa contoh hadits munkar? Contoh Hadits munkar:
حَدَّثَنَا أَبُو بِشْرٍ بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ قَيْسٍ الْمَدَنِيُّ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا الْبَلَحَ بِالتَّمْرِ كُلُوا الْخَلَقَ بِالْجَدِيدِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَغْضَبُ وَيَقُولُ بَقِيَ ابْنُ آدَمَ حَتَّى أَكَلَ الْخَلَقَ بِالْجَدِيدِ[283]
Menurut Imam al-Nasaiy, hadits yang memerintah makan kurma muda ini termasuk munkar, karena hanya melalui jalur Yahya Bin Muhammad Bin Qais yang dikenal Abu Zukair yang sering keliru karena sudah terlalu tua.
17. Soal: Apa dan bagaimana hadits Maudlu?
Jawab: Hadits maudlu adalah hadits yang tidak ada sumbernya alias palsu. menurut Ibn Hajar hadits maudlu adalah hadits yang paling dla’if, karena bukan dari Rasul dan bukan pula dari shahabat.
18. Siapakah yang suka membuat hadits maudlu?
Jawab: Hadits maudlu banyak dibuat oleh orang munafiq, atau muslim yang kurang kuat imannya, atau yang mempunyai kepentingan tertentu.
19. Soal: Apa contoh hadits maudlu?
Jawab: Contoh hadits maudlu yang buat oleh munafiq dari kalangan Sya’ah:
إِذَا رَأَيتُم مُعَاوِيَة على المنْبَر فَاقْتُلُوه
Apabila kalian melihat Mu’awiyah pidato di atas minbar, maka perangilah
Hadits ini sengaja dibuat oleh kelompok syi’ah yang benci kepada Mu’awiah Bin Abi Sofyan. Rasul SAW tidak bersabda demikian.
20. Soal: Mengapa ada orang yang berani membuat hadits maudlu?
Jawab: Banyak faktor yang menyebabkan mereka membuat hadits maudlu, antara lain: latar belakang politik, ekonomi, juga bahkan ada yang senagaja membuat kepalsuan di kalangan kaum muslimin. Di samping itu juga ada yang bertujuan baik seperti membuat hadits palsu yang berkaitan dengan keutamaan suatu amal.
21. Soal: Apakah kita boleh menggunakan hadits dla’if?
Jawab: Sebagian ulama berpendapat boleh saja menggunakan hadits dla’if asalkan bukan masalah aqidah dan ibadah, juga bukan hadits maudlu. Sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa hadits dla’if itu tidak bisa dijadikan alasan apa pun sebab bukan dari Rasul SAW.
22. Soal: Mengapa Hadits dla’if tidak bisa digunakan?
Jawab: Hadits dla’if terutama yang maudlu, bukan dari Rasul. Pleh karena itu jika menggunakan hadits maudlu, sama dengan menggunakan dalil yang tidak berdasar wahyu
23. Soal: Bagaimana hukumnya bila kita menggunakan dalil yang tidak berdasar wahyu?
Jawab: Menggunakan dalil tidak berdasar wahyu, sama dengan berhukum tidak berdasar syari’ah. Sedangkan Allah SWT melarang kita untuk bethakum kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
24. Soal: Apa contoh yang melarang kita bertahakum pada selain Allah SWT?
Contohnya: Firman Allah SWT:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Qs.4:60
25. Soal: Bagaimana kalau menggunakan hadits dla’if itu untuk kepentingan yang bersifat duniawi, bukan masalah agama?
Jawab: Kalau untuk yang bersifat duniawi, tentu tidak jadi masalah, tapi jangan disebut berdasar hadits. Hadits dla’if, bukan dari rasul, jangan sekali kali menyebutkan dari rasul, padahal tidak ada dasarnya.
26. Soal: Apakah ada konsekuensi, bila kitanya menyatakan dari rasul padahal bukan?
Jawab: Betul. Orang yang menyatakan sesuatu dari Rasul,padahal tidak, hukumnya sama dengan bersengaja berbuat dosa yang diancam neraka. Rasul SAW bersabda:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار[284]
Barangsiapa yang sengaja berbuat kedustaan atasnamaku, maka siaplah mengambil tempat di neraka.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur`ân al-Karîm
‘Abd Allâh bin ‘Abd al-Rahmân al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, (Bayrût, 1407, Dâr al-Kitab.
‘Abd Allâh bin Ahmad bin Qudâmat al-Muqaddasî, al-Mughnî (Bayrût, 1405 H, Dâr al-Fikr)
‘Abd Allâh ‘Ulwân, Tarbiyât al-Awlâd fi al-Islâm, (Bayrût, 1978, Dâr al-Salâm)
‘Abd al-Rahmân bin Abî Bakr al-Suyûthî, Al-Dûr al-Manshûr, (Bayrût, 1993M, Dâr al-Fikr)
‘Abd al-Rahmân Bin Abî Hâtim, Al-Jarh wa al-Ta’dîil, (Bayrût, 1271H, Dâr Ihya)
‘Abd al-Rahmân bin Muhammad bin Mahlûf, al-Jawâhir al-Hisân fî tafsîr al-Qur`ân , (Bayrût, 1416 H, Mawsû’ât al-A’lâmî)
‘Abd al-Raûf al-Munâwî, Faydh al-Qadîir syarh al-Jâmi’ al-Shaghîir, (Mesir, 1356H, al-Maktabat al-Tijâriyat)
Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin ‘Abd al-Wahîd bin Ahmad, al-Ahâdîts al-Mukhtârat, (Makkat, 1410 H, Maktabat al-Nahdhiyat),
Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin Abû Bakr, al-Qurthubî, Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur`ân , (Cairo, 1372H, Dâr al-Sya’b),
Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin Yazîd, Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, (Bayrût, Dâr al-Fikr)
Abû al-Fidâ Muhammad Bin Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-Azhîm, (Bayrût, 1401 H, Dâr al-Fikr),
Abû al-Hasan Nûr al-Dîn bin ‘Abd al-Hâdî al-Sindî, Sunan al-Nasâ`î bi Syarh Jalal al-Dîn al-Suyûthîi wa Hâsyiat al-Sindî, (Bayrût, 1348 H, Dâr al-Fikr)
Abû al-Qâsim, Sulaymân bin Ahmad al-Thabarâni, al-Mu’jam al-Ausath, (Cairo, 1415 H, Dâr al-Haramayn)
Abû Bakr Ahmad bin ‘Alî al-Jashshâsh, Ahkâm al-Qur`ân , (Bayrût, 1405, Dâr Ihyaâ al-Turâts )
Abû Bakr ‘Abd Allâh bin Muhammad bin Abî Syaybat, Mushannaf ibn Abû Syaybat, (Riyâdh, 1409H, Maktabat al-Rûsy)
Abû Bakr al-Bayhaqî, Ahmad bin Husayn, Sunan al-Bayhaqîi al-Kubrâ , (Makkat, 1414 H, Maktabat al-Bâz),
Abû Bakr al-Dimyâthî, I’ânat al-Thâlibîn, (Bayrût, Dâr al-Fikr)
Abû Bakr al-Jazâ`irî, Aysar al-Tafâsîr, (al-Madînat, 1414H, Nahr al-Khair)
Abû Dâwud, Sulaymân bin al-Asy’as, Sunan Abû Dâwud, (Bayrût, Dâr al-Fikr)
Abû Hâtim Muhammad bin Hibbân, Shahîh Ibn Hibbân, (Bayrût, 1414 H, Muassasat al-Risâlat)
Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an ta`wîl ayy al-Qur`ân , (Bayrût, 1405H, Dâr al-Fikr)
Abû Muhammad ‘Abd al-Muhdî, Thuruq Takrîj Hadîts, (Kairo, Dâr al-I’tisham)
Abû Muhammad ‘Abd al-Rahmân al-Nasâ`î , al-Sunan al-Kubrâ , (Bayrût, 1991, Dâr al-Kutub)
Abû Muhammad al-Husayn bin Mas’ûd al-Baghawîi, Ma’âlîm al-Tanzîl, (Bayrût, 1987 M, Dâr al-Ma’rifat)
Abû Muhammad bin ‘Alî bin Sa’îd bin Hazm, Al-Muhallâ, (Bayrût, Dâr al-Afâq)
………….. al-Ihkâm li Ibn Hazm, (Kairo, Dâr al-Hadîts, 1404H)
Abû Syujâ al-Daylamî al-Hamdanî, al-Firdaus bi ma’tsûr al-Khithâb, (Bayrût, 1986, Dâr al-Kutub)
Abû Thâhir bin Ya’qûb al-Fayrûz Abâdî, Tanwîr al-Miqbâs min tafsîr Ibn ‘Abbâs, (Bayrût, Dâr al-Fikr)
Abû ‘Umar Yûsuf bin ‘Abd Allâh bin ‘Abd al-Bar al-Namry, al-Tamhid li ibn ‘Abd al-Bar, (Maroko, 1387 H, Wizarat al-Awqaf)
Abû Ya’la, Ahmad bin ‘Alî, Musnad Abû Ya’la, (Damascus, 1404 H, Dâr al-Ma’mun)
ِِِِAhmad ‘Abd al-Rahmân al-Banna, al-Fath al-Rabani, Tartib Musnad Ahmad ma’a Syarhih Bulugh al-Ma’ani min Asrar al-fath al-Rabbani, (Cairo, Dâr al-Syihab(
Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-Asqalani, Talkhish al-HAbîr, (Madinah, 1962)
…………… Tahdzib al-Tahdzib, (Bayrût, 1404H, Dâr al-Fikr)
Ahmad Bin Hanbal, Musnad Ahmad, ) Riyâdh, 1998 , Bait al-Afkar)
Ahmad Bin Syu’aib al-Nasâ`î , al-Sunan al-Kubrâ , (Bayrût, 1411H, Dâr al-Kutub)
Ahmad bin Syu’aib Abû ‘Abd al-Rahmân al-Nasâ`î , al-Sunan al-Kubrâ , (Bayrût, 1411 H, Dâr al-Kutub)
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta, 1984, Pesantren al-Munawir)
AJ. Wensinck ET J.P. Mensing, al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al-Hadîts al-Nabawi (Leiden, 1967, E.J.Brill).
Al-Baidlawi, Anwar al-Tanzil, (Bayrût, Dâr al-Fikr)
al-DzahAbî, al-Muntaqa fi sard al-Kunna, , (Madinah, 1408H, Al-Jâmi’’ah al-Islamiyah)
‘Alî bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-Azizi al-Syafi’y, al-Siraj al-Munir, (Bayrût, Dâr al-Fikr)
‘Alî Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Beirut, 1983M, Dâr al-Kutub,)
‘Alî Mustafa Yaqub, Kritik Hadîts, (Jakarta, 2000, Pustaka Firdaus),
al-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat alfazh al-Qur`ân , (Beirut, Dâr al-Fikr)
Endang Soetari AD, ‘ilmu Hadîts, (Bandung, 2000M, Amal Bakti Press,)
Global Islamic Software Company, Mausyu’ah al-Hadîts al-Syarif (CD), (1991-1997 M)
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadîts, (Jakarta, 1973, Bulan Bintang )
Isma’il bin Ahmad al-Ajlûni, Kasyf al-Khafa, (Bayrût, 1405, Muassasat al-Risalah),
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahmân bin Abî Bakr al-Suyuthi, al-Jâmi’ al-Shaghir, (Cairo, 1967 M, Dâr al-Kitab)
…………… Syarh Sunan al-Nasâ`î , (Bayrût, 1348H, Dâr al-Fikr)
……………, Tarikh al-Khulafa, (Bayrût Dâr al-Fikr)
Mahmûd al-Alûsi, Abû al-Fadlal, Ruh al-Ma’ani, (Bayrût, Dâr Ihya al-Turats)
Mansur ‘Alî Nashif, Al-Taj al-Jâmi’ li al-Ushul Fi AHadîts al-Rasûl, (Bayrût, 1975 M, Dâr al-Fikr)
Muhamad al-Qaisrani, Tadzkirah al-Huffazh, (Riyâdh,1415H, Dâr al-Shamiiy)
Muhamad Bin ‘Abd Allâh al-Rab’iy, Tarikh maulid al-‘ulamâ wa wafatihim, (Riyadl,1410, Dâr al-Ashimah)
Muhamad Mahmud Hijazi, al-Tafsîr al-Wadlih, (Bayrût ,1969M, Dâr al-Jail)
Muhammad ‘Alî al-ShAbûni, Shafwat al-Tafasir, (Makkah, 1399 H, al-Maktabah al-Tijariyah Mushthafa Ahmad al-Baz),
Muhammad ‘Alî al-Syaukani, Fath al-Qadir, (Bayrût, Dâr al-Fikr)
Muhammad al-Khathib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut, Dâr al-Fikr)
Muhammad bin Isma’il al-Shan’ani, Subul al-Salam, (Bayrût, 1379H, Dâr Ihya,)
Muhammad bin ‘Abd Allâh al-Hakim al-NaisAbûri, al-Mustadrak ala al-Shahîh aini, (Bayrût, 1990, Dâr al-Kutub)
Muhammad bin ‘Alî bin Hasan Abû ‘Abd Allâh al-Hakiim, Nawadir al-Ushul fi aHadîts al-Rasûl, (Bayrût, 1992 M, Dâr al-Jail)
Muhammad bin Idris, ‘Abd al-Rahmân bin Abî Hâtim al-Tamimi, Al-Jarh wa al-Ta’dil, (Bayrût, 1952M, Dâr Ihya al-Turats)
Muhammad Bin Isa al-Turmudzî, al-Jâmi’ al-Shahîh,( Dâr Ihya al-Turats, Beirut,)
Muhammad Bin Isma’il al-Bukhârî Shahîh al-Bukhârî, (Bayrût,1407H, Dâr Ibn Katsir)
Muhammad bin Muhammad Abû Su’ud, Irsyad al-Aql al-S’Alîm ila Majaya al-Qur`ân al-Karim, (Bayrût, Dâr Ihya al-Turats),
Muhammad bin Salîm al-Hifnî, Hâsyiat al-Jâmi’ al-Shaghîir, (Bayrût, Dâr al-Fikr)
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur`ân , (Bayrût, 1987, Dâr al-Fikr)
………….., Miftah Kunuz al-Sunnat , (Lahore, 1978, Idârat Turjaman al-Hadiîts )
Muhammad ‘Izzat Darwazat, Al-Dustûr al-Qur`ân i wa al-Hadiîts al-Nabawiyat fi Syuun al-hayât, ( Damascus, 1966 M, Isa al-BAbî)
Muhammad Jamal al-Din al-Qâsimî, Mahâsin al-Ta`wîl, (Bayrût, 1978 M, Dâr al-Fikr),
Muslim bin Hajâj, Shahîh Muslim, (Bayrût, Dâr al-Fikr)
Nizar ‘Alî, Memahami Hadîts nAbî, Metoda dan Pendekatan, (Yogyakarta, 2001, al-Rahmah),
Sa’d Bin ‘Abd Allâh ‘Alî Humayid, Thuruq Takhrîj al-Hadîts, (Riyâdh, Dâr ‘Ulûm al-Hadiîts , 2000M)
Sayid Sâbiq, Fqh al-Sunnat , (Bayrût, 1983 M, Dâr al-Fikr),
Shalah al-Din, al-Idlibî, Manhaj Naqd al-Matan, (Bayrût, Dâr al-Afâq, 1983M)
Shubkhî Shâlih, Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh, (Beirut, Dâr al-ilmi, 1977),
Sulaiman bin Dâwud, Abû Dâwud, al-Farisi Al-Thayâlisî, Musnad Al-Thayâlisî, (Beirut, Dâr al-Ma’rifat)
Wahbat al-Zuhaylîi, al-Fiqh al-Islâmî wa adillatuh, (Damascus, 1404H, Dâr al-Fikr),
………….., al-Tafsîr al-Munir, (Damasqus, 1991 M, Dâr al-Fikr al-Mu’ashir)
[1] Sunan Abi Daud, IV h.200, Sunan al-Turmudzi, V h.44, Sunan Ibn Majah, I h.15
[2] Shahih al-Bukhari, V h.1949, no.4675,
[3] Shahih Muslim, IV h.2250, no.5227
[4] Shahih al-Bukhari, I h.43, no.79
[5] Shahih Muslim, III h.1344, no.3244
[6] Shahih al-Bukhari, V h.2314
[7] Ahmad al-Zawi, Tartib al-Qamus al-Muhith, Isa al-Babi, II, I : 600
[8] Ahmad Warson Munwair, Kamus Arab Indonesia, Pondok Pesantren Al-Munawir, Yogyakarta, 1994
[9] Shubkhi Salih, Ulumul-Hadits wa mushthalahuh, Dar-al-Ilmi, Bairut, 1977, hlm.5
[10] al-Husain Bin Muhammad al-Damaghani, Ishlah al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim, Dar al-Ilmi, Beirut 1980, h. 121.
[11] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII h.245
[12] Endang Soetari AD,, Ilmu Hadits kajian riwayah & Dirayah, Amal bakti Press, 2000 halaman (h.) 1
[13] Muhammad Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits ulumu wa mushthalahuh, Dr al-Fikri, beirut, 1989, h. 27
[14] Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits ulumuh wa mushthalahuh h. 27
[15] Endang Soetari, Ilmu hadits, h. 2
[16] Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h.17
[17] Warson Munawwar, Kamus, h. 716
[18] Muhammad Ajaz, Ushul al-hadits, halaman 18
[19] ibid 19
[20] ibid 19
[21] Al-Nawawi, h. 705
[22] Abu Daud, Sunan Abi Daud, IV halaman 287
[23] Abbas hamadah, al-Sunnah al-Nabawiyah, h.23
[24] Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h.27
[25] Abd al-Rahman Bin Abi Bakr al-Suyuthi, تدريب الراوي في شرح تقريب النواوي (j. II h. 209
[26] Shahih Muslim, IV h.2174
[27] Shahih al-Bukhari, no.5605, Shahih Muslim, no.4641
[28] Shahih Muslim, no.55
[29] Shahih al-Bukhari, no.5278
[30] Musnad Ahmad, no.12550, Sunan Abi Daud, no.2805
[31] Shahih al-Bukhari, no.3681, Shahih Muslim, no.1547
[32] Musnad Ahmad, 22238, Sunan al-Turmudzi, no.2095,
[33] Shahih al-Bukhari, no.6737
[34] Shahih al-Bukhari, no.4892
[35] Musnad Ahmad, II h.160, Sunan Abi Daud, IV h.285, Sunan al-Turmudzi, IV h.323,
[36] shahabat ialah orang yang bertemu Nabi SAW dalam keadaan muslim dan wafat sebagai muslim
[37] Musnad Ahmad, no.20902
[38] shahih al-Bukhari, no.1030
[39] Shahih Muslim, no.586
[40] Sunan al-Turmudzi, no.676
[41] Shahih Muslim, no.1864
[42] Shahih Muslim, no.2053
[43] Shahih al-Bukhari, no.1654
[44] Musnad Ahmad, no.22980
[45] Shahih al-Bukhari, no.5138
[46] Shahih al-Bukhari, no.2404, Shahih Muslim, no.4477, Sunan Abi Daud, no.1826
[47] Shahih Muslim, 1168
[48] Sunan Abi Dawud, no.4199
[49] Shahih al-Bukhari, no.66
[50] shahih al-Bukhari, no.6278
[51] Musnad ahmad, I h.236, Shahih al-Bukhari, III h.1398
[52] Shahih al-Bukhari, no.3940
[53] Shahih al-Bukhari, no.3655
[54] Shahih Muslim, no.4273
[55] Shahih al-Bukhari, no.3299
[56] Shahih Muslim, no.4326
[57] Shahih al-Bukhari, no.3285
[58] Shahih Muslim, II h.787, Sunan Abi Daud, II h.316
[59] Musnad, no. 13803, Sunan Abi Daud, II h.66
[60] Shahih al-Bukhari, 334
[61] Shahih Muslim, 552
[62] Ibn jarir al-Thabari (224-310H), Tafsir al-Thabari, III h.222, Ibn Hajar al-Asqalani, al-‘Ijab fi bayan al-Asbab, II h.675
[63] Sunan Abi Daud, no. 2089
[64] Shahih al-Bukhari, no.1835
[65] Shahih al-Bukhari, no.1863
[66] Shahih al-Bukhari, no. 1341
[67] Muhammad Ibn Jarir al-Thabari (224H-310H), Jami al-Bayan, (Tafsir al-Thabari), XXII h.12
[68] Isma’il bin Umar ibn Katsir (w.774H), Tafsir Ibn Katsir, IV h.211
[69] nama lengkapnya: Sa’d bin Malik bin Sanan, shahabat Anshar keturunan al-Khudri dijuluki Abu Sa’id, wafat di Madinah thaun 74 H.
[70] Sunan al-Turmudzi, no.3192, menurut Ali Nashif, sanadnya shahih (al-Taj, IV h.240)
[71] Abu Abd Allah al-Qurthubi (w.671H), al-Jami li Ahkam al-Qur`an, (Tafsir al-Qurthubi), XVIII h.11
[72] Abu al-Husayn Muslim bin Hajaj al-Naysaburi (206H-261H), Shahih Muslim, IV h.1829
[73] al-Nasafi, Tafsir,1h.260
[74] (lihat pula: At-Thabari, IX:354).
[75] (As-Shabuni,I:315)
[76] (perhatikan hadits-hadits, fiy ma la yu`kal minal-hayawan, At-Taj,III:95-96)
[77] (Hadits Riwayat Khamsah dari “Aisyah, At-Taj, III: 140).
[78] (Hadits riwayat Khamsah kecuali Bukhari dari Buraidah, At-Taj,III:141).
[79] (At-Taj,III:102).
[80] Shahih Muslim, II h.762
[81] Musnad Ahmad, I h.148, Shahih al-Bukhari, I h.226, Shahih Ibn Khuzaymah, I h.206, Shahih Ibn hibban, V h.503, Sunan al-Darimi, I h.196, Sunan al-Bayhaqi, III h.120,
[82] Musnad Ahmad, III h.318, Sunan al-Nasa`i, II h.245, Sunan al-Bayhaqi, V h.125
[83] Sunan Abi dawud, II h.257, Sunan al-Turmudzi, III h.488, Sunan al-Daruquthni, IV h.39
[84] Musnad Ahmad, II h.97, Ibn Majah, II h.1073, al-Bayhaqi, I h.254
[85] Shahih al-Bukhari, VI h.2484, Shahih Muslim, III h.1233
[86] Shahih al-Bukhari, II h.524, Shahih Muslim, II h.673
[87] radliya Allâhu anhu :semoga Allah meridoinya selanjutnya ditulis : r.a).
[88] dibaca: alaihisslam (selanjutnya ditulis: a.s.)عليه السلام berarti “semoga keselamatan dicurahkan kepadanya”.
[89] Muttafaq alayh (disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim), Shahih Bukhari, I, h. 3/ Shahih Muslim, I h. 140 / kitab al-Bayan, hadits ke 96, / kitab al-Taj, jilid IV h. 253-254, /Mukhtashar Ibn Katsir, III, h. 656/
[90] Al-Qasimi, Muhammad Jamal al-Din (1866-1914M), Mahasin al-Ta’wil, Dar al-Fikr, Beirut, 1978, Jilid X halaman 203.
[91] Al-Syaukani, Muhammad bin Ali (wafat tahun 1250H), Fat-h al-Qadir, Dar al-Fikr, Beirut, Juz V halaman 468
[92] Al-Fairuz Abadi, Abi Thahir Bin Ya’qub, Tafsir Ibn Abbas, Dar al-Fikir, halaman 514.
[93] Al-Akbari, Abi al-Baqa Abd Allah bin Husain bin Abd Allah (535-616H), Imla ma manna bihi al-Rahman, Dar al-Fikr, Beirut 1986M, halaman 586.
[94] Al-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwat al-Tafasir, al-Maktabah al-Tijariah, Makkah al-Mukarramah, 1401H, Jilid III, halaman 581.
[95] Al-Jazairi, Abi Bakr Jabir (imam Masjid Nabawi), Aisar al-Tafasir, Nahr al-Khair, Madinah al-Munawarah, 1993, jilid V halaman 593
[96] Al-Ashfahani, al-Raghib, Mufradat al-Qur’an, Dar al-Fikr, Beirut, hlm 355
[97] al-Zuhaili, Wahbah, Prof. Dr., (ketua Jurusan Fiqh Islam Universitas Damascus), al-Tafsir al-Munir, Dar al-Fikr, Damascus 1991, XXX hlm 315.
[98] Al-Qurthubi, Abi Abdillah Muhammad Bin Ahmad al-Anshari, al-Jami li Ahkam al-Qur’an, Dar al-Kitab al-Arabi, Mesir, juz XIX hlm. 119
[99] al-Zuhaili, al-Munir, Juz XXX hlm. 317
[100] Muhammad mahmud Hijazi, Dr., al-Tafsir al-Wadlih, al-Istiqlal al-Kubra, Kairo 19968, juz XXX halaman 64.
[101] al-tafsir al-Munir, XXX h. 318
[102] Abu Muhammad al-Darimi (181H-255H), Sunan al-Darimi, I h.138, al-Hakim al-Naysaburi (321H-405H), al-Mustadrak, I h.87
[103] Abu Bakr al-Haytsami (w.807H), Majma’ al-Zawa`id, I h.152
[104] al-Munir, XXX, h. 318
[105] syar’iyah ialah hukum Allah SWT yang tersirat dan tersurat dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
[106] ayat qauliyah ialah firman Allah SWT yang diwahyukan kepada para nabi.
[107] ayat kauniah ialah hukum yang tersurat dan tersirat pada kejadian alam semesta, juga dinamakan sunnah Allah.
[108] aqwal ialah ucapan Nabi yang didengar shahabat, Af’al ialah perbuatan Nabi yang dilihat Shabat. Sedangkan Taqarir ialah perbuatan shabat yang dibirakan oleh Rasulullah SAW.
[109] Hadits Riwayat, berma’na hadits tersebut dikutip dari kitab yang diriwayatkan dan disusun oleh….selanjutnya ditulis Hr.
[110] Abu Hatim, Muhammad Bin Hibban (wafat th 354 H) Shahih Ibn Hibban, (Beirut, 1993, Muassah al-Risalah) juz I (selanjutnya ditulis angka romawinya saja) halaman (selanjutnya ditulis h.) 271
[111] Muhammad Bin Isma’il al-Bukhari (lahir th. 194 H, wafat th.256H, selanjutnya ditulis angkanya saja disertai H, untuk tahun Hijri, dan M, untuk tahun Masehi, sH. Untuk sebelum Hijrah Nabi) Shahih al-Bukhari, 1 h. 434
[112] Abdullah Bin Abd al-Rahman al-Darimi (w.255 H), Sunan al-Darimi, (Beirut, 1407 H, Dar al-Kitab) j. I , h. 130
[113] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta,1998,) h.52-53
[114] tâbi’în ialah orang yang bertemu dengan shahâbat dalam keadaan muslim dan wafat sebagai muslim, tapi tidak sempat bertemu dengan Rasûl SAW
[115] Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadîts, (Riayadl, 1996, Maktabah al-Ma’arif) h.199
[116] menurut al-Kirmani, sebagai dikutip Endang Soetari, Ilmu Hadits, (Bandung 2000) h.37, Abu Hurairah meriwayatkan hadits sebanyak 5364
[117] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari ( Beirut, Dar al-Fikir) j.I h. 6
[118] Hasbi Ashshiddeqiy, Sejarah Perkembangan Hadits, (Jakarta, 1973, Bulan Bintang) h.60
[119] Ensiklopedi Islam, Ikhtiar, jakarta 1993, j. 3, h. 49
[120] Abd al-Wahab Khalaf, Khulashah Tarikh al-Tasyri al-Islami, (Kairo, 1971) h.46
[121] Abd al-Muhdi Bin Abd al-Qadir, al-Sunnah al-Nabawiyah, (Kairo, Dar al-I’tisham) h.68
[122] Endang Soetari, Ilmu hadits, h. 39
[123] Abu Amr Ibn Abd al-Barr (368H-463H), al-Tamhîd, XVII, h.51
[124] Ahmad salabi, Mausu’at al-tarikh al-Islami wa al-hadlarat al-islamiyah, Jld III< Maktabah al-Nahddah al Misriyah, Kairo 1978 ahalama 20-21
[125] Muayid Fadhil, Syubhat Haul al-ashr al-Abbasi al-Awal, Dar al-Wafa, Kairo1986, halaman 21
[126] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, Rajawali press, Jakarta, 2000 halaman 49-50.
[127] Muhammad Bin Isa al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, Dar Ihya al-Turats, Beirut, j.3 h. 618
[128] Muhammad Bin Isma’il al-Bukhari, (L.194-w.256) Shahih al-Bukhari, (Beirut,1407H, Dar Ibn Katsir), j. II, h. 872 / Muslim Bin Hajaj, (206-w.261), Shahih Muslim, j. II h.1107
[129] (Shahih Muslim No.2704)
[130] Shahih al-Bukhari I h.432, no 1206
[131] shahih Muslim, no.1544
[132] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta, 2000,), h. 6
[133] Shahih al-Bukhari, I h.49
[134] Ali Mustafa Yaqub, Imam Bukhari &Metodologi kritik dalam Ilmu hadits, (Jakarta, 1996, Pustaka Firdaus) h. 22
[135] Sa’id Bin Abdillah Al Humaid, Thuruq Takhrij al-Hadîts, (Riyadl, 2000, Dar Ulum) h. 9
[136] Juz III h. 986
[137] Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-ahadits al-Dla’ifah, dar al-Fikr, I h.160
[138] (Syarah Ibn Majah,I:532)
[139] Shahîh Muslim, jl.II h. 643
[140] al-Bukhârî, Shahîh Bukhari, (Beirût, Dâr al-Fikr) jl. I h.432
[141] fitnah kubrâ ialah terjadinya perselisihan di kalangan kaum muslimin yang menimbulkan terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib.
[142] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadîts, (Jakarta, 2000, Pustaka Firdaus), h. 6
[143] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadîts, (Jakarta, 1973, Bulan Bintang) h.42
[144] Jalâl al-Dîn al-Suyuthî, Târikh al-Khulafâ, (Beirût, Dâr al-Fikr) h.212
[145] Shahîh al-Bukhârî, I h.49
[146] Sa’d Bin Abd Allâh Ali Humaid, Thuruq Takhrîj al-Hadîts, (Riyâdl, Dâr Ulûm al-Hadiîts , 2000M) h. 6
[147] Sa’îd bin Abd Allâh, Thuruq Takhrîj al-Hadîts, (Riyâdl, 2000, Dâr Ulûm al-Hadiîts ) h.24
[148] Abû Muhammad Abd al-Muhdî, Thuruq Takhrîj Hadîts, (Kairo, Dâr al-I’tisham), h.24
[149] Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta, 1984, Pesantren al-Munawir), h.314
[150] Nizar Ali, Memahami Hadîts nabi, Metoda dan Pendekatan, (Yogyakarta, 2001, al-Rahmah), h.29
[151] Ibn Hajar al-Asqalani, fath alBary, VII h.105, al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi, X h.250
[152] Riwayat lengkap disertai haditsnya tentang Fatimah dan Ali bin Abi Thalib mengobti luka Rasul SAW pada perang Uhud akan dibahas secara khusus pada bab yang akan datang
[153] Shahih al-Bukhari, III h.1388, Shahih Muslim, IV h.1888, Sunan al-Tirmidzi, V h.369, Sunan al-Nasa`iy, V h.290
[154] kenyataannya, banyak artis yang nikah di masjid al-haram, tapi kemudian bercerai
[155] Sunan al-Tirmidzi, III h.398, al-Daylami,I h.101
[156] Sunan al-Tirmidzi, III h.398
[157] al-Dzahami (w.478H(, Mizan al-I’tidal, V h.393
[158] al-Murakfuri (w.1353H), Tuhfat al-Ahwadzi, IV h.178
[159] Ibn al-Qayim al-Jawziyah (691-751H), Zad al-Ma’ad, III h.115
[160] Zad al-Ma’ad, II h.52
[161] Fath al-Bari, VII h.336
[162] menurut kitab rahmatan li al-Alamin, I h.102, saat itu Rasul, genap berusia 53 tahun.
[163] Shahih al-Bukhari, I h.555
[164] Riwayat lengkap sejarah ini akan diuraikan pada bab yang akan datang
[165] Shahih al-Bukhari, V h.2110, Shahih Muslim, III h.1305, Sunan Abi Dawud, II h.195
[166] Shahih Muslim, II h.797
[167] al-Baudlawi (w.791) Tafsir al-Baydlawi, I h.461
[168] al-Qurthubi (w.671H), al-Jami li Ahkam al-Qur`an, II h.274-275
[169] yahudi saat ini menggunakan penanggalan kombinasi antara syamsiyah dan komariyah.
[170] Mahmud Syukri al-Alusi (1273-1342H), Ma Dalla alayh al-Qur`an, I h.60
[171] Ibn hajar al-Asqalani (773-852H), fath al-Bari, IV h.249
[172] Shahih Muslim, II h.797
[173] al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, X h.206
[174] nama lengkapnya Abu al-Abbas Sahl bin Sa’d al-Sa’idi, bin Malik, shahabat Rasul, wafat di Madinah tahun 88H.
[175] Shahih al-Bukhari, V h.1977, Shahih Muslim, II h.1040, Sunan al-Nasa`iy, III h.320
[176] Sunan Abi Dawud, II h.236
[177] Sunan Abi Dawud, II h.236, al-Sunan al-Kubra, III h.313, Sunan al-Bayhaqi, VII h.242
[178] Shahih Muslim, hadits no. 1426
[179] Shahih al-Bukhari, IX h.129
[180] Shahih al-Bukhari, IX h.231
[181] Sunan al-Turmudzi, hadits nomor 1113
[182] Sunan al-Nasa`iy, VI h.129
[183] Muhammad bin Isma’il al-Shan’ani (1059-1182H), Subul al-Salam, III h.149
[184] Musnad al-Syafi’iy, I h.246, Musnad Ahmad, VI h.93, Sunan al-Darimi, II h.189, Shahih Muslim, II h.1042, Sunan al-Daruquthni, III h.222
[185] Fiqh al-Zakat, I h.259
[186] al-Mustadrak, II h.198, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, VII h.232
[187] prosesi ibadah haji yang ditempuh Rasul SAW, berdasar hadits riwayat Muslim, dibahas secara khusus dalam kajian hadits.
[188] Shahih al-Bukhari, II h.587
[189] sunan al-Bayhaqi al-Kubra, V h.33
[190] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, III h.486
[191] uraian lebih lengkap tentang prosesi haji Rasul dapat ilihat pada buku yang kami susun tentang Manasik Praktis Ibadah Haji dan Umrah; bab Manasik Rasul SAW
[192] Musnad Ahmad, II h.318, Shahih Muslim, II h.943
[193] Sunan al-Baihaqi, V h.125
[194] Shahih al-Bukhari, II h.588, Sunan al-nasa`iy, II h.399, Sunan Ibn Majah, II h.990
[195] al-Sunan al-Kubra, II h.471
[196] Tuhfat al-Ahwadzi, IV h.29
[197] Fiqh al-Sunnah, I h.589
[198] Shahih al-Bukhari, no.2404
[199] Shahih Muslim, IV h.1894
[200] Shahih al-Bukhari, IV h.376
[201] Shahih al-Bukhari, II h.715
[202] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (450-505H), Ihya Ulum al-Din, II h.59
[203] al-Mu’jam al-Awstah, VII h.332,
[204] Majma’ al-Zawa`id, IV h.313
[205] al-Dlu’afa w al-Matrukin, II h.175
[206] shahih Bukhari, V h.2115 / Mushannaf, III h.30
[207] Muslim Bin Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut, Dar al-Fikr) j, 2 h. 886-892
[208] shahih Bukhari, V h.2115 / Mushannaf, III h.30
[209] shahih Muslim, no.3977
[210] shahih al-Bukhari, no.5188
[211] shahih Muslim, no 2487
[212] Shahih Muslim , no. 2128
[213] (‘Aunul-Ma’bud,V:215, Badzlul-Majhud VIII:398)
[214] Shahih al-Bukhari, I h.284
[215] Shahih Muslim no.2108
[216] Muhamad Nashir al-Din al-Bani, Hajjat al-Nabiy, I h.87
[217] Abu Muhammad Ibn Hazm al-Zhahiri, al-Muhalla, (Beirut Dar al-Afaq) j. VII h.168
[218] Shahih Muslim, no.450-451
[219] Shahih Muslim, no.452
[220] Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, Shahih Ibn Khuzaimah, II h.284
[221] Sunan Abi Dawud, I h.60
[222] Muhammad bin Ali al-Sywkani, Nayl al-Awthar, I h.287
[223] Syams al-Haq, Abu Thayyib, ‘Awn al-Ma’bûd, I h.267
[224] Ibn Hajar al-Asqalani (773-852 H), Talkhish al-Habir, I h.140
[225] ‘Umar bin Ali al-Andalusi, Tuhfat al-Muhtaj, I h.203
[226] al-Zaila’iy (w.762H), Nashb al-Rayah, I h.194
[227] Sunan Sa’id bin Manshur, Juz IV
[228] al-Syawkani, Nail al-Awthar, I h.288)
[229] menurut kitab rahmatan li al-Alamin, I h.102, saat itu Rasul, genap berusia 53 tahun.
[230] Shahih al-Bukhari, I h.555
[231] Shafy al-Rahman al-Mubarakfuri, Sirah Rasul Allah, al-Rahiq al-Makhtum, h.77
[232] Abd al-Malik Bin Hisyam (w.213H), al-Sirah al-Nabawiyah, I h.245
[233] Munir Muhammad al-Ghudlban, al-Manhaj al-Haraki li al-Sirah al-Nabawiyah, I h. 48
[234] Ab Abd Allah Muhamad Bin Ishaq (217-275H), Akhbar Makkah, IV h.12
[235] Ab Abd Allah Muhamad al-Qurthubi (w.671), Al-Jami li Ahkam al-Qur’an, 1 XIV h. 312
[236] Syarh al-Arba’in al-Nawawiyah, h.33-36
[237] Tafsir al-Thabari, IX h.354, Tafsir Ibn Abi Hatim, IV h.418, Ruh al-Ma’ani, IV h.291
[238] Sunan Abi Dawud, VI h.42
[239] menurut bahasa siroh berarti perjalanan hidup. Siroh dalam bahasan ini berma’na segala aspek kehidupan Rasul SAW sejak sebelum diangkat jadi nabi hingga wafat, menckup, sikap, sifat, prilaku baik fisik maupun perangainya.
[240] Hadits ialah segala yang sandarkan pada Nabi SAW, baik, ucap, sikap, tindakan, perbuatan, persetujuan, maupun rencananya. Lihat kembali uraian tentang sumber teladan, pada bahasan terdahulu.
[241] Sunan al-Darimi, I h.318, Shahih al-Bukhari, I h.226, Shahih Ibn Khuzaimah, I h.206
[242] Sunan al-Bayhaqi, II h.253, 254, Mushannaf Ibn Abi Syaybah, II h.123
[243] Shahih Muslim, no.2286, Sunan Abi Dawud, no.1680, Sunan al-Nasa`iy, no3012, al-Bayhaqi al-Kubra, V h.125
[244] Shahih Muslim, III h.1316
[245] Perhatikan kembali uraian tentang tahapan da’wah Rasul pada kajian sebelumnya
[246] Sunan Al-Darimi (w.255 H) II h.260, Sunan al-Turmudzi (w.279 H) V h.197, al-Mustadrak, I h.757
[247] Shahih Muslim, I h.465
[248] Shahih al-Bukhari, V h.2209, Shahih Muslim, I h.222
[249] musnad ahmad, no.5363, Sunan Ibn Majah, no.3548
[250] Shahih Muslim, I h.93
[251] Shahih al-Bukhari, V h.2207, Sunan Ibn Majah, I h.614
[252] Musnad Ahmad, no.2177
[253] Musnad Ahmad, no.6421
[254] Tafsir al-Baghawi, III h.528, Tafisr al-Shan’ani, III h.116, Tafisr Abi Su’ud, VII h.102
[255] al-Muwatha, II h.913
[256]Muslim Bin Hajaj, Shahîh Muslim, (Beirût, Dâr al-Turâts), juz. IV h.1836
[257]Hadîts ini juga dikutip oleh Ibn Hazm (w.456H), dalam al-Ihkâm
[258] Shahih al-Bukhari, V h.1949
[259] Lebih jelasnya ma’na hadits ini bisa dilihat pada bahasan selanjutnya
[260] Shahih al-Bukhari, IV h.1496
[261] al-Mustadrak, II h.665, sunan al-Bayhaqi, X h.26, dengan dikuatkan oleh berbagai hadits lainnya seperti Shahih Muslim, Shahih al-Bukhari pada bab haji
[262] shahih al-Bukari
[263] shahih al-Bukhari, no.1811, Shahih Muslim, no.1881
[264] Shahih Muslim, no.1880
[265] shahih al-Bukhari, no.1830
[266] Mansur Ali Nashif, al-Taj al-Jami Li Ushul ahadits al-Rasul, Jilid II h. 281
[267] Sunan al-Turmudzi, no.1047
[268] Sunan al-daruquthni, III h.270
[269] Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, VII h.184
[270] Musnad al-Syafi’iy, I h.274
[271] al-Zuhri (168-230H), al-Thbaqat al-Kubra, VIII h.150
[272] Abu al-Qasim (490-578H), Ghawamidl al-Asma al-Mubhamah, II h.668
[273] Al-Nawawi, al-Taqrib, h. 105
[274] Ulum al-Hadits h. 37
[275] Arti hadits shahih dan hadits hasan dapat dilihat pada bab shahih dan Hasan tersendiri
[276] rawi berarti ulama yang meriwayatkan hadits. Sedangkan shahabi ialah shahabat Rasul. Shahabat ialah seseorang yang bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan muslim, dan wafat sebagai muslim.
[277] Lamhat fi ushul al-hadits, h. 225
[278] Tabiin ialah orang yang bertemu dengan shahabat Rasul SAW dalam keadaan muslim dan wafat sebagai muslim.
[279] Fath al-Bari, j. II h. 188
[280] Taysir Mushthalah al-Hadits, h.77
[281] al-Kamil fi al-Dlu’afa, V h. 313
[282] al-Muwatha, II h. 980 no 1769
[283] Sunan Ibn Majah, hadits no 3321
[284] Hr. Muslim, I h. 10, Bukhari, I h. 434